BAB II
PEMBAHASAN
A.
HUKUM ACARA
ADMINISTRASI NEGARA
a. Pengertian Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Sebelum mendefenisikan Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara, terlebih dahulu dijelaskan bahwa Hukum Administrasi
Negara adalah hukum atau aturan yang
mempelajari bentuk serta akibat hukum yang dilakukan oleh para pejabat dalam
melakukan tugasnya.[1]
Hukum Administrasi Negara mengandunng dua aspek yaitu :
1.
Aturan-aturan yang hukum yang mengatur dengan
cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu melaksanakan tugasnya;
2.
Aturan-aturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara alat perlengkapan administrasi negara aatau pemerintah
dengan para warga nagaranya.[2]
Sedangkan Pengertian Hukum Acara Administrasi Negara (Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara) adalah rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu
sama lain untuk melaksanakan berjalannya Peraturan Hukum Tata Usaha Negara (
Hukum Adminsitrasi Negara).[3]
Dengan kata lain Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara adalah hukum yang
mengatur cara-cara bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, serta mengatur
hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa
tersebut.
Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum yang secara bersama-sama
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Undang – Undang tersebut dapat dikatakan sebagai suatu hukum
acara dalam arti luas, karena undang-undang ini tidak saja mengatur
tentang cara-cara berpekara di Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi juga
sekaligus mengatur tentang kedudukan, susunan dan kekuasaan dari Pengadilan
Tata Usaha Negara. Untuk hukum acara yang berlaku di Peradilan Tata Usaha
Negara tidak dapat digunakan Hukum Acara Tata Usaha Negara seperti halnya Hukum
Acara Pidana atau Hukum Acara Perdata, hal ini disebabkan karena Hukum Acara
Tata Usaha Negara mempunyai arti sendiri, yaitu peraturan yang mengatur tentang
tata cara pembuatan suatu ketetapan atau keputusan Tata Usaha Negara. Aturan
ini biasanya secara inklusif ada dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar pembuatan ketetapan atau kepusan Tata Usaha Negara tersebut. Oleh
karena itu untuk menghindari kerancuan dalam penggunaan istilah, maka sebaiknya
untuk hukum acara yang berlaku di Pengadilan Tata Usaha Negara digunakan
istilah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.[4]
b. Asas – Asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan Hukum Acara
Perdata, dengan beberapa perbedaan. Perbedaan – perbedaan itu antara lain :
- Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil
- Adanya ketidak seimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara). Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat (orang atau badan hukum perdata), adalah dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
- Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.
- Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata Usaha Negara yang digugat.
- Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang.
- Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.
- Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim membuat putusannya.
- Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.
- Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil dengan tujuan menyelaraskan, menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.
Dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa hukum acara
yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan
dengan hukum acara yang digunakan di peradilan umum untuk perkara perdata,
namum tidak begitu saja peraturan yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata
diterapkan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara, karena hal ini
dibatasi dengan prinsip dasar yang berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara,
terutama yang menyangkut masalah kompetensi (kewenangan mengadili). Peradilan
Tata Usaha Negara hanya berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara, yaitu
sengketa antara orang atau badan hukum dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa tentang sah atau tidaknya
suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara. Berdasarkan hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.
Yang dapat digugat di Peradilan Tata
Usaha Negara hanyalah badan atau Pejabat Tata Usaha Negara;
2.
Sengketa yang dapat diadili oleh adalah
sengketa mengenai sah atau tidaknya suatu kepuutusan Tata Usaha Negara, bukan
sengketa mengenai kepentingan hak.[5]
Oleh karna itu, Gugat balik (gugat reconvensi) dan gugat mengenai
ganti ru gi yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, semestinya tidak ada
dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, karena dalam gugat
balik bukan lagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, tetapi
adalah warga msasyarakat atau Badan Hukum Perdata. Sedang gugat ganti rugi sengketa
tentang kepentingan hak, yang merupakan wewenang Peradilan Umum untuk
mengadilinya. Sebaliknya berdasar ketentuan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 yang bertibdak sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha
Negara hanyalah orang atau Badan Hukum Perdata, sehingga tidak mungkin terjadi
saling menggugat antara sesama Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Di
Peradilan Tata Usaha Negara juga diberlakukan asas peradilan cepat, murah, dan
sederhana semacam asas praduga tak bersalah(presumption of innocent) seperti
yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana. Seorang Pejabat Tata Usaha Negara tetap
dianggap tidak bersalah di dalam membuat suatu keputusan Tata Usaha Negara
sebelum ada putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang
menyatakan ia salah membuat putusan Tata Usaha Negara.
Peradilan
Tata Usaha Negara juga mengenal peradilan in absentia sebagaimana
berlaku dalam peradilan Tindak Pidana Khusus, dimana siding berlangsung
tanpa hadirnya terugat. Menurut Pasal 72 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, bila
tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan 2 kali berturt-turut dan/atau
tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
walaupun setiap kali telah dipangil secara patut, maka hakim ketua siding
dengan surat penetapan meminta atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat
hadir dan/atau menanggapi gugatan. Setelah lewat 2 bulan sesudah dikirimakn
dengan surat tercatat penetapan dimaksud, tidak dieterima berita, baik dari atasan
terugat maupun dari tergugat sendiri, maka hakim ketua siding menetapkan hari
siding berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa,
tanpa hadir tergugat. Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya
setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya tetap dilakukan secara tuntas.[6]
c. Sumber Hukum Tata Usaha Negara ( Hukum Adminstrasi
Negara )
Sumber-sumber
formal Hukum Adminstarsi Negara adalah :
- Undang – Undang (Hukum Adminstrasi Negara tertulis)
- Praktik Adminsitrasi Negara (Hukum Administarsi Negara yeng merupakan kebiasaan)
- Yurisprudensi
- Anggapan para ahli Hukum Adminstrasi Negara (E. Utrect, 1964-74)
Mengenai
undang-undang sebagai sumber hukum tertulis, berbeda dengan Hukum Perdata atau
Hukum Pidana karena sampai sekarang Hukum Tata Usaha Negara belum terkodifikasi
sehingga Hukum Tata Usaha Negara masih tersebar dalam berbagai ragam
peraturan perundang-undangan.
Dengan
tidak adanya kodifikasi Hukum Tata Usaha Negara ini dapat menyulitkan para
hakim Peradilan Tata Usaha Negara untuk menemukan hukum di dalam memutus suatu
sengketa. Hal ini disebabkan karena Hukum Tata Usaha Negara tersebar
dalam berbagai ragam peraturan perundang-undang yang jumlahnya cukup banyak.
Beberapa bidang Hukum Tata Usaha Negara yang banyak menimbulkan sengketa,
misalnya bidang kepegawaian, agrarian, perizinan dan bidang perpajakan, yang
semuanya tersebar dalam berbagai ragam peraturan perundang-undangan, baik dalam
bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan
menteri, samapai pada keputusan dan peraturan kepala daerah.
Menurut
Donner kesulitan membuat kodifikasi Hukum Tata Usaha Negara disebabkan oleh
1. Peraturan-peraturan
Hukum Tata Usaha Negara berubah lebih cepat dan sering secara mendadak,
sedangkan peraturan-peraturan Hukum Privat dan Hukum Pidana berubah secara
berangsur-angsur saja.
2. Pembuatan
peraturan-peraturan Hukum Tata Usaha Negara tidak berada dalam satu
tangan. Diluar pembuat undang-undang pusat, hamper semua depatemen dan
semua pemerintah daerah swatantra membuat juga perauturan-peraturan Hukum
Adminsitrasi Negara sehingga lapangan Hukum Administrasi Negara beraneka warna
dan tidak bersistem (E. Utrect, 1964-75)[7]
B. MENGAJUKAN
GUGATAN DIPENGADILAN TATA USAHA NEGARA
a. Subjek dan
Objek Hukum Acara Administrasi Negara
Yang menjadi
subjek sengketa Tata Usaha Negara terkandung dalam Pasal 1
angka 10 UU No. 51 Tahun 2009
“Sengketa TUN
adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN baik di pusat maupun daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Serta Pasal 53 ayat 1 UU No. 9Tahun 2004
“Orang
atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi atau rehabilitasi”
Badan atau
pejabat TUN di lain pihak sebagai Tergugat adalah badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang
digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Pasal 1
butir 12 UU No. 51 Tahun 2009
Obyek
sengketa TUN adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata (pasal 1 angka 9 UU No.51 Tahun 2009)[8]
b. Pengugat Dan Tergugat
Pada
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yang dapat digugat di lingkungan
yang berhak menggugat atau menjadi penggugat adalah orang atau badan
hukum perdata yang merasa dirugikan karena dikeluarkannya suatu keputusan Tata
Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
Karena sengketa Tata Usaha Negara selalu berkaitan dengan dikeluarkannya suatu
keputusan Tata Usaha Negara, maka satu-satunya pihak yang dapat digugat adalah Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karena itu dalam Acara Peradilan Tata
Usaha Negara tidak dikenal adanya gugat balik atau gugat rekonvensi.
Menurut
Buys, walaupun pokok dalam perselisihan (objectum litis) terletak
dilapangan hukum publik, bila yang dirugikan adalah hak privat sehingga perlu
meminta ganti rugi, maka yang berwenang mengadili adalah hakim biasa atau
peradilan umum.[9]
c. Alasan Gugatan Dan Isi Gugatan
Dalam
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, seorang atau badan hukum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha
Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang,
berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau
rehabilitasi.
Selanjutnya
dalam Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam
gugatan adalah :
1. Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini apabila keputusan tersebut :
1.
Bertentangan dengan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural / formal
2.
Bertentangan dengan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersifat material / substansial
3.
Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang tidak berwenang
2. Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya
wewenang itu.
Alasan
ini dalam Hukum Adminstrasi Negara dikenal dengan istilah detournement de
proupoir atau penyalahgunaan wewenang. Dalam hal ini pejabat
Tata Usaha Negara yang bersangkutan sebenarnya mempunyai wewenang untuk membuat
keputusan tersebut, tetapi keputusan itu digunakan untuk tujuan yang lain dari
tujuan yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dibuatnya keputusan tersebut.
3. Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan
keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang terssankut dengan
keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil
keputusan tersebut.
Pada
alasan ini terlihat adanya suatu pengecualian dari adanya suatu syarat tertulis
bagi Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dijadikan alasan gugatan di
Pengadilan Tata Usaha Negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Pengecualian
ini dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diatur sebagai berikut
:
1. Apabila
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan
hal ini menjadi kewajibannya, maka hal ini disamakan dengan Keputusan Tata
Usaha Negara
2. Jika
suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan putusan yang
dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan Keputusan yang dimaksud
3. Dalam
hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu
empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakannya.
Suatu
gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat (Pasal
56 UPTUN) :
1. Nama,
kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau kuasanya
2. Nama,
jabatan, dan tempat tinggal tergugat
3. Dasar
gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan
Apabila
gugatan yang dibuat atau ditandatangani oleh kuasa penggugat, maka harus
disertai surat kuasa yang sah dan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan oleh penggugat, apabila Keputusan Tata Usaha Negara
yang hendak disengketakan itu tidak ada di tangan penggugat atau di tangan
pihak ketiga yang terkena akibat keputusan tersebut hakim dapat meminta kepada
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengirimkan kepada
Pengadilan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
Mengenai
tuntutan yang dapat dimintakan dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara
diatur dalam Pasal 97 ayat (9) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berbunyi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa :
- Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan;atau
- Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
- Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan Pasal 3
Sedang
Pasal 97 ayat (10) dan ayat (11) menyebutkan :
Ayat
(10) : Kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (9) dapat disertai pemberian ganti rugi
Ayat
(11) : Dalam hal putusan Pengadilan
sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (8) menyangkut kepegawaian, maka disamping
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai
pemberian rehabilitasi
Melihat
kedudukan dan bunyi Pasal 97 ayat (10) dan ayat (11) di atas merupakan hal
pengecualian dimana rehabilitasi hanya bisa diminta khusus dalam sengketa
kepegawaian.[10]
- Pengajuan Gugatan
Berdasarkan
Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, gugatan sengketa Tata Usaha
Negara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam
bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan
para pihak selama pemeriksaan. Dalam hal penggugat seorang buta huruf dan tidak
mampu membayar seorang pengacara, yang bersangkutan dapat meminta kepada
Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk membuat dan
merumuskan gugatannya.
Apabila
tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan
tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan
pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan
tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kedudukan
penggugat, maka gugatan diajukan kepada penagdilan tempat kedudukan penggugat
untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Dalam hal ini tanggal
diterimanya gugatan oleh panitera pengadilan tempat kedudukan penggugat
dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara yang berwenang. Sedangkan apabila penggugat dan tergugat di luar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila
tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan
diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara ditempat kedudukan terguggat.
Mengenai
sengketa Tata Usaha Negara yang menurut peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya
administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, gugatan harus diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
Berhubung
sengketa Tata Usaha Negara selalu berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara,
maka pengajuan gugatan ke pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya
keputusan yang bersangkutan. Menurut Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
gugatan hanya dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak
saat diterimanya atau diumumkan Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang bersangkutan. Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, maka tenggang waktu 90
hari itu dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal
diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan
perundang-undangan tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak
lewatnya batas waktu 4 bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang
bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut sudah lewat, maka hak untuk
menggugat menjadi gugur karena telah kadaluwarsa.
Diajukannya
suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda
atau menghalangi Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, ketentuan ini
didasarkan kepada asas praduga tak bersalah. Selama Keputusan Tata Usaha Negara
tersebut belum dinyatakan tidak sah (melawan hukum) dengan keputusan hakim yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka keputusan itu dianggap sah sehingga
harus tetap dilaksanakan. Namun penggugat dapat mengajukan permohonan agar
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa
Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Permohonan mengenai hal ini dapat diajukan
sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok
sengketanya. Permohonan ini dapat dikabulkan apabila terdapat keadaan yang
sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tetap dilaksanakan. Permohonan ini tidak
dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan
dilaksanakan keputusan ini.[11]
b. Penetapan Hari Sidang Dan Pemanggilan Para Pihak
Setelah
penggugat membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh
panitera, gugatan dicatat dalam daftar perkara. Persekot biaya perkara ini
nantinya akan diperhitungkan dengan biaya perkara sebagaimana dicantumkan dalam
amar putusan pengadilan(Pasal 59 UPTUN).
Biaya
perkara ini dibebankan kepada yang kalah (Pasal 111 UPTUN. Rincian
biaya tersebut terdiri dari :
- Biaya kepaniteraan
- Biaya saksi, ahli, dan alih bahasa, dengan catatan bahwa pihak yang minta pemeriksaan lebih dari 5 orang saksi; harus membayar untuk saksi yang lebih itu, meskipun pihak tersebut dimenangkan
- Biaya pemeriksaan ditempat lain dari ruang sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim ketua sidang.
Seorang
penggugat yang tidak mampu, yang dinyatakan dengan surat keterangan dari kepala
desa atau lurah dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan untuk
berpekara dengan Cuma-Cuma (Pasal 60 UPTUN).
Permohonan
untuk berpekara dengan cuma-cuma ini harus diperiksa dan ditetapkan oleh
pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. Penetapan pengadilan yang telah
mengabulkan permohonan penggugat untuk berpekara dengan cuma-cuma tersebut
tidak hanya berlaku ditingkat pertama, tetapi juga berlaku ditingkat banding
dan kasasi (Pasal 61 UPTUN).
Setelah
gugatan dicatat dalam daftar perkara, hakim menentukan hari, jam dan tempat
siding selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari sesudah gugatan dicatat
dan selanjutnya menyuruh memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan
tempat yang telah ditentukan. Surat panggilan kepada tergugat disertai salinan
gugatan denga pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan
tertulis (Pasal 59 UPTUN)
Dalam
penentuan hari siding ini hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat
tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan. Jangka waktu antara
pemanggilan dan hari siding tidak boleh kurang dari 6 hari, terkecuali dalam
hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara cepat. Pemanggilan terhadap
pihak yang bersangkutan duanggap sah apabila masing-masing yang menerima surat
pemanggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat.
Bilamana
salah satu pihak yang bersengketa berada di luar negeri, pemanggilan dilakukan
melalui Departemen Luar Negeri. Ketua Pengadilan yang bersangkutan melakukan
pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari siding beserta salinan
gugatan kepada Departemen Luar Negeri. Selanjutnya Departemen Luar Negeri
segera menyampaikan surat penetapan hari siding beserta salainan gugatan
tersebut melalui Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dalam
wilayah tempat yang bersangkutan berkedudukan atau berada. Selanjutnya petugas
Perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan dalam jangka waktu 7 hari sejak
dilakukan pemanggilan tersebut wajib member laporan kepada pengadilan yang
bersangkutan (Pasal 66 UPTUN).[12]
c. Kuasa Hukum
Berdasarkan pasal 36 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman, sebutan dan nama seseorang yang berfrofesi sebagai
pemberi bantuan hukum itu adalah penasehat hukum.[13]
Dalam
sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara para pihak dapat didampingi atau
diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa hukum. Pemberian kuasa
ini dapat dilakukan dengan membuat surat kuasa khusus atau dapat dilakukan
secara lisan di persidangan. Untuk surat kuasa yang dibuat diluar negeri
bentuknya harus memenuhi persyaratan yang berlaku dinegara yang bersangkutan
dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta
kemudian harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah
resmi (Pasal 57 UPTUN).
Walaupun
para pihak yang diwakili oleh kuasanya masing-masing, apabila dipandang perlu
hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersangkutan datang
menghadap.
Menurut
Pasal 84 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, apabila dalam persidangan seorang
kuasa melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat
mengajukan sangkalan secara tertulis disertai tuntutan agar tindakan kuasa
tersebut dinyatakan batal oleh pengadilan. Apabila sangkalan itu dikabulkan,
maka hakim wajib menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang, bahwa tindakan kuasa itu
dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dalam berita acara pemeriksaan.
Putusan tersebut dibacakan atau diberitahukan kepada para pihak yang
bersangkutan.[14]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum Administrasi Negara adalah hukum
atau aturan yang mempelajari bentuk serta akibat hukum yang dilakukan
oleh para pejabat dalam melakukan tugasnya.
Hukum Administrasi Negara mengandunng dua aspek yaitu :
3.
Aturan-aturan yang hukum yang mengatur
dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara itu melaksanakan tugasnya;
4.
Aturan-aturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara alat perlengkapan administrasi negara aatau pemerintah
dengan para warga nagaranya.
Sedangkan Pengertian Hukum Acara Administrasi Negara (Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara) adalah rangkaian
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu
sama lain untuk melaksanakan berjalannya Peraturan Hukum Tata Usaha Negara (
Hukum Adminsitrasi Negara).
Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum yang secara bersama-sama
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Undang – Undang tersebut dapat dikatakan sebagai suatu hukum
acara dalam arti luas, karena undang-undang ini tidak saja mengatur tentang
cara-cara berpekara di Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi juga sekaligus
mengatur tentang kedudukan, susunan dan kekuasaan dari Pengadilan Tata Usaha
Negara. Untuk hukum acara yang berlaku di
DAFTAR PUSTAKA
Kusnardi Moh,
1988, Hukum Tata Negara Indonesia, jakarta
: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV
Sinar Bakti
HR Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Abdullah Rozali,
2004, SH, Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Hakim,Lukman,
2012, Filosofi Kewenangan Oragan dan
Lembaga Daerah, Malang : Setara Press
Syarifin Pipin , 1999, Pengantar Ilmu Hukum, Bandunng : CV Pustaka Setia,
[1] Moh. Kusnardi SH Hukum Tata Negara Indonesia, (jakarta : Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar
Bakti, 1988), h. 35
[3] H.Rozali Abdullah, SH, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.1
[8] Dr. Lukman Hakim, SH, MH,
Filosofi Kewenangan Oragan dan Lembaga
Daerah, (Malang : Setara Press, 2012), h. 159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar