A. Latar
Belakang
a. Manusia
sebagai objek ilmu
Definisi
manusia secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo Sapiens, sebuah
spesies primate dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi.
Manusia secara kerohanian merupakan Mereka yang menggunakan konsep jiwa yang
bervariasi dimana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan
ketuhanan atau makhluk hidup.
Dalam
sebuah mitos, manusia seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam
antropologi kebudayaan, manusia dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya,
organisasi mereka di masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya,
serta berdasarkan kemampuan mereka membentuk sebuah kelompok dan lembaga untuk
dukungan satu sama lain serta pertolongan.[1]
Dalam ilmu mantiq
(logika) manusia disebut sebagai Al-Insanu hayawanun nathiq[2] (manusia
adalah binatang yang berfikir). Nathiq sama dengan berkata-kata dan
mengeluarkan pendapatnya berdasarkan pikirannya.[3]
Sebagai binatang yang berpikir manusia berbeda dengan hewan. Salah satu ciri
yang membedakan manusia dari hewan terletak pada potensi nalar (nathiq), kegiatan
nalar, atau kegiatan berpikir dalam merenungkan objek pikiran. Eksistensi dan
fungsionalisasi akal dapat meningkatkan deerajat dan status keberadaan manusia
dalam menjalankan tugas sebagai pemegang amanat “ibadah”,”risalah”, dan
“khalifah” dimuka bumi ini.[4]
Dibawah
ini penulis akan memberikan beberapa defenisi manusia dari berbagai dimensi
ilmu pengetahuan
1. Dari
pandangan filsafat
Informasi secara
tertulis tentang hal ini baru terlacak pada masa Para pemikir kuno Romawi yang
konon dimulai dari Thales (abad 6 SM).[5]
Beberapa
ahli filsafat berbeda pemikiran dalam mendefinisikan manusia. Manusia adalah
makhluk yang concerned (menaruh minat yang besar) terhadap hal-hal
yang berhubungan dengannya, sehingga tidak ada henti-hentinya selalu bertanya
dan berpikir. Sehingga oleh Beerling (Guru Besar Filsafat) menyebutkannya
sebagai “tukang bertanya” atau Sartre[6]
(filosof eksistensi Perancis) menyebutkan bahwa manusia adalah sifatnya
bertanya.[7]
Demikian juga Sokrates[8]
(470-399 SM) mengajak manusia untuk memperhatikan diri sendiri agar sadar akan
dirinya dengan kata hikmahnya yang terkenal “Gnothi Seantho” yang
artinya kenalilah dirimu.[9]
Rene
Descartes[10]
(1596-1650) mengatakan “Cogito Ergo Sum” (saya berfikir sebab itu saya ada). Di
samping itu Aristoteles[11]
(384-322 SM), seorang filosof besar Yunani mengemukakan bahwa manusia adalah
hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara
berdasarkan akal-pikirannya.[12]
Juga manusia adalah hewan yang berpolitik (zoonpoliticon, political animal),
hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokkan
yang impersonal[13] dari
pada kampung dan negara. Manusia berpolitik karena ia mempunyai bahasa yang memungkinkan
ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam masyarakat manusia mengenal
adanya keadilan dan tata tertib yang harus dipatuhi. Ini berbeda dengan
binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan suatu cita keadilan.
Filosof
terkenal dan termasyhur Islam Ibnu Sina atau Avvicena[14]
(980–1037), menyebutkan adanya tujuh kesanggupan manusia, yaitu: (l) makan, (2)
tumbuh, (3) berkembang biak, (4) pengamatan hal-hal yang istimewa, (5)
pergerakan dibawah kekuasaan, (6) ketahuan dari hal-hal yang urnum dan (7)
kehendak memilih yang bebas. Tumbuh-tumbuhan memiliki kesanggupan 1, 2, dan 3.
Hewan mempunyai kesanggupan 1, 2, 3, 4, dan 5. Sedangkan manusia mempunyai
kesanggupan 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Yang dimaksud dengan ketahuan pada angka 6
ialah segala yang kita ketahui, berbeda dengan pengetahuan.
Sedangkan
As-Syaikh Musthafa al-Maraghi[15]
ketika menafsirkan makna hidayah dalam surat al-Fatihah menerangkan
bahwa ada lima macam dan tingkatan hidayah yang dianugerahkan Allah s.w.t.
kepada manusia, yaitu: 1. Hidayahal-Ilham gharizahatau (insting).
2. Hidayah al-Hawasy, (indra). 3. Hidayah
al- ‘Aql, (akal budi). 4. Hidayah al-Adyan,
(agama). 5. Hidayah at-Taufik. Hidayah al- ‘Aql (ke
3) lebih tinggi tingkatannya dari hidayah terdahulu (insting dan indra yang
dianugerahkan Tuhan kepada hewan). Dan pada hidayah aql pula
yang membedakan antara manusia dan binatang. Di samping itu, di atas akal budi
terdapat hidayah agama dan hidayah at-taufiq.
Sehubungan
dengan tingkat-tingkat eksistensi atau tingkat-tingkat keberadaan makhluk di
alam semesta, E.P. Schumacher seorang ekonom dan filosof membagi menjadi
beberapa tingkatan: a) Tingkat eksistensi (keberadaan) benda mati yang tersusun
dari pelikan (mineral), seperti batu, tanah dan lain-lain. b) Tingkat
eksistensi tumbuh-tumbuhan yang tersusun dari unsure pelikan dan unsur hidup.
Unsur pelikan adalah bagian yang kelihatan dan unsur hidup adalah ghaib. c)
Tingkat eksistensi hewan yang tersusun dari unsur pelikan, unsur hidup dan
unsur kesadaran. Unsur kesadaran ini yang hewan beraksi kapan dia mau makan,
minum, berteduh, tidur, mengelak dari bahaya, membela diri atau menyerang bila
perlu. d) Tingkat eksistensi tertinggi di dalam alam semesta fisika adalah
manusia yang tersusun dari unsur pelikan, unsur hidup, kesadaran dan sadar
diri. Unsur sadar diri inilah yang menjadikan manusia mempunyai rasa malu;
punya konsep aku, engkau dan dia; punya konsep dimensi waktu: kemaren, kini dan
esok; punya konsep harga diri, adab dan sopan santun. Jadi unsur sadar dirilah
yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, menurut E.F. Schumacher.
2.
Manusia dalam pandangan ilmu
pengetahuan
Dalam hal
mendefenisikan manusia secara ilmiah terdapat beberapa perbedaan pendapat ahli
yang mungkin disebabkan oleh banyak hal diantaranya berdasarkan konsentrasi
keilmuan yang menjadi pijakan pendapat tersebut, peran multidimensi yang
dimainkan manusia, serta perkembangan zaman yang terus bergerak kedepan.
Dalam ruang
lingkup psikologi pada umumnya berpendapat bahwa penentu dalam perilaku manusia
adalah keadaan jasmani, kualitas kejiwaan dan situasi lingkungan.[16]
Sampai sekarang secara garis besar terdapat empatt aliran psikologi, yaitu psikoanalisis,
perilaku, humanistik, tranpersonal.[17]
Pertama
psikoanalisis. Tokoh utama dari aliran ini adalah Simund Freud,seorang neurolog
yang bersal dari Austria. Para penganut teori psikoanalisis menyebut manusia
sebagai homo volens (manusia berkeinginan). Menurut aliran ini manusia adalah
makhluk yang memiliki perilaku hasil interaksi antara komponen biologis (id),
psikologis (ego) dan sosial (superego), Di dalam diri manusia terdapat unsur
animal (hewani), rasional (akali), dan moral (nilai).[18]
Kedua
Perilaku atau behaviorisme yaitu mencoba mereduksi fenomena mental manusia
menjadi pola-pola perilaku, dan perilaku menjadi proses-proses fisiologi yang
di atur oleh hukum-hukum fisika dan kimia. Behaviorisme meletakkan perilaku
sebagai hasil proses belajar topik sentralnya. Dalam pandangan behavioris,
menurut watson (tokoh psikologi perilaku), organisme hidup merupakan mesin
komplek yang bereaksi terhadap ransangan-ransangan dari luar. Psikologi ini
melihat bahwa pada hakikatnya manusia itu netral, baik buruk perilakuannya
ditentukan oleh perlakuan atau situasi sekitarnya.[19]
Para
penganut teori humanisme menyebut manusia sebagai homo ludens (manusia bermain
atau manusia memiliki otoritas pribadi). Aliran ini mengecam teori
psikoanalisis dan behaviorisme karena keduanya dianggap tidak menghormati
manusia sebagai manusia. Keduanya tidak dapat menjelaskan aspek eksistensi manusia
yang positif dan menentukan seperti cinta, kreatifitas, nilai, makna, dan
pertumbuhan pribadi. Menurut humanisme manusia berperilaku untuk
mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri.teori ini dipelopori
oleh Abraham Maslow yang mengatakan kesimpulan-kesimpulan yang didasarkan atas
pengamatan terhadap orang-orang yang dalam kondisi sakit dan bukannya kepada
manusia yang dalam kondisi terbaik cenderung menghasilkan pandangan yang kabur
mengenai hakikat manusia.[20]
Selanjutnya
psikologi transpersonal, seperti juga psikologi humanistik manaruh perhatian
kepada potensi spiritual manusia yang ternyata memiliki kemampuan yang luar
biasa yang sejauh ini tak mampu ditembus oleh aliran psikologi yang lainnya.
Yang menbedakan keduanya adalah humanistik lebih menekan penggunaan potensi ini
sebagai sarana untuk peningkatan hubungan antar manusia, sedangkan
transpersonal lebih menekan penggunaannya sebagai pengalaman pribadi atau
subjektif tranendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi spritual ini.[21]
Dalam
kafasitas kedokteran mendefenisikan manusia ke bagian peran untuk memahami
tubuh manusia yang jelas-jelas memiliki sifat material ini. Dunia kedokteran
cendrung mengannggap tubuh manusia ini sebagai mesin yang bisa dianalisis
bagian-bagiannya. Gangguan terhadap tubuh itu (penyakit) dianggap sebagai
ketidak berfungsian mekanisme biologi yang dipelajari dari sudut pandang
biologi sel dan molekul.[22]
3.
Manusia dari Sudut Pandang Islam
Dalam
Al-Quran maupun as-sunnah terdapat beberapa kata yang menjelaskan eksistensi
manusia sebagai salah satu makhluq yang diciptakan Allah SWT dengan berbagai peran dan identitas dalam
mengarungi kehidupan dunia.
- Dari aspek historis penciptaan manusia disebut dengan Bani Adam (Q.S. Al-A’raaf, 7:31).
- Dari aspek biologis manusia disebut dengan basyar yang mencerminkan sifat-sifat fisik-kimia-biologisnya (Q.S. Al-Mukminun, 23: 33).
- Dari aspek kecerdasan manusia disebut dengan insan yakni makhluk terbaik yang diberi akal sehingga mampu menyerap pengetahuan (Q.S. Ar-Rahmaan, 55: 3-4).
- Dari aspek sosiologisnya disebut annas yang menunjukkan sifatnya yang berkelompok sesama jenisnya (Q.S. Al-Baqarah, 2: 21).
- Dan dari aspek posisinya disebut ‘abdun (hamba) yang menunjukkan kedudukannya sebagai hamba Allah yang harus tunduk dan patuh kepadanya-Nya (Q.S. Saba’, 34:9).
Disamping
itu Al-Quran maupun As-Sunnah juga menggambarkan manusia dengan ungkapan “Nafs”
dan “Khalifah” dengan berbagai tafsir dan makna yang cukup beragam. Dalam
rangkaian hadist Rasullah SAW penggunaan kata nafs dapat ditemukan dalam
makna wijdaan, suluuk, syu’uur (feeling) maupun ihsan (sensation)
yang semuanya menunjuk kepada sesuatu yang terbetik atau bergejolak didalam
diri manusia. Dengan sesuatu inilah manusia kemudian memiliki perasaan dan
emosi terhadap sesuatu yang selanjutnya diterjemahkan kedalam tingkah laku. Disamping
itu kata nafs
didalam hadist terkadang juga digunakan dalam makna zat/esensi manusia yang
memiliki wujud tersendiri. Dengan zat itulah manusia memiliki kemampuan untuk
menilai atau memberi tanggapan terhadap berbagai hal. Dr.Saad Riyadh dalam
bukunya juga menambahkan selain makna diatas, kata nafs juga dipakai dalam makna
ruh, yaitu yang dengannya seseorang manusia bisa hidup diatas dunia ini.[23]
Manusia yang
dalam Al-Quran dijelaskan Oleh Allah SWT sebagai Khalifah di permukaan bumi
ini. Allah menciptakan manusia tidak
sekadar untuk permainan, tetapi untuk melaksanakan tugas yang berat.[24]
menunaikan amanah yang manusia memang telah bersedia untuk menerimanya,[25]
yaitu melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi dan misinya untuk
menciptakan kemakmuran di muka bumi. Fungsi sebagi khalifah ditunjukkan oleh
ayat:
وَإِذْ قَالَ
رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ
بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.” [26]
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَئِفَ الأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ
بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ
الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan Dialah
yang menjadikan kamu penguasa-penguasa (khalifah) di bumi dan Dia meninggikan
sebagian kamu atas sehagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat
siksanya dan sesungguhnya Dia M aha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S.
al-An’am, 6: 165)
Misi manusia
adalah membuat kemakmuran di muka bumi dengan jalan menegakkan sebuah tata
sosial yang bermoral untuk terwujudnya masyarakat yang beradab, adil dan makmur
untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hal ini bisa ditelusuri dalam firman
Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (Q.S.
al-Anbiya’, 21: 107)
Di samping
kewajiban untuk menunaikan amanah sebagai khalifah, maka kewajiban yang lain
yang langsung kepada Allah adalah “Ibadah”. Allah bahkan telah menegaskan bahwa
manusia diciptakan memang untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana firman
Allah sebagai berikut:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah KU.” (Q.S.
adz-Dzariyat, 51: 56)
Oleh karena
itu manusia hams mengabdikan diri sepenuhnya untuk menghambakan diri
semata-mata karena Allah.
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
“Katakanlah:
‘Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-An’am, 6: 162)
Jadi
sebenamya seluruh aktivitas manusia adalah mempunyai nilai ibadah apabila
dilakukan dalam rangka penunaian amanah sebagai khalifah untuk menuju
tercapainya cita-cita agama Islam.
Berdasarkan
paparan tersebut maka jelas oleh kita bahwa Khalifah (pemimpin) merupakan
tujuan awal penciptaan manusia di muka bumi ini yang setelah itu baru diiringi
oleh Surat adz-Dzariyat, ayat 51: 56 yang menerangkan bahwa penciptaan jin dan
manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT.
[1] Dalam wikipedia dengan situs http://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
[2] Syukriadi mendefenisikan Al-Insanu hayawanun nathiq yaitu hambah Allah yang
menggunakan potensi hidayah akal dalam memikirkan objek pikir yang berupa
ayat-ayat Allah yang tertulis (qur’aniyah) serta tanda-tanda kekuasaan
Allah dalam realitas alam dan hukumnya (kauniyah). Dialah yang dalam
terminologi alquran disebut Ulul-Albab. H. Syukriadi Sambas, M.Si, mantik
kaidah berpikir islami,(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), h. 24
[3] H. Endang Saifuddin anshari,
M.A, wawasan islam pokok-pokok pikiran paradigma dan sistem islam,
(Bandung : Gema Inssani 2004), h. 8
[4] Op cit, h. 24
[5] Thales
(624-546 SM) lahir di kota Miletus yang merupakan tanah perantauan orang-orang
Yunani di Asia Kecil.Thales adalah seorang filsuf yang mengawali
sejarah filsafat Barat pada
abad ke-6 SM. Sebelum Thales, pemikiran Yunani dikuasai cara berpikir mitologis dalam menjelaskan
segala sesuatu. Pemikiran Thales
dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama karena mencoba menjelaskan dunia
dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio
manusia. Ia juga dikenal sebagai
salah seorang dari Tujuh Orang
Bijaksana (dalam bahasa Yunani hoi hepta sophoi), yang oleh Aristoteles diberi
gelar 'filsuf yang pertama'. Selain
sebagai filsuf, Thales juga dikenal sebagai ahli geometri, astronomi, dan politik. wikipedia.org
[6]Jean-Paul Sartre (lahir di Paris,
Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun)
adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan
aliran eksistensialisme. wikipedia.org
[7] Loc cit, H. Endang
Saifuddin anshari, M.A, h. 8
[8] Socrates (Yunani: Σωκράτης,
Sǒcratēs) (469 SM - 399 SM) adalah filsuf dari Athena, Yunani dan merupakan
salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis Barat.wikipedia.org
[9] Dalam bukunya H. Endang
Saifuddin anshari, M.A menambahkan pendapat dari William P.Tolley yang
mengatakan pertanyaan manusia tak kunjung berakhir tak habis habisnya, apakah
manusia?, apakah alam?, apakah keadilan?, apakah kewajiban?, apakah
kebahagiaan?, apakah tuhan?, berdeda dengan hewan manusia itu adalah concerned
(menaruh minat yang sanngat) mengenai asal mula dan akhirnya serta mengenai
maksud dan tujuannya, mengenai makna dan hakikat kenyataan. H. Endang Saifuddin
anshari, M.A, wawasan islam pokok-pokok pikiran paradigma dan sistem islam,
(Bandung : Gema Inssani 2004), h. 9
[10] René Descartes (ʀəˈne deˈkaʀt)
lahir di La Haye, Perancis, 31 Maret 1596 dan meninggal di Stockholm, Swedia,
11 Februari 1650 pada umur 53 tahun, beliau juga dikenal sebagai Renatus
Cartesius dalam literatur berbahasa Latin, yang merupakan seorang filsuf dan
matematikawan Perancis.wikipedia.org
[11] Aristoteles (‘Aριστοτέλης
Aristotélēs), (384 SM – 322 SM) adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato
dan guru dari Alexander yang Agung. Ia menulis tentang berbagai subyek yang
berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik,
pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia
dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di
pemikiran Barat, Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice,
Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia tengah) tahun 384 SM.
Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun,
Aristoteles menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi
Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut
setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari
Makedonia.wikipedia.org
[12] Loc cit, H. Endang
Saifuddin anshari, M.A, h. 8
[13] Netral;tidak mengenai orang yang
tertentu;tidak bersifat pribadi, Farida Hamid, S.Pd., Kamus Ilmiyah Populer
Lengkap, (surabaya : Apolo, )h.214
[14] Ibnu Sina bernama lengkap Abū
‘Alī al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (Persia ابوعلى
سينا Abu Ali Sina atau dalam
tulisan arab : أبو علي الحسين بن عبد الله بن سينا). Ibnu Sina lahir pada 980 di Afsyahnah
daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (sekarang Persia), dan
meninggal pada bulan Juni 1037 di Hamadan, Persia (Iran).Dia adalah pengarang
dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak di antaranya memusatkan
pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai "bapak
kedokteran modern.
[15] al-Imam Syaikh Muhammad bin
Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi, lahir di desa Maraghah
Propinsi Suhaj, Mesir pada tanggal 7 Rajab 1298 H/ 9 Maret 1881 M. Beliau
pernah menjadi Qadhi negara Sudan, tahun 1908 M, Kepala peneliti syariat di
Kementrian Kehakiman Mesir, tahun 1919
M, Kepala Mahkamah Mesir, tahun 1920 M, Pada tanggal 22 Mei 1928 M Syaikh
Muhammad Musthafa al-Maraghi diangkat menjadi Syaikh al-Azhar, Pada malam 14
Ramadhan 1364 H/ 22 Agustus 1945 M
[16] Dr.Saad Riyadh menjelaskan dalam
Bukunya Jiwa Dalam Bimbingan Rasulullah “bahwa maksud dari identitas seorang
manusia itu adalah suatu sistem menyeluruh tentang sifat-sifat jasmani dan
kejiwaannya yang bersifat tetap sehingga membuatnya membuatnya berbeda dengan
individu yang lain. Identitas dimaksud terrepleksikan dalam sisitem tingkah
laku, reaksi, serta interaksi individu tersebut dengan lingkungan luar yang
melingkupinya, baik yang bersifat material maupun sosial. Dr.Saad Riyadh, Jiwa
Dalam Bimbingan Rasulullah, (Jakarta : Gema Insani, 2007), h. 71
[17] Mustamir Pedak, Metode Super
Nol Menaklukkan Stres, ( Bandung : Hikmah, cet I 2009), h. 17
[18] ibid
[19] Ibid, h. 20
[20] Ibid, h. 24
[21]
Ibid, h. 31
[22] George Engel mengatakan bahwa
kedokteran masih didasarkan atas “pengertian tubuh sebagai mesin, dan penyakit
sebagai konsekkuensi rusaknya mesin, dan tugas dokter memperbaiki mesin itu”. Mustamir Pedak,
Metode Super Nol Menaklukkan Stres, ( Bandung : Hikmah, cet I 2009), h.
33
[23] Loc cit, Dr.Saad Riyadh,
h. 47
[26]
Q.S.
al-Baqarah, 2: 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar