BAB I
PENDAHULUAN
Setiap individu
tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia saling
membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk bertahan hidup dan hidup
sebagai manusia. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama
tertentu yang bersifat contineu dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu.
Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan
manusia sebagai makhluk sosial tersebut maka masing-masing individu memiliki
kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya
dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan. Tatanan masyarakat pada umumnya
diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam
bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan.
Namun demikian nampaknya perintah dan larangan
saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu
diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan, dan juga norma hukum.Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi
kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan
perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama.
Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan
ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata
tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut
maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada.Sebagaimana diketahui
bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak
untuk berbuat jahat selalu ada dalam kehidupan manusia. Dalam islam sudah
diterangkan semua itu tinggal lagi kita untuk menjalankanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sanksi
Islam sebagai agama paripurna yang
mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam sistem sanksi (uqubat).
Dalam Islam, sanksi dijatuhkan kepada orang yang berdosa tanpa membedakan
apakah ia pejabat, rakyat, orang kaya atau miskin, juga apakah ia laki-laki
atau perempuan. Sistem sanksi dilaksanakan oleh pemerintah sebagai pelaksana
negara.
a.
Dasar Sistem
Pidana Dan Sanksi Dalam Islam
Prinsip dasar yang dibangun oleh
sistem pidana dan sanksi dalam Islam adalah -secara garis besar- : menjaga
kemashlahatan manusia, dan ini merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi
manusia. Kehidupan yang baik dan mulia tidak mungkin dapat dicapai kecuali
dengan prinsip-prinsip tersebut. Dan prinsip tersebut adalah:
1.
Kemashlahatan
Agama (Diin )
2.
Kemashlahatan
Jiwa (nafs)
3.
Kemashlahatan
Akal (aqli)
4.
Kemashlahatan
Keturunan (‘ardh)
5.
Kemashlahatan
Harta (mal)[1]
Dan penjatuhan
sanksi disyari’atkan untuk menjaga kemashlahatan tersebut.
Sedangkan
secara skala prioritas kemashlahatan memiliki urutan sebagai berikut:
·
Dharuriyat;
adalah kebutuhan yang sangat pokok dimana seseorang tidak dapat hidup kecuali
harus memenuhi kebutuhan pokok tersebut dan jika tidak terpenuhinya maka
mengakibatan kesulitan dan kesusahan atau bahkan tidak dapat hidup, seperti:
pembunuhan, penganiayaan, murtad, zina, dan lain-lain. Semua tindakan itu dan
semisalnya merupakan pelanggaran atas kebutuhan yang paling mendasar bagi
manusia (dharuriyat insaniyah ).
·
Hajiyat; adalah
kebutuhan yang pokok tetapi tanpanya manusia masih dapat hidup walaupun dalam
kondisi sulit, seperti tuduhan palsu, pemukulan yang tidak mengakibatkan
kematian, dan lain-lain.. Maka pelanggaran ini disebut pelanggaran pada masalah
mendasar bagi manusia.
·
Tahsiniyat;
adalah pelengkap kebutuhan dimana manusia dapat hidup tanpanya dengan tidak
mengalami kesulitan, seperti; pelanggaran pada masalah pelengkap kehidupan
untuk kebahagiaan manusia, seperti mencaci, menghina, dan lain-lain.[2]
Berikut ini
adalah fungsi hukum Islam.
1. Sebagai Upaya Pencegahan (Zawajir)
Sistem
sanksi dalam Islam dijatuhkan di dunia bagi si pendosa. Hal ini akan
mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Itulah alasan mengapa sanksi dalam
Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) karena sanksi akan mencegah
orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal.
2. Sebagai Penebus Dosa (Jawabir)
Sistem sanksi
dalam Islam pun berfungsi sebagai penebus. Dikatakan sebagai penebus karena
sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksinya di akhirat kelak. Atas dasar
itu, seseorang yang telah mendapat sanksi syariat di dunia, maka gugurlah
sanksinya di akhirat.
Dari penjelasan tersebut, kita bisa melihat kekhasan hukum Islam dengan hukum positif yang ada di negeri ini. Sanksi dalam Islam dijatuhkan kepada pelaku walaupun terdapat saling rida karena yang melandasinya adalah semata-mata keimanan kepada Allah swt.
Sanksi dibagi menjadi empat:
Dari penjelasan tersebut, kita bisa melihat kekhasan hukum Islam dengan hukum positif yang ada di negeri ini. Sanksi dalam Islam dijatuhkan kepada pelaku walaupun terdapat saling rida karena yang melandasinya adalah semata-mata keimanan kepada Allah swt.
Sanksi dibagi menjadi empat:
1.
hudûd;
2.
jinâyât;
3.
ta‘zîr; dan
4.
mukhâlafât.
Kadang-kadang,
istilah hudûd, jinâyât, ta‘zîr dan mukhâlafât juga dikonotasikan untuk tindak
pelanggarannya sendiri. Dengan demikian, keempat istilah tersebut masing-masing
bisa diartikan dalam konteks sanksinya maupun tindak pelanggarannya. Untuk itu,
kasus perzinaan dan sanksi zina bisa disebut dengan hudûd. Begitu pula untuk
istilah lainnya.
1. Hudûd
Hudûd
adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan
oleh syariah. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi.
Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudûd telah disampaikan di
majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena adanya pengampunan
atau kompromi. Hudûd dibagi menjadi enam:
1.
zina dan liwâth
(homoseksual dan lesbian);
2.
al-qadzaf
(menuduh zina orang lain);
3.
minum khamr;
4.
pencurian;
5.
murtad;
6.
hirâbah atau
bughât.
Pelaku zina yang berstatus perjaka atau perawan (ghayru muhshan) dikenai hukuman cambuk sebanyak 100 kali. Pelaku zina yang berstatus suami atau istri, janda atau duda, dijatuhi sanksi rajam. Sanksi homoseksual dan lesbian adalah hukuman mati. Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah cambuk 80 kali. Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan dari jumlah itu. Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi ‘syarat-syarat pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain sebagainya tidak boleh dikenai hukuman potong tangan.
Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan kepada si murtad untuk kembali kepada Islam.Pelaku tindak hirâbah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman mati. Jika mereka melakukan pembunuhan dan perampokan harta, hukumannya dibunuh dan disalib.
Pelaku bughât (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughât berbeda dengan perang melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughât hanyalah perang yang bersifat edukatif, bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughât tidak boleh diserang dengan senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanîmah.
2. Jinâyât
Jinâyât
adalah penyerangan terhadap manusia. Jinâyât dibagi dua:
1.
penyerangan
terhadap jiwa (pembunuhan);
2.
penyerangan
terhadap organ tubuh.
Kasus
jinâyât terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat,
atau kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis;
1.
pembunuhan
sengaja;
2.
mirip
disengaja;
3.
tidak sengaja;
4.
karena
ketidaksengajaan.
Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat, atau menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan, ia wajib membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting. Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-’amad) adalah diyat 100 ekor unta, dan 40 ekor di antaranya bunting. Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha’) diklasifikasi menjadi dua macam:
1.
Seseorang
melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun
tanpa sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang
memanah burung, namun terkena manusia hingga mati.
2.
Seseorang yang
membunuh orang yang dikiranya kafir harbi di dâr al-kufr, tetapi ternyata orang
yang dibunuhnya itu telah masuk Islam.
Pada
jenis pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan
membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak,
pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Dalam kasus kedua,
sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak wajib diyat. Sanksi untuk
pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan membebaskan
budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan
berturut-turut.
Adapun jinâyat terhadap organ tubuh, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan). Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada kasus penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja? Menurut fukaha, jika penyerangannya secara sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai tidak meminta qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan pada kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak ada qishash.
Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah, ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan apa yang disebut; misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil.
3. Ta‘zîr
Ta‘zîr adalah
sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya,
sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan
mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya. Di dalam buku ini, Dr.
Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh:
1.
pelanggaran
terhadap kehormatan;
2.
penyerangan
terhadap nama baik;
3.
tindak yang
bisa merusak akal;
4.
penyerangan
terhadap harta milik orang lain;
5.
ganggungan
terhadap keamanan atau privacy;
6.
mengancam
keamanan Negara;
7.
kasus-kasus
yang berkenaan dengan agama;
8.
kasus-kasus
ta‘zîr lainnya
4. Mukhâlafât
Mukhalafat
merupakan pelanggaran atau tidak patuh terhadap UU Negara atau ketetapan
Negara. Dr. Abdurrahman al-Maliki memisahkan kasus mukhâlafât dari ta‘zîr.
Pemisahan ini tentunya berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan
mukhâlafah dalam bab ta‘zîr. Menurut beliau, fakta mukhâlafât berbeda dengan
ta’zir. Oleh karena itu, mukhâlafât berdiri sendiri dan terpisah dari ta‘zîr.
Menurut beliau, mukhâlafât adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan oleh
Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.
B.
PENERAPAN
HUKUMAN TA’ZIR
A. Definisi
Secara
etimologi ta’zir adalah bentuk masdar dari kata kerja ‘azzara yang berarti raddu
walman’u yakni menolak dan mencegah, kata kerja ini juga berarti nashara yakni mendidik,
mengagungkan dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong. Secara
terminologis adalah pengajaran yang tidak sampai kepada ketentuan had dan dapat
mencegah pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya,yang betujuan untuk
mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian
meninggalkan dan menghentikannya. [3]Pengertian
ini sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wahbah
Zuhaili.
Menurut
istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :
والّتعزير تأ د ب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan
atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana)
Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
B. Dasar Disyari’atkannya Ta’zir
a.)
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah :
عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله. (رواه مسلم (
Dari
Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
“Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang
telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan
sebagainya.” (Riwayat Muslim)
b.) Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :
عن عا عشة ان النبي قال اقيلوا ذوى هيئا ت عسراتهم الا الحدود. (رواه احمد ابو داوود و النسائي و البيها قي
Dari
‘Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang
baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan
Baihakki)
Keterangan
hadist
·
Ampunkanlah
= اقيلوا
Iqalah
(Aqi-lu) menurut pengertian asalnya adalah kesepakatan penjual atas pembatalan
penjualan. Dan dimaksudkan disini adalah kesepakatan orang baik-baik itu untuk
meninggalkan hukuman atasnya atau peringanan hukumannya.
·
Orang-orang
yang baik = ذوى هيئا ت
Ditafsirkan
Imam Syafi’i dengan orang-orang yang tidak diketahui berbuat jelek yang pada
suatu ketika dia berbuat salah.
·
Kegelinciran
= عسراتهم
Atsarat
adalah jamak dari kata “Atsarah” (tergelincir), tetapi yang dimaksud disini
adalah kesalahan. Al-Mawardi meriwayatkan tentang hal itu dengan 2 pengertian,
yaitu :
1.)
Mereka itu
hanya melakukan dosa-dosa kecil saja
2.)
Baru pertama
kali berbuat ma’siat yang menjadikan tergelincirnya orang yang biasa patuh.
c.) Hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :
عن بهز ابن حكيم عن ابي عن جدّه, أنّ النّبيّ صلى الله عليه وسلّم حبس فى التهمة (رواه ابو داود و التّرمذي و النسا ئى والبيهقى و صّحيحه الحاكم(
Dari
Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menahan seseorang
karena disangka melakukan kejahatan. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud,
Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).
C.
Hikmah
Disyari’atkannya Hukuman Ta’zir serta Perbedaannya dengan Hukuman Hadd
Islam
mensyariatkan hukuman ta’zir sebagai tindakan edukatif terhadap orang-orang
yang berbuat maksiat atau orang-orang yang keluar dari tatanan peraturan.
Hikmahnya adalah sama dengan hikmah yang ada dalam hukuman hadd, yaitu: bahwa
hukuman merupakan penghapus dosa, sehingga orang yang terkena hukuma itu tidak
disiksa lagi di akherat nanti. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ubaidah bin Shamit yang menceritakan,
bahwa sewaktu dia bersama Rasulullah dalam suatu majelis, beliau berkata:
تبايعونى على ان لا تشركوا بالله شيــا ولا تزنوا ولا تسر قوا ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق فمن وفىمنكم فأجره على الله ومن اصاب شيــا من ذلك فعوقب به فهو كفارة له، ومن اصاب شيــا من ذلك فستره الله عليهفأمره الى الله إن شآءعفا عنه وإن شاءعذبه
“ Berjanjilah kamu sekalian di hadapanku untuk
tidak menyekutukan Allah, untuk tidak berzina, untuk tidak mencuri dan untuk
tidak membunuh nyawa yang diharamkan oleh Allah, kecuali dengan hak.
Barangsiapa yang teguh dengan janjinya, maka balasannya tersedia di itangan
Allah. Tetapi barangsiapa yang masih saja melanggar salah satu di antara
janji-janjinya itu, maka dia akan dikenai hukuman sebagai penghapus dosa
tersebut baginya. Barangsiapa siapa yang masih juga melanggra janji-janjinya
itu tetapi ditutupi oleh Allah, maka persoalannya terserah pula kepada Allah.
Jika Dia menghendaki untuk mengampuninya, maka ia diampuni-Nya, dan jika
sebaliknya, maka orang yang bersangkutan itu akan disiksa.”
D.
Perbedaan
Hukuman Hadd dengan Hukuman Ta’zir
1.
Pelaksanaan
hukuman hadd tanpa pandang bulu, lain dengan hukuman ta’zir yang pelaksanaannya
berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing orang.
2.
Dalam kasus
hadd, tidak diperkenankan meminta grasi sesudah kasusnya dilaporkan kepada sang
hakim, sedangkan dalam kasus hukuman ta’zir hal itu diperbolehkan.
3.
Sesungguhnya
orang yang mati akibat hukuman ta’zir, orang yang melaksanakannya harus
bertanggung jawab terhadap kematiannya. Namun menurut Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik mengatakan bahwa dalam kasus ini tidak ada ganti rugi dan tidak ada
apa-apa, sebab pelaksanaan ta’zir dan hadd sama saja.
E.
Bentuk Hukuman
Ta’zir
Hukuman
ta’zir adakalanya dengan ucapan seperti penghinaan, peringatan dan nasehat, dan
terkadang dengan perbuatan sesuai dengan kondisi yang ada, seperti juga ta’zir
itu dilakukan dengan pukulan, kurungan, pasungan, pengasingan, pengisoliran dan
skors.
Abu Daud telah meriwayatkan sebuah hadits:
أنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم بمخنث قد خضب يديه ورجليه بالحناء فقال صلى الله عليه وسلم: مابال هذا؟.... فقالوا: يتشبه بالنسآء فأمر به فنفي إلى البيع، فقالوا: يا رسول الله نقتله؟.... فقال صلى الله عليه وسلم إنىنهيت عن قتل المصلين.
“ bahwa pada suatu ketika dihadapkan kepada
Nabi saw. seorang waria yang mengecat kuku jari-jari tangan dan kakinya dengan
pacar (cutex). Kemudian Nabi saw. bersabda: “apakah yang dilakukannya?” para
sahabat berkata: “ia meniru-niru kaum wanita.” Lalu beliau Nabi saw
memerintahkan agar orang tersebut di asingkan di tanah Baqi.’Mereka bertanya
“wahai Rasulullah saw, apakah kami lebih baik membunuhnya?” beliau menjawab:
“sesungguhnya aku melarang orang-orang yang mendirikan shalat dibunuh.”
a.
Ta’zir Lebih
Dari Sepuluh Kali Cambukan
Pada
waktu yang lalu telah disebutkan tentang haditsnya Haani’ ibnu Nayyar yang
menjelaskan tentang larangan menimpakan hukuman ta’zir lebih dari sepuluh kali
deraan cambuk.
Hadits
ini dijadikan pegangan oleh Imam Ahmad, al-Laits, Ishaq dan sekelompok Imam
Syafi’i. untuk itu maka mereka mengatakan: “tidak boleh menjatuhkan
(hukuman ta’zir) lebih dari sepuluh kali deraan yang telah ditentukan oleh
syari’at.”
Adapun Imam Malik, asy-Syafi’i, Zaid ibnu ‘Ali
dan lain-lainnya, mereka memperbolehkan lebih dari sepuluh kali deraan, akan
tetapi jangan sampai melewati batas minimal hukuman hadd (sangsi pidana).
Sekelompok
ulama’ fiqh mengatakan, bahwa hukuman ta’zir terhadap suatu perbuatan maksiat
tidak boleh melebihi hukuman hadd perbuatan maksiat.
Maka dari itu hukuman ta’zir pandangan maksiat
dan bersekulit tidak boleh melebihi hukuman zina. Dan juga mencuri yang bukan
dari tempat simpanannya, tidak boleh menghukumnya dengan memotong tangannya,
dan mencaci selain menuduh zina tidak boleh menjatuhkan hukuman ta’zir seperti
hukuman hadd menuduh zina.
Dan
ada pula yang mengatakan, bahwa waliyyu’l-amri hendaknya berijtihad serta
mengira-ngirakan hukuman sesuai dengan kemaslahatan dan kadarnya pelanggaran.
b.
Ta’zir dengan
Hukuman Mati
Hukuman
ta’zir dengan membunuh pelaku pelanggaran diperbolehkan oleh sebagian para
ulama’ dan sebagian lainnya melarangnya.
Disebutkan
dalam kitabnya Ibnu Abidin menukil dari pendapat al-Hafizh ibnu Taymiyyah:
“sesungguhnya di antara pokok-pokok kalangan madzab Hanafi adalah bahwa
kejahatan yang tidak dianggap sebagai pembunuhan yang memenuhi syarat di antara
mereka, seperti membunuh dengan benda yang berat, dan perbuatan homoseks.
Bilamana perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka sang Imam
diperbolehkan menjatuhkan hukuman mati terhadap ppelakunya, sebagaimana sang
Imam pun diperbolehkan melebihkan hukuman hadd dari yang telah ditentukan,
bilamana beliau melihat kemaslahatan dalam hal tersebut.
c.
Hukuman Ta’zir
dengan Merampas Harta Benda
Hukuman
ta’zir berupa pengambilan harta benda si pelanggar diperbolehkan, ini adalah
pendapat yang dianut oleh madzabnya Abu Yusuf, di akui pula oleh Imam Malik.
Pengarang kitab Mu’ienu’l-kalaam mengatakan:
“barang siapa mengatakan bahwa hukuman harta benda dimansukh (diralat), berarti
ia telah menyalahkan pendapat para Imam mujtahidin baik secara naqliy (dalil
al-Qur’an atau Hadits) maupun secara istidlaliy (berdasarkan ijtihad mereka).
Bukankan suatu hal yang mudah menuduh bahwa okum tersebut dimansukh. Pada
hakikatnya orang-orang yang menuduh bahwa okum ini dimansukh, tidak mempunyai
dalil sunnah maupun ijma’ yang mendukung pendapat mereka, kecuali hanya
perkataan mereka saja yang mengatakan bahwa pendapat teman-teman kami ini tidak
benar.”
Dan Ibu’l-Qayyim meriwayatkan, bahwa Nabi saw.
Pernah menjatuhkan hukuman ta’zir dengan melarang bagian orang yang berhak dari
harta rampasankaum muslimin, karena dia membuat suatu pelanggaran. Dan beliau
saw. Memberikan maklumat tentang hukuman ta’zir orang yang tidak mau membayar
zakat, yaitu dengan mengambil sebagian dari harta si pelanggar. Untuk itu Nabi
saw. Bersabda dalam suatu periwayatan yang diceritakan oleh Ahmad, Abu Daud,
dan an-Nasaiy:
من أعطاها مؤتجرا فله أجرها. ومن منعها فإنا آخذوها وشطر ماله، عزمة من عزمات ربنا.
“Barang siapa memberikan zakat demi
mengharapkan pahala, maka ia akan memperoleh pahalanya. Dan barang siapa yang
menolaknya, maka sesungguhnya kami akan mengambilnya dan sebagian dari hartanya
sebagai penebus kepastian perintah Tuhan kami.”
d.
Hukuman Ta’zir
Adalah Hak Hakim Sepenuhnya
Hukuman
ta’zir sepenuhnya ada di tangan hakim, sebab beliaulah memegang tampuk
pemerintahan kaum muslimin.
Dan dalam kitab Subulu’s-Salaam disebutkan:
Hukuman ta’zir tidak diperkenankan selain dari imam kecuali dari tiga orang
berikut ini:
1.
Ayah,
beliau boleh menjatuhkan ta’zir
terhadap anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif, dan mencegahnya dari
akhlak yang jelek. Menurut pendapat yang kuat, bahwa sang ibuu pun boleh
berbuat serupa selagi sang anak masih berada dalam asuhannya, dan boleh pula
memerintahkan anaknya sholat, bila membangkang diperbolehkan sang ibu
memukulnya. Dan sang ayah tidak berhal menta’zir anak yang sudah baligh
sekalipun anaknya dikategorikan safih (idiot).
2.
Majikan,
sang majikan diperbolehkan menta’zir hambanya
baik yang bersangkutan dengan hak dirinya atau hak Allah, demikianlah menurut
pendapat yang lebih shahih.
3.
Suami,
sang suami diperbolehkan menta’zir istrinya
dalam masalah nusuz (cekcok), sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an.
Bahkan dalam pendapat yang kuat, sang suami berhak memukul istrinya terhadap
kasus meninggalkan shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya, bilamana ternyata
sang istri tidak mempan dengan perhatian omongan, sebab ini termasuk bab
mengingkari barang yang munkar. Sedangkan sang suami adalah termasuk salah satu
di antara orang yang terkena taklif untuk melakukan pengingkaran baik dengan
tangan, atau dengan lisan atau dengan hati. Adapun yang dimaksud di sini adalah
dua hal yang pertama tadi.
Demikian pula sang guru boleh melakukan hal itu
terhadap muridnya dengan tujuan edukatif/ mendidik anak-anak.
Hukuman Bagi Kesalahan Ta’zir
1.
Ta`zir adalah
hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh
syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar hukum ta`zir
adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan.
Pelaksanaannya pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya
yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil. (جلب
المصالح).[4]
2.
Dalam
menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah
menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai
dengan prinsip syar'i. (الضرر
يزال)[5]
3.
Bentuk sanksi
ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar dapat
dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa dikenakan
pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk, hukuman penjara,
hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman
denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan,
pemecatan, dan publikasi. [6]
Disamping itu dilihat dari segi
dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu
sebagai berikut.
1.
Jarimah ta’zir
yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya
tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab,
atau oleh keluarga sendiri.
2.
Jarimah ta’zir
yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan,
seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3.
Jarimah ta’zir
yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini
sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai
pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas. [7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah. Adapun Imam Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu tidak wajib.
Dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah. Adapun Imam Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu tidak wajib.
Dari uraian singkat
tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang menarik perhatian kita
untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang pengertian atau definisi
hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan, yaitu :
·
Kita dapat
menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling
ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat
kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
·
Rasulullah
melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah
ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya
oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tujukan untuk
mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Almursihusain Jauhari, Ahmad maqasid syariah, Jakarta : Amzah,
2009
Irfan, Nurul, M.Ag korupsi dalam hukum pidana islam Jakarta
: Amzah 2011
Santoso, Topo SH.MH menggagas hukum pidana islam Bandung :
Asy Syaamil 2001
Mujib, Abdul kaidah-kaidah
ilmu fiqih Jakarta : Kalam Mulia 2010
Alquran digital
format chm
[1]Ahmad almursihusain jauhari maqasid syariah (amzah : Jakarta
2009) hal xiii
[2] Ibid Ahmad almursihusain jauhari hal xvi - dharuriyah dikelompokkan
kedalam maqasid syariah yang 5 (agama,jiwa,akal,keturunan dan harta)
[3] Dr.H.M.Nurul Irfan, M.Ag korupsi dalam hukum pidana islam
(Jakarta : amzah 2011) hal.127
[4] Drs.H Abdul Mujib, kaidah-kaidah ilmu fiqih (Jakarta : Kalam
Mulia 2010) hlm. 10
[5] Ibid hlm 9
[6] Dr.H.M.Nurul Irfan, M.Ag korupsi dalam hukum pidana islam
(Jakarta : amzah 2011) hal.132
[7] Topo santoso SH.MH menggagas hukum pidana islam (bandung :
asy syaamil 2001) hlm.146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar