BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam perjalanan sejarah Islam, para
ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya
tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya
para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin
hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya
tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang
dikembangkan para ulama adalah sadd adz-dzari’ah dan fath
adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ahmerupakan upaya preventif agar
tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini
merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam
Hukum Islam tidak hanya mengatur
tentang perilaku manusia yang sudah dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan.
Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung mengekang kebebasan manusia.
Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum
dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah),maka
dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum
inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah. Sebaliknya,
jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain
yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal
inilah yang kemudian dikenal dengan istilah adz-dzariah.
B. Rumusan
masalah
Dalam menggali hukum (istinbat) maka
para mujtahid harus berlandaskan kemaslahatan dan tidak berpikiran sempit,
mujtahid harus melakukan study konferhensip dari berbagai bidang study yang
berhubungan dengan hukum yang akan digalinya. Seperti pengharaman rokok, maka
mujtahid harus mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalamnya,ditinjau dari
pandangan medis.
Dalam
makalah ini pemakalah akan mepaparkan beberapa submateri dan penjabaran tentang
pengenalan az-zari’ah dan hal-hal yang berhubungan dengan az-zari’ah
diantaranya adalah :
1. Penjelasan
defenisi az-zari’ah baik dari segi etimologi maupun dari terminology
2. Kedudukannya
dalam pengistimbatan hukum islam
3. Kehujjahan
dan objeknya
C. Metode
pembahasan
Dalam perumusan makalah ini,
pemakalah melakukan bedah buku mengambil intisari yang trekadung dalam berbagai
buku-buku rujukan kemudian diformulasikan dalam bentuk tulisan sehingga menjadi
lembaran –lenbaran yang kemudian disusun dalam bentuk makalah
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN SADDU DZARI’AH
Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة)
merupakan bentuk frase (idhafah)yang terdiri dari dua kata,
yaitu sadd (سَدُّ ) dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara
etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ) merupakan
kata benda abstrak (mashdar) dariسَدَّ يَسُدُّ سَدًّا.
Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau
rusak dan menimbun lobang.Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة)
merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan,
sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk
jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة)
adalahadz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena
itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, sepertiTanqih al-Fushul fi Ulum
al-Ushul karya al-Qarafi,istilah yang digunakan adalah sadd
adz-dzara’i.
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan
untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh
sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu
berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika
unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan
panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian
digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada
sesuatu yang lain.
Secara Terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd
adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai
cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari
unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan
jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan(mafsadah), maka kita
harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut
asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang
pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang
dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi
menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang
boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang
dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan
Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau
menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.Sedangkan menurut
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk
sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di
atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani
mempersempit adz-dzariahsebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan.
Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara
umum dan tidak mempersempitnyahanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di
samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang
pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim
tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa
dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum
larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun
dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
C. KEDUDUKAN SADD
ADZ-DZARI’AH
Sebagaimana halnya dengan qiyas,
dilihat dari aspek aplikasinya, sadd adz-dzari’ah merupakan salah
satu metode pengambilan keputusan hukum dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk
hukumnya,sadd adz-dzari’ah adalah salah satu dalil hukum.
Tidak semua ulama sepakat
dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara
umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga
kelompok, yaitu
1) yang menerima
sepenuhnya
2) yang tidak
menerima sepenuhnya
3)
yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima
sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan
mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan
metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa
diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan
metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu
pula Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini
dalam kitabnya al-Muwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak
menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi
dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd
adz-dzari’ah sebagai metode istinbathpada kasus tertentu, namun
menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii
menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang
mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan
menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu
yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari
Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan sadd
adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam
iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias,
menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan
berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh
dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd
adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu
pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.
Sedangkan kasus paling menonjol yang
menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd
adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau
kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka,
misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun
dengan harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi,
keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan
mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihakshowroom. Oleh
pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100
juta.
Transaksi seperti inilah yang oleh
mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat
kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil
secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta.
Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi
semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak menggunakan sadd
adz-dzari’ah dalam pelarangan tersebut. Pelarangannya berdasarkan
alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum jelas, karena terdapat dua
harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual kembali mobil sebenarnya juga
belum sepenuhnya memiliki barang tersebut karena masih dalam masa kredit.
Dengan demikian, transaksi kedua yang dilakukan si konsumen dengan
pihak showroom adalah transaksi yang tidak
sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.
Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli
kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si
penjual untuk melakukan riba, misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan
Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan
maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya
berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.
Kelompok ketiga, yang menolak
sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini
sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna
tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd
adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih
dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat.
Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah
semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nashsecara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu
tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak
metode sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul
al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya
terhadap sadd adz-dzari’ah dalam pembahasan
tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd
adz-dzari’ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga
kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang.
Konsep sadd adz-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh
atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan
berdasarkan nash dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang
telah jelas diharamkan olehnash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan
kecuali dengan nash lain yang jelas atau ijma’. Hukum harus
ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijma’.
Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata.
Contoh kasus penolakan kalangan
az-Zhahiri dalam penggunaan sadd adz-dzariah adalah ketika Ibnu Hazm
begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan
bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan
meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi
jalan (dzari’ah) bagi wanita untuk sekedar mendapatkan warisan dan
menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan
menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun
menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang
halal.
Meskipun terdapat ketidaksepakatan
ulama dalam penggunaan sadd adz-dzari’ah, namun secara umum mereka
menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah
az-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus
itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan sadd
adz-dzari’ah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.
Adapun tentang mazhab Zhahiri yang
menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah, hal itu karena mereka memang
sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua
perbuatan harus diputuskan
berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan.
Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada
tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru
bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan
meraih mashalahah. Jika memang mafsadah jelas-jelas bisa
terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat,
maka sadd adz-dzari’ah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.
Dengan sadd
adz-dzari’ah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas
dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab az-Zahiri. Namun agar tidak
disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd
adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li
ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan,
namun perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor
eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram.
Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada,
tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal.
Terkait dengan kedudukan sadd
adz-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor wanita pertama asal Indonesia
lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd adz-dzari’ah merupakan
metode istinbath hukum yang mengakibatkan kecenderungan sikap
defensif (mempertahankan diri) di kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini
bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut
terjerumus dalam mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan
berdasarkan sadd adz-dzari’ahcenderung menjadi bias gender. Sadd
adz-dzariah menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita untuk
berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi
mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram.
Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin
memang ada benarnya. Tapi sebenarnya yang perlu dipersalahkan
bukanlah sadd adz-dzari’ah-nya, namun orang yang menerapkannya. Suatu putusan
hukum yang berdasarkan sadd adz-dzariah tentu masih bisa dicek
kembali bagaimana thuruq al-istinbath-nya. Jika memang dampak negatif yang
dikhawatirkan terjadi tersebut, ternyata tidak terbukti, maka tentu saja
keputusan tersebut bisa dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd
adz-dzari’ah menimbulkan sikap defensif, tentu perlu pembuktian empirik
lebih lanjut.
D. DASAR
HUKUM SADD ADZ-DZARI’AH
1. Alquran
wur (#q7Ý¡n@ úïÏ%©!$# tbqããôt `ÏB Èbrß «!$# (#q7Ý¡usù ©!$# #Jrôtã ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Yy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷èt ÇÊÉÑÈ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. al-An’am: 108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ahyang
akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang
dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism
defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas
mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah,
sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama
lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qä9qà)s? $uZÏãºu (#qä9qè%ur $tRöÝàR$# (#qãèyJó$#ur 3 úïÌÏÿ»x6ù=Ï9ur ë>#xtã ÒOÏ9r&
ÇÊÉÍÈ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
“Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang
yang kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah: 104).
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk
pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap
dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (رَاعِنَا) berarti: “Sudilah kiranya kamu
memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap
Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina
Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (رَعِنًا) sebagai bentuk isim
fail darimasdar kata ru’unah (رُعُوْنَة) yang berarti bodoh
atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW
mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan
dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina.
Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi
dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.
2. Sunah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَيَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW
bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat
kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang
lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua
lelaki tersebut.”
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi
konsep sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut
tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa
digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd
adz-dzari’ah.
3. Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd
adz-dzari’ah adalah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ
جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan
(maslahah).[1]
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini.
Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan
kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd
adz-dzari’ah terdapat unsurmafsadah yang harus dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka
mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal
tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka
mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan
tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm
al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang
dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal
itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah
membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak
belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”
E. MACAM-MACAM ADZ-DZARI’AH
Dilihat dari aspek akibat yang
timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi
empat macam, yaitu:
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal
ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan
perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan(mustahab), namun
secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu
keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah
ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh
lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul
unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja
untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya
keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah)yang
kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan(maslahah) yang
diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang
musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan
lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang
sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek
kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi
tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi
jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam
anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga
meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi
orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan
membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan
menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut
biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan,
seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual
beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.
F. CARA MENENTUKAN ADZ-DZARIAH
Guna menentukan apakah suatu perbuatan
dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah) terjadinya
suatu perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari
dua hal, yaitu:
1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu
perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan
atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang
yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga adalah karena sekedar
untuk menghalalkan si perempuan untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu,
maka pernikahan itu harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan
dengan tujuan pernikahan yang digariskan syara’ yaitu demi membina keluarga
yang langgeng.
2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan
niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu
perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka
perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi)
yang diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa
peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang mendapat hadiah
kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau kebijakannya terhadap si
pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian hadiah (gratifikasi) dalam
batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke kas negara oleh pihak KPK.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sadd adz-dzari’ah dan fath
adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus
jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya
bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan
kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan
oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di
tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar