BAB I
PENDAHULUAN
Setiap individu
tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia saling
membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk bertahan hidup dan hidup
sebagai manusia. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama
tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu.
Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan
manusia sebagai makhluk sosial tersebut maka masing-masing individu memiliki
kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya
dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan. Tatanan masyarakat pada umumnya
diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam
bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan.
Namun demikian nampaknya perintah dan larangan
saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu
diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan, dan juga norma hukum.Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi
kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan
perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama.
Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan
ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata
tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut
maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada.Sebagaimana diketahui
bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak
untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tindak Pidana
Tindak pidana
adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam
dengan sangsi pidana[1]
yang dalam KUHP disebut dengan Delik atau peristiwa pidana.
B.
Pengertian
Percobaan Tindak Pidana dan Pendapat Fuqaha
Percobaan tindak pidana adalah tidak selesainya
perbuataan pidana karena adanya faktor eksternal, namun si pelaku ada niat dan
adanya permulaan perbuatan pidana. Misalnnya :
a.
A bermaksud
mencuri dirumah x
Dengan membongkar dan merusak jendela, A masuk
kerumah X, tetapi karenaX terbangun dan jendela dari mana A masuk terbuka, A
kepergok dan ditangkap oleh petugas ronda.
b.
B seoranng
tukang copet, pesa saat memesukkan tangan ke kantong R, ia ketangkap
Kedua contoh
diatas memperlihatkan bahwa maksud pelaku belum terlaksana, yaitu X dan R belum
kehilangan sesuatu.[2]
Teori tentang jarimah “percobaan”
tidak kita dapati di kalangan Fuqaha, bahkan istilah percobaan dengan
pengertian teknis yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan
oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah
yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi
teori tentang percobaan, sebagaimana yang akan terlihat. Tidak adanya perhatian
secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal:
Pertama, percobaan melakukan jarimah
tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan melakukan melalui hukuman
takzir, bagaimanpun juga macamnya jarimah itu. Para Fuqaha lebih banyak
memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qisas diyat, karena
unsur-unsur dan syarat-syarat tetap tanpa mengalami perubahan, dan hukuman juga
sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
Akan tetapi jarimah-jarimah takzir,
dengan mengecualikan jarimah-jarimah takzir seperti memaki-maki (menista orang)
atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa
negara (ulul amri) untuk menentukan mecamnya jarimah-jarimah itu. Untuk
menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung
oleh syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula
kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu,
hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak
antara batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah takzir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan tidak dihukum, dari masa kemasa, dari tempat ketempat lain,[3] dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan para Fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah takzir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secara tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah takzir.
Kebanyakan jarimah takzir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan tidak dihukum, dari masa kemasa, dari tempat ketempat lain,[3] dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan para Fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah takzir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secara tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah takzir.
Kedua: Dengan adanya aturan-aturan yang
mencakup dari Syara' tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus
untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta'zir dijatuhkan atas
setiap perbuatan ma'siat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau
kifarat.[4]
Dengan kata lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan atau permulaan jahat
dianggap ma’siat dan dapat dijatuhi hukuman ta'zir. Karena hukuman had dan
kifarat hanya dikenakan atas jarimah-jarimah tertentu yang benar-benar telah
selesai, maka artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilarang
hanya dijatuhi hukuman ta'zir, dan percobaan itu sendiri dianggap ma'siat,
yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan suatu bagian saja di antara
begian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu
bagian itu sendiri dilarang. Jadi tidak aneh kalau sesuatu perbuatan
semata-mata menjadi suatu jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain
maka akan membentuk-jarimah yang lain lagi.
Pencuri misalnya apabila telah melobangi
dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum sempat memasukinya, maka
perbuatannya itu semata-mata dianggap ma'siat (kesalahan) yang bisa dijatuhi
hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah
pencurian.
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain
dengan maksud hendak mencuri, tanpa melobangi dindingnya atau menaiki atapnya,
dianggap telah memperbuat suatu jarimah tersendiri, meskipun perbuatan tersebut
bisa disebut juga pencurian yang tidak selesai.
Apabila pencuri tersebut dapat menyelesaikan
berbagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang
curiannya ke luar rumah, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan
"pencurian", dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman
had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing
perbuatan yang membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakan hukuman ta'zir,
sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu, yaitu
pencurian.
Di sini jelaslah kepada kita, mengapa para
fuqaha tidak membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah,
sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah
seleai dengan jariman yang tidak selesai, dimana untuk jarimah yang pertama
saja dikenakan hukuman had atau qishash, sedang untuk jarimah yang kedua hanya
dikenakan hukuman ta'zir.
Pendirian Syara' tentang percobaan melakukan
jarimah syara’ mencakup daripada hukum-hukum positif, sebab menurut syara'
setiap perbuatan yang tidak selesai disebut ma'siat yang dijatuhi hukuman, dan
dalarn hal ini tidak ada pengecualiannya. siapa yang mengangkat tongkat untuk
dipukulkan kepada orang lain, maka ia dianggap memperbuat ma'siat dan dijatuhi
hukuman ta'zir. Menurut hukum positif tidak semua percobaan melakukan jarimah
dihukum.
Sesuai dengan pendirian Syara', maka pada
peristiwa penganiayaan dengan maksud untuk membunuh, apabila penganiayaan itu
berakibat kematian, maka perbuatan itu dianggap pembunuhan sengaja. Kalau
korban dapat sembuh, maka perbuatan tersebut dianggap penganiayaan saja dengan
hukumannya yang khusus. Akan tetapi kalau pembuat hendak membunuh korbannya,
kemudian tidak mengenai sasarannya, maka perbuatan itu disebut ma'siat, dan
hukumannya adalah ta'zir. [5]
C.
Fase-Fase dalam
Tindak Pidana
Tiap–tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu
sebelum terwujud hasilnya. Pembagian fase-fase ini diperlukan sekali, sebab
hanya pada salah satu fase saja, pembuat dapat dituntut dari segi kepidanaan,
sedang pada fase-fase lainnya tidak dituntut.
1. Fase Pemikiran dan Perencanaan (marhalah
at-tafkir wa at- tashmim)
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah
tidak dianggap ma'siat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam
Syari'at Islam, seseorang tidak dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan
hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, sesuai dengan kata-kata
Rasulullah s.a.w. sebagai berikut:
ان الله تجا ورلامتي عما وسوست اوحد ثت به انفسها مالم تعمل به اوتكلم
“sesungguhnya allah melewatkan (tidak menghitungnya sebagai dosa) bagi umatku yang tersirat dalam hatinya selama belum ia lakukan atau ia ucapkan” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Meskipun menurut para ulama tasawuf sering memikirkan hal-hal yang maksiat mununjukkan hatinya belum suci.
Aturan tersebut sudah terdapat dalam Syari’at
Islam sejak minat-minat diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi
pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada akhir abad kedelapan belas
Masehi, yaitu sesudah revolusi Perancis. Sebelum masa itu, niatan dan pemikiran
bisa dihukum, kalau dapat dibuktikan. juga pada hukum positif terhadap aturan
tersebut ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada
hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan
terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih
dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat dari
pada hukuman pembunuhan yang kedua.
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan
berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara maksimalnya
dua puluh tahun, dan kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara maksimalnya
lima belas tahun.
2. Fase Persiapan (marhalah at-tahdzir)
Menyiapkan alat yang dipakai untuk melaksanakan
jarimah, seperti rnemberi senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci
palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap ma'siat yang dapat
dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai
ma’siat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam
contoh ini memberi alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap
ma'siat yang dihukum ta’dzir, walaupun maksud dan tujuannya belum terrealisasi,
yaitu mencuri.
Alasan fase persiapan tidak dianggap sebagai
jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa
perbuatan ma'siat, dan ma'siat baru terwujud apabila berisi pelanggaran
terhadap hak Tuhan dan hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat jarimah
pada dasarnya tidak berisi suatu kerugian, maka tidak bisa dipandang sebagai
tindak pidana atau jarimah, sedangkan menurut aturan Syari'at seseorang tidak
bisa dijatuhi hukuman terhadapnya kecuali apabila sudah jelas tindakannya
merugikan oranglain dan bertentangan dengan syariat. Sehingga peristiwa itu
hanya dianggap sesuatu yang maksyiat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman
ta'zir.
3. Fase Pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)
Dalam fase ini perbuatan seorang
pelaku tindak pidana telah dapat dikenai sanksi bila perbuatannya itu merupakan
suatu maksiat meskipun belum selesai atau terrealisasi. Seperti seorang pencuri
telah memasuki rumah calon korbannya tapi belum mengambil harta karena ketahuan
atau tertangkap oleh pemiliknya. Dengan perbutannya itu, ia dapat dihukum atau
dikenahi sanksi, karena memasuki rumah orang lain tanpa izin itu merupakan
suatu maksiat
Pada pencurian misalnya,dengan melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya yang belum sampai kepada mengambil barang maka itu hanya dipandang sebagai maksiat, dan dihukum sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, yaitu hanya tindakan melobangi tembok saja yang dapat di hukum dengan hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari almari, dan membawanya ke luar dan sebagainya.
Pada pencurian misalnya,dengan melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya yang belum sampai kepada mengambil barang maka itu hanya dipandang sebagai maksiat, dan dihukum sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, yaitu hanya tindakan melobangi tembok saja yang dapat di hukum dengan hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari almari, dan membawanya ke luar dan sebagainya.
D.
Pendirian Hukum
Positif
Pendirian hukum positif hapir sama dengan
Syara', bahwa permulaan tindak pidana tidak dapat dihukum, baik pada fase-fase
pemikiran-perencanaan dan persiapan. Akan tetapi di kalangan sarjana- sarjana
hukum positif terdapat perbedaan pendapat tentang saat di mana pembuat dianggap
telah mulai melaksanakan jarimahnya itu.
Menurut aliran obyektif (objective leer), saat
tersebut ialah ketika ia melaksanakan perbuatan material yang membentuk suatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri
dari beberapa perbuatan maka percobaan untuk jarimah itu ialah ketika memulai
perbuatan tersebut. Kalau jarimah itu terdiri dari beberapa perbuatan, maka
memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah. Mengerjakan
perbuatan lain yang tidak masuk dalam rangka pembentukan jarimah tidak dianggap
telah mulai melaksanakan. aliran tersebut melihat kepada obyek atau perbuatan
yang telah dikerjakan oleh pembuat.
Menurut aliran subyektif (subjective leer),
untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila pelaku telah memulai sesuatu
pekerjaan apa saja yang mendatangkan kepada perbuatan jarimah itu sendiri yaitu,
aliran tersebut lebih menekankan kepada subyek, atau niat dari pelaku
Dibandingkan dengan Syari't Islam, temyata
pendirian Syari'at Islam dapat menampung kedua aliran subyektif dan obyektif sekaligus. Perbuatan yang bisa dihukum menurut aliran
subyektif bisa dihukum pula menur-ut Syari'at Islam. Akan tetapi Syari'at Islam
menambahkan syarat, yaitu apabila perbuatan
yang dilakukan pelaku bisa dianggap sebagai perbuatan ma'siat (perbuatan salah), baik bisa menyiapkan
jalan untuk jarimah yang dimaksudkan atau tidak. Sedangkan menurut aliran
subyektif perbuatan yang mulai dikerjakan harus bisa mendatangkan kepada unsur
materil dari jarimah.
Sebagai contoh orang yang masuk kesuatu rumah
dengan maksud untuk melakukan perbuatan zina dengan orang (wanita) yang ada di
dalamnya, dan perbuatan yang direncanakannya itu tidak terjadi, karena sesuatu
sebab, ada orang lain umpamanya. Menurut aliran obyektif, perbuatan tersebut
tidak dapat dihukum, sebab tidak ada kepentingan yang dirugikan. Menurut aliran
subyektif, perbuatan tersebut dapat dihukum karena sudah cukup menunjukkan
teguhnya maksudatau tujuan yang ada pada
dirinya. Menurut Syari'at Islam, juga dapat dihukum sebab perbuatan itu sendiri
merupakan ma'siat (perbuatan salah)."
E.
Hukuman
Percobaan
Menurut aturan Syari'at Islam, untuk
jarimah-jarimah hudud dan qishash, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh
dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percoban).yaitu apabila
jarimah itu dilakukan secara tuntas maka berlaku baginya hudud atau qishas akan
tetapi apabila kejahatan itu belum tuntas dikerjakan hanya dipandang sebagai
maksiat dan hanya diberlakukan ta’zir
Hukuman bagi pelaku percobaan
melakukan tindak pidana adalah ta’zir, bukan had, sebagaimana disabdakan oleh
rosulullah SAW.
من بلغ حدا في غير حد فهو من المعتد ين
“barang
siapa menjatuhkan hukuman had bukan pada tindak pidana hudud, maka ia termasuk
orang yang melampui batas” (HR al-baihaqi dari nu’man bin basyir dan
al-dhahaak).
apabila tidak selesainya kejahatan
itu disebabkan pelakunya bertobat, dalam kasus seperti ini, para ulama berbeda
pendapat. Sebagian ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad berpendapat bahwa tobat itu tidak menghapuskan hukuman.
Sedangkan sebagian ulama yang lain, yakni sebagian Syafi’iyah, menyatakan bahwa
tobat dapat menghapuskan hukuman, Allah berfirman: QS al-Maidah:34 dan QS
an-Nisa:16
wÎ) úïÏ%©!$# (#qç/$s? `ÏB È@ö6s% br& (#râÏø)s? öNÍkön=tã ( (#þqßJn=÷æ$$sù cr& ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÍÈ
Artinya: "Kecuali orang-orang
yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka;
Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uÏ?ù't öNà6ZÏB $yJèdrè$t«sù ( cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊÌôãr'sù !$yJßg÷Ytã 3 ¨bÎ) ©!$# tb$2 $\/#§qs? $¸JÏm§ ÇÊÏÈ
Artinya: "Dan terhadap dua
orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada
keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka
biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang."
Rasulullah
SAW bersabda:
التائب من الذ نب كمن لاذنب له
“orang yang bertobat dari dosa itu seperti orang yang tidak berdosa”(HR ibnu majah)
Sedangkan menurut ibn taimiyah dari
ibn Qayyim bila kejahatannya merupakan hak Allah, maka tobatnya itu dapat
menghapuskan hukuman, dan bila kejahatannya itu merupakan hak adami, maka
tobatnya tidak menghapuskan hukuman.
F.
Tidak Selesai
Melakukan Percobaan Karena Taubat
Perbuatan jarimah yang diturungkan (tidak
diselesaikan) adakalanya berupa jarimah "hirabah"[6]
(pembegalan/penggarongan) atau jarimah-jarimah lain. Apabila berupa jarimah
hirabah maka perbuatan tidak dijatuhi hukuman atas apa yang telah diperbuatnya.
Jadi apabila seseorang berbuat jarimah hirabah
sudah menyatakan taubat dan penyesalan, maka hapuslah hukumannya meskipun itu
telah melakukan jarimah yang selesai.
Pendapat pertama.
Pendapat pertama dikemukakan oleh beberapa
fuqaha dari mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali, yang mengatakan bahwa taubat
bisa menghapuskan hukuman. Alasan yang dikemukakannya ialah bahwa Qur'an
menyatakan hapusnya hukuman hirabah karena taubat, sedangkan hirabah adalah
jarimah yang paling berbahaya.
Pendapat kedua.
Pendapat ini dikemukakan oleh imam-imam Malik
dan Abu Hanifah, serta beberapa fuqaha dikalangan mazhab Syafi'i dan Ahmad.
Menurut mereka taubat tidak menghapuskan hukuman kecuali untuk jarimah hirabah
rasa yang sudah ada ketentuannya yang jelas. Pada dasarnya taubat tidak dapat
menghapuskan hukuman, karena kedudukan hukuman ialah sebagai kifarat ma’siat
penebus (kesalahan). Perintah untuk menjatuhkan hukuman
kepada orang-orang yang berzina dan mencuri bersifat umum, baik mereka yang
bertaubat atau tidak, Rasulullah juga menyuruh melaksanakan hukuman rajam atas
diri seorang yang bernarna "Ma'iz" dan orang wanita dari kampung
Ghamidiyyah dan hukuman potong tangan atas diri orang yang mengaku telah
mencuri.
Menurut fuqaha-fuqaha tersebut di atas, antara
jarimah¬-jarimah hirabah dengan jarimah-jarimah lain tidak ada kemiripan yang
memungkinkan keduanya untuk dapat dipersamakan. Pada umumnya orang-orang yang
melakukan jarimah hirabah terdiri dari sejumlah orang yang mempunyai kekuatan
dan tidak mudah dilakukan penangkapan atas mereka.
Pendapat ketiga.
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiah
serta muridnya yaitu Ibnul Qayyim, dan kedua-duanya termasuk aliran mahzab Hambali. Menurut pendapat kedua ulama
tersebut, hukuman dapat membersihkan ma'siat, dan taubat bisa menghapuskan
hukuman jarimah jarimah yang berhubungan dengan hak Tuhan, kecuali apabila
pembuat sendiri menginginkan penyucian dirinya dengan jalan hukuman.
Menurut pendapat tersebut penghentian pembuat
untuk meneruskan perbuatannnya yang merugikan hak Tuhan, yakni hak masyarakat,
bisa menghapuskan hukuman. Akan tetapi hapusnya hukuman tersebut tidak berlaku
pada jarimah-jarimah yang mengenai hak perseorangan.
G.
Percobaan
Melakukan jarimah Mustahil
Di kalangan fuqaha nampak adanya pembahasan
tentang percobaan melakukan "Jarimah mustahil" yang terkenal
dikalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama "oendeug delijk
poging" (percobaan tak terkenan = as-syuru’fi aljarimah al-muslahilah),
yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi (mustahil) karena alat-alat yang
dipakai untuk melakukannnya tidak sesuai, seperti orang yang mengarahkan
senjata kepada orang lain dengan maksud untuk Membunuh, tetapi ia sendiri tidak
tahu bahwa senjata itu tidak ada pelurunya atau ada kerusakan bagian-bagiannya,
sehingga orang lain tersebut tidak meninggal.
Yang dimaksud
dengan percobaan melakukan tindak pidana yang mustahil adalah melakukan
percobaan, tetapimustahil maksud pelakunya dapat tercapai melalui percobaan
itu, seperti meracun seseorang tetapiyang digunakan itu ternyata bukan racun,
melainkan garam misalnya, atau menembak seseorang yang sudah mati.
Dalam kasus semacam ini, hokum islam
melihat apakah perbuatan percobaan itu maksiat ataukan bukan. Apabila
perbuatannya itu sudah termasuk maksiat, maka dapat dijatuhi hukuman ta’zir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk mengetahui sampai di mana
suatu perbuatan percobaan dapat dihukum maka kita harus membagi fase – fase
pelaksanaan jarimah. Adapun fase-fase pelaksanaan jarimah adalah sebagai
berikut :
a.
Fase pemikiran dan perencanaan
b.
Fase persiapan
c.
Fase pelaksanaan
Menurut aturan Syari'at
Islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qishash, jarimah-jarimah yang selesai
tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai
(percoban).yaitu apabila jarimah itu dilakukan secara tuntas maka berlaku
baginya hudud atau qishas akan tetapi apabila kejahatan itu belum tuntas
dikerjakan hanya dipandang sebagai maksiat dan hanya diberlakukan ta’zir
Hukuman bagi pelaku percobaan
melakukan tindak pidana adalah ta’zir, bukan had, sebagaimana disabdakan oleh
rosulullah SAW.
من بلغ حدا في غير حد فهو من المعتد ين
“barang
siapa menjatuhkan hukuman had bukan pada tindak pidana hudud, maka ia termasuk
orang yang melampui batas” (HR al-baihaqi dari nu’man bin basyir dan
al-dhahaak).
Daftar Pustaka
Dr.H.m.nurul irfan,M.Ag korupsi dalam hukum
islam,Jakarta : Amzah,2011
Dr. Laden marpaung hukum pidana Jakarta :sinar grafika.2009
Prof.abdurrahman tindak pidana dalam
syariat islam Jakarta, rineka cipta, 1992
Topo Santoso menggagas hukum pidana islam,bandung, asy syaamil,
2001
Ahmad hanafi MA asas-asas hukum pidana
islam Jakarta : Bbulan bintang 1986
Dr.haliman SH hukum pidana syariat islam jakarta
:bulan bintang 1970
Ahmad almursi husain jauhar maqashid
syariah(jakarta : amzah, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar