BAB
II
REGULASI
PIDANA MATI BAGI PELAKU TINDAK PIDANA DALAM TINJAUAN HUKUM DI INDONESIA
A. Dampak Buruk Korupsi
Korupsi dalam Negara Indonesia ini
dianggap sebagai kejahatan yang khusus dan pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa.[1]Sebab dampak
yang ditimbulkannya sangatlah besar hingga merusak status Negara sebagai tempat
bernaung bagi Rakyatnya. Hal ini bisa kita telusuri dari berbagai segi :
1. Politik.
Politik yang pada umumnya didefenisikan
sebagai bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistim politik ( atau negara ) yang
menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistim itu dan melaksanakan
tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan ( Decisionmaking ) mengenai apakah
yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa
alternatif dan penyusunan skala prioritas darai tujuan-tujuan[2]
yang telah dipilih itu.[3]
Dari uraian tersebut dapat kita rumuskan
unsur-unsur yang terdapat dalam politik yaitu :
a. Negara
( State ).
b. Kekuasaan
( Power ).
c. Pengambilan
keputusan ( Decisionmaking ).
d. Kebijaksanaan
( Policy, Beleid ).
e. Pembagian
( Distribution ) atau alokasi ( Allocation ).
Jika korupsi memasuki ranah politik maka
tentu saja semua unsur yang terdapat dalam politik itu akan rusak, negara yang
hanya berdasarkan kepentingan perseorangan atau suatu koorporasi tanpa
mementingkan kepentingan rakyat, kekuasaan yang berdasarkan Many Politik,
penyalahgunaan kekuasaan dan Nepotisme, pengambilan keputusan dan
kebijakan yang berorientasikan suap,
kepentingan pribadi dan atau koorporasi tertentu.
2. Sosial
Kemasyarakatan.
Dalam aspek ini korupsi akan melahirkan
sekat pemisah antara rakyat dengan Pemerintah, mengubah opini dan Paradigma
Publik terhadap pemegang kekuasaan ( Eksekutif,Legeslatif,Yudikatif ) yang
dahulunya Demokrasi didefenisikan dengan “dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat” sekarang berubah menjadi “dari partai oleh kelompok untuk koorporasi”.
Adanya mosi tidak percaya kepada
pemegang kekuasaan yang pada akhirnya rakyat tidak lagi sejalan dengan
pemerintah, kurangnya partisifasi rakyat dalam hidup bernegara dalam berbagai aspek seperti dalam aspek politik
yang jumlah golput makin bertambah dari tahun ketahun, rakyat berjalan diatas
kaki mereka sendiri tanpa ditopang oleh pemegang kekuasaan, rakyat pun enggan
untuk berpartisifasi karena sudah ada sekat diantara keduanya.
3. Lingkungan.
Lingkungan hanya akan tertata rapi dalam
sebuah wacana dan dalam harapan rakyat saja sebab korupsi merobah tata letak
dan ruang suatu daerah, pembukaan dan penggunaan lahan serta izin-izin mendirikan
suatu usaha atau industri akan sembaraut berdasarkan keinginan dan kehendak
para pelaku korupsi.
4. Ekonomi.
Sudah sangat jelas bahwa korupsi akan
merugikan keuangan dan perekonomian negara dan itu semua akan berujung kepada
terampasnya hak-hak rakyat.
5. Moral
bangsa.
Karena korupsi moral bangsapun ikut
larut dalam kesedihan, korupsi akan merombak mental dan moralitas negara,
berpotensi melahirkan korupsi yang lainnya sehingga pada saat ini persepsi
rakyat terhadap korupsi adalah sesuatu yang wajar dan mesti dilakukan “untuk
mendapatkan sesuatu”.
6. Pembangunan.
Dalam hal pembangunan bisa kita telusuri
dari sarana dan prasarana umum yang dianggarkan dengan sistem tender sehingga
korupsi sangat berpotensi terjadi mulai dari penganggaran, pelelangan tender, kesepakatan
dan penandatanganan kontrak kerja yang dilakukan secara koorporasi hingga pengadaan
material bangunan sampai kepada pembuatannya yang selalu berazaskan mempres
pengeluaran dan memperbesar pemasukan bagi pemegang tender dan untuk
kepentingan pribadi maupun koorporasi, sehingga sarana prasarana yang dirancang
dan dibuat memiliki kualitas jelek dan berumur pendek.
7. Pendidikan.
Begitu besar dampak korupsi dalam suatu
negara.[4]Korupsi
dianggap sebagai momok yang menakutkan dan dapat merusak struktural suatu
instansi pemerintah[5] dan juga
akan merusak akuntabilitas seseorang dan instansi tertentu. Hal tersebut sudah
diprakterkkan oleh kebanyakan dari anggota legeslatif, eksekutif dan yudikatif
kita pada saat ini.
Berdasarkan latar belakang ini maka muncullah
paradigma-paradigma yang akhirnya akan menjadi pertimbangan publik untuk
menilai seseorang dan atau instansi-instansi pemerintah terkait sehingga
menimbulkan mosi tidak percaya rakyat kepada pemerintah dan wakil mereka yang
duduk di senayan. Antara pemerintah, wakil rakyat dan rakyat itu sendiri
terdapat jurang pemisah yaitu rasa saling tidak percaya antara satu sama
lainnya yang pada akhirnya berpengaruh besar kepada kelansungan hidup
bernegara, pemerintah berjalan tanpa ada keikutsertaan rakyat, dan rakyatpun
hidup tanpa mengacu kepada peraturan-peraturan yang berlaku. Hal inilah yang
menurut penulis menjadi faktor kebrobokan moral Bangsa dalam bernegara sebab
tidak ada lagi yang bisa mereka percayai selain diri mereka sendiri.
B. Benang Kusut Korupsi.
Korupsi adalah
pencurian kelas kakap yang ada sangkut-pautnya dengan urusan kenegaraan dan kepentingan umum, yang tidak hanya merugikan
perekonomian perseorangan, tapi justru merugikan perekonomian negara, merugikan
kesejahteraan umum, merusak kemakmuran bersama dan menghambat berhasilnya
pembangunan nasional. Ia adalah perbuatan yang melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dengan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan.
Korupsi biasa dilakukan oleh orang yang
mengerti hukum, mengerti aturan, perbuatannya
dilakukan dalam atau berhubungan dengan wilayah tugasnya, perbuatannya
tidak mudah diketahui oleh umum, biasanya
dilakukan oleh orang yang berperan atau golongan teratas. Oleh karenanya
orang yang melakukan tindak pidana korupsi, mereka yakin akan keberhasilan perbuatan yang dilakukannya, dan
yakin akan keamanan dirinya. Hal
demikian merupakan motivator yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi
dari pada tidak melakukannya.
Korupsi sebenarnya
adalah kejahatan dan penyelewengan administrasi yang sangat menghambat
usaha-usaha untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat dalam rangka
melaksanakan pembangunan nasional. Korupsi juga sebagai tindakan penyalahgunaan
kekuasaan,
wewenang dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku, norma-norma masyarakat dan
agama.
Benang kusut jaringan korupsi
benar-benar telah terajut diseluruh sektor kehidupan, mulai dari istana sampai
pada tingkat kelurahan bahkan RT. Korupsi telah mengjangkiti birokrasi dari
atas hingga bawah, seperti lembaga perwakilan rakyat, lembaga militer, dunia
usaha, perbankan, KPU, organisasi kemasyarakatan, dunia pendidikan, lembaga
keagamaan, bahkan lembaga-lembaga yang bertugas memberantas korupsi, seperti
kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan.[6]
Data indeks persepsi korupsi ( IPK ) tahun 2006 menunjukkan bahwa lembaga
vertikal, seperti kepolisian, peradilan, pajak, imigran, bea cukai, dan
lain-lain masih dipersepsikan sangat korup.
Hasil indeks persepsi ( IPK ) tahun 2007
yang diluncurkan oleh Transparancy Internasional,[7]
koalisi global untuk melawan korupsi menunjukkan bahwa indonesia berada di
urutan ke 143 dengan nilai 2,3. Skor Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,1
dibandingkan IPK tahun 2006 (2,4). Dengan nilai IPK tersebut, negara Indonesia
masuk dalam daftar negara terkorup didunia bersama dengan 71 negara yang
skornya dibawah 3.[8]
Data dari Indonesia Corruption Watch ( ICW
) menunjukkan hingga akhir 2006 sampai 2007 terjadi peningkatan kasus korupsi
hingga 14, 4 triliun dari 161 kasus korupsi.
Faktor penyebab timbulnya korupsi di Indonesia
setidak-tidaknya ada tiga macam, yaitu
faktor mental, faktor kondisi sosial ekonomi, dan faktor sistem tata-aturan dan
pelaksanaannya. Faktor-faktor itu kait-mengkait satu sama lain yang mana kala dikaji secara mendalam, maka
rekayasa pelaksanaan perundang-undangan
tidak lain juga disebabkan faktor mental aparat eksekutif dan
aparat yudikatifnya yang kurang bersih sehingga tidak berwibawa. Faktor kondisi
sosial ekonomi yang memburuk juga karena faktor mentalitas manusianya yang kurang baik. Oleh karena itu, untuk menanggulangi tindak pidana korupsi, perlu
dilakukan tindakan-tindakan yang
bersifat “operasi mental.”
Ditilik dari faktor
kondisi sosial, perlu diciptakan antara lain hal-hal sebagai
berikut : 1) Kondisi sosial ekonomi yang stabil, 2) Pemerataan hasil pembangunan secara adil, 3) Keseimbangan
penghasilan para karyawan dengan
volume biaya hidup rumah tangganya.[9]
C. Peraturan Perundang Undangan tentang Tindak
Pidana Korupsi.
Usaha menciptakan
“pemerintahan yang bersih” di Republik ini sebenarnya sudah dimulai sejak 52
tahun yang lalu (1957). Dikeluarkanlah Peraturan Penguasaan Militer No.
PRT/PM/06/1957, dimantapkan dengan Peraturan
Tentang Pemilikan Harta Benda No. PRT/PM/08/1957, Peraturan Penguasaan
Militer No. PRT/PM/001 1/1957, diterbitkan Peraturan Penguasaan Perang Pusat No. PRT/Peperpu/013/1958 yang berisi tentang Pengusutan dan Pemeriksaan, Perbuatan Korupsi,
Pidana dan Pemilikan Harta Benda,
tanggal 16 April 1958, oleh Kepala Staf Angkatan Bersenjata ; Peraturan
Kepala Staf Angkatan Laut PRT/ZI/I/1957, yang mulai berlaku 1958 ; Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 24 tahun 1960 ; Undang-Undang No. 1 tahun 1961 yang
berisi tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi ; SK Presiden No. 243/1967 tentang
Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) ; SK Presiden No. 12/1970 tentang
Pembentukan Komisi 4 ; SK Presiden No. 52/1970
ditetapkan wajib daftar kekayaan bagi pejabat tinggi golongan IV-C ke atas dan perwira tinggi ABRI ; Undang-Undang
Anti Korupsi No. 3 tahun 1971 yang
disempurnakan dengan Undang-Undang No. 3 1/1999 dan terakhir Undang-Undang No. 20/2001; Instruksi Tertib, dan
seterusnya sampai terakhir sekarang
ini adanya komisi khusus yang ditugaskan untuk menjerat para koruptor yaitu
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rasanya Pemerintah RI telah cukup berusaha keras untuk
menanggulangi korupsi dengan segala macam
bentuknya, dengan segala macam aturan dan cara serta kebijakan, namun hasilnya sangat minim, boleh dikata
tidak berhasil, tidak tuntas dan tidak
mengena pada setiap permasalahan, mekanisme pelaksanaan undang-undang itu sendiri mandeg, undang-undang
tetap tinggal sebagai undang-undang.
Stagnasi tersebut, sebagai sebab utamanya adalah mental masyarakat, khususnya aparatur negara, yang masih perlu
diobati terlebih dahulu, dibersihkan daripada noda-noda
psikologis.[10]
D. Pidana Mati bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi.
Sebelumnya penulis ingin menjelaskan sedikit
tentang apa tujuan syariat ( hukum islam ) diturunkan dan apa tujuan adanya
hukum serta pemidanaan.
a.
Tujuan Hukum.
1) Maqashid syariah.
Agama
islam[11]
adalah agama yang sempurna dan terakhir diturunkan oleh Allah SWT untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam. Berbeda dengan agama sebelumnya yang diturunkan hanya
diperuntukkan khusus untuk segolongan manusia atau bani-bani tertentu.
Dinul
Islam mengandung pengertian peraturan yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada
para rasul untuk ditaati dalam rangka menciptakan keselamatan, kesejahteraan
dan perdamaian bagi umat manusia.[12]
Agama Islam yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW
diperuntukkan bagi seluruh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, Islam
dikenal sebagai agama yang bersifat universal. Sebagaimana dijelaskan dalam
surat al-Anbiya’ ayat 107:
وَما
أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
Artinya : “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad,
melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.[13]”
Islam rahmatan lil alamin[14]
menerangkan bahwa islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Mencakup
hubungan antara manusia dan tuhannya, yang kita kenal dengan sebutan hablumminallah
dengan cara beribadah, serta juga mencakup hubungan antara manusia dan
kehidupannya secara khusus, tentang masalah halal dam haram, juga mencakup
hubungan antara individu dan keluarganya, termasuk pula masalah pernikahan,
talak, wasiat, warisan, dan masalah keluarga lainnya yang oleh ulama
perundang-undangan islam disebut dengan istilah Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah. islam
juga mencakup hubungan individu dengan individu lainnya termasuk perdagangan.[15]
Para ulama’ memberikan pengertian
terhadap keuniversalitasan ( rahmatan lil alamin ) Islam melalui perspektif
definisi Islam yang meliputi :
Pertama, Islam berarti tunduk dan
menyerah kepada Allah SWT serta mentaati-Nya yang lahir dari kesadaran dengan
tidak dipaksa karena ketundukan yang seperti itu tanpa perhitungan pahala dan
dosa.[16]
Kedua, Islam adalah kumpulan peraturan yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad di dalamnya terkandung
peraturan-peraturan tentang aqidah, ahklak, mu’amalat, dan segala berita yang
disebut di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah perintah agar disampaikan kepada
manusia.
Peraturan
–praturan tersebut bertujuan untuk kemaslahatan manusia seutuhnya, pada
dasarnya manusia berharap pada hal-hal berikut :
1. Kemaslahatan hidup bagi diri dan
orang lain.
2. Tegaknya keadilan.
3. Persamaan hak dan kewajiban dalam
hukum.
4. Saling control dalam kehidupan
masyarakat sehingga tegaknya hukum dapat diujudkan.
5. Kebebasan berekpresi, berpendapat,
dan bertindak dengan tidak melebihi batas-batas hukum dan norma social.
6. Regenerasi social yamg positif dan
bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupan social dan kehidupan berbangsa
serta bernegara.[17]
Untuk
itulah adanya aturan yang diturunkan langsung oleh Allah. Salah satu dari
kumpulan peraturan tersebut adalah acuan moral dalam penerapan fiqih. Hal ini
sesuai dengan kaidah dan prinsip dasar Islam untuk mewujudkan cita-cita Islam
yang universal, serta sesuai dengan
maqasidusyariahnya[18]
yang di bagi kepada tiga macam yaitu: dharuri ( kebutuhan pokok ) Hifdzu
Din ( memelihara kebebasan beragama ), Hifdzu Aql ( memelihara
kebebasan nalar berpikir ), Hifdzu Mal ( memelihara/menjaga
harta benda ), Hifdzu Nafs ( memelihara hak hidup ),Hifdzu
Nasl ( memelihara hak untuk mengembangkan keturunan ),[19]hajjiyah
( bersifat kebutuhan ) seperti jual beli, sewamenyewa, dan transaksi lainnya,
selanjutnya tahsini ( bersifat perbaikan ) yakni kemaslahatanyang
merujuk kepada moral dan etika[20].
Telah dikemukakan di atas bahwa
tujuan umum syari’at Islam adalah untuk membawa kemaslahatan
manusia dalam hidup dan kehidupannya serta melenyapkan,
meniadakan dan menolak bahaya ( mafsadah ) yang akan menimpa mereka. Perbuatan korupsi termasuk
perbuatan yang bersifat mafsadah terhadap harta benda, dan kemanusiaan.
2) Konvensional.
Hukum dibuat
untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berbeda antara pribadi,
masyarakat, dan negara dapat dijamin dan diwujudkan tanpa merugikan pihak yang
lain, sehingga tercapainya rasa keadilan dan kesejahteraan dalam hidup
bernegara, serta tertata rapi disetiap hak-hak baik itu manusia sebagai suatu
individu maupun manusia sebagai suatu kelompok.
Ada
pendapat, seperti yang dikemukakan oleh van Feuerbach, bahwa pada hakikatnya
ancaman pidana mempunyai suatu akibat psikologis yang menghendaki orang itu
tertib, berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak bagi
terpidana. Oleh karena itu, ditentukan syarat-syarat atau ukuran-ukuran
pemidanaan. Baik yang menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi
orang atau si pelaku, pada segi perbuatan dipakai asas legalitas dan pada segi
orang dipakai asas kesalahan.
b.
Tujuan Pemidanaan.
Sebagaimana diketahui bahwa hukum pidana pada
umumnya tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan orang-perorangan dan
melindungi kepentingan masyarakat dan negara. Nelvitia Purba dalam tesisnya
menyatakan ada tiga teori pemindanaan yaitu :
1) Teori Absolut atau teori pembalasan ( vergeldings
theorien ).
Teori pembalasan ini membenarkan dilakukannya
pemindanaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Terhadap
pelaku tindak pidana harus dilakukan pembalasan berupa pidana. Disisni tidak
dipersoalkan akibat dari pemindanaan bagi siterpidana dengan maksud untuk
memperbaiki pelaku.[21]
Jadi dalam hal ini menrut teori ini jika
kepentingan hukum ini terganggu karena suatu kejahatan, maka utnuk menjamin
perlindungan hukum kepada pelaku tindak pidana mutlak harus diberikan
pembalasan berupa pidana (sanksi atau hukuman).[22]
2) Teori Relatif.
Menurut teori relatif ini pemindanaan tujuannya
antara lain untuk menberikan perlindungan kepada masyarakat dan pencegahan
terhadap terjadinya kejahatan. Diancamkannya suatu pidana yang dijatuhkannya
dimaksudkannya tidak lain adalah untuk menakut-nakuti calon penjahat atau
penjahat, untuk memperbaiki panjahat, untuk menyingkirkan penjahat, dan
menjamin ketertiban umum atau prevensi umum. Dengan demikian teori tujuan ini
menitik beratkan akibat-akibat dari pemindanaan kepada penjahatatau kepada
kepejntingan mayarakat.
Yang
menjadi objek dari teori ini adalah :
a) Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan
mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti calon penjahat.
Seorang calon penjahat apabila mengetahui
adanya ancaman pidana yang cukup berat diharapkan akan mengurung niatnya. Cara
ini ditjukan secara umum artinya ditujukan kepada siapa saja, agar takut
melakukan kejahatan dimana hal ini disebut juga dengan prevensi umum ( generale
preventie ).
b) Perbaikan atau pendidikan bagi pelaku pidana (
verbeterings theori ).
Dalam hal teori ini menekankan terhadap penjahat
diberikan pendidikan berupa pidana agar dia kelak dapat kembali ke lingkungan
masyarakat dalam keadaan mental yang lebih baik dan bergna. Teori ini berfokus
kepada usaha agar penjahat tidak merasakan pendidikan sebagai terpidana dengan
cara 1) Perbaikan intelektual, 2) Perbaikan moral, 3) Perbaikan yuridis, 4) Menyingkirkan
masyarakat dari pergaulan masyarakat.[23]
c) Menjamin ketertiban umum.
Cara ini adalah mengadakan norma-norma yang
menjamin ketertiban umum, dimana kepada pelanggar norma-norma itu, negara
menjatuhkan pidana. Dengan demikian ancaman pidana akan berkerja sebagai
peringatan atau manakutkan, jadi diletakkan pada bekerja sebagai pencegahan.[24]
3) Teori Gabungan.
Timbulnya teori gabungan ini mendasarkan kepada
perpaduan teori pemalasan dengan teoi tujuan kemudian dsebut teori gabungan
Munculnya teori yang ketiga ini tidak lain
karena masing-masing teori absolut dan teori relatif ini memiliki kelemahan-kelemahan diamana pendapat
ini didukung oleh seorang ahli bernama Bingding
Adapun kelemahan-kelemaan teori pembalasan
antara lain :
1) Sukar manjatuhkan berat ringannya pidana atau
ukuran pembalasan yang tidak jelas.
2) Diragukannya ada hak negara untuk menjatuh
pidana sebagai pembalasan.
3) Pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi
masyarakat.
Adapun kelemahan teori tujuan antara lain :
1) Pidana hanya ditujukan untuk mecegah kejahatan,
sehingga dijatukan pidana yang oleh teori prevensi umum dan teori prevensi
khusus.
2) Jika ternyata kejahatan ringan, maka penjatuhan
pidana yang berat akan memenuhi rasa keadilan.
3) Bukan hanya masyarakat yang diberi kepuasan,
tetapi juga kepada penjahat itu sendiri.
Mengenai teori gabungan ini dibagi kepada dua
golongan :
1) Teori menggabungkan yang menitik beratkan
kepada pembalasan tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang
perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.
2) Teori gabungan yang menitik beratkan pada tata
tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari pada suatu penderitaan
yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.
Berdasarkan teori-teori pemindanaan yang di
paparkan diatas jelaslah bahwa sekarang pemindanaan yang di aplikasikan kepada
para pelaku kejahatan tidak lain tujuannya adalah lebih diarahkan kepada
pembinaan, dimana pembinaan ini merupakan suatu bentuk umum untuk perlindungan
masyarakat dan merupakan unsur yang fundamental dalam menanggulangi kejahatan. [25]
c.
Legalitas ( Undang-undang yang mengatur tentang
Pidana Mati bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi ).
Dalam
buku Korupsi dalam Hukum Pidana Islam karangan Dr. H. M. Nurul Irfan.
M.Ag, Prof. Dr. Jur Andi Hamzah
memjelaskan dalam kata pengantarnya,
“Berbeda dengan
daerah maju, tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan tindak pidana yang
sudah terjadi secara luar biasa sehingga usaha pemberantasan juga harus
dilakukan dengan cara yang luar biasa. Diantara bentuk keluarbiasaan itu adalah
dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun
2001
tentang
pemberantasan korupsi sebagai mana yang dimaksud dalam ayat (1) di dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.[26]
Beliau
menambahkan jika dilihat rumusan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tampaknya undang-undang
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia seudah sangat berani
dan sensasional, khususnya dengan adanya tuntutan hukuman mati bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu.[27]
Dalam
undang-undang no 31 tahun 1999 pasal 2 ayat 2 dijelaskan “Dalam hal tindak
pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaan
tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan” dalam penjelasannya disebutkan “ yang
dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai
pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang
yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan
tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan
moneter. Penjelasan ini dirubah dengan undang undang no 20 tahun 2001 yang
berbunyi “ yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah
keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan akibat krisis
dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi.
d.
Unsur unsur yang terdapat dalam undang undang.
Dengan adanya perubahan terhadap penjelasan
pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan telah menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan
sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila :
a) Tindak pidana korupsi tersebut dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
a. Penaggulangan keadaan bahaya
b. Bencana alam nasional
c. Penanggulangan akiat kerusuhan sosial yang
meluas
d. Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter
e.
Interpretasi.
Oleh karena keadaan-keadaan tertentu yang dijadikan alasan memperbesar
pidana ini telah disebutkan secara limitative, maka tidak diperkenankan hakin
menjatuhkan pidana yang diperberat dengan alasan selain yang disebutkan.
Yang dimaksud dengan keadaan bahaya dalam
penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, adalah sama
dengan keadaan bahaya seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1960 tentang Keadaan Bahaya.[29]
Sedangkan kapan terjadinya keadaan bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang
meluas, dan krisis ekonomi moneter, hingga sekarang belum ada peraturan
perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum untuk menyatakan
keadaan-keadaan tersebut, yang selama ini untuk menyatakan keadaan-keadaan tersebut
cukup dengan pernyatan pemerintah saja.[30]
E. Regulasi Pidana Mati menurut hukum konvensional
Indonesia.
Jika
kita lihat dalam undang-undang hukum pidana Indonesia membatasi kemungkinan
dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan-kejahatan yang bersifat extra
ordinery atau kejahatan dalam kategori luar biasa yang bersifat alasan pemberat
bagi pelaku tindak pidana.
a.
Pidana Mati dalam Hukum Konvensional
Pidana mati kemungkinan dijatuhkan pada
kejahatan-kejahatan yang berat yaitu sebagai berikut :
1. Kejahatan terhadap keamanan Negara, pasal 104
dan pasal 124 (3)
“maka dengan maksud membunuh presiden, atau wakil
presiden, atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka
tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup
atau pidana selama waktu tertantu paling lama dua puluh tahun”[31]
Dalam uraian pasal 104 KUHP diatas terdapat
tiga unsur tindak pidana yang dilakukan :
1) Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk
membunuh kepala negara
2) Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk
menghilangkan kemerdekaan kepala negara dan wakil kepala negara
3) Makar yang dilakukan dengan tujuan untuk
menjadikan kepala negara dan wakil kepala negara tidak dapat menjalankan
pemerintahan sebagaimana mestinya.
Pasal
124 ayat (3) KUHP
“pidana mati atau pidana penjara jika pembuat:
seumur hidup atau selama waktu yang ditentukan paling lama dua puluh tahun
dijatuhkan :
Ke-1 : Memberitahukan atau menyerahkan kepada
musuh, menghancurkan atau merusak sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau
diduduki, suatu alat penghubung, gudang persediaan perang atau kas perang
ataupun angkatan laut, angkatan darat atau bagian daripadanya; merintangi,
menghalang-halangi atau menggagalkan suatu usaha untuk menggenangi air atau
bangunan tentara lainya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis
atau menyerang.
Ke-2 : Menyebabkan atau memperlancar timbulnya
huru hara, pemberontakan atau disersi dikalangan anggatan perang.
Yang
diancam hukuman dalam pasal ini ialah perbuatan-perbuatan pada “waktu perang”
sengaja memberikan pertolongan kepada musuh dan sengaja merugikan negara bagi
keuntungan musuh.[32]
2. Pembunuhan dengan berencana (pasal 340) KUHP
Barang siapa sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan
rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Isi
pasal ini sama saja dengan pasal 338 yang berbunyi:
“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang
lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”
Hanya bedanya, kalau pelaksanaan pembunuhan
yang dimaksud dengan pasal 338 itu dilakukan seketika pada waktu timbulnya
niat, sedangkan kdalam pasal 340 ini pelaksanaan pembunuhan itu ditanggukan
setelah niaat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana pembunuhan itu
akan dilaksanakan.[33]
3. Pencurian yang menyebabkan kematian ( pasal 365
ayat (4) KUHP
Pasal
365
Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika
perbuatan mengakibatkan lukan berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau
lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan
dalam nomor 1 dan 3 pasal 365 ayat (2).
Pasal 365
Nomor 1 :
Jika perbuatan dilakaukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
perkarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan umum, atau dalam kereta api
atau trem yang sedang berjalan
2 : Jika maksudnya ketempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau
memanjaat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian
atau jabatan palsu
4. Pembajakan di laut, di pantai yang dilakukan
dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 444 KUHP
Jika perbuatan kekerasan yang diterangka dalam
pasal 438-441 mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang atau seseorang
yang diserang itu mati, maka nahkoda, panglima atau pemimpin kapal dan mereka
yang turut serta melaksanakan perbuatan kekerasan, diancam dengan pidana mati,
pidana penjara seummur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu paling
lama dua puluh tahun.
Pembajakan adalah sebuah proses perampkan yang
beraksi terhadap perahu-perahu yang melalui atau melewati lautan.
5. Terorisme
Terorisme[34] dibahas
secara detail dalam UU No. 15 Tahun 2013 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme jo
UU No. 9 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pendanaan
Terorisme.
Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah
yang digunakan untuk menggunakan kekerasan terhadap penduduk sipil untuk
mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil dari pada perang.
Dalam pasal 14 Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme berbunyi :
Setiap orang yang merencanakan dan/atau
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, dan
pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup.[35]
6. Narkoba
Narkoba adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri.
Dalam
pasal 133 ayat (1) UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkoba berbunyi :
Setiap orang yang menyuruh, memberi atau
menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberi kemudahan,
memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau
membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana
yng dimaksudkan dalam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115,
pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122,
pasal 123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 129 dipidana denggan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, atai pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah)
7. Korupsi
Dalam
kasus tipikor ini terdapat pidana mati yang secara khusus dijelaskan secara
terperinci yang terdapat dalam UU No 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
pasal 2 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang bunyinya
“Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan” dalam penjelasannya disebutkan
“ yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai
pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang
yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan
tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan
moneter. Penjelasan ini dirubah dengan undang undang no 20 tahun 2001 yang
berbunyi “ yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah
keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan akibat
krisis dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi.
Dalam
buku Korupsi dalam Hukum Pidana Islam karangan Dr. H. M. Nurul Irfan.
M.Ag, Prof. Dr. Jur Andi Hamzah
memberikan kata pengantar,
“Berbeda dengan
daerah maju, tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan tindak pidana yang
sudah terjadi secara luar biasa sehingga usaha pemberantasan juga harus
dilakukan dengan cara yang luar biasa. Diantara bentuk keluarbiasaan itu adalah
dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun
2001
tentang
pemberantasan korupsi sebagai mana yang dimaksud dalam ayat (1) di dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.[36]
Beliau
menambahkan jika dilihat rumusan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tampaknya undang-undang
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia seudah sangat berani
dan sensasional, khususnya dengan adanya tuntutan hukuman mati bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu.[37]
b.
Eksekusi
Pelaksanaan hukuman mati dalam hukum positif
Indonesia sebenarnya telah diatur dalam pasal 11 KUHP yang berbunyi :
“Pidana mati dijalankan oleh algojo pada tempat
gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher
terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”
Pada
tahun 1964 dengan penetapan presiden (Penpres) No. 2 tahun 1964 tanggal 27
April 1964 dikeluarkan peraturan tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang
dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum dan militer.
Dalam
peraturan tersebut telah dijelaskan bahwa pada pelaksanaan pidana matti
tersebut dilakukan dengan cara ditembak mati, tentang tata cara eksekusinya
terdapat dalam bab II yaitu :
BAB
II
TATA
CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN DI LINGKUNGAN
PERADILAN UMUM
Pasal 2
(1) Jika tidak
ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah
hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat
1).
(2) Pidana mati
yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan
secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal
yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu.
Pasal
3
(1) Kepala
Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah
mendengar nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk
pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati.
(2) Jika dalam
penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat
Daerah lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam ayat (1)
merundingkannya dengan Kepala Polisi Komisariat Daerah lain itu.
(3) Kepala
Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan
dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga
serta alat-alat yang diperlukan untuk itu.
Pasal
4
Kepala Polisi
Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk
olehnya menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa
Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya.
Pasal
5
Menunggu
pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain
yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
Pasal
6
(1) Tiga kali
duapuluh empat jam sebelum saat elaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa
tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana
tersebut.
(2) Apabila
terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima
oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.
Pasal
7
Apabila
terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat
puluh hari setelah anaknya dilahirkan.
Pasal
8
Pembela terpidana,
atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri
pelaksanaan pidana mati.
Pasal
9
Pidana mati
dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali
ditetapkan lain oleh Presiden.
Pasal
10
(1) Kepala
Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang terdiri
dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
(2) Khusus untuk pelaksanaan
tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata organiknya.
(3) Regu
Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut
dalam Pasal 4 sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.
Pasal
11
(1) Terpidana
dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
(2) Jika
diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
(3) Terpidana
berpakaian sederhana dan tertib.
(4) Setiba di
tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan
sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.
Pasal
12
(1) Terpidana
dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.
(2) Jika
dipandang perlu, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan
supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran
yang khusus dibuat untuk itu.
Pasal
13
(1) Setelah
terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke
tempat yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
(2) Jarak
antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh
melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.
Pasal
14
(1) Apabila
semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya,
memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
(2) Dengan
segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
(3) Dengan
menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah supaya
bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan
Regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya
ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
(4) Apabila
setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia
belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu
Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras
senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
(5) Untuk memperoleh kepastian
tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.
Pasal
15
(1) Penguburan
diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan kepentingan
umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain.
(2) Dalam hal
terahir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh keluarganya
atau sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan mengindahkan
cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh terpidana.
Pasal
16
(1) Jaksa
Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada
pelaksanaan pidana mati.
(2) Isi dari
pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan yang telah
mendapat kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara
harus diberi catatan yang ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita
acara telah disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan bersangkutan.
(3) Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang
sama seperti aslinya.[38]
Adapun
yang menjadi sebab digantinya hukuman mati secara digantung dengan ditembak
mati adalah sebagai berikut :
1. Bahwa
sulit untuk menemukan algojo untuk melaksanakan hukuman mati tersebut, kalaupun
ada tidak akan bertahan terhadap tekanan-tekanan batin baik didalam driri
sendiri maupun hinaan dari orang lain
2. Bahwa
kemungkinan seseorang yang digantung lama baru mengalami kematian sehingga
merupakan siksaan yang diluar prikemanuasian
3. Menjatuhkan
hukuman mati dengan cara menggantung terpidana sangat mempengaruhi jiwa orang
yang melihatnya untuk melakukan kejahatan
Tentang tata cara
pelaksanaan pidana mati tersebut dikelaskan pada pasal 10 sampai dengan pasal
14 undang-undang No 5 Tahun 1969 tentang tata cara palaksanaan pidana mati yang
dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum dan militer.
[1] Termuat dalam Rumusan
Pertimbangan Undang-undang No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Huruf a.
[2] Untuk
melaksanakan tujuan - tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan - kebijaksanaan
umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber
dan resources yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu,
perlu dimiliki kekuasaan dan kewenangan yang akan dipakai baik untuk membina
kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul karena proses
ini. Prof Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. ke- 30,
(Jakarta : PT Dian Rakyat, 2007 ), h. 8.
[4] Bahwa tindak
pidana korupsi sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara dan
menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Pertimbangan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi huruf a. Setelah itu ditambah lagi oleh
Undang –Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Prubahan atas Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahwa tindak pidana
korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas.
[5] Penulis
ingin memberikan ilustrasi kerusakan struktural organiasasi suatu intansi
pemerintah. Ketika seseorang mendapatkan atau duduk di suatu jabatan tertinggi
dalam suatu instansi pemerintah maka sudah bisa dipastikan bahwa keluarga,
teman dan lain-lainnya yang memiliki hubungan emosional dengannya mendominasi
kedudukan staf-staf, kariawan, pegawai di instansi yang ia kepalai. Tidak itu
saja segala urusan tentang kewenangan yang ia pegang akan sangat mudah bagi
masyarakat/ rakyat yang juga memiliki hubungan emosional dengannya.
[6] Dr. M Nurul
Irfan Mag dalam bukunya mengutip tulisan dari buku H.A.Haysim Muszadi, NU Melawan Korupsi Kajian Tafsir dan
Fiqih, Dr. M Nurul Irfan Mag, op. cit, h. 5
[7] Tranparancy
Internasional yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Tranparancy Internasional
didirikan pada tahun 1993 dan merupakan satu-satunya organisasi non pemerintah
dunia dan non profit, yang mencurahkan perhatian khusus terhadap pemberantasan
korupsi. Saat ini Tranparancy Internasional memiliki 95 nasional chapter
diberbagai dunia. yang salah satunya di indonesia Tranparancy Internasional
Indonesia atau disingkat TI-Indonesia yang didirikan pada bulan Oktober tahun
2000.
[9] Drs. Jeje Abdul Rojak, M.Ag., Penanggulangan Korupsi dalam Persfektif Islam, artikel, makalah
presentasi di fakultas syariah, (Surabaya : IAIN Sunan
Ampel Surabaya, 2009) h. 6, t.d
[11] Kata Islam banyak
terdapat dalam Al-Quran diantaranya, Ali
Imran 19, 85, Al Maidah 3 yang ketiga ayat tersebut menerangkan bahwa Agama
yang diridhai Allah hanya Agama Islam
[13] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) alam n 1 segala yg ada di langit dan
di bumi ( spt bumi, bintang, kekuatan ) : -- sekeliling; 2
lingkungan kehidupan: -- akhirat; 3 segala sesuatu yg termasuk dl
satu lingkungan ( golongan dsb ) dan dianggap sbg satu keutuhan: -- pikiran;
-- tumbuh-tumbuhan; 4 segala daya ( gaya, kekuatan, dsb ) yg
menyebabkan terjadinya dan seakan-akan mengatur segala sesuatu yg ada di dunia
ini: hukum --; ilmu --; 5 yg bukan buatan manusia
[14] Kata ‘rahmatan” kata bahas Arab
yaitu “rohima” yang dimasdarkan menjadi “ rahmatan’ yang
artinya kasih sayang. atau
kelembutan yang berpadu dengan rasa iba. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh
manusia.
Kata “Al-alamin” adalah kata bahasa Arab
yaitu “alam” yang dijama’kan menjadi “alamin” yang
artinya alam semesta yang mencakup bumi beserta isinya. Maka yang dimaksud
dengan islam rahmatan lil’alamin adalah islam yang kehadirannya ditengah
kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia
maupun alam. Islam adalah agama yang benar
berasal dari Allah. Agama yang bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu
dan tempat tertentu. Lingkup keberlakuan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW adalah untuk seluruh umat manusia, di mana pun mereka berada.
Berdasarkan pernyataan ini Islam dapat diterima oleh segenap manusia di muka
bumi ini.
[16] Ketundukan dengan penuh kesadaran adalah hakikat Islam dan
dalam keadaan tunduk yang seperti itu timbul pahala dan dosa. Sesungguhnya
tanda bukti penuh ketundukan kepada Allah ialah rela menerima agama-Nya yang diiringi
pula dengan penuh kesadaran. Ini adalah merupakan agama yang diridhoi Allah,
agama yang diwahyukan kepada Rasul-rasul-Nya untuk disampaikan kepada seluruh
manusia.
[18]
Adbul wahab Khallaf mengatakan “tujuan umum syari’ dalam mensyariatkan
hukum-hukumnya ialah mewujudkan kemaslahatan manjusia dengan menjamin hal-hal
yang dharuri, hajiyat, tahsiniyat. Dan setiap hukum tidaklah dikehendaki
padanya kecuali salah satu yang tiga hal tersebut yang menjadi penyebab
terwujudnya kemaslahatan manusia”.Abdul Wahab Khalllaf, ilmu ushul fiqih,
terjemahan oleh Ahmad Qarib, (semarang : Dina Utama 1994), h. 310
[19] Kelima prinsip dasar inilah yang juga menjadikan Islam
sebagai garda agama rahmatan lil alamin, yang ajaran serta konsep
keagamaan tidaklah ekslusif (tertutup), melainkan bersifat inklusif (terbuka).
Lima jaminan dasar (dharuri) inilah yang memberikan penmapilan terhadap Islam
sebagai agama yang universal, karena jaminan ini tidak hanya diberikan secara
parsial terhadap umat manusia yang memeluk agama Islam, melainkan seluruh umat
manusia baik secara personal maupun komunal.
1)
Pembalasan
berdasarkan tuntutan mutlak dari ethica
yakni setiap yang melawan hukum itu harus dibalas
2)
Pembalasan
bersambut (dialektis) dalam hal ini hegel menyatakan “hukum adalah perwujudan
dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan merupakan tantangan kepada hukum ddan
keadilan”, dalam hal ini jelaslah bahwa kejahatan secaraa mutlak harus
dilenyapkan dengan memnerikan ketidak adilan (pidana) kepada para pelaku
kejahatan
3)
Pembalasan demi
keindahan atau kepuasan.
Teoti ini dikemukakan oleh herbart yang menyatakan bahwa “ adalah merupakan
tuntutan mutlak dari perasaan ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan
untuk menghukum pelaku tindak pidana itnuk itu agar ketidak puasan masyarakat
terimbangi atau rasa keindahan masyarakat terpenuhi kembali
4)
Pembalasan
sesuai dengan ajaran tuhan (agama)
Teori ini dikemukakan oleh atal, gewin, dan thomas aquino, dimana mereka
mengemukakan bahwa “kejahatan mmerupakan pelanggaran terhadap peri keadialan
tuhan dan ini harus di tiadakan”
5)
Pembalasan
sebagai kehendak manusia
Dalam hal ini penganutnya adalah mazhab hukum alam seperti jean jacques
rousseu, hugo se groot dimana mereka berpenapat bahwa “ negara sebagai hasil
kehendak manusia yang mendasarkan bahwa pemindanaan yang dilakukan kepada
seseorang yang telah melakukan kejahatan sebagai perwuudan dari kehendak
manusia yang merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan,
maka dia akan menerima sesuatu yang jahat
[22] Nelvitia Purba, Suatu Analisa Perkembangan Konsep Pidana Mati di
Indonesia, tesis Program Studi Ilmu Hukum Pada Pascasarjana Universitas
Sumatra Utara (Sumatra Utara : Program Studi Ilmu Hukum Pada
Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, 2004), h. 27, t.d
[28] Drs. Ermansjah Djaja, S.H.,M.Si, Memberantas
Korupsi Bersama KPK (Kajian YuridisNormatif UU Nomor 31 Thun 1999 juncto UU
Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002, (Jakarta : Sinar Grafika,
2009), cet ke-2, h. 41
[29] Dalam UUD 1945 pasal 11 dinyatakan, bahwa
perang adalah perang yang dinyatakan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dan menurut pasal 12 UUD 1945, Presiden dapat menyatakan
wilayah Republik Indonesia atau daerah-daerah bagiannya dalam keadaan bahaya.
[30] Drs.
Ermansjah Djaja, S.H.,M.Si, , op. cit, h. 41
Yang disebut masa perangtermasuk juga selama perang sedang mengancam.
Begitu juga dikatakan masih ada masa perang segera sesudah telah diperintahkan mobilisasi
angkatan perang dan selam mobilisasi berlaku.
Sedangkan dalam UUD 1945 pasal 11 dinyatakan, bahwa perang tersebut adalah
perang yang dinyatakan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
dan menurut pasal 12 UUD 1945, Presiden dapat menyatakan wilayah Republik
Indonesia atau daerah-daerah bagiannya dalam keadaan bahaya.
[33] Jarak waktu antara timbulnya niat untuk
membunuh dan pelaksanaan pembunuhan itu masih sedemikian renggang, sehingga
sipelaku masih dapat berfikir, apakah tindakan membunuh itu diteruskan atau
dibatalkan, atau merencanakan dengan cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu
[34] Menurut KBBI terorisme adalah penggunaan
kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan
(terutama tujuan politik)
Teroris adalah
orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut
Teror adalah
perbuatan sewenang-wenang, kejam, bengis, dalam usaha menciptakan, kengerian
oleh seseorang atau golongan.
[35] Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme yang pada akhirnya menjadi UU No. 15 Tahun 2013 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme
[38] UU No 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No
5 Tahun 1969
Tidak ada komentar:
Posting Komentar