Powered By Blogger

jam

_

assalammualaikum

semoga bermanfaat

Rabu, 29 Oktober 2014

PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH



BAB I
PENDAHULUAN
            Setiap individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk bertahan hidup dan hidup sebagai manusia. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut maka masing-masing individu memiliki kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan. Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan.
             Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama. Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada.Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tindak Pidana
Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sangsi pidana[1] yang dalam KUHP disebut dengan Delik atau peristiwa pidana.
B.     Pengertian Percobaan Tindak Pidana dan Pendapat Fuqaha
Percobaan tindak pidana adalah tidak selesainya perbuataan pidana karena adanya faktor eksternal, namun si pelaku ada niat dan adanya permulaan perbuatan pidana. Misalnnya :
a.       A bermaksud mencuri dirumah x
Dengan membongkar dan merusak jendela, A masuk kerumah X, tetapi karenaX terbangun dan jendela dari mana A masuk terbuka, A kepergok dan ditangkap oleh petugas ronda.
b.      B seoranng tukang copet, pesa saat memesukkan tangan ke kantong R, ia ketangkap
Kedua contoh diatas memperlihatkan bahwa maksud pelaku belum terlaksana, yaitu X dan R belum kehilangan sesuatu.[2]
            Teori tentang jarimah “percobaan” tidak kita dapati di kalangan Fuqaha, bahkan istilah percobaan dengan pengertian teknis yuridis juga tidak dikenal oleh mereka. Apa yang dibicarakan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan jarimah yang belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak membicarakan isi teori tentang percobaan, sebagaimana yang akan terlihat. Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan disebabkan karena dua hal:
            Pertama, percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan melakukan melalui hukuman takzir, bagaimanpun juga macamnya jarimah itu. Para Fuqaha lebih banyak memberikan perhatiannya kepada jarimah-jarimah hudud dan qisas diyat, karena unsur-unsur dan syarat-syarat tetap tanpa mengalami perubahan, dan hukuman juga sudah ditentukan jumlahnya dengan tidak boleh dikurangi atau dilebihkan.
            Akan tetapi jarimah-jarimah takzir, dengan mengecualikan jarimah-jarimah takzir seperti memaki-maki (menista orang) atau mengkhianati titipan, maka sebagian besarnya diserahkan kepada penguasa negara (ulul amri) untuk menentukan mecamnya jarimah-jarimah itu. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang dilarang dengan langsung oleh syara’ atau yang dilarang oleh penguasa negara tersebut, diserahkan pula kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan hukuman, dimana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan batas terendah.
Kebanyakan jarimah takzir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan tidak dihukum, dari masa kemasa, dari tempat ketempat lain,[3] dan unsur-unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu dikalangan para Fuqaha tidak ada perhatian khusus terhadap jarimah-jarimah takzir dan kelanjutannya ialah tidak adanya pembicaraan secara tersendiri terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk jarimah takzir.
Kedua: Dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari Syara' tentang hukuman jarimah ta’zir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta'zir dijatuhkan atas setiap perbuatan ma'siat (kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.[4] Dengan kata lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan atau permulaan jahat dianggap ma’siat dan dapat dijatuhi hukuman ta'zir. Karena hukuman had dan kifarat hanya dikenakan atas jarimah-jarimah tertentu yang benar-benar telah selesai, maka artinya setiap percobaan (memulai) sesuatu perbuatan yang dilarang hanya dijatuhi hukuman ta'zir, dan percobaan itu sendiri dianggap ma'siat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan suatu bagian saja di antara begian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang. Jadi tidak aneh kalau sesuatu perbuatan semata-mata menjadi suatu jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain maka akan membentuk-jarimah yang lain lagi.
Pencuri misalnya apabila telah melobangi dinding rumah, kemudian dapat ditangkap sebelum sempat memasukinya, maka perbuatannya itu semata-mata dianggap ma'siat (kesalahan) yang bisa dijatuhi hukuman meskipun sebenarnya baru merupakan permulaan dari pelaksanaan jarimah pencurian.
Demikian pula ketika ia masuk rumah orang lain dengan maksud hendak mencuri, tanpa melobangi dindingnya atau menaiki atapnya, dianggap telah memperbuat suatu jarimah tersendiri, meskipun perbuatan tersebut bisa disebut juga pencurian yang tidak selesai.
Apabila pencuri tersebut dapat menyelesaikan berbagai perbuatan yang membentuk jarimah pencurian dan dapat membawa barang curiannya ke luar rumah, maka kumpulan perbuatan tersebut dinamakan "pencurian", dan dengan selesainya jarimah pencurian itu maka hukuman had yang telah ditentukan dijatuhkan kepadanya, dan untuk masing-masing perbuatan yang membentuk pencurian itu tidak boleh dikenakan hukuman ta'zir, sebab masing-masing perbuatan tersebut sudah bercampur jadi satu, yaitu pencurian.
Di sini jelaslah kepada kita, mengapa para fuqaha tidak membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah seleai dengan jariman yang tidak selesai, dimana untuk jarimah yang pertama saja dikenakan hukuman had atau qishash, sedang untuk jarimah yang kedua hanya dikenakan hukuman ta'zir.
Pendirian Syara' tentang percobaan melakukan jarimah syara’ mencakup daripada hukum-hukum positif, sebab menurut syara' setiap perbuatan yang tidak selesai disebut ma'siat yang dijatuhi hukuman, dan dalarn hal ini tidak ada pengecualiannya. siapa yang mengangkat tongkat untuk dipukulkan kepada orang lain, maka ia dianggap memperbuat ma'siat dan dijatuhi hukuman ta'zir. Menurut hukum positif tidak semua percobaan melakukan jarimah dihukum.
Sesuai dengan pendirian Syara', maka pada peristiwa penganiayaan dengan maksud untuk membunuh, apabila penganiayaan itu berakibat kematian, maka perbuatan itu dianggap pembunuhan sengaja. Kalau korban dapat sembuh, maka perbuatan tersebut dianggap penganiayaan saja dengan hukumannya yang khusus. Akan tetapi kalau pembuat hendak membunuh korbannya, kemudian tidak mengenai sasarannya, maka perbuatan itu disebut ma'siat, dan hukumannya adalah ta'zir. [5]

C.    Fase-Fase dalam Tindak Pidana
Tiap–tiap jarimah mengalami fase-fase tertentu sebelum terwujud hasilnya. Pembagian fase-fase ini diperlukan sekali, sebab hanya pada salah satu fase saja, pembuat dapat dituntut dari segi kepidanaan, sedang pada fase-fase lainnya tidak dituntut.
1. Fase Pemikiran dan Perencanaan (marhalah at-tafkir wa at- tashmim)
Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak dianggap ma'siat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan dalam Syari'at Islam, seseorang tidak dapat dituntut (dipersalahkan) karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya, sesuai dengan kata-kata Rasulullah s.a.w. sebagai berikut:

ان الله تجا ورلامتي عما وسوست اوحد ثت به انفسها مالم تعمل به اوتكلم

“sesungguhnya allah melewatkan (tidak menghitungnya sebagai dosa) bagi umatku yang tersirat dalam hatinya selama belum ia lakukan atau ia ucapkan” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Meskipun menurut para ulama tasawuf sering memikirkan hal-hal yang maksiat mununjukkan hatinya belum suci.
Aturan tersebut sudah terdapat dalam Syari’at Islam sejak minat-minat diturunkan tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi pada hukum positif aturan tersebut baru dikenal pada akhir abad kedelapan belas Masehi, yaitu sesudah revolusi Perancis. Sebelum masa itu, niatan dan pemikiran bisa dihukum, kalau dapat dibuktikan. juga pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan yang kedua.
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara maksimalnya dua puluh tahun, dan kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara maksimalnya lima belas tahun.
2. Fase Persiapan (marhalah at-tahdzir)
Menyiapkan alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti rnemberi senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap ma'siat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai ma’siat, seperti hendak mencuri milik seseorang dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini memberi alat bius atau membius orang lain itu sendiri dianggap ma'siat yang dihukum ta’dzir, walaupun maksud dan tujuannya belum terrealisasi, yaitu mencuri.
Alasan fase persiapan tidak dianggap sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa dihukum harus berupa perbuatan ma'siat, dan ma'siat baru terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak Tuhan dan hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat jarimah pada dasarnya tidak berisi suatu kerugian, maka tidak bisa dipandang sebagai tindak pidana atau jarimah, sedangkan menurut aturan Syari'at seseorang tidak bisa dijatuhi hukuman terhadapnya kecuali apabila sudah jelas tindakannya merugikan oranglain dan bertentangan dengan syariat. Sehingga peristiwa itu hanya dianggap sesuatu yang maksyiat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman ta'zir.
3. Fase Pelaksanaan (marhalah tanfidiyah)
            Dalam fase ini perbuatan seorang pelaku tindak pidana telah dapat dikenai sanksi bila perbuatannya itu merupakan suatu maksiat meskipun belum selesai atau terrealisasi. Seperti seorang pencuri telah memasuki rumah calon korbannya tapi belum mengambil harta karena ketahuan atau tertangkap oleh pemiliknya. Dengan perbutannya itu, ia dapat dihukum atau dikenahi sanksi, karena memasuki rumah orang lain tanpa izin itu merupakan suatu maksiat
           
Pada pencurian misalnya,dengan melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya yang belum sampai kepada mengambil barang maka itu hanya dipandang sebagai maksiat, dan  dihukum sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, yaitu hanya tindakan melobangi tembok saja yang dapat di hukum dengan hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudnya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari almari, dan membawanya ke luar dan sebagainya.

D.    Pendirian Hukum Positif
Pendirian hukum positif hapir sama dengan Syara', bahwa permulaan tindak pidana tidak dapat dihukum, baik pada fase-fase pemikiran-perencanaan dan persiapan. Akan tetapi di kalangan sarjana- sarjana hukum positif terdapat perbedaan pendapat tentang saat di mana pembuat dianggap telah mulai melaksanakan jarimahnya itu.
Menurut aliran obyektif (objective leer), saat tersebut ialah ketika ia melaksanakan perbuatan material yang membentuk suatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari beberapa perbuatan maka percobaan untuk jarimah itu ialah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah itu terdiri dari beberapa perbuatan, maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah. Mengerjakan perbuatan lain yang tidak masuk dalam rangka pembentukan jarimah tidak dianggap telah mulai melaksanakan. aliran tersebut melihat kepada obyek atau perbuatan yang telah dikerjakan oleh pembuat.
Menurut aliran subyektif (subjective leer), untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila pelaku telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang mendatangkan kepada perbuatan jarimah itu sendiri yaitu, aliran tersebut lebih menekankan kepada subyek, atau niat dari pelaku
Dibandingkan dengan Syari't Islam, temyata pendirian Syari'at Islam dapat menampung kedua aliran subyektif dan obyektif sekaligus. Perbuatan yang bisa dihukum menurut aliran subyektif bisa dihukum pula menur-ut Syari'at Islam. Akan tetapi Syari'at Islam menambahkan syarat, yaitu apabila perbuatan yang dilakukan pelaku bisa dianggap sebagai perbuatan ma'siat (perbuatan salah), baik bisa menyiapkan jalan untuk jarimah yang dimaksudkan atau tidak. Sedangkan menurut aliran subyektif perbuatan yang mulai dikerjakan harus bisa mendatangkan kepada unsur materil dari jarimah.
Sebagai contoh orang yang masuk kesuatu rumah dengan maksud untuk melakukan perbuatan zina dengan orang (wanita) yang ada di dalamnya, dan perbuatan yang direncanakannya itu tidak terjadi, karena sesuatu sebab, ada orang lain umpamanya. Menurut aliran obyektif, perbuatan tersebut tidak dapat dihukum, sebab tidak ada kepentingan yang dirugikan. Menurut aliran subyektif, perbuatan tersebut dapat dihukum karena sudah cukup menunjukkan teguhnya maksudatau tujuan yang ada pada dirinya. Menurut Syari'at Islam, juga dapat dihukum sebab perbuatan itu sendiri merupakan ma'siat (perbuatan salah)."

E.     Hukuman Percobaan
Menurut aturan Syari'at Islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qishash, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percoban).yaitu apabila jarimah itu dilakukan secara tuntas maka berlaku baginya hudud atau qishas akan tetapi apabila kejahatan itu belum tuntas dikerjakan hanya dipandang sebagai maksiat dan hanya diberlakukan ta’zir
            Hukuman bagi pelaku percobaan melakukan tindak pidana adalah ta’zir, bukan had, sebagaimana disabdakan oleh rosulullah SAW.
من بلغ حدا في غير حد فهو من المعتد ين
“barang siapa menjatuhkan hukuman had bukan pada tindak pidana hudud, maka ia termasuk orang yang melampui batas” (HR al-baihaqi dari nu’man bin basyir dan al-dhahaak).
            apabila tidak selesainya kejahatan itu disebabkan pelakunya bertobat, dalam kasus seperti ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa tobat itu tidak menghapuskan hukuman. Sedangkan sebagian ulama yang lain, yakni sebagian Syafi’iyah, menyatakan bahwa tobat dapat menghapuskan hukuman, Allah berfirman: QS al-Maidah:34 dan QS an-Nisa:16           

žwÎ) šúïÏ%©!$# (#qç/$s? `ÏB È@ö6s% br& (#râÏø)s? öNÍköŽn=tã ( (#þqßJn=÷æ$$sù žcr& ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÍÈ
            Artinya: "Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uŠÏ?ù'tƒ öNà6ZÏB $yJèdrèŒ$t«sù ( cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊ̍ôãr'sù !$yJßg÷Ytã 3 ¨bÎ) ©!$# tb$Ÿ2 $\/#§qs? $¸JÏm§ ÇÊÏÈ
            Artinya: "Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."

Rasulullah SAW bersabda:
التائب من الذ نب كمن لاذنب له

“orang yang bertobat dari dosa itu seperti orang yang tidak berdosa”(HR ibnu majah)
            Sedangkan menurut ibn taimiyah dari ibn Qayyim bila kejahatannya merupakan hak Allah, maka tobatnya itu dapat menghapuskan hukuman, dan bila kejahatannya itu merupakan hak adami, maka tobatnya tidak menghapuskan hukuman.


F.     Tidak Selesai Melakukan Percobaan Karena Taubat
Perbuatan jarimah yang diturungkan (tidak diselesaikan) adakalanya berupa jarimah "hirabah"[6] (pembegalan/penggarongan) atau jarimah-jarimah lain. Apabila berupa jarimah hirabah maka perbuatan tidak dijatuhi hukuman atas apa yang telah diperbuatnya.
Jadi apabila seseorang berbuat jarimah hirabah sudah menyatakan taubat dan penyesalan, maka hapuslah hukumannya meskipun itu telah melakukan jarimah yang selesai.
Pendapat pertama.
Pendapat pertama dikemukakan oleh beberapa fuqaha dari mazhab Syafi'i dan mazhab Hambali, yang mengatakan bahwa taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasan yang dikemukakannya ialah bahwa Qur'an menyatakan hapusnya hukuman hirabah karena taubat, sedangkan hirabah adalah jarimah yang paling berbahaya.
Pendapat kedua.
Pendapat ini dikemukakan oleh imam-imam Malik dan Abu Hanifah, serta beberapa fuqaha dikalangan mazhab Syafi'i dan Ahmad. Menurut mereka taubat tidak menghapuskan hukuman kecuali untuk jarimah hirabah rasa yang sudah ada ketentuannya yang jelas. Pada dasarnya taubat tidak dapat menghapuskan hukuman, karena kedudukan hukuman ialah sebagai kifarat ma’siat penebus (kesalahan). Perintah untuk menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang berzina dan mencuri bersifat umum, baik mereka yang bertaubat atau tidak, Rasulullah juga menyuruh melaksanakan hukuman rajam atas diri seorang yang bernarna "Ma'iz" dan orang wanita dari kampung Ghamidiyyah dan hukuman potong tangan atas diri orang yang mengaku telah mencuri.
Menurut fuqaha-fuqaha tersebut di atas, antara jarimah¬-jarimah hirabah dengan jarimah-jarimah lain tidak ada kemiripan yang memungkinkan keduanya untuk dapat dipersamakan. Pada umumnya orang-orang yang melakukan jarimah hirabah terdiri dari sejumlah orang yang mempunyai kekuatan dan tidak mudah dilakukan penangkapan atas mereka.
Pendapat ketiga.
Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiah serta muridnya yaitu Ibnul Qayyim, dan kedua-duanya termasuk aliran mahzab Hambali. Menurut pendapat kedua ulama tersebut, hukuman dapat membersihkan ma'siat, dan taubat bisa menghapuskan hukuman jarimah jarimah yang berhubungan dengan hak Tuhan, kecuali apabila pembuat sendiri menginginkan penyucian dirinya dengan jalan hukuman.
Menurut pendapat tersebut penghentian pembuat untuk meneruskan perbuatannnya yang merugikan hak Tuhan, yakni hak masyarakat, bisa menghapuskan hukuman. Akan tetapi hapusnya hukuman tersebut tidak berlaku pada jarimah-jarimah yang mengenai hak perseorangan.

G.    Percobaan Melakukan jarimah Mustahil
Di kalangan fuqaha nampak adanya pembahasan tentang percobaan melakukan "Jarimah mustahil" yang terkenal dikalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama "oendeug delijk poging" (percobaan tak terkenan = as-syuru’fi aljarimah al-muslahilah), yaitu suatu jarimah yang tidak mungkin terjadi (mustahil) karena alat-alat yang dipakai untuk melakukannnya tidak sesuai, seperti orang yang mengarahkan senjata kepada orang lain dengan maksud untuk Membunuh, tetapi ia sendiri tidak tahu bahwa senjata itu tidak ada pelurunya atau ada kerusakan bagian-bagiannya, sehingga orang lain tersebut tidak meninggal.
            Yang dimaksud dengan percobaan melakukan tindak pidana yang mustahil adalah melakukan percobaan, tetapimustahil maksud pelakunya dapat tercapai melalui percobaan itu, seperti meracun seseorang tetapiyang digunakan itu ternyata bukan racun, melainkan garam misalnya, atau menembak seseorang yang sudah mati.
            Dalam kasus semacam ini, hokum islam melihat apakah perbuatan percobaan itu maksiat ataukan bukan. Apabila perbuatannya itu sudah termasuk maksiat, maka dapat dijatuhi hukuman ta’zir.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Untuk mengetahui sampai di mana suatu perbuatan percobaan dapat dihukum maka kita harus membagi fase – fase pelaksanaan jarimah. Adapun fase-fase pelaksanaan jarimah adalah sebagai berikut :
a. Fase pemikiran dan perencanaan
b. Fase persiapan
c. Fase pelaksanaan
Menurut aturan Syari'at Islam, untuk jarimah-jarimah hudud dan qishash, jarimah-jarimah yang selesai tidak boleh dipersamakan dengan jarimah-jarimah yang tidak selesai (percoban).yaitu apabila jarimah itu dilakukan secara tuntas maka berlaku baginya hudud atau qishas akan tetapi apabila kejahatan itu belum tuntas dikerjakan hanya dipandang sebagai maksiat dan hanya diberlakukan ta’zir
            Hukuman bagi pelaku percobaan melakukan tindak pidana adalah ta’zir, bukan had, sebagaimana disabdakan oleh rosulullah SAW.
من بلغ حدا في غير حد فهو من المعتد ين
“barang siapa menjatuhkan hukuman had bukan pada tindak pidana hudud, maka ia termasuk orang yang melampui batas” (HR al-baihaqi dari nu’man bin basyir dan al-dhahaak).


Daftar Pustaka
Dr.H.m.nurul irfan,M.Ag korupsi dalam hukum islam,Jakarta : Amzah,2011
Dr. Laden marpaung hukum pidana Jakarta :sinar grafika.2009
Prof.abdurrahman tindak pidana dalam syariat islam Jakarta, rineka cipta, 1992
Topo Santoso menggagas hukum pidana islam,bandung, asy syaamil, 2001
Ahmad hanafi MA asas-asas hukum pidana islam Jakarta : Bbulan bintang 1986
Dr.haliman SH hukum pidana syariat islam jakarta :bulan bintang 1970
Ahmad almursi husain jauhar maqashid syariah(jakarta : amzah, 2009


[1] Dr.h.m.nurul irfan,M.Ag korupsi dalam hukum islam,(Jakarta : Amzah,2011) hal 23
[2]Dr. Laden marpaung hukum pidana (Jakarta :sinar grafika.2009) hal.94
[3] Prof.abdurrahman tindak pidana dalam syariat islam (Jakarta, rineka cipta, 1992) hlm 14
[4] Topo Santoso menggagas hukum pidana islam, (bandung, asy syaamil, 2001) hlm. 150
[5] Ahmad hanafi MA asas-asas hukum pidana islam (Jakarta : Bbulan bintang 1986 hlm.122
[6] Ahmad almursi husain jauhar maqashid syariah(jakarta : amzah, 2009) hlm.198

Tidak ada komentar:

Posting Komentar