BAB I
PENDAHULUAN
Sistem demokrasi di
seluruh dunia harus menghadapi pertanyaan tentang bagaimana menjaga
keseimbangan antara gagasan ‘pemerintahan oleh mayoritas’ di satu pihak, dan
gagasan demokrasi yang mempertimbangkan ‘para individu’ di pihak lain. Masalah
ini sebenarnya sudah cukup lama dikenali. Para ahli teori demokrasi seperti
Alexis De Tocqueville and John Stuart Mill pernah menyinggung gagasan tentang
‘Tirani Mayoritas’ dalam studinya yang sangat terkenal “Democracy in
America” dalam abad ke 19, sementara Mill pernah mengingatkan kita tentang
bagaimana mayoritas dapat meloloskan hukum atau undang-undang yang memiliki
pengaruh sangat menjijikkan bagi kelompok minoritas.
Maka,
orang juga kerap bertanya apakah demokrasi? Apakah demokrasi berarti bahwa
negara harus melindungi para individu, ataukah demokrasi hanya
berarti sebagai pemerintahan oleh mayoritas? Juga di Indonesia, ketika
demokratisasi tidak segera membuahkan hasil berupa kesejahteraan dan stabilitas
sosial-politik yang lebih baik (seperti yang tersirat dalam ungkapan bahwa
“demokrasi kita sudah keblablasan”), maka ada alasan bagi sebagian orang yang
menginginkan agar Indonesia kembali pada sistem lama, yaitu pada model
kekuasaan otoritarian yang menjanjikan terciptanya kesejahteraan dan stabilitas
dalam waktu yang cepat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Demokrasi
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang
kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik
secara langsung atau melalui perwakilan. Istilah
ini berasal dari bahasa Yunani dēmokratía
"kekuasaan rakyat", yang
dibentuk dari kata dêmos "rakyat" dan Kratos "kekuasaan",
merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM
di negara kotaYunani Kuno,
khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama
kali oleh Aristoteles sebagai
suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan
berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan
demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat". Hal ini berarti
kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat
mempunyai hak,
kesempatan dan suara yang
sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang
diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi
terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat
umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem
demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari. Demokrasi memberikan kebebasan
berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang
dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya
bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu.
Di
Indonesia, pergerakan nasional juga
mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan
anti-imperialisme, dengan
tujuan membentuk masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur,
landasan demokrasi adalah keadilan, dalam
arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau
kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan
apa yang dia inginkan. Masalah
keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk
menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan
diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut
Sebelum
istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk
sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki
beberapa negara kotayang
independen. Di setiap negara kota
tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu
permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat.
Barulah
pada 508 SM, penduduk Athena di
Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi
modern. Yunani kala itu terdiri
dari 1,500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem
pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga
demokrasi. Diantaranya terdapat
Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu
yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut
pertama kali adalah Solon,
seorang penyair dan
negarawan. Paket pembaruankonstitusi yang
ditulisnya pada 594 SM menjadi
dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus
tahun kemudian oleh Kleisthenes,
seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada
perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri
dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan. Namun dari sekitar 150,000 penduduk
Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat
mereka.
Demokrasi
ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM. Sistem
demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana
terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan diSenat dan
perwakilan dari rakyat biasa di Majelis.
pada waktu itu, dilihat dari pelaksanaannya, demokrasi yang
dipraktekkan bersifat langsung( direct democracy), artinya hak rakyat untuk
membuat keputusan- keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh
warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Di Yunani Kuno,
demokrasi hanya berlaku untuk warga Negara yang resmi. Sedangkan penduduk yang
terdiri dari budak, pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak dapat
menikmati hak demokrasi.
Gagasan demokrasi yunani Kuno lenyap Dunia Barat ketika
bangsa Romawi dikalahkan oleh suku Eropa Barat dan Benua Eropa memasuki abad
pertengahan (600-1400). Walaupun begitu, ada sesuatu yang penting yang menjadi
tonggak baru berkenaan dengan demokrasi abad pertengahan, yaitu lahirnya Magna
Charta. Dari piagam tersebut, ada dua prinsip dasar: Pertama, kekuasaan Raja
harus dibatasi; Kedua, HAM lebih penting daripada kedaulatan Raja.[1]
Ada dua peristiwa penting yang mendorong timbulnya kembali
“demokrasi” yang sempat tenggelam pada abad pertengahan, yaitu terjadinya
Raissance dan Reformasi. Raissance adalah aliran yang menghidupkan kembali
minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno, dasarnya adalah kebebasan berpikir
dan nertindak bagi manusia tanpa boleh ada orang lain yang membatasi dengan
ikatan-ikatan. Sedangkan Reformasi yang terjadi adalah revolusi agama yang
terjadi di Eropa Barat abad 16.[2]
Dari dua peristiwa penting di atas, Eropa kemudian masuk ke
dalam Aufklarung (Abad Pemikiran) dan Rasionalisme yang mendorong mereka untuk
memerdekakan pikiran dari batas-batas yang ditentukan gereja untuk mendasarkan
pada pemikiran atau akal (rasio) yang pada gilirannya kebebasab berpikir ini
menimbulkan lahirnya pikiran tentang kebebasan politik.[3]
Dua filsuf besar yaitu John Locke
(Inggris) dan Montesquieu (Perancis) telah menyumbangkan gagasan mengenai
pemerintahan demokrasi. Menurut John Locke (1632-1704), hak-hak poitik rakyat
mencakup hak hidup, kebebasan dan hak memiliki (live, liberal, property).
Sedangkan Montesquieu (1689-1955) menjamin hak-hak politik menurut “Trias
Politika”, yaitu suatu system pemisahan kekuasaan dalam Negara ke dalam
kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif yang masing-masing harus
dipegang organisai sendiri yang merdeka.[4]
Akibat pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan kekuasaan,
muncullah kembali ide demokrasi.
B. Pengertian
Demokrasi
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno
yang diutarakan di Athena
kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi
modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan
definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,
bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata,
yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan,
sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita
kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal
ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah
negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara
yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama
lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan
agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut
adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan
melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
(DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif
dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai
aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan
umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak
keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara,
diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti
diikuti oleh seluruh warga negara, namun oleh sebagian warga yang
berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak
semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini
bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota
parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan
presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut
sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara
langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.
Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum
sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari
sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan
sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik
apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada
masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara
demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur
tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal,
narapidana atau bekas narapidana).
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya
berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang
diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk
diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah
(eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat
yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali
menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di
lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif
menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa
mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable),
tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap
lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara
teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Menurut Abraham Lincoln (Presiden AS ke-16), demokrasi
adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat (Democracy is government of
the people, by the people and for the people). Azas-azas pokok demokrasi
dalam suatu pemerintahan demokratis adalah:
a.
pengakuan
partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya melalui pemilihan wakil-wakil
rakyat untuk parlemen secara bebas dan rahasia; dan
b.
pengakuan
dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia.
1.
Ciri-ciri
pokok pemerintahan demokratis
a.
Pemerintahan
berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat banyak, dengan ciri-ciri tambahan:
a)
konstitusional,
yaitu bahwa prinsip-prinsip kekuasaan, kehendak dan kepentingan rakyat diatur
dan ditetapkan dalam konstitusi;
b)
perwakilan,
yaitu bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat diwakilkan kepada beberapa orang;
c)
pemilihan
umum, yaitu kegiatan politik untuk memilih anggota-anggota parlemen;
d)
kepartaian,
yaitu bahwa partai politik adalah media atau sarana antara dalam praktik pelaksanaan
demokrasi
b.
Adanya
pemisahan atau pembagian kekuasaan, misalnya pembagian/ pemisahan kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif.
c.
Adanya
tanggung jawab dari pelaksana kegiatan pemerintahan.
2. Macam-macam demokrasi
a.
Demokrasi ditinjau dari cara penyaluran kehendak rakyat:
a)
Demokrasi
langsung
Dipraktikkan di negara-negara kota (polis, city state) pada
zaman Yunani Kuno. Pada masa itu, seluruh rakyat dapat menyampaikan aspirasi
dan pandangannya secara langsung. Dengan demikian, pemerintah dapat mengetahui
– secara langsung pula – aspirasi dan persoalan-persoalan yang sebenarnya
dihadapi masyarakat. Tetapi dalam zaman modern, demokrasi langsung sulit
dilaksanakan karena:
1)
sulitnya
mencari tempat yang dapat menampung seluruh rakyat sekaligus dalam membicarakan
suatu urusan;
2)
tidak
setiap orang memahami persoalan-persoalan negara yang semakin rumit dan
kompleks;
3)
musyawarah
tidak akan efektif, sehingga sulit menghasilkan keputusan yang baik.
b) Demokrasi tidak langsung atau demokrasi
perwakilan
Sistem demokrasi (menggantikan demokrasi langsung) yang dalam
menyalurkan kehendaknya, rakyat memilih wakil-wakil mereka untuk duduk dalam
parlemen. Aspirasi rakyat disampaikan melalui wakil-wakil mereka dalam
parlemen. Tipe demokrasi perwakilan berlainan menurut konstitusi negara
masing-masing.
Sistem pemilihan ada dua macam, yaitu: pemilihan secara langsung dan
pemilihan bertingkat. Pada pemilihan secara langsung, setiap warga negara yang
berhak secara langsung memilih orang-orang yang akan duduk di parlemen.
Sedangkan pada pemilihan bertingkat, yang dipilih rakyat adalah orang-orang di
lingkungan mereka sendiri, kemudian orang-orang yang terpilih itu memilih
anggota-anggota parlemen.
c)
Demokrasi
perwakilan dengan sistem referendum
Dalam sistem demokrasi ini rakyat memilih para wakil mereka untuk
duduk di parlemen, tetapi parlemen tetap dikontrol oleh pengaruh rakyat dengan
sistem referendum (pemungutan suara untuk mengetahui kehendak rakyat secara
langsung). Sistem ini digunakan di salah satu negara bagian Swiss yang disebut
Kanton.
b.
Demokrasi ditinjau dari titik
berat perhatiannya
a.
Demokrasi Formal
(Demokrasi Liberal)
Demokrasi formal menjunjung tinggi persamaan dalam bidang politik
tanpa disertai upaya untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan rakyat
dalam bidang ekonomi. Dalam sistem demokrasi yang demikian, semua orang
dianggap memiliki derajat dan hak yang sama. Namun karena kesamaan itu,
penerapan azas free fight competition (persaingan bebas) dalam bidang
ekonomi menyebabkan kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin kian
lebar. Kepentingan umum pun diabaikan.
Demokrasi formal/ liberal sering pula disebut demokrasi Barat karena
pada umumnya dipraktikkan oleh negara-negara Barat. Kaum komunis bahkan
menyebutnya demokrasi kapitalis karena dalam pelaksanaannya kaum kapitalis
selalu dimenangkan oleh pengaruh uang (money politics) yang menguasai
opini masyarakat (public opinion).
b.
Demokrasi Material
(Demokrasi Rakyat)
Demokrasi material menitikberatkan upaya-upaya menghilangkan
perbedaan dalam bidang ekonomi sehingga persamaan dalam persamaan hak dalam
bidang politik kurang diperhatikan, bahkan mudah dihilangkan. Untuk mengurangi
perbedaan dalam bidang ekonomi, partai penguasa (sebagai representasi kekuasaan
negara) akan menjadikan segala sesuatu sebagai milik negara. Hak milik pribadi
tidak diakui. Maka, demi persamaan dalam bidang ekonomi, kebebasan dan hak-hak
azasi manusia di bidang politik diabaikan. Demokrasi material menimbulkan
perkosaan rohani dan spiritual.
Demokrasi ini sering disebut demokrasi Timur, karena berkembang di
negara-negara sosialis/ komunis di Timur, seperti Rusia, Cekoslowakia, Polandia
dan Hongaria dengan ciri-ciri:
a)
sistem
satu (mono) partai, yaitu partai komunis (di Rusia);
b)
sistem
otoriter, yaitu otoritas penguasa dapat dipaksakan kepada rakyat;
c)
sistem
perangkapan pimpinan, yaitu pemimpin partai merangkap sebagai pemimpin negara/
pemerintahan;
d)
sistem
pemusatan kekuasaan di tangan penguasa tertinggi dalam negara.
c.
Demokrasi Gabungan
Demokrasi ini mengambil kebaikan dan
membuang keburukan demokrasi formal dan material. Persamaan derajat dan hak
setiap orang tetap diakui, tetapi diperlukan pembatasan untuk mewujudkan
kesejahteraan seluruh rakyat. Pelaksanaan demokrasi ini bergantung pada
ideologi negara masing-masing sejauh tidak secara jelas kecenderungannya kepada
demokrasi liberal atau demokrasi rakyat.
c.
Demokrasi ditinjau dari hubungan antaralat perlengkapan negara
a.
Demokrasi perwakilan
dengan sistem parlementer
Demokrasi sistem parlementer semula lahir di Inggris pada abad XVIII
dan dipergunakan pula di negara-negara Belanda, Belgia, Prancis, dan Indonesia
(pada masa UUDS 1950) dengan pelaksanaan yang bervariasi, sesuai dengan
konstitusi negara masing-masing.
Negara-negara Barat banyak menggunakan demokrasi parlementer sesuai
dengan masyarakatnya yang cenderung liberal. Ciri khas demokrasi ini adalah
adanya hubungan yang erat antara badan eksekutif dengan badan perwakilan rakyat
atau legislatif. Para menteri yang menjalankan kekuasaan eksekutif diangkat
atas usul suara terbanyak dalam sidang parlemen. Mereka wajib menjalankan tugas
penyelenggaraan negara sesuai dengan pedoman atau program kerja yang telah
disetujui oleh parlemen. Selama penyelenggaraan negara oleh eksekutif disetujui
dan didukung oleh parlemen, maka kedudukan eksekutif akan stabil. Penyimpangan
oleh seorang menteri pun dapat menyebabkan parlemen mengajukan mosi tidak
percaya yang menggoyahkan kedudukan eksekutif.
Demokrasi parlementer lebih cocok diterapkan di negara-negara yang
menganut sistem dwipartai: partai mayoritas akan menjadi partai pendukung
pemerintah dan partai minoritas menjadi oposisi.
Dalam demokrasi parlementer, terdapat pembagian kekuasaan (distribution
of powers) antara badan eksekutif dengan badan legislatif dan kerja sama
di antara keduanya. Sedangkan badan yudikatif menjalankan kekuasaan peradilan
secara bebas, tanpa campur tangan dari badan eksekutif maupun legislatif.
Kelebihan demokrasi perwakilan bersistem parlementer:
1.
pengaruh
rakyat terhadap politik yang dijalankan pemerintah sangat besar;
2.
pengawasan
rakyat terhadap kebijakan pemerintah dapat berjalan dengan baik;
3.
kebijakan
politik pemerintah yang dianggap salah oleh rakyat dapat sekaligus dimintakan
pertanggungjawabannya oleh parlemen kepada kabinet;
4.
mudah
mencapai kesesuaian pendapat antara badan eksekutif dan badan legislatif;
5.
menteri-menteri
yang diangkat merupakan kehendak dari suara terbanyak di parlemen sehingga
secara tidak langsung merupakan kehendak rakyat pula;
6.
menteri-menteri
akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas karena setiap saat dapat
dijatuhkan oleh parlemen;
7.
pemerintah
yang dianggap tidak mampu mudah dijatuhkan dan diganti dengan pemerintah baru
yang dianggap sanggup menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan keinginan
rakyat.
Kelemahan demokrasi perwakilan bersistem parlementer:
1. kedudukan badan eksekutif tidak stabil, karena
dapat diberhentikan setiap saat oleh parlemen melalui mosi tidak percaya;
2. sering terjadi pergantian kabinet, sehingga
kebijakan politik negara pun labil;
3. karena pergantian eksekutif yang mendadak,
eksekutif tidak dapat menyelesaikan program kerja yang telah disusunnya.
b.
Demokrasi perwakilan
dengan sistem pemisahan kekuasaan
Demokrasi ini berpangkal pada teori
pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh para filsuf bidang politik dan hukum.
Pelopornya adalah John Locke
(1632-1704) dari Inggris, yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga
bidang, yaitu eksekutif, legislatif dan federatif. Untuk menghindari terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan, ketiga bidang itu harus dipisahkan. Charles Secondat
Baron de Labrede et de Montesquieu
(1688-1755) asal Prancis, memodifikasi teori Locke itu dalam teori yang disebut
Trias Politica pada bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois.
Menurut Montesquieu, kekuasaan negara dibagi menjadi: legislatif (kekuasaan
membuat undang-undang), eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang) dan
yudikatif (kekuasaan mengatasi pelanggaran dan menyelesaikan perselisihan
antarlembaga yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang). Ketiga cabang
kekuasaan itu harus dipisahkan, baik organ/ lembaganya maupun fungsinya.
Teori Montesquieu disebut teori pemisahan
kekuasaan (separation du puvoir) dan dijalankan hampir sepenuhnya di
Amerika Serikat. Di negara itu, kekuasaan legislatif dipegang oleh Kongres,
kekuasaan eksekutif oleh Presiden dan kekuasaan yudikatif oleh Mahkamah Agung.
Ketiga badan tersebut berdiri terpisah dari yang lainnya untuk menjaga
keseimbangan dan mencegah jangan sampai kekuasaan salah satu badan menjadi
terlampau besar. Kesederajatan itu menjadikan ketiganya dapat berperan saling
mengawasi (check and balance).
Kelebihan demokrasi perwakilan bersistem
pemisahan kekuasaan:
1.
pemerintah
selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, sehingga
pemerintahan dapat berlangsung relatif stabil;
2.
pemerintah
memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan programnya tanpa terganggu oleh
adanya krisis kabinet;
3.
sistem check
and balance dapat menghindari pertumbuhan kekuasaan yang terlampau besar
pada setiap badan;
4.
mencegah
terjadinya kekuasaan yang absolut (terpusat pada satu orang).
Kelemahan demokrasi perwakilan bersistem
pemisahan kekuasaan:
1.
pengawasan
rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh;
2.
pengaruh
rakyat terhadap kebijakan politik negara kurang mendapat perhatian;
3.
pada
umumnya keputusan yang diambil merupakan hasil negosiasi antara badan
legislatif dan eksekutif sehingga keputusan tidak tegas;
4.
proses
pengambilan keputusan memakan waktu yang lama.
c.
Demokrasi perwakilan
dengan sistem referendum
Demokrasi ini merupakan gabungan antara
demokrasi perwakilan dengan demokrasi langsung. Dalam negara yang menganut
demokrasi ini parlemen tetap ada, tetapi kinerjanya dikontrol secara langsung
oleh rakyat melalui referendum. Jadi, ciri khas demokrasi perwakilan dengan
sistem referendum adalah bahwa tugas-tugas legislatif selalu berada di bawah
pengawasan seluruh rakyat karena dalam hal-hal tertentu, keputusan parlemen
tidak dapat diberlakukan tanpa persetujuan rakyat. Sedangkan mengenai hal lain,
keputusan parlemen dapat langsung diberlakukan sepanjang rakyat menerimanya.
Ada dua macam referendum, yaitu referendum
obligator dan referendum fakultatif. Referendum obligator adalah
pemungutan suara rakyat yang wajib dilaksanakan mengenai suatu rencana
konstitusional. Referendum ini bersifat wajib karena menyangkut masalah
penting, misalnya tentang perubahan konstitusi. Perubahan konstitusi tidak
dapat dilakukan tanpa persetujuan rakyat. Sedangkan referendum fakultatif
merupakan pemungutan suara rakyat yang tidak bersifat wajib dilakukan mengenai
suatu rencana konstitusional. Referendum fakultatif baru perlu dilakukan
apabila dalam waktu tertentu setelah undang-undang diumumkan pemberlakuannya,
sejumlah rakyat meminta diadakan referendum.
Kelebihan demokrasi perwakilan dengan sistem
referendum:
1.
apabila
terjadi pertentangan antara badan organisasi negara, maka persoalan itu dapat
diserahkan keputusannya kepada rakyat tanpa melalui partai;
2.
adanya
kebebasan anggota parlemen dalam menentukan pilihannya, sehingga pendapatnya
tidak harus sama dengan pendapat partai/ golongannya.
Kelemahan demokrasi perwakilan dengan sistem
referendum:
1.
pembuatan
undang-undang/ peraturan relatif lebih lambat dan sulit;
2.
pada
umumnya rakyat kebanyakan tidak berpengetahuan cukup untuk menilai atau menguji
kualitas produk undang-undang.
2.1.5 Prinsip-prinsip
Demokrasi
a. Keterlibatan warga negara dalam pembuatan
keputusan politik.
b. Tingkat persamaan (kesetaraan) tertentu antara
warga negara.
c. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu
yang diakui dan dipakai oleh para warga negara.
d.
Penghormatan
terhadap supremasi hukum.
Prinsip demokrasi yang didasarkan
pada konsep di atas (rule of law), antara lain sebagai berikut :
a. Tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang;
b. Kedudukan yang sama dalam hukum;
c. Terjaminnya hak asasi manusia oleh
undang-undang
C.
Demokrasi di Indonesia
Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat
berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan
mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi
Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia
dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia
yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih diperintah dengan ‘tangan
besi’. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi
dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi. Ia menilai,
keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yag tidak banyak disadari itu,
membuat pihak luar termasuk Asosiasi
Internasional Konsultan Politik (IAPC), membuka mata bangsa
Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah prestasi yang luar
biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat berpotensi mengantar
datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan makmur.
Meski pada awalnya banyak yang meragukan
pelaksanaan demokrasi di Indonesia, kenyataannya demokrasi di Indonesia saat
ini telah berusia 10 tahun dan akan terus berkembang. Sebagian orang pernah
berpendapat bahwa demokrasi tidak akan berlangsung lama di Indonesia, karena
masyarakatnya belum siap. Mereka juga pernah mengatakan bahwa negara Indonesia
terlalu besar dan memiliki persoalan yang kompleks. Keraguan tersebut bahkan
menyerupai kekhawatiran yang dapat membuat Indonesia chaos yang dapat
mengakibatkan perpecahan.
Sementara itu, mantan wakil perdana menteri
Malaysia, Anwar Ibrahim, menyebutkan
bahwa demokrasi telah berjalan baik di Indonesia dan hal itu telah menjadikan
Indonesia sebagai negara dengan populasi 4 besar dunia yang berhasil
melaksanakan demokrasi. Hal ini juga membuat Indonesia sebagai negara
berpenduduk Islam terbesar di dunia yang telah berhasil menerapkan demokrasi.
Dia juga berharap agar perkembangan ekonomi juga makin meyakinkan sehingga
demokrasi bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal tersebut
tentunya bisa terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi dan penumpukan
kekayaan hanya pada elit tertentu.
1.
Periode 1945-1959 Demokrasi Parlementer
Demokrasi pada
masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini
mulai berlaku sebulan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini kemudian
diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950. Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan
memuaskan di beberapa negara Asia lain, sistem ini ternyata kurang cocok
diterapkan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan melemahnya persatuan
bangsa. Dalam UUDS 1950, badan eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala
negara konstitusional (constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan.
2.
Periode 1959-1965 (Orde Lama)
Demokrasi
Terpimpin Pandangan A. Syafi’i Ma’arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin
menempatkan Soekarno seagai “Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia
dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang
besar dalam Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap
nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada
diri pemimpin. Selain itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance
dari legislatif terhadap eksekutif dengan arti kata pemerintahan pada waktu itu
cendrung memusatkan kekuasaannya pada presiden saja yang akhirnya pada akhir
tahun 1965 berada di ambang kehancuran.[5]
3.
Periode 1965-1998 (Orde Baru) Demokrasi Pancasila
Ciri-ciri
demokrasi pada periode Orde Lama antara lain presiden sangat mendominasi
pemerintahan, terbatasnya peran partai politik, berkembangnya pengaruh komunis,
dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Menurut M. Rusli
Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh; dominannya peranan ABRI, birokratisasi
dan sentralisasi pengambilan keputusan politik, pembatasan peran dan fungsi
partai politik, campur tangan pemerintah dalam persoalan partai politik dan
publik, masa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga
nonpemerintah
4.
Periode 1998-sekarang( Reformasi )
Orde reformasi ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21
Mei 1998. Jabatan presiden kemudian diisi oleh wakil presiden, Prof. DR. Ir.
Ing. B.J. Habibie. Turunnya presiden Soeharto disebabkan karena tidak adanya
lagi kepercayaan dari rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru. . Bergulirnya
reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi
transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang
kritis karena dalam fase ini akan ditentukan ke mana arah demokrasi akan
dibangun.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno
yang diutarakan di Athena
kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi
modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan
definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,
bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata,
yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan,
sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita
kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal
ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi diartikan
sebagai pemerintahan atau kekuasaan dri rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Istilah demokrasi ini memberikan posisi penting bagi rakyat sebab dengan
demokrasi, hak-hak rakyat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi Negara
dijamin.
Penerapan demokrasi di
berbagai Negara di dunia memiliki ciri khas dan spesifikasi masing-masing,
lazimnya sangat dipengaruhi oleh ciri khas masyarakat sebagai rakyat dalam
suatu negara. Indonesia sendiri menganut demokrasi pancasila di mana demokrasi
itu dijiwai dan diintegrasikan oleh nilai-nilai luhur Pancasila sehingga tidak
dapat diselewengkan begitu saja.
Salah satu pilar
demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan
politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga
negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama
lain.
negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan
prinsip checks and balances
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini
diperlukan agar ketiga lembaga
B.
TANGGAPAN
Impilementasi demokrasi pancasila terlihat pada pesta
demokrasi yang diselenggarakan tiap lima tahun sekali. Dengan diadakannya
Pemilihan Umum baik legislatif maupun presiden dan wakil presiden terutama di
era reformasi ini, aspirasi rakyat dan hak-hak politik rakyat dapat disalurkan
secara langsung dan benar serta kedaulatan rakyat yang selama ini hanya ada
dalam angan-angan akhirnya dapat terwujud.
Namun substansi dari demokrasi tersebut hanyalah menjadi
sebuah draf saja tampa ada implementasi yang berarti sehingga demokrasi
dindonesia jauh dari yang kita harapkan. Dewasa ini kita melihat penerapan
demokrasi berpindah haluan kepada kepentingan-kepentingan individual dan
kepentingan partai politik, sehingga demokrasi yang menitik beratkan kepada
kekuasaan rakyat, hanya tinggal sebagai lipstick atau lambang saja, banyak
kebijakan yang tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan lebih kea
rah pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR. Dengan
kata lain, model demokrasi era reformasi dewasa ini kurang mendasarkan pada
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Moh.Mahfod
MD demokrasi dan konstitusi di Indonesia, 2003 Jakarta : rineka
cipta
Soehino,
ilmu Negara, 1998, Yogyakarta, liberti, cetakan keempat
Ni’matul Huda, hokum
tata Negara, 2005 Jakarta : rajawali pers
Ni’matul Huda, ilmu
Negara, 2010, Jakarta, raja grafindopersada
M ikhsan pendidikan
kewarganegaraan, 2008, pecan baru, suska perss
[1] Ni’matul Huda. SH M.Hum, hokum tata Negara, (Jakarta :
rajawali pers, 2005) h. 239
[2] Ibid 240
[3] Ibid 241
[4] Prof.Dr.Moh.Mahfod
MD,SH.SU demokrasi dan konstitusi di Indonesia (Jakarta : rineka cipta,
2003) h. 25
[5] Ni’matul Huda. SH M.Hum, hokum tata Negara, (Jakarta :
rajawali pers, 2005) h. 249
Tidak ada komentar:
Posting Komentar