Powered By Blogger

jam

_

assalammualaikum

semoga bermanfaat

Rabu, 29 Oktober 2014

SANKSI DAN PENERAPAN HUKUM TA'ZIR



BAB I
PENDAHULUAN
            Setiap individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama sekali selama-lamanya. Manusia saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya untuk bertahan hidup dan hidup sebagai manusia. Sifat saling tergantung ini menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat contineu dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk sosial, itu hampir tidak diragukan lagi. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut maka masing-masing individu memiliki kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan. Tatanan masyarakat pada umumnya diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan.
             Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama. Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada.Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat selalu ada dalam kehidupan manusia. Dalam islam sudah diterangkan semua itu tinggal lagi kita untuk menjalankanya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sanksi
            Islam sebagai agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam sistem sanksi (uqubat).  Dalam Islam, sanksi dijatuhkan kepada orang yang berdosa tanpa membedakan apakah ia pejabat, rakyat, orang kaya atau miskin, juga apakah ia laki-laki atau perempuan. Sistem sanksi dilaksanakan oleh pemerintah sebagai pelaksana negara.
a.      Dasar Sistem Pidana Dan Sanksi Dalam Islam
            Prinsip dasar yang dibangun oleh sistem pidana dan sanksi dalam Islam adalah -secara garis besar- : menjaga kemashlahatan manusia, dan ini merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia. Kehidupan yang baik dan mulia tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan prinsip-prinsip tersebut. Dan prinsip tersebut adalah:
1.      Kemashlahatan Agama (Diin )
2.      Kemashlahatan Jiwa (nafs)
3.      Kemashlahatan Akal (aqli)
4.      Kemashlahatan Keturunan (‘ardh)
5.      Kemashlahatan Harta (mal)[1]
Dan penjatuhan sanksi disyari’atkan untuk menjaga kemashlahatan tersebut.
Sedangkan secara skala prioritas kemashlahatan memiliki urutan sebagai berikut:
·         Dharuriyat; adalah kebutuhan yang sangat pokok dimana seseorang tidak dapat hidup kecuali harus memenuhi kebutuhan pokok tersebut dan jika tidak terpenuhinya maka mengakibatan kesulitan dan kesusahan atau bahkan tidak dapat hidup, seperti: pembunuhan, penganiayaan, murtad, zina, dan lain-lain. Semua tindakan itu dan semisalnya merupakan pelanggaran atas kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia (dharuriyat insaniyah ).
·         Hajiyat; adalah kebutuhan yang pokok tetapi tanpanya manusia masih dapat hidup walaupun dalam kondisi sulit, seperti tuduhan palsu, pemukulan yang tidak mengakibatkan kematian, dan lain-lain.. Maka pelanggaran ini disebut pelanggaran pada masalah mendasar bagi manusia.
·         Tahsiniyat; adalah pelengkap kebutuhan dimana manusia dapat hidup tanpanya dengan tidak mengalami kesulitan, seperti; pelanggaran pada masalah pelengkap kehidupan untuk kebahagiaan manusia, seperti mencaci, menghina, dan lain-lain.[2]
Berikut ini adalah fungsi hukum Islam.
1. Sebagai Upaya Pencegahan (Zawajir)
            Sistem sanksi dalam Islam dijatuhkan di dunia bagi si pendosa. Hal ini akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Itulah alasan mengapa sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) karena sanksi akan mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal.

2. Sebagai Penebus Dosa (Jawabir)
            Sistem sanksi dalam Islam pun berfungsi sebagai penebus. Dikatakan sebagai penebus karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksinya di akhirat kelak. Atas dasar itu, seseorang yang telah mendapat sanksi syariat di dunia, maka gugurlah sanksinya di akhirat.
            Dari penjelasan tersebut, kita bisa melihat kekhasan hukum Islam dengan hukum positif yang ada di negeri ini. Sanksi dalam Islam dijatuhkan kepada pelaku walaupun terdapat saling rida karena yang melandasinya adalah semata-mata keimanan kepada Allah swt.
            Sanksi dibagi menjadi empat:
1.      hudûd;
2.      jinâyât;
3.      ta‘zîr; dan
4.      mukhâlafât.
            Kadang-kadang, istilah hudûd, jinâyât, ta‘zîr dan mukhâlafât juga dikonotasikan untuk tindak pelanggarannya sendiri. Dengan demikian, keempat istilah tersebut masing-masing bisa diartikan dalam konteks sanksinya maupun tindak pelanggarannya. Untuk itu, kasus perzinaan dan sanksi zina bisa disebut dengan hudûd. Begitu pula untuk istilah lainnya.

1. Hudûd
            Hudûd adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudûd telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi.  Hudûd dibagi menjadi enam:
1.      zina dan liwâth (homoseksual dan lesbian);
2.      al-qadzaf (menuduh zina orang lain);
3.      minum khamr;
4.      pencurian;
5.      murtad;
6.      hirâbah atau bughât.  

            Pelaku zina yang berstatus perjaka atau perawan (ghayru muhshan) dikenai hukuman cambuk sebanyak 100 kali. Pelaku zina yang berstatus suami atau istri, janda atau duda, dijatuhi sanksi rajam. Sanksi homoseksual dan lesbian adalah hukuman mati. Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah cambuk 80 kali. Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan dari jumlah itu. Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi ‘syarat-syarat pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain sebagainya tidak boleh dikenai hukuman potong tangan. 

            Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan kepada si murtad untuk kembali kepada Islam.Pelaku tindak hirâbah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman mati. Jika mereka melakukan pembunuhan dan perampokan harta, hukumannya dibunuh dan disalib. 

            Pelaku bughât (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughât berbeda dengan perang melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughât hanyalah perang yang bersifat edukatif, bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughât tidak boleh diserang dengan senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanîmah.

2. Jinâyât
            Jinâyât adalah penyerangan terhadap manusia. Jinâyât dibagi dua:
1.      penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan);
2.      penyerangan terhadap organ tubuh.
            Kasus jinâyât terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat, atau kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis;
1.      pembunuhan sengaja;
2.      mirip disengaja;
3.      tidak sengaja;
4.      karena ketidaksengajaan. 

            Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat, atau menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan, ia wajib membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting. Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-’amad) adalah diyat 100 ekor unta, dan 40 ekor di antaranya bunting. Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha’) diklasifikasi menjadi dua macam:
1.       Seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun tanpa sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang memanah burung, namun terkena manusia hingga mati.
2.       Seseorang yang membunuh orang yang dikiranya kafir harbi di dâr al-kufr, tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah masuk Islam.
            Pada jenis pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Dalam kasus kedua, sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak wajib diyat. Sanksi untuk pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan membebaskan budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. 

            Adapun jinâyat terhadap organ tubuh, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan). Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada kasus penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja? Menurut fukaha, jika penyerangannya secara sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai tidak meminta qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan pada kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak ada qishash. 

            Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah, ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan apa yang disebut; misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil. 

3. Ta‘zîr 
            Ta‘zîr adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya. Di dalam buku ini, Dr. Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh:
1.   pelanggaran terhadap kehormatan;
2.   penyerangan terhadap nama baik;
3.   tindak yang bisa merusak akal;
4.   penyerangan terhadap harta milik orang lain;
5.   ganggungan terhadap keamanan atau privacy;
6.   mengancam keamanan Negara;
7.   kasus-kasus yang berkenaan dengan agama;
8.   kasus-kasus ta‘zîr lainnya

4. Mukhâlafât
            Mukhalafat merupakan pelanggaran atau tidak patuh terhadap UU Negara atau ketetapan Negara. Dr. Abdurrahman al-Maliki memisahkan kasus mukhâlafât dari ta‘zîr. Pemisahan ini tentunya berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan mukhâlafah dalam bab ta‘zîr. Menurut beliau, fakta mukhâlafât berbeda dengan ta’zir. Oleh karena itu, mukhâlafât berdiri sendiri dan terpisah dari ta‘zîr. Menurut beliau, mukhâlafât adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan oleh Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.

B.     PENERAPAN HUKUMAN TA’ZIR

A.  Definisi
            Secara etimologi ta’zir adalah bentuk masdar dari kata kerja ‘azzara yang berarti raddu walman’u yakni menolak dan mencegah, kata kerja ini juga berarti nashara yakni mendidik, mengagungkan dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong. Secara terminologis adalah pengajaran yang tidak sampai kepada ketentuan had dan dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya,yang betujuan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. [3]Pengertian ini sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah  dan Wahbah Zuhaili.
            Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :

والّتعزير تأ د ب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.

     Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana)
     Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

B.  Dasar Disyari’atkannya Ta’zir
            a.)    Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah :

عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول :  لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله. (رواه مسلم (
            Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan sebagainya.” (Riwayat Muslim) 

b.)    Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :

عن عا عشة ان النبي قال اقيلوا ذوى هيئا ت عسراتهم الا الحدود. (رواه احمد ابو داوود و النسائي و البيها قي
            Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki) 
            Keterangan hadist
·         Ampunkanlah =  اقيلوا
            Iqalah (Aqi-lu) menurut pengertian asalnya adalah kesepakatan penjual atas pembatalan penjualan. Dan dimaksudkan disini adalah kesepakatan orang baik-baik itu untuk meninggalkan hukuman atasnya atau peringanan hukumannya.
·         Orang-orang yang baik = ذوى هيئا ت
            Ditafsirkan Imam Syafi’i dengan orang-orang yang tidak diketahui berbuat jelek yang pada suatu ketika dia berbuat salah.
·         Kegelinciran =  عسراتهم
            Atsarat adalah jamak dari kata “Atsarah” (tergelincir), tetapi yang dimaksud disini adalah kesalahan. Al-Mawardi meriwayatkan tentang hal itu dengan 2 pengertian, yaitu :
1.)        Mereka itu hanya melakukan dosa-dosa kecil saja
2.)        Baru pertama kali berbuat ma’siat yang menjadikan tergelincirnya orang yang biasa patuh.

c.)    Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :

عن بهز ابن حكيم عن ابي عن جدّه, أنّ النّبيّ صلى الله عليه وسلّم حبس    فى التهمة (رواه ابو داود و التّرمذي و النسا ئى والبيهقى و صّحيحه الحاكم(
            Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim). 

C.     Hikmah Disyari’atkannya Hukuman Ta’zir serta Perbedaannya dengan Hukuman Hadd
            Islam mensyariatkan hukuman ta’zir sebagai tindakan edukatif terhadap orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang yang keluar dari tatanan peraturan. Hikmahnya adalah sama dengan hikmah yang ada dalam hukuman hadd, yaitu: bahwa hukuman merupakan penghapus dosa, sehingga orang yang terkena hukuma itu tidak disiksa lagi di akherat nanti. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ubaidah bin Shamit yang menceritakan, bahwa sewaktu dia bersama Rasulullah dalam suatu majelis, beliau berkata:

تبايعونى على ان لا تشركوا بالله شيــا ولا تزنوا ولا تسر قوا ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق فمن وفىمنكم فأجره على الله ومن اصاب شيــا من ذلك فعوقب به فهو كفارة له، ومن اصاب شيــا من ذلك فستره الله عليهفأمره الى الله إن شآءعفا عنه وإن شاءعذبه

“ Berjanjilah kamu sekalian di hadapanku untuk tidak menyekutukan Allah, untuk tidak berzina, untuk tidak mencuri dan untuk tidak membunuh nyawa yang diharamkan oleh Allah, kecuali dengan hak. Barangsiapa yang teguh dengan janjinya, maka balasannya tersedia di itangan Allah. Tetapi barangsiapa yang masih saja melanggar salah satu di antara janji-janjinya itu, maka dia akan dikenai hukuman sebagai penghapus dosa tersebut baginya. Barangsiapa siapa yang masih juga melanggra janji-janjinya itu tetapi ditutupi oleh Allah, maka persoalannya terserah pula kepada Allah. Jika Dia menghendaki untuk mengampuninya, maka ia diampuni-Nya, dan jika sebaliknya, maka orang yang bersangkutan itu akan disiksa.”

D.    Perbedaan Hukuman Hadd dengan Hukuman Ta’zir
1.        Pelaksanaan hukuman hadd tanpa pandang bulu, lain dengan hukuman ta’zir yang pelaksanaannya berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing orang.
2.        Dalam kasus hadd, tidak diperkenankan meminta grasi sesudah kasusnya dilaporkan kepada sang hakim, sedangkan dalam kasus hukuman ta’zir hal itu diperbolehkan.
3.        Sesungguhnya orang yang mati akibat hukuman ta’zir, orang yang melaksanakannya harus bertanggung jawab terhadap kematiannya. Namun menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan bahwa dalam kasus ini tidak ada ganti rugi dan tidak ada apa-apa, sebab pelaksanaan ta’zir dan hadd sama saja.

E.     Bentuk Hukuman Ta’zir
            Hukuman ta’zir adakalanya dengan ucapan seperti penghinaan, peringatan dan nasehat, dan terkadang dengan perbuatan sesuai dengan kondisi yang ada, seperti juga ta’zir itu dilakukan dengan pukulan, kurungan, pasungan, pengasingan, pengisoliran dan skors.
Abu Daud telah meriwayatkan sebuah hadits:

أنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم بمخنث قد خضب يديه ورجليه بالحناء فقال صلى الله عليه وسلممابال هذا؟.... فقالوايتشبه بالنسآء فأمر به فنفي إلى البيع، فقالوايا رسول الله نقتله؟.... فقال صلى الله عليه وسلم إنىنهيت عن قتل المصلين.

“ bahwa pada suatu ketika dihadapkan kepada Nabi saw. seorang waria yang mengecat kuku jari-jari tangan dan kakinya dengan pacar (cutex). Kemudian Nabi saw. bersabda: “apakah yang dilakukannya?” para sahabat berkata: “ia meniru-niru kaum wanita.” Lalu beliau Nabi saw memerintahkan agar orang tersebut di asingkan di tanah Baqi.’Mereka bertanya “wahai Rasulullah saw, apakah kami lebih baik membunuhnya?” beliau menjawab: “sesungguhnya aku melarang orang-orang yang mendirikan shalat dibunuh.”
           
a.       Ta’zir Lebih Dari Sepuluh Kali Cambukan
            Pada waktu yang lalu telah disebutkan tentang haditsnya Haani’ ibnu Nayyar yang menjelaskan tentang larangan menimpakan hukuman ta’zir lebih dari sepuluh kali deraan cambuk.
            Hadits ini dijadikan pegangan oleh Imam Ahmad, al-Laits, Ishaq dan sekelompok Imam Syafi’i. untuk itu  maka mereka mengatakan: “tidak boleh menjatuhkan (hukuman ta’zir) lebih dari sepuluh kali deraan yang telah ditentukan oleh syari’at.”
Adapun Imam Malik, asy-Syafi’i, Zaid ibnu ‘Ali dan lain-lainnya, mereka memperbolehkan lebih dari sepuluh kali deraan, akan tetapi jangan sampai melewati batas minimal hukuman hadd (sangsi pidana).
            Sekelompok ulama’ fiqh mengatakan, bahwa hukuman ta’zir terhadap suatu perbuatan maksiat tidak boleh melebihi hukuman hadd perbuatan maksiat.
Maka dari itu hukuman ta’zir pandangan maksiat dan bersekulit tidak boleh melebihi hukuman zina. Dan juga mencuri yang bukan dari tempat simpanannya, tidak boleh menghukumnya dengan memotong tangannya, dan mencaci selain menuduh zina tidak boleh menjatuhkan hukuman ta’zir seperti hukuman hadd menuduh zina.
            Dan ada pula yang mengatakan, bahwa waliyyu’l-amri hendaknya berijtihad serta mengira-ngirakan hukuman sesuai dengan kemaslahatan dan kadarnya pelanggaran.

b.      Ta’zir dengan Hukuman Mati
            Hukuman ta’zir dengan membunuh pelaku pelanggaran diperbolehkan oleh sebagian para ulama’ dan sebagian lainnya melarangnya.
            Disebutkan dalam kitabnya Ibnu Abidin menukil dari pendapat al-Hafizh ibnu Taymiyyah: “sesungguhnya di antara pokok-pokok kalangan madzab Hanafi adalah bahwa kejahatan yang tidak dianggap sebagai pembunuhan yang memenuhi syarat di antara mereka, seperti membunuh dengan benda yang berat, dan perbuatan homoseks. Bilamana perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka sang Imam diperbolehkan menjatuhkan hukuman mati terhadap ppelakunya, sebagaimana sang Imam pun diperbolehkan melebihkan hukuman hadd dari yang telah ditentukan, bilamana beliau melihat kemaslahatan dalam hal tersebut.

c.       Hukuman Ta’zir dengan Merampas Harta Benda
            Hukuman ta’zir berupa pengambilan harta benda si pelanggar diperbolehkan, ini adalah pendapat yang dianut oleh madzabnya Abu Yusuf, di akui pula oleh Imam Malik.
Pengarang kitab Mu’ienu’l-kalaam mengatakan: “barang siapa mengatakan bahwa hukuman harta benda dimansukh (diralat), berarti ia telah menyalahkan pendapat para Imam mujtahidin baik secara naqliy (dalil al-Qur’an atau Hadits) maupun secara istidlaliy (berdasarkan ijtihad mereka). Bukankan suatu hal yang mudah menuduh bahwa okum tersebut dimansukh. Pada hakikatnya orang-orang yang menuduh bahwa okum ini dimansukh, tidak mempunyai dalil sunnah maupun ijma’ yang mendukung pendapat mereka, kecuali hanya perkataan mereka saja yang mengatakan bahwa pendapat teman-teman kami ini tidak benar.”
Dan Ibu’l-Qayyim meriwayatkan, bahwa Nabi saw. Pernah menjatuhkan hukuman ta’zir dengan melarang bagian orang yang berhak dari harta rampasankaum muslimin, karena dia membuat suatu pelanggaran. Dan beliau saw. Memberikan maklumat tentang hukuman ta’zir orang yang tidak mau membayar zakat, yaitu dengan mengambil sebagian dari harta si pelanggar. Untuk itu Nabi saw. Bersabda dalam suatu periwayatan yang diceritakan oleh Ahmad, Abu Daud, dan an-Nasaiy:

من أعطاها مؤتجرا فله أجرهاومن منعها فإنا آخذوها وشطر ماله، عزمة من عزمات ربنا.

“Barang siapa memberikan zakat demi mengharapkan pahala, maka ia akan memperoleh pahalanya. Dan barang siapa yang menolaknya, maka sesungguhnya kami akan mengambilnya dan sebagian dari hartanya sebagai penebus kepastian perintah Tuhan kami.”

d.      Hukuman Ta’zir Adalah Hak Hakim Sepenuhnya
            Hukuman ta’zir sepenuhnya ada di tangan hakim, sebab beliaulah memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin.
Dan dalam kitab Subulu’s-Salaam disebutkan: Hukuman ta’zir tidak diperkenankan selain dari imam kecuali dari tiga orang berikut ini:
1.      Ayah,
            beliau boleh menjatuhkan ta’zir terhadap anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif, dan mencegahnya dari akhlak yang jelek. Menurut pendapat yang kuat, bahwa sang ibuu pun boleh berbuat serupa selagi sang anak masih berada dalam asuhannya, dan boleh pula memerintahkan anaknya sholat, bila membangkang diperbolehkan sang ibu memukulnya. Dan sang ayah tidak berhal menta’zir anak yang sudah baligh sekalipun anaknya dikategorikan safih (idiot).
2.      Majikan,
             sang majikan diperbolehkan menta’zir hambanya baik yang bersangkutan dengan hak dirinya atau hak Allah, demikianlah menurut pendapat yang lebih shahih.
3.      Suami,
 sang suami diperbolehkan menta’zir istrinya dalam masalah nusuz (cekcok), sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an. Bahkan dalam pendapat yang kuat, sang suami berhak memukul istrinya terhadap kasus meninggalkan shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya, bilamana ternyata sang istri tidak mempan dengan perhatian omongan, sebab ini termasuk bab mengingkari barang yang munkar. Sedangkan sang suami adalah termasuk salah satu di antara orang yang terkena taklif untuk melakukan pengingkaran baik dengan tangan, atau dengan lisan atau dengan hati. Adapun yang dimaksud di sini adalah dua hal yang pertama tadi.
Demikian pula sang guru boleh melakukan hal itu terhadap muridnya dengan tujuan edukatif/ mendidik anak-anak.

Hukuman Bagi Kesalahan Ta’zir
1.         Ta`zir adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Pelaksanaannya pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil. (جلب المصالح).[4] 
2.         Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i. (الضرر يزال)[5]
3.         Bentuk sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi. [6]
            Disamping itu dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1.         Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.
2.         Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3.         Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas. [7]




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah. Adapun Imam Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu tidak wajib.
     Dari uraian singkat tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang menarik perhatian kita untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang pengertian atau definisi hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan, yaitu :
·                     Kita dapat menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
·                     Rasulullah melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tujukan untuk mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.


DAFTAR PUSTAKA
Almursihusain Jauhari, Ahmad maqasid syariah, Jakarta : Amzah, 2009
Irfan, Nurul, M.Ag korupsi dalam hukum pidana islam Jakarta : Amzah 2011
Santoso, Topo SH.MH menggagas hukum pidana islam Bandung : Asy Syaamil 2001
Mujib, Abdul kaidah-kaidah ilmu fiqih Jakarta : Kalam Mulia 2010
Alquran digital format chm



[1]Ahmad almursihusain jauhari maqasid syariah (amzah : Jakarta 2009) hal xiii
[2] Ibid Ahmad almursihusain jauhari hal xvi - dharuriyah dikelompokkan kedalam maqasid syariah yang 5 (agama,jiwa,akal,keturunan dan harta)
[3] Dr.H.M.Nurul Irfan, M.Ag korupsi dalam hukum pidana islam (Jakarta : amzah 2011) hal.127
[4] Drs.H Abdul Mujib, kaidah-kaidah ilmu fiqih (Jakarta : Kalam Mulia 2010) hlm. 10
[5] Ibid hlm 9
[6] Dr.H.M.Nurul Irfan, M.Ag korupsi dalam hukum pidana islam (Jakarta : amzah 2011) hal.132
[7] Topo santoso SH.MH menggagas hukum pidana islam (bandung : asy syaamil 2001) hlm.146

Tidak ada komentar:

Posting Komentar