Powered By Blogger

jam

_

assalammualaikum

semoga bermanfaat

Senin, 10 November 2014

MANUSIA ZON POLITICON



A.    Latar Belakang
a.       Manusia sebagai objek ilmu
Definisi manusia secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo Sapiens, sebuah spesies primate dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Manusia secara kerohanian merupakan Mereka yang menggunakan konsep jiwa yang bervariasi dimana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan  atau makhluk hidup.
Dalam sebuah mitos, manusia seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, manusia dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka  di masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, serta berdasarkan kemampuan mereka membentuk sebuah kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.[1]
Dalam ilmu mantiq (logika) manusia disebut sebagai Al-Insanu hayawanun nathiq[2] (manusia adalah binatang yang berfikir). Nathiq sama dengan berkata-kata dan mengeluarkan pendapatnya berdasarkan pikirannya.[3] Sebagai binatang yang berpikir manusia berbeda dengan hewan. Salah satu ciri yang membedakan manusia dari hewan terletak pada potensi nalar (nathiq), kegiatan nalar, atau kegiatan berpikir dalam merenungkan objek pikiran. Eksistensi dan fungsionalisasi akal dapat meningkatkan deerajat dan status keberadaan manusia dalam menjalankan tugas sebagai pemegang amanat “ibadah”,”risalah”, dan “khalifah” dimuka bumi ini.[4]
Dibawah ini penulis akan memberikan beberapa defenisi manusia dari berbagai dimensi ilmu pengetahuan
1.      Dari pandangan filsafat
Informasi secara tertulis tentang hal ini baru terlacak pada masa Para pemikir kuno Romawi yang konon dimulai dari Thales (abad 6 SM).[5] Beberapa ahli filsafat berbeda pemikiran dalam mendefinisikan manusia. Manusia adalah makhluk yang concerned (menaruh minat yang besar) terhadap hal-hal yang berhubungan dengannya, sehingga tidak ada henti-hentinya selalu bertanya dan berpikir. Sehingga oleh Beerling (Guru Besar Filsafat) menyebutkannya sebagai “tukang bertanya” atau Sartre[6] (filosof eksistensi Perancis) menyebutkan bahwa manusia adalah sifatnya bertanya.[7] Demikian juga Sokrates[8] (470-399 SM) mengajak manusia untuk memperhatikan diri sendiri agar sadar akan dirinya dengan kata hikmahnya yang terkenal “Gnothi Seantho” yang artinya kenalilah dirimu.[9]
Rene Descartes[10] (1596-1650) mengatakan “Cogito Ergo Sum” (saya berfikir sebab itu saya ada). Di samping itu Aristoteles[11] (384-322 SM), seorang filosof besar Yunani mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal-pikirannya.[12] Juga manusia adalah hewan yang berpolitik (zoonpoliticon, political animal), hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokkan yang impersonal[13] dari pada kampung dan negara. Manusia berpolitik karena ia mempunyai bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus dipatuhi. Ini berbeda dengan binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan suatu cita keadilan.
Filosof terkenal dan termasyhur Islam Ibnu Sina atau Avvicena[14] (980–1037), menyebutkan adanya tujuh kesanggupan manusia, yaitu: (l) makan, (2) tumbuh, (3) berkembang biak, (4) pengamatan hal-hal yang istimewa, (5) pergerakan dibawah kekuasaan, (6) ketahuan dari hal-hal yang urnum dan (7) kehendak memilih yang bebas. Tumbuh-tumbuhan memiliki kesanggupan 1, 2, dan 3. Hewan mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5. Sedangkan manusia mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Yang dimaksud dengan ketahuan pada angka 6 ialah segala yang kita ketahui, berbeda dengan pengetahuan.
Sedangkan As-Syaikh Musthafa al-Maraghi[15] ketika menafsirkan makna hidayah dalam surat al-Fatihah menerangkan bahwa ada lima macam dan tingkatan hidayah yang dianugerahkan Allah s.w.t. kepada manusia, yaitu: 1. Hidayahal-Ilham gharizahatau (insting). 2.  Hidayah al-Hawasy, (indra). 3.   Hidayah al- ‘Aql, (akal budi). 4.   Hidayah al-Adyan, (agama). 5.   Hidayah at-TaufikHidayah al- ‘Aql (ke 3) lebih tinggi tingkatannya dari hidayah terdahulu (insting dan indra yang dianugerahkan Tuhan kepada hewan). Dan pada hidayah aql pula yang membedakan antara manusia dan binatang. Di samping itu, di atas akal budi terdapat hidayah agama dan hidayah at-taufiq.
Sehubungan dengan tingkat-tingkat eksistensi atau tingkat-tingkat keberadaan makhluk di alam semesta, E.P. Schumacher seorang ekonom dan filosof membagi menjadi beberapa tingkatan: a) Tingkat eksistensi (keberadaan) benda mati yang tersusun dari pelikan (mineral), seperti batu, tanah dan lain-lain. b) Tingkat eksistensi tumbuh-tumbuhan yang tersusun dari unsure pelikan dan unsur hidup. Unsur pelikan adalah bagian yang kelihatan dan unsur hidup adalah ghaib. c) Tingkat eksistensi hewan yang tersusun dari unsur pelikan, unsur hidup dan unsur kesadaran. Unsur kesadaran ini yang hewan beraksi kapan dia mau makan, minum, berteduh, tidur, mengelak dari bahaya, membela diri atau menyerang bila perlu. d) Tingkat eksistensi tertinggi di dalam alam semesta fisika adalah manusia yang tersusun dari unsur pelikan, unsur hidup, kesadaran dan sadar diri. Unsur sadar diri inilah yang menjadikan manusia mempunyai rasa malu; punya konsep aku, engkau dan dia; punya konsep dimensi waktu: kemaren, kini dan esok; punya konsep harga diri, adab dan sopan santun. Jadi unsur sadar dirilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, menurut E.F. Schumacher.
2.      Manusia dalam pandangan ilmu pengetahuan
Dalam hal mendefenisikan manusia secara ilmiah terdapat beberapa perbedaan pendapat ahli yang mungkin disebabkan oleh banyak hal diantaranya berdasarkan konsentrasi keilmuan yang menjadi pijakan pendapat tersebut, peran multidimensi yang dimainkan manusia, serta perkembangan zaman yang terus bergerak kedepan.
Dalam ruang lingkup psikologi pada umumnya berpendapat bahwa penentu dalam perilaku manusia adalah keadaan jasmani, kualitas kejiwaan dan situasi lingkungan.[16] Sampai sekarang secara garis besar terdapat empatt aliran psikologi, yaitu psikoanalisis, perilaku, humanistik, tranpersonal.[17]
Pertama psikoanalisis. Tokoh utama dari aliran ini adalah Simund Freud,seorang neurolog yang bersal dari Austria. Para penganut teori psikoanalisis menyebut manusia sebagai homo volens (manusia berkeinginan). Menurut aliran ini manusia adalah makhluk yang memiliki perilaku hasil interaksi antara komponen biologis (id), psikologis (ego) dan sosial (superego), Di dalam diri manusia terdapat unsur animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai).[18]
Kedua Perilaku atau behaviorisme yaitu mencoba mereduksi fenomena mental manusia menjadi pola-pola perilaku, dan perilaku menjadi proses-proses fisiologi yang di atur oleh hukum-hukum fisika dan kimia. Behaviorisme meletakkan perilaku sebagai hasil proses belajar topik sentralnya. Dalam pandangan behavioris, menurut watson (tokoh psikologi perilaku), organisme hidup merupakan mesin komplek yang bereaksi terhadap ransangan-ransangan dari luar. Psikologi ini melihat bahwa pada hakikatnya manusia itu netral, baik buruk perilakuannya ditentukan oleh perlakuan atau situasi sekitarnya.[19]  
Para penganut teori humanisme menyebut manusia sebagai homo ludens (manusia bermain atau manusia memiliki otoritas pribadi). Aliran ini mengecam teori psikoanalisis dan behaviorisme karena keduanya dianggap tidak menghormati manusia sebagai manusia. Keduanya tidak dapat menjelaskan aspek eksistensi manusia yang positif dan menentukan seperti cinta, kreatifitas, nilai, makna, dan pertumbuhan pribadi. Menurut humanisme manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri.teori ini dipelopori oleh Abraham Maslow yang mengatakan kesimpulan-kesimpulan yang didasarkan atas pengamatan terhadap orang-orang yang dalam kondisi sakit dan bukannya kepada manusia yang dalam kondisi terbaik cenderung menghasilkan pandangan yang kabur mengenai hakikat manusia.[20]
Selanjutnya psikologi transpersonal, seperti juga psikologi humanistik manaruh perhatian kepada potensi spiritual manusia yang ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa yang sejauh ini tak mampu ditembus oleh aliran psikologi yang lainnya. Yang menbedakan keduanya adalah humanistik lebih menekan penggunaan potensi ini sebagai sarana untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan transpersonal lebih menekan penggunaannya sebagai pengalaman pribadi atau subjektif tranendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi spritual ini.[21]
Dalam kafasitas kedokteran mendefenisikan manusia ke bagian peran untuk memahami tubuh manusia yang jelas-jelas memiliki sifat material ini. Dunia kedokteran cendrung mengannggap tubuh manusia ini sebagai mesin yang bisa dianalisis bagian-bagiannya. Gangguan terhadap tubuh itu (penyakit) dianggap sebagai ketidak berfungsian mekanisme biologi yang dipelajari dari sudut pandang biologi sel dan molekul.[22]
3.      Manusia dari Sudut Pandang Islam
Dalam Al-Quran maupun as-sunnah terdapat beberapa kata yang menjelaskan eksistensi manusia sebagai salah satu makhluq yang diciptakan Allah SWT  dengan berbagai peran dan identitas dalam mengarungi kehidupan dunia.
  1. Dari aspek historis penciptaan manusia disebut dengan Bani Adam (Q.S. Al-A’raaf, 7:31).
  2. Dari aspek biologis manusia disebut dengan basyar yang mencerminkan sifat-sifat fisik-kimia-biologisnya (Q.S. Al-Mukminun, 23: 33).
  3. Dari aspek kecerdasan manusia disebut dengan insan yakni makhluk terbaik yang diberi akal sehingga mampu menyerap pengetahuan (Q.S. Ar-Rahmaan, 55: 3-4).
  4. Dari aspek sosiologisnya disebut annas yang menunjukkan sifatnya yang berkelompok sesama jenisnya (Q.S. Al-Baqarah, 2: 21).
  5. Dan dari aspek posisinya disebut ‘abdun (hamba) yang menunjukkan kedudukannya sebagai hamba Allah yang harus tunduk dan patuh kepadanya-Nya (Q.S. Saba’, 34:9).
Disamping itu Al-Quran maupun As-Sunnah juga menggambarkan manusia dengan ungkapan “Nafs” dan “Khalifah” dengan berbagai tafsir dan makna yang cukup beragam. Dalam rangkaian hadist Rasullah SAW penggunaan kata nafs dapat ditemukan dalam makna wijdaan, suluuk, syu’uur (feeling) maupun ihsan (sensation) yang semuanya menunjuk kepada sesuatu yang terbetik atau bergejolak didalam diri manusia. Dengan sesuatu inilah manusia kemudian memiliki perasaan dan emosi terhadap sesuatu yang selanjutnya diterjemahkan kedalam tingkah laku. Disamping itu kata nafs didalam hadist terkadang juga digunakan dalam makna zat/esensi manusia yang memiliki wujud tersendiri. Dengan zat itulah manusia memiliki kemampuan untuk menilai atau memberi tanggapan terhadap berbagai hal. Dr.Saad Riyadh dalam bukunya juga menambahkan selain makna diatas, kata nafs juga dipakai dalam makna ruh, yaitu yang dengannya seseorang manusia bisa hidup diatas dunia ini.[23]
Manusia yang dalam Al-Quran dijelaskan Oleh Allah SWT sebagai Khalifah di permukaan bumi ini.  Allah menciptakan manusia tidak sekadar untuk permainan, tetapi untuk melaksanakan tugas yang berat.[24] menunaikan amanah yang manusia memang telah bersedia untuk menerimanya,[25] yaitu melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi dan misinya untuk menciptakan kemakmuran di muka bumi. Fungsi sebagi khalifah ditunjukkan oleh ayat:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [26]
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa (khalifah) di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sehagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksanya dan sesungguhnya Dia M aha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-An’am, 6: 165)
Misi manusia adalah membuat kemakmuran di muka bumi dengan jalan menegakkan sebuah tata sosial yang bermoral untuk terwujudnya masyarakat yang beradab, adil dan makmur untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hal ini bisa ditelusuri dalam firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. al-Anbiya’, 21: 107)
Di samping kewajiban untuk menunaikan amanah sebagai khalifah, maka kewajiban yang lain yang langsung kepada Allah adalah “Ibadah”. Allah bahkan telah menegaskan bahwa manusia diciptakan memang untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah KU.” (Q.S. adz-Dzariyat, 51: 56)
Oleh karena itu manusia hams mengabdikan diri sepenuhnya untuk menghambakan diri semata-mata karena Allah.
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-An’am, 6: 162)
Jadi sebenamya seluruh aktivitas manusia adalah mempunyai nilai ibadah apabila dilakukan dalam rangka penunaian amanah sebagai khalifah untuk menuju tercapainya cita-cita agama Islam.
Berdasarkan paparan tersebut maka jelas oleh kita bahwa Khalifah (pemimpin) merupakan tujuan awal penciptaan manusia di muka bumi ini yang setelah itu baru diiringi oleh Surat adz-Dzariyat, ayat 51: 56 yang menerangkan bahwa penciptaan jin dan manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT.


[1] Dalam wikipedia dengan situs http://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
[2] Syukriadi mendefenisikan Al-Insanu hayawanun nathiq yaitu hambah Allah yang menggunakan potensi hidayah akal dalam memikirkan objek pikir yang berupa ayat-ayat Allah yang tertulis (qur’aniyah) serta tanda-tanda kekuasaan Allah dalam realitas alam dan hukumnya (kauniyah). Dialah yang dalam terminologi alquran disebut Ulul-Albab. H. Syukriadi Sambas, M.Si, mantik kaidah berpikir islami,(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), h. 24  
[3] H. Endang Saifuddin anshari, M.A, wawasan islam pokok-pokok pikiran paradigma dan sistem islam, (Bandung : Gema Inssani 2004), h. 8
[4] Op cit, h. 24
[5] Thales (624-546 SM) lahir di kota Miletus yang merupakan tanah perantauan orang-orang Yunani di Asia Kecil.Thales adalah seorang filsuf yang mengawali sejarah filsafat Barat pada abad ke-6 SM. Sebelum Thales, pemikiran Yunani dikuasai cara berpikir mitologis dalam menjelaskan segala sesuatu. Pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama karena mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio manusia. Ia juga dikenal sebagai salah seorang dari Tujuh Orang Bijaksana (dalam bahasa Yunani hoi hepta sophoi), yang oleh Aristoteles diberi gelar 'filsuf yang pertama'. Selain sebagai filsuf, Thales juga dikenal sebagai ahli geometri, astronomi, dan politik. wikipedia.org
[6]Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. wikipedia.org
[7] Loc cit, H. Endang Saifuddin anshari, M.A, h. 8
[8] Socrates (Yunani: Σωκράτης, Sǒcratēs) (469 SM - 399 SM) adalah filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat.wikipedia.org
[9] Dalam bukunya H. Endang Saifuddin anshari, M.A menambahkan pendapat dari William P.Tolley yang mengatakan pertanyaan manusia tak kunjung berakhir tak habis habisnya, apakah manusia?, apakah alam?, apakah keadilan?, apakah kewajiban?, apakah kebahagiaan?, apakah tuhan?, berdeda dengan hewan manusia itu adalah concerned (menaruh minat yang sanngat) mengenai asal mula dan akhirnya serta mengenai maksud dan tujuannya, mengenai makna dan hakikat kenyataan. H. Endang Saifuddin anshari, M.A, wawasan islam pokok-pokok pikiran paradigma dan sistem islam, (Bandung : Gema Inssani 2004), h. 9
[10] René Descartes (ʀəˈne deˈkaʀt) lahir di La Haye, Perancis, 31 Maret 1596 dan meninggal di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650 pada umur 53 tahun, beliau juga dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur berbahasa Latin, yang merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis.wikipedia.org
[11] Aristoteles (‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 SM – 322 SM) adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander yang Agung. Ia menulis tentang berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat, Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia.wikipedia.org
[12] Loc cit, H. Endang Saifuddin anshari, M.A, h. 8
[13] Netral;tidak mengenai orang yang tertentu;tidak bersifat pribadi, Farida Hamid, S.Pd., Kamus Ilmiyah Populer Lengkap, (surabaya : Apolo, )h.214
[14] Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (Persia ابوعلى سينا Abu Ali Sina atau dalam tulisan arab : أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا). Ibnu Sina lahir pada 980 di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (sekarang Persia), dan meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (Iran).Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai "bapak kedokteran modern.
[15] al-Imam Syaikh Muhammad bin Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi, lahir di desa Maraghah Propinsi Suhaj, Mesir pada tanggal 7 Rajab 1298 H/ 9 Maret 1881 M. Beliau pernah menjadi Qadhi negara Sudan, tahun 1908 M, Kepala peneliti syariat di Kementrian Kehakiman Mesir,  tahun 1919 M, Kepala Mahkamah Mesir, tahun 1920 M, Pada tanggal 22 Mei 1928 M Syaikh Muhammad Musthafa al-Maraghi diangkat menjadi Syaikh al-Azhar, Pada malam 14 Ramadhan 1364 H/ 22 Agustus 1945 M
[16] Dr.Saad Riyadh menjelaskan dalam Bukunya Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah “bahwa maksud dari identitas seorang manusia itu adalah suatu sistem menyeluruh tentang sifat-sifat jasmani dan kejiwaannya yang bersifat tetap sehingga membuatnya membuatnya berbeda dengan individu yang lain. Identitas dimaksud terrepleksikan dalam sisitem tingkah laku, reaksi, serta interaksi individu tersebut dengan lingkungan luar yang melingkupinya, baik yang bersifat material maupun sosial. Dr.Saad Riyadh, Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah, (Jakarta : Gema Insani, 2007), h. 71
[17] Mustamir Pedak, Metode Super Nol Menaklukkan Stres, ( Bandung : Hikmah, cet I 2009), h. 17
[18] ibid
[19] Ibid, h. 20
[20] Ibid, h. 24
[21]  Ibid, h. 31
[22] George Engel mengatakan bahwa kedokteran masih didasarkan atas “pengertian tubuh sebagai mesin, dan penyakit sebagai konsekkuensi rusaknya mesin, dan tugas dokter memperbaiki mesin itu”. Mustamir Pedak, Metode Super Nol Menaklukkan Stres, ( Bandung : Hikmah, cet I 2009), h. 33
[23] Loc cit, Dr.Saad Riyadh, h. 47
[24] Lihat Q.S. al-Mu’minun, 23: 115
[25] Lihat Q.S. al-Ahzab, 33: 72
[26] Q.S. al-Baqarah, 2: 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar