Powered By Blogger

jam

_

assalammualaikum

semoga bermanfaat

Jumat, 07 November 2014

Kontradiksi Pemberlakuan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Tinjauan Hak Asasi Manusia dan Fiqih Jinayah



BAB III
Kontradiksi Pemberlakuan Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Menurut Tinjauan Hak Asasi Manusia dan Fiqih Jinayah

A.  Korupsi dalam Fiqih Jinayah
a.    Relevansi Korupsi Dengan Jarimah Dalam Fiqih Jinayah
Dalam Islam korupsi tidak dijelaskan dengan satuan istilah sebagaimana dalam ketentuan hukum konvensional namun terdapat istilah-istilah yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi yang berdasarkan turunan tindak pidana ini serta dijelaskan secara terpisah dan terperinci.
Adapun beberapa istilah -istilah yang digunakan oleh Islam untuk menyebut apa yang kemudian disebut dengan korupsi adalah:
Pertama, Ghulul yang secara leksikal[1] berarti pengkhianatan. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan perbuatan seseorang yang melakukan pengkhianatan dengan menggelapkan harta. Dalam QS Ali Imran ayat 161,[2] kata "ghulul" digunakan dalam pengertian penggelapan harta rampasan perang sebelum harta tersebut didistribusikan. Deeb al-Khudrawi dalam Kamus al‑Alfazh al-lslamiyah mengartikannya sebagai "stealing from the war booty be­fore its distribution"( mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan )[3] Ayat ini turun berkenaan dengan tuduhan orang-orang munafik terhadap Nabi bahwa beliau telah mengambil harta rampasan berupa selimut merah yang biasa digunakan pada musim dingin. Rasul dalam beberapa hadisnya memberikan sanksi berupa sanksi moral kepada pelaku ghulul seperti hadis dari Zaid Khalid Al Juhani bahwa Rasul tidak menyolatkan jenazah pelaku Ghulul, hadis lain tentang seorang budak yang melakukan Ghulul berupa mantel dan Nabi Bersabda bahwa mantel tersebut akan menyulut api neraka yang akan membakarnya.[4]
Kedua, Risywah. Secara leksikal kata "risywah"[5] berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan secara terminologis berarti memberikan harta atau yang semacamnya untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik orang lain. Riswah juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membernarkan yang batil/salah atau menyalahkan yang benar.[6] Para pihak yang terlibat ke dalam jarimah ini dinyatakan terlaknat atau terkutuk, hal ini menjadikan riswah dikategorikan kedalam daftar dosa besar. Namun karena tidak ada ketentuan tegas yang menjelaskan jenis dan tata cara menjatuhkan sanksi maka riswah termasuk kedalam kelompok tindak pidana takzir.[7]
Ketiga, Al-Suht yang secara leksikal berarti membinasakan dan digunakan untuk melukiskan binatang yang sangat rakus dalam memperoleh makanan.[8] Seseorang yang melahap harta dan tidak peduli dari mana harta tersebut didapat, ia disamakan dengan binatang yang melahap segala macam makanan yang akhirnya membinasakannya. Dalam QS. Al-Maidah: 42,[9] kata "Al-Suht" diartikan dengan suap. Para mufassir pun seperti al-Zamakhsyari, al-Maraghi, Al-Qurtubi dan Ibnu Katisr cenderung mengartikan kata "Al-Suht" ini sebagai suap.[10]
Keempat, Al-Hirabah, yang berarti merampas harta orang lain. Kata "yuharibuna" dalam QS al-Maidah: 33,[11] dimaknai sebagai aksi Hirabah atau perampasan ini. Aksi Hirabah dapat dilakukan oleh seseorang atau segerombolan orang untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta yang secara terang-terangan mengganggu keamanan dan ketertiban sosial.[12]
Kelima, "As-Saraqah" yang berarti mengambil harta orang lain secara rahasia dan melawan hukum. Mengambil harta secara tersembunyi sendiri tentu berkembang modus operansinya, bisa dengan penggelapan, penggelembungan harga, pungutan secara tidak resmi, pencurian karya cipta, plagiat dan lain sebagainya. QS Al-Maidah: 38,[13] berkaitan dengan hukuman bagi para pencuri ini, yakni potong tangan.[14]
Keenam, "Ghasab" yang berarti merampas harta orang lain dengan cara zhalim atau memakan harta orang lain secara batil atau merampas harta orang lain dengan cara batil terdapat dalam QS Al Baqarah : 188[15], Annisa 29[16].
Ketujuh, "Khasr" dan "Bakhs" yang berarti melakukan kecurangan sehingga merugikan orang lain sebagaimana terdapat dalam QS Al-Muthafifin: 1-3[17] di mana Tuhan mengancam orang yang berbuat curang dalam melakukan penimbangan atau QS As-Syu' ara: 183[18] yang melarang manusia berbuat kecurangan yang bisa merugikan orang lain.[19]
b.   Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Fiqih Jinayah
Dalam lembaran sejarah Islam, telah diberikan beberapa langkah terobosan penanggulangan korupsi seperti kebijakan-kebijakan Khalifah ‘Umar bin Al-Khathtab RA., pada masa pemerintahannya, untuk menanggulangi tindak pidana korupsi antara lain :
1)   Memberi gaji yang cukup bagi biaya hidup karyawan dan keluarganya.
2)   Dilakukan wajib daftar kekayaan bagi para pegawai. Kekayaan de facto pegawai dibanding dengan kekayaan de jure pegawai sesuai dengan daftar kekayaan. Selisih lebih kekayaan itu, yang separohnya disita, dimiliki oleh negara. Kebijaksanaan seperti itu dikenal dengan “Ta ’dibul-muwazhaf bil muqasamah-fil-amwal”.
3)   Merealisasikan ayat 7 surat (59) al-Hasyr ;
...كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
(... supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya).
4)   Melakukan “At-Taftisy” (waskat) oleh “Shahibul-Ummal” kepada bawahannya.[20]
Dalam hal ini sebagai uqubah bagi pelaku tindak pidana tersebut rasul dan para sahabat menetapkan kepada jarimah takzir yang berupa sanksi moril bagi pelaku jarimah teersebut. Rasul dalam beberapa hadisnya memberikan sanksi berupa sanksi moral keapada pelaku ghulul seperti hadis dari zaid khalid al juhani bahwa rasul tidak menyolatkan jenazah pelaku ghulul, hadis lain tentang seorang budak yang melakukan ghulul berupa mantel dan nabi bersabda bahwa mantel tersebut akan menyulut api neraka yang akan membakarnya.[21]
Dalam jarimah riswah Para pihak yang terlibat ke dalam jarimah ini dinyatakan terlaknat atau terkutuk, hal ini menjadikan riswah dikategorikan kedalam daftar dosa besar. Namun karena tidak ada ketentuan tegas yang menjelaskan jenis dan tata cara menjatuhkan sanksi maka riswah termasuk kedalam kelompok tindak pidana takzir.[22]
B.  Pidana mati
a.    Hukuman Mati Dari Sudut Pandang Konstitusi Perundang-Undangan
Pidana mati dalam konstitusi ditujukan sebagai hukuman atau sanksi bagi pelaku tindak pidana dalam kelas extra ordinary yaitu yang di kategorikan kepada tindak pidana yang luar biasa yang memiliki alasan pemberat bagi pelakunya.
Pengaturan hukuman mati yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia yaitu pada pasal 10 KUHP membedakan menjadi 2 macam pidana :
1.    Pidana Pokok :      
a)    Hukuman mati
b)   Hukuman penjara
c)    Hukuman kurungan
d)   Hukuman denda
2.    Pidana Tambahan : 
a)    Pencabutan hak – hak tertentu
b)   Pencabutan barang- barang terteentu
c)    Pengumuman keputusan hakim
Kejahatan- kejahatan dalam KUHP yang berisi sanksi pidana mati misalnya : pasal 104 KUHP, pasal 111 ayat 2 KUHP, pasal 124 ayat 3 KUHP, pasal 140 ayat 3 dan ayat 4 KUHP, pasal 340 KUHP, pasal 124 KUHP, pasal 127 KUHP, pasal 368 ayat 2.
Dengan demikian bahwa dapat dikatakan hukuman mati merupakan hukuman pokok. Dalam beberapa undang-undang pidana mati masih di jadikan sebagai hukuman bagi pelaku tindak pidana sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya dalam bab 2 di antaranya adalah:
a.    Undang-undang (UU) No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. UU ini masih mengadopsi pemberlakuan hukuman mati, terlihat pada pasal 6, pasal 8, pasal 10, pasal 14, pasal 15, dan pasal 16.
b.    Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 104 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dan pasal 340 tentang pembunuhan berencana masih mencantumkan hukuman mati sebagai hukuman maksimum. Saat ini sedang dilakukan proses penyusunan amandemen KUHP tersebut, yang diharapkan kedepan lebih maju dan tidak lagi menempatkan hukuman mati sebagai hukuman maksimum.
c.    Undang-undang No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Pasal 59 Tentang Tindak Pidana juga menetapkan hukuman mati sebagi hukuman maksimal.
d.   Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 36, 37 dan 41 undang-undang tersebut menyatakan adanya hukuman mati bagi pelanggarnya. Dalam kasus ini, banyak pihak menyesalkan munculnya pasal-pasal ini bertentanga dengan seluruh instrumen hukum HAM internasional yang menjadi rujukannya yang menghapuskan hukuman mati.
e.    Undang-undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (2) juga menetapkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal bagi pelaku korupsi namun dibatasi kepada dana-dana yang diperuntukkan pada keadaan tertentu.
b.   Hukuman Mati Dari Sudut Pandang Hukum Ham
Amandemen kedua UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa,“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Berikutnya UUD menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Mengacu pada kedua ayat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pandangan tentang hak-hak individu yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui apa yang dikenal oleh para filsuf dengan “Hukum Kodrat”, sebagaimana dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum, agama atau dalam situasi darurat.
Perubahan nilai dasar hukum di atas seharusnya membawa konsekuensi adanya amandemen terhadap seluruh undang-undang yang masih memasukkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman karena sudah bertentangan dengan Konstitusi.
Hukuman mati merupakan salah satu isu yang paling kontroversial dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia (International Covenant on Civil and Political Rights).[23] Meski diakui hak hidup sebagai non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurang-kurangi), pada Pasal 6 (ayat 2, 4, dan 5) secara tekstual dinyatakan bahwa hukuman mati masih diperbolehkan. Sementara itu pada Pasal 6 (ayat 6) kembali ditegaskan adanya semangat Kovenan ini untuk secara bertahap dan progresif menghapuskan praktek hukuman mati. Baru pada Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights; aiming at the abolition of the death penalty) yang diadopsi oleh Resolusi Mejelis Umum PBB pada 15 Desember 1989, secara tegas praktek hukuman mati tidak diperkenankan.[24] 
Tafsir progresifnya secara implisit menunjukkan bahwa sebenarnya Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik bukan membenarkan praktek hukuman mati, namun lebih menegaskan bahwa Kovenan ini berusaha semakin memperketat dan memperkecil lingkup praktek hukuman mati. Hal ini didasari pada argumen bahwa pada waktu penyusunan Kovenan ini, mayoritas Negara di dunia masih mempraktekan hukuman mati, namun semakin hari negara yang memberlakukan abolisi (penghapusan) hukuman mati semakin bertambah dan bahkan hingga hari ini justru mayoritas negara di dunia adalah kelompok abolisionis. Sebelumnya pada tahun 1950 Konvensi HAM Eropa, European Convention on Human Rights/Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms pada Pasal 2-nya menegaskan larangan hukuman mati. Konvensi regional Eropa ini merupakan treaty HAM tertua dan ide penghapusan hukuman mati berangkat dari Konvensi ini. Ketentuan hukuman mati kemudian juga dihapuskan diberbagai mekanisme pengadilan HAM internasional meskipun juridiksinya mencakup kejahatan paling berat dan serius di bawah hukum internasional. Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk Negara-Negara Bekas Yugoslavia (Statute of International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statue of International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR). Demikian pula ketentuan ini ditiadakan pada Statua Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court), yang merupakan Pengadilan HAM Internasional yang permanen.[25]
Untuk memahami teks pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang hukuman mati, PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984). Panduan ini memperjelas pembatasan praktek hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain:
1)   Di negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi ‘kejahatan yang paling serius’, yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekwensi yang sangat keji.
2)   Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif (berlaku surut) pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan.
3)   Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun kebawah pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila.
4)   Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian.
5)   Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai.
6)   Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib.
7)   Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan.
8)   Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman.
9)   Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan penderitaan.[26]
Meskipun kontroversi hukuman mati pada Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik masih terus diperdebatkan, namun ada interpretasi lainnya yang menganggap hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang praktek-praktek yang merendahkan dan tidak manusiawi. Ketentuan tambahan lain adalah berlakunya prinsip non-refoulement –baik untuk negara yang sudah menghapus dan yang masih menerapkan hukuman mati- untuk isu ini. Prinsip non-refoulement ini adalah prinsip keharusan suatu negara untuk menolak permintaan ekstradisi dari negara lain bila orang tersebut bisa mendapat ancaman hukuman mati di negeri peminta.
c.    Hukuman Mati Dari Sudut Pandang Syariat Islam
Dalam hukum pidana Islam (Fiqih Jinayah) pidana atau Jarimah dibagi kepada tiga pembagian yaitu Qishas, Hudud, dan Ta’zir, secara sederhana ketiga jarimah tersebut penulis formulasikan dengan qishas yaitu haknya manusia sebagai seorang individu, hudud merupakan haknya Allah karena ketetapan dan ketentuanya sudah ditetapkan secara tegas dalam Nash, sedangkan ta’zir adalah haknya pemimpin dalam mengatur ummat. Ketika jarimah tersebut dihubungkan dengan pidana mati maka kita hanya akan membahas dua jarimah saja yaitu qishas dan hudud, sebab jarimah ta’zir merupakan kejahatan yang ketetapannya bersumber dari pemerintah yang sah serta hanya bersifat moril atau perbaikan, baik bagi pelakunya yang melakukan kejahatan tersebut, korbannya ketika kejahatan tersebut terhadap orang maupun perbaikan atau ganti rugi ketika kejahatan tersebut dilakukan terhadap barang atau benda.[27]
Dalam hukum Islam terdapat beberapa tindak pidana atau jarimah yang uqbahnya atau sanksinya merupakan pidana mati yaitu
1.    Membunuh dengan sengaja
2.    Zina (bagi yang telah menikah)
3.    Murtad atau Riddah
Sabda Rasul SAW.,
لا يحل دم امرئ مسلم يسهد ان لا اله الا الله واني رسول الله الاباحدى ثلاث :الثيب الزني, والنفس بالنفس, والتارك لدينه المفرق للجماعة
Artinya : Tidak halal darah seoarang muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku adalah rasulullah; kecuali orang yang telah menikah dan berzina, orang yang membunuh muslim lainnya, atau orang murtad.[28]
4.    Hirobah
Aksi hirabah dapat dilakukan oleh seseorang atau segerombolan orang untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta yang secara terang-terangan mengganggu keamanan dan ketertiban sosial.[29] Ketentuan jarimah ini termaktub dalam QS al-Maidah: 33,[30]
5.    Buhgat
Bughat atau Bughoh adalah gerombolan (pemberontak) yang menentang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata, baik karena salah pengertian ataupun bukan. Kata Bughoh jama’ dari baaghin artinya seorang penantang kekuasaan Negeri dengan kekerasan senjata. Yang dikatakan kaum Bughat, ialah orang-orang yang menolak (memberontak) kepada Imam (pemimpin pemerintahan Islam). Adapun yang dikatakan Imam ialah pemimpin rakyat Islam yang mengurusi soal-soal kenegaraan dan keagamaanya. Adapun cara memberontak ialah dengan:
1.    Memisahkan diri dari wilayah kekuasaan Imamnya.
2.    Atau menentang kepada keputusan Imam, atau menentang perintahnya dengan jalan kekerasan senjata.
Orang-orang golongan manusia yang disebut Bughat itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.    Mempunyai kekuatan bala tentara serta senjatanya untuk memberontak Imamnya.
2.    Mempunyai pimpinan yang ditaati oleh mereka.
3.    Mereka berbuat demikian, disebabkan karena timbulnya perbedaan pendapat dengan Imamnya mengenai politik pemerintahannya, sehingga mereka beranggapan bahwa memberontaknya itu menjadi keharusan baginya.
6.    Mata-mata
Yakni orang yang diutus oleh suatu negara atau kelompok untuk mencari informasi musuhnya untuk menemukan kelemahan yang terdapat dalam musuhnya sehingga kelemahan tersebut digunakan untuk menjatuhkan lawan atau musuhnya.[31]
C.  Kontradiksi Pemberlakuan Pidana Mati bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Persoalan hukum yang paling banyak menyedot perhatian masyarakat di Indonesia adalah perdebatan mengenai hukuman mati. Hukuman mati yang dieksekusikan pada Imam Samudera cs di penghujung tahun 2008 ini, seakan menjadi pertanda bahwa hukuman mati masih eksis di Negara kita yang mayoritas berpenduduk muslim.
Sementara hampir 130 negara-negara di dunia telah melakukan moratorium bahkan penghapusan hukuman mati. Oleh karenanya, pembahasan berbagai dimensi hukuman mati dari perspektif keadilan sosial dan hokum menjadi sangat penting. Begitu juga dengan pandangan agama Islam, yang notabene dianut oleh sebagian besar warga negara Indonesia, dimensi hukuman mati menjadi menarik untuk dikritisi lebih detail.
Problematika hukuman mati yang berkembang sekarang ini menghasilkan dua arus pemikiran hukum;
1.    Mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan yang berlaku
2.    Mereka yang menginginkan pengahapusan secara keseluruhan.
Paling tidak di Indonesia perdebatan hukuman mati itu direpresentasikan oleh LSM (Lembaga Masyarakat Sipil) dengan kelompok-kelompok penegak hukum. Kontras menyebutkan ada dua kelompok pro dan kontra hukuman mati yang mewarnai debat hukuman mati di Indoenia. 
a.    Pro
Kelompok yang setuju, beralasan jika secara sadar terpidana melakukan tindakan kriminalnya dan menunjukkan pelanggaran berat terhadap hak hidup sesamanya, maka negara tidak wajib melindungi dan menghormati hak hidup terpidana. Para pelaku kejahatan berat harus diancam hukuman mati sehingga bisa menjadi efek jera. Serta hukuman mati dianggap masih efektif untuk mengurangi angka kejahatan di Indonesia ini. Kelompok ini biasanya disebut sebagai kelompok dominan yang dipelopori oleh para penegak hukum termasuk pemerintahan.
Kelompok ini mengatakan bahwa menyetujui tetap di adakannya hukuman mati dengan alasan bahwa ancaman dan pelaksanaan hukuman mati harus tetap ada dalam masyarakat. Hukuman mati itu tidak lain dari pada hukuman berdasarkan keadilan absolut, jika suatu kejahatan dilakukan maka kejahatan tersebut harus mendapatkan balasan.
Mempertahankan hukuman mati, adalah ketertiban yang terancam akibat suatu kejahatan hanya dapat dipulihkan kembali apabila penjahat yang mengganggu ketertiban tersebut dilenyapkan dari muka bumi ini dan  satu-satunya cara untuk melenyapkan penjahat tersebut adalah dengan hukuman mati. Karena hukuman mati satu-satunya hukum pidana yang dapat menghalanginya dari turut serta dalam kesejahteraan umum itu. Oleh karena itu, negara wajib mempunyai hak untuk melaksanakan hukuman mati.
Jika dilihat di Indonesia, ada sarjana yang pro terhadap hukuman mati ini. Salahsatunya adalah: Prof. Oemar Senoadji, SH. Mengatakan bahwa, selama negara Indonesia masih mengukuhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata-tertib masyarakat dikacaukan oleh manusia yang tidak mengenal prikemanusiaan, maka hukuman mati masih tetap harus diberlakukan.
Selain itu, Drs. Racmad Djatmiko juga mengatakan bahwa qisas yang di dalamnya adalah hukuman mati, adalah suatu hukum yang perlu ada dalam suatu perundang-undangan untuk masyarakat yang banyak terdapat ke zaliman, dimana para wali tidak dapat mengampuni setelah cukup syarat-syaratnya, maka pada qisas-lah yang lebih dapat dijalankan dan itu adalah hukuman yang adil. Lebih spesifik pendapat-pendapat pro hukuman mati di dasarkan dengan alasan sebagai berikut:
1.    Dasar ketentuan hukuman mati di dalam hukum pidana Islam bersumber dari al-Qur‟an dan Hadis, dan ini merupakan perintah Tuhan.
2.    Hukuman penjara seumur hidup belum cukup memenuhi rasa keadilan masyarakat, hukuman mati lebih pantas di jatuhkan pada mereka yang telah melakukan kejahatan berat.
3.    Hukuman mati bagi para pembunuh berencana di pandang sebagai kompensasi hukum dari hak hidup orang yang di bunuh dan bagi keluarga korban yang di tinggalkan
4.    Hukuman mati bagi teroris juga dipandang sebagai hukuman yang setimpal dan memenuhi rasa keadilan jika di bandingkan dengan penderitaan orang-orang yang nyawa mereka terenggut dan keluarga yang di tinggalkan akibat ulah brutal terorisme
5.    Hukuman mati bagi pengedar narkoba di pandang sebagai balasan karena terpidana telah merampas dan merenggut kehidupan orang orang yang terjerumus menjadi ketergantungan narkoba, dan tidak sedikit mereka akhirnya tewas akibat mengonsumsi barang terlarang tersebut.[32]
b.   Kontra
Sedangkan yang menolak hukuman mati beralasan bahwa hukuman yang satu ini merupakan pengingkaran terhadap hak asasi manusia, yaitu berupa hak hidup. Apalagi banyak kalangan yang menganggap pidana mati dalam Islam sangat kejam dan hanya merupakan pelampiasan “balas dendam” semata. Kelompok organisasi HAM menolak praktek hukuman mati untuk segala bentuk kejahatan. Mereka memandang bahwa hak atas hidup bersifat absolut, sehingga tak ada kewenangan siapapun termasuk negara untuk menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut sarjana Italia Casare Bacceria di dalam bukunya yang berjudul “Dei Delliti E Dello Fene” mengatakan bahwa tidak menyetujui hukuman mati diberlakukan di masyarakat, yang pada pokoknya mengajukan alasan bahwa pidana mati itu tidak dapat dibenarkan dan bertentangan dengan social contract, pidana mati dipandang sebagai perbuatan yang amorral.[33]
Di Indonesia juga terdapat bebrapa sarjana yang menentang diadakannya hukuman mati, antara lain adalah Mr. Roeslan Saleh. Dalam salah satu karangannya ia menguraikan mengapa hukuman mati tidak dapat diterima dan tidak dapat dibenarkan, antara lain dengan mengajukan alasan-alasan bahwa hukuman mati pada pokoknya tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam Pancasila dan Dasar Negara Indonesia.
Lebih lanjut Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa hukuman mati tidak layak dan tidak pantas di terapkan di Indonesia. Karena itu, Mr. Roeslan Saleh lebih menekankan kepada penjara seumur hidup dan pidana-pidana lainnya yang merupakan pembatasan dan perampasan atas kemerdekaan dan harta kekayaan seseorang sejalah yang dapat dipandang sebagai pidana, sedangkan hukuman mati tidak. Selain itu, juga mendasari pendapatnya yang menentang hukuman mati dengan alasan demoralisasi, di mana hukuman mati dianggap sebagai hukuman yang merendahkan kewajiban negara.[34] Lebih spesifik pendapat-pendapat kontra hukuman mati di dasarkan dengan alasan sebagai berikut:
1.    Hukuman mati di tuding tidak memiliki landasan konstitusional. Sistem pemidanaan seharusnya ditujukan mendidik dan memperbaiki masyarakat serta pelaku pidana.
2.    Dari sisi HAM, Hukuman mati tidak di perbolehkan terhadap siapa pun atas kejahatan apa pun. Seberat apa pun kesalahannya, maksimal di hukum seumur hidup. Pemerintah pun di minta mematuhi ratifikasi pasal-pasal Kovenan Hak-Hak Sipil-Politik Internasional (International Covenant 0n Civil and Political Rights) yang menghapus hukuman mati.[35]
3.    Penjatuhan pidana mati oleh negara adalah pelanggaran HAM bila di lakukan sewenang-wenang atau tanpa dasar yang sah menurut hukum yang berlaku.
4.    Hukuman mati adalah viktimisasi manusia kemanusia
5.    Resiko lain dari pelaksanaan hukuman mati adalah, ketika di kemudian hari ternyata terbukti ada kesalahan dalam menjatuhkan putusan dan eksekusi mati telah dilakukan, maka pemerintahhanya bisa meminta maaf tanpa bisa mengembalikan nyawa si terpidana[36]
Di beberapa negara seperti di Eropa dan Amerika, penghapusan hukuman mati menjadi semakin marak berkaitan dengan gerakan penegakan Hak Azazi Manusia. Di Amerika misalnya di negara bagian Pennsylvania, secara resmi menghapus hukuman mati pada 1834. Pennsylvania adalah negara bagian pertama yang menghapus hukuman mati. Berangsur-angsur pengadilan di Amerika Serikat tidak menerapkan hukuman mati. Namun pada 1994 Presiden Bill Clinton menandatangani Violent Crime Control and Law Enforcement Act yang memperluas penerapan hukuman mati di AS. Pada 1996 penerapan hukuman mati diperluas lagi melalui Antiterrrorism and Effective Death penalthy Act yang ditandatangani Clinton.[37]
Begitu juga dengan di benua Eropa, penghapusan hukuman mati merebak sekitar tahun 1950 hingga 1980. meski secara defacto tidak pernah ada pencabutan hukuman mati. Selanjutnya pada 1999 Paus Johanes Paulus II menyerukan penghapusan hukuman mati. Seruan itu bersamaan dengan Resolusi Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB yang menyerukan moratorium hukuman mati.[38]
Hukuman mati tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan bukan berorientasi pada balas dendam. Menurut dia, seharusnya pemidanaan diarahkan pada perbaikan diri si pelaku kejahatan. Karena itu, hakim harus memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki diri. Hukuman mati menapikan kesempatan tersebut.
Hak azazi manusia adalah non derogable right yang tidak bisa dibatasi, dan dihapus oleh alasan apapun. Pembatasan hak asasi manusia (HAM) yang tercantum di dalam pasal 28 J UUD 1945, dengan alasan kepentingan umum, hanya dapat berlaku terhadap hak-hak yang derogable. Dengan kata lain, seharusnya tidak bisa diterapkan pada non derogable right yang termuat di dalam pasal 28 I UUD 1945.
Terkait argumentasi yang mengatakan hukuman mati untuk efek jera, Al-Araf berpendapat tidak ada satu penelitian pun yang bisa menyebutkan korelasi antara naik turunnya tindak kejahatan dengan eksekusi hukuman mati.
Hukum di Indonesia yang masih bobrok, akan menjadi berbahaya ketika hukuman mati tetap diterapkan. Karena, sistem hukum yanng bobrok membuka peluang putusan yang tidak tepat. Sementara, hukum mati tidak bisa dikoreksi.
Dalam menjalankan peran hakim melakukan interpretasi terhadap apa yang berlangsung di dalam proses pembuktian. Hakim bukanlah orang yang benar-benar melihat secara nyata bagaimana suatu tindak kejahatan terjadi. Karena merupakan interpretasi, maka kemungkinan bahwa interpretasi itu salah selalu terbuka.
Adanya hukuman mati, mencerminkan Indonesia masih mengkalkulasikan hak hidup seseorang. Kalau hak hidup korban dirampas, artinya hak hidup pelaku juga boleh dirampas. Hukum mengikat manusia, karena manusia bisa memilih dalam melakukan tindakan. Manusia juga memiliki kemungkinan untuk berubah, mengalami penyesalan, dan memilih untuk bertaubat. Namun, dengan adanya hukuman mati, peluang manusia untuk memilih bertaubat itu menjadi hilang. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman penjara seumur hidup daripada mati lebih buruk hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan.[39]
Di Indonesia pun sesungguhnya terlihat adanya beberapa perbedaan sistem hokum misalnya di Indonesia saat ini ada hukum yang berlaku secara formal dan ada hukum adat dan hukum Islam. Apalagi banyak kalangan yang menganggap pidana mati dalam Islam sangat kejam dan hanya merupakan pelampiasan “balas dendam” semata.
D.  Pendapat Aliran- Aliran Filsafat Hukum Terhadap Hukuman Mati
Filsafat hukum adalah mencari hakekat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai, postulat (dasar-dasar) sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum.
Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum. Pertanyaan tentang hakekat hukum, tentang dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asa, peraturan, bidang serta sistem hukumnya sendiri. Hukum dibuat untuk mengatur agar kepentingan-kepentingan yang berbeda antara pribadi, masyarakat, dan negara dapat dijamin dan diwujudkan tanpa merugikan pihak yang lain.
a.    Aliran Positivisme
Positivisme adalah aliran pemikiran yang bekerja berdasarkan empirisme, dalam upaya merespon keterbatasan yang diperlihatkan oleh filsafat spekulatif seperti yang menonjol lewat aliran idealisme Jerman Klasik.[40]
Untuk mengkaji bagaimanakah pandangan aliran ini terhadap hukuman mati, tentu kita perlu melihat aturan perundangannya, apakah hukuman mati diatur dalam peraturan perundangan atau tidak. Dalam kasus Raheem Agbaji Salami seorang warga negara Republik Cordova yang dijatuhi hukaman mati dalam kasus peredaran narkoba (Putusan No. 15 PK/Pid/2004), apabila dikaji menurut aliran ini kita perlu melihat pertimbangan hakim dalam mengambil putusan tersebut, dalam arti apakah penjatuhan hukuman tersebut didasarkan atas peraturan perundangan yang berlaku. Apabila melihat putusan tersebut, dapat diketahui bahwa, terpidana telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, hal ini dapat diketahui dalam pasal 82 ayat 1 sub a UU No 22 tahun 1997, yaitu :
“mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi  perantara dalam jual beli, alat menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak RP. 1.000.000.000,00 (satu miyar rupiah);”

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penjatuhan hukuman mati dalam kasus yang dialami oleh Raheem Agbaji Salami sesuai dengan aliran positif, karena penjatuhan hukuman tersebut sesuai dengan rumusan dalam pasal 82 ayat 1 sub a UU No 22 tahun 2007, bahwa selain itu penjatuhan hukuman tersebut tanpa memperhatikan aspek-aspek lain, hal ini sesuai dengan teori aliran ini yang memisahkan hukum dengan moral, ataupun dengan aspek lainnya.[41]
b.   Aliran Hukum Alam
Menurut sumbernya, aliran hukum alam dapat dibagi dua macam yaitu: Irasional dan Rasional. Aliran hukum yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung. Sebaliknya, aliran hukum alam yang rasional berpendapat bahwa sumber hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia.
Setiap hukum pasti bersifat mengikat dan mengandung sanksi bagi pelanggarnya, demikian pula dengan hukum alam/ hukum tuhan / hukum islam. Namun, tidak semua hukum Allah yang dilanggar oleh seseorang ada sanksi hukumnya, walaupun di ahkirat nanti pasti ada balasannya. Salah satu hukum Allah yang sanksinya ditetapkan didunia adalah pidana pembunuhan atau pencederaan seseorang tanpa alasan yang benar, yaitu dengan hukuman qishash (balasan setimpal)
Pidana mati dalam hukum Islam termasuk dalam qishash. Oleh sebab itu orang yang mengambil qishash, mengikuti jejak kejahatan pelaku dengan membalas sebanding dengannya. Sedangkan qishash menurut pengertian Syar’i adalah pembalasan untuk kejahatan setimpal dengan kejahatannya. Atas dasar tersebut maka hukum alam pun juga mengatur mengenai hukuman mati.[42]
c.    Aliran Utilitiarisme
Utilitaianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakan kemanfaatkan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukan kedalam Positivisme Hukum, mengingat faham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan tujun hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat.
Dengan melihat kasus Raheem Agbaje Salimi mengenai pidana mati dibandingkan dengan aliran Utilitiarisme yaitu bersifat subjektif. Bahwa dengan adanya hukuman mati timbul kebahagian, apabila kita melihat dari sisi masyarakat secara umum yang menginginkan negaranya jauh dari kejahatan. Namun terdapat kesusahan atau bisa dibilang penderitaan apabila kita melihat seorang Raheem Agbaje Salimi yang dijatuhkan kepadanya yaitu pidana mati.[43]
d.    Aliran Filsafat Hukum yang Baik Digunakan Di Indonesia
Pembahasan mengenai aliran mana yang paling baik dterapkan di Indonesia tentunya akan menimbulkan pro kontra, karena pandangan setiap orang mengenai hukuman mati tentunya berbeda-beda. Namun apabila melihat bentuk negara Indonesia yang merupakan negara hukum, tentunya aliran hukum positivisme dapat dikedapankan. Konsep negara hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.
Pengaturan hukuman mati yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia yaitu pada pasal 10 KUHP membedakan menjadi 2 macam pidana :
1.    Pidana Pokok (Hukuman mati, Hukuman penjara, Hukuman kurungan, Hukuman denda)
2.    Pidana Tambahan (Pencabutan hak – hak tertentu, Pencabutan barang- barang terteentu, Pengumuman keputusan hakim)
Dengan demikian bahwa dapat dikatakan hukuman mati merupakan hukuman pokok.  Namun untuk menjatuhkan hukuman mati pun sudah tentu, harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya hukuman tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil! Harus ada suatu ‘verdiend leed’, tidak kurang tetapi juga tidak lebih. Maka penegak hukum untuk menyelesaikan masalah hukum haruslah berpedoman pada fungsi penegak hukum sendiri. Terdapat 2 fungsi penegak hukum yaitu pragmatis / teknis dan subtantif, sehingga penegak hukum untuk mengambil sebuah putusan hukum tidak textual reading namun juga morality reading.


[1] Makna menurut Kamus Ilmiah Lengkap, Farida Hamid, op. cit,
[2] Ayat yang dimaksud
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَغُلَّ وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
[3] Ahmad Baidowi,  Pemberantasan Korupsi Dalam persfektif Islam, vol 10 ( ESENSIA, 2009 ), h. 4
[4] Dr. H. M. Nurul Irfan , op. cit, h. 83
Rasulullah sendiri kemudian memperluas makna ghulul pada beberapa bentuk: (a) Komisi, yakni tindakan mengambil sesuatu penghasilan di luar gaji yang telah ditetapkan untuk jabatannya. Tentang komisi ini Nabi menyatakan "Siapa saja yang telah aku angkat dalam satu jabatan kemudian aku berikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah korupsi (ghulul)" HR Abu Dawud (b) Hadiah, yakni pemberian yang diperoleh seseorang karena jabatan yang melekat pada dirinya. Mengenai hal ini Rasulullah saw menyatakan "Hadiah yang diterima para pejabat adalah korupsi (ghulul)." HR Ahmad.
[5] Dalam hadis
عن عبد الله بن عَمرٍو قال لعنَ رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشِيَ والمرتَشِيَ
Rasulullah صلى الله عليه وسلم melaknat orang yang menyuap dan yang di suap.
[6] Ibid, h. 89
Al-Qur'an menyebut istilah suap dengan "ad-Dalw" yang diartikan sebagai memperoleh harta dari orang lain dengan jalan suap. Dalam QS al-Bagarah: 188 kalimat "la tudlu biha ila al-hukkam" dalam ayat tersebut diartikan oleh al‑ Zamakhsyari sebagai larangan membawa urusan harta kepada hakim dengan maksud untuk memperoleh harta dari orang lain dengan cara suap-menyuap."Janganlah kamu memakan harta orang lain dengan jalan suap-menyuap."
[7]  Dr. H. M. Nurul Irfan, op. cit,h 93
[8] Menurut Ibnu Mas'ud, "Al-Suht" adalah seseorang datang menemui saudaranya dengan satu kepentingan, lalu ia memberi hadiah kemudian orang itu menerimanya. Harnka memberikan penjelasan, bahwa harta sogokan dinamai suap karena jika sudah disuapi mulut seseorang akan terkatup dan tidak mampu mengeluarkan kalimat apa pun, sehingga mulut mereka dianggap membisu karena tidak berani menegur yang salah dan menegakkan hukum keadilan
[9]Ayat yang dimaksud  
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka,

[10] Ahmad Baidowi, op. cit, h. 5
[11] إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,
[12]Dr. H. M. Nurul Irfan, op. cit,, h. 123
 وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
[14] . H. M. Nurul Irfan, op. cit, h. 107
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
[16] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ () الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ () وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;
[19] Ahmad baidowi, op. cit, h. 5
[20]Drs. Jeje Abdul Rojak, M.Ag., op. cit, h. 9 beliau mengutip dari Al-Qasimi, Nizham al-Hukmi Fi-1l-Syariah wa al-Tarikh, I, (Beirut : Darun-Nafais, 1394 H/1974 M), hal. 520-522.
“Rasulullah s.a.w. melarang seorang pegawai menerima “Risywah” (suap) dari rakyat. Beliau menjatuhi hukuman administratif berupa teguran, dalam peristiwa Ibnul Lutabiyah yang diangkat menjadi pegawai zakat dan menerima hadiah dari salah seorang anggota masyarakat wajib zakat. ( Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud ).”
[21] Dr. H. M. Nurul Irfan, op. cit,,  h.82
[22]  Ibid, h 93
[23] All peoples have the right of self-determination. By virtue of the right they freely determine their political status and freely pursue their economic. Sosial and cultural development. ( semua orang mempinyai hak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Berdasarkan hak itu mereka secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar perkembangan mereka dibidang ekonomi, sosial, dan budaya). Prof Miriam Budiardjo, op. cit,  h. 126
[24] Protokol Tambahan Kedua masih memungkinkan Negara Pihak-nya untuk mereservasi Pasal 2 (paragraf 1) yang artinya masih membenarkan penerapan hukuman mati pada masa perang atas suatu kategori kejahatan militer paling serius, makaarim, “beberapa pandangan tentang hukuman mati (dead penalty) dan relevansinya dengan hukum islam” artikel diakses pada senin 21 mei 2014, dari http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia/.
[25] Hukuman dalam mekanisme ICC juga hanya berupa hukuman penjara yang terdiri dari hukuman penjara seumur hidup untuk kejahatan yang sangat ekstrim dan hukuman penjara maksimum 30 tahun. Makaarim, op. cit.
[26] ibid
[27] Namun ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa dalam jarimah takzir juga bisa diancam dengan ancaman pidana mati.
Penulis mengutip tulisan Dr. Nurul Irfan dalam bukunya Korupsi dalam Hukum Pidana Islam Beliau menuliskan
Berkaitan dengan macam-macam ta’zir, tampaknya tidak ada kesepakatan antara penulis yang satu dengan oenulis yang lain. Sebab sifat sanksi hukum jenis ta’zir sangat relatif,temporal, dan kondisional. Boleh jadi sebuah hukuman dipandang sebagai sanksi hukum disuatu tempat, tetapi ditempat yang lain justeru dianggap sabagai suatu bentuk penghormatan. . H. M. Nurul Irfan, op. cit,, h. 132
[28] Sayyid Sabiq,  Fiqih Sunnah, penerjemah, M Ali Nursyidi, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2011),cet ke- 3, h. 273
[29]Dr. H. M. Nurul Irfan, op. cit,, h. 123
[30] إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,
[31] Bakar Bin Abdillah Abu Zaid mencantumkan dalam bukunya Al-Hududu wa Ta’zir ‘Inda Ibnu Qaiyim bahwa mata-mata itu terbagi dua pertama non muslim dan dalam hal ini semua menyepakati untuk di hukum mati dan yang kedua muslim dan terdapat dua pendangan, pertama, menyetujui pidana mati dan ini dari Mazhab Malik, sebahagian kecil Mazhab Ahmad; yang kedua berpandangan tidak boleh dipidana mati dan ini dari Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Mazhab Ahmad, Bakar Bin Abdillah Abu Zaid, Al-Hududu wa Ta’zir ‘Inda Ibnu Qaiyim, (Riad : Darul ‘Ashimah, 1415 H) h. 488
[32] Habib Shulton Asnawi, Hak Asasi Manusia Islam dan Barat ( Studi Kritik Hukum Pidana Islam dan Hukuman Mati ), jurnal Supremasi Hukum, Vol. 1, No. 1, ( Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 2012 ), h. 19, t.d
[33] Ibid, h. 17
[34] ibid
[35] Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia (International Covenant on Civil and Political Rights). Meski diakui hak hidup sebagai non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurang-kurangi), pada Pasal 6(ayat 2, 4, dan 5) secara tekstual dinyatakan bahwa hukuman mati masih diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Sementara itu pada Pasal 6 (ayat 6) kembali ditegaskan adanya semangat Kovenan ini untuk secara bertahap dan progresif menghapuskan praktek hukuman mati.
Baru pada Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Second Optional Protocol to theInternational Covenant on Civil and Political Rights; aiming at the abolition of the death penalty) yang diadopsi oleh Resolusi Mejelis Umum PBB pada 15 Desember 1989, secara tegas praktek hukuman mati tidak diperkenankan.
[36] Habib Shulton Asnawi, op. cit, h. 18
[37] Dewa Copas, Penjara Seumur Hidup Lebih Baik Dari Pada Hukuaman Mati artikel diakses pada selasa, 13 mei 2014 dari http://dewa-copas.blogspot.com/2012/09/penjara-seumur-hidup-lebih-baik.html,
[38] ibid
[39] ibid
[40] Aliran Positifisme menganggap bahwa antara hukum dan moral adalah dua hal yang harus dipisahkan. Dalam aliran ini, terdapat aliran hukum positif murni yang dikemukakan oleh Hank Kelsen. Menurut aliran ini hukum positif murni mengembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam negara totaliter. Dan dikatakan murni karena hukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis yaitu anasir etis, sosiologis,politis, dan sejarah, dapat pula dikatakan bahwa menurut aliran ini hukum positif pada umumnya kurang atau tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat. Dapat disimpulkan pula, apa yang dimaksud hukum dalam aliran ini adalah apa yang terdapat dalam aturan hukum resmi yang dituangkan dalam undang-undang (hukum yang corong undang-undang).
[41] Benedictus Singgih, “Perbandingan Aliran- Aliran Dalam Filsafat Hukum Terhadap Hukuman Mati” diakses pada  Selasa, 13 Mei 2014 dari http://benedictussinggih.blogspot.com/2013/09/perbandingan-aliran-aliran-dalam.html,

[42] ibid
[43] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar