BAB I
PENDAHULUAN
Disamping perkara gugatan, dimana terdapat
pihak Penggugat dan pihak Tergugat. Ada perkara-perkara yang disebut permohonan
yang diajukan oleh seorang pemohon atau lebih secara bersama-sama. Perbedaan
antara gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu
sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan.
Dalam suatu gugutan ada seorang atau lebih yang merasa bahwa hak nya atau hak
mereka telah dilanggar akan tetapi orang yang melanggar hak nya atau hak mereka
itu tidak mau secara sukarela melakukan sesuatu yang diminta itu, untuk
penentuan sipa yang benar dan yang berhak, diperlukan adanya putusan hakim,
disini hakim benar-benar berfungsi sebagi hakim yang mengadili yang
mememutuskan siapa yang tidak benar. Misalnya dalam contoh kasus atikah dan
yakub.
Dalam perkara yang disebut permohonan tidak
ada sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris almarhum secara bersama-sama
menghadap kepengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing
dari warisan almarhum berdasarkan ketentuaan pasal 236a H.I.R disini hakim
hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang tenaga tata usaha Negara,
hakim tersebut mengeluarkan suatu penetepan atau lajimnya disebut putusan
declaratoir yaitu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja. Dalam
persoalan ini hakim tidak memutuskan sesuatu konflik seperti halnya dalam
perkara gugatan, permohonan yang banyak diajukan dimuka pengadilan negri adalah
mengenai permohonan pengangkatan anak angkat wali, perbaikan akta catatan sipil
dan sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
Volmar membagi sumber hukum perdata
menjadi empat macam yaitu KUH Perdata, traktat, yurisprudensi dan kebiasaan.
Dari keempat sumber hukum perdata itu dapat dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu
sumber hukum perdata tertulis dan sumber hukum perdata tidak tertulis. Sumber
hukum perdata tertulis yaitu tempat ditemukan kaidah-kaidah hukum perdata yang
berasal dari sumber tertulis. Umumnya terdapat dalam didalam peraturan
perundang-undangan, traktat dan yurispudensi. Sumber hukum perdata tidak
tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukm perdata yang berasal dari
sumber tidak tertulis, seperti yang terdapat dalam hukum kebiasaan. Yang
termaksuk sumber hukum perdata tertulis, yaitu:
1.
Algemene Bapalingen van Wetgeving (AB), AB merupakan
ketentuan-ketentuan umum pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan di
Indonesia dengan Stb. 1847 Nomor 23, tanggal 30 Aril 1847. AB terdiri dari 36
pasal.
2.
KUH Perdata BW, merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk
pemerintah Hindia Belanda yang diundangkan pada Tahun 1848 diberlakukan di
Indonesia berdasarkan asas konkordansi.
3.
KUH Dagang, diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23. KUH Dagang terdiri
atas 2 buku yaitu buku I dan buku II tentang Hak-hak dan Kewajiban yang Timbul
dalam pelayaran. Jumlah pasalnya sebanyak 754 pasal.
4.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria.
5.
Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Perkawinan.
6.
UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
7.
UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia
8.
Inpres Nomor I Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Traktat adalah suatu perjanjian yang
dibuat antara dua Negara atau lebih dalam bidang keperdataan. Terutama erat
kaitannya dengan perjanjian internasional. Contohnya perjanjian bagi hasil yang
dibuat antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company tentang
perjanjian bagi hasil tembaga dan emas. Yurispudensi atau putusan pengadilan
merupakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang
mengikat pihak-pihak yang berperkara terutama dalam perkara perdata. Contohnya
putusan H.R. 1919, maka pengertian melawan hukum tidak menganut arti luas
tetapi arti sempit. Putusan H.R 1919 ini dijadikan pedoman oleh para hakim di
Indonesia dalam memutuskan sengketa perbuatan melawan hukum[1]. Dalam
buku M. Nur Rasaid SH judul Hukum Acara Perdata, sumber hukum acara
perdata yaitu:
1.
RV (Reglement of The Burgerlijke Rechtsvordering), tapi ketentuan
ini sekarang sudah tidak berlaku lagi, kecuali apabila bener-bener dirasa perlu
dalam praktek keadilan.
2.
RO (Reglement of The Rechterlijke Organisatie in Her Beleid der
justitie in indonesie/Reglemen tentang Organisasi kehakima, S, 1847 No. 23)
3.
BW Buku IV, dan selebihnya yang terdapat tersebar dalam BW dan peraturan
kepailitan.
4.
UU Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman
5.
UU Nomor 20 Tahun 1947, tentang ketentuan Banding untuk daerah Jawa
dan Madura
6.
Yurispudensi, contohnya adalah putusan MA tanggal 14 april 1971 No.
99 K/SIP/1971, yang menyeragamkan hukum acara dalam perceraian bagi mereka yang
tunduk pada BW
7.
Adat Kebiasaan yang dianut oleh para Hakim dalam melakukan
pemeriksaan Perdata
8.
Perjanjian Internasional, contohnya yaitu perjanjian kerja sama
dibidang Peradilan antara Republik Indonesia dengan kerajaan Thailand (KEPRES
No. 6 Tahun 1978), yang isinya antara lain memuat tentan adanya kesepakatan
mengadakan kerjasama dalam menyampaikan dokumen-dokumen pengadilan dan
memperoleh bukti-bukti dalam hal-hal perkara.
9.
Perkara Hukum Perdata dan Dagang
10.
Doktrin atau Ilmu Pengetahuan, sebagai sumber tempat hakim apat
menggali Hukum Acara Perdata
11.
Surat Edaran Mahkamah Agung ((SEMA) sepanjang mengatur Hukum Acara
Perdata dan Hukum Perdata dan Hukum Perdata Materil[2].
B.
Asas-asas Hukum Acara Perdata
1. Hakim bersifat menungggu[3]
Azas ini mengandung arti, yaitu
inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang
berkpentingan. Jadi apakah ada perkara atau tuntutan hak akan diajukan
sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada
tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim (Wo kein klager ist, ist
kein richter, nemo judex sine actor). Jadi, yang mengajukan tuntutan
hak adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya
tuntutan hak yang diajukan kepadanya Dasarnya adalah HIR pasal 118 dan R.Bg
pasal 142.
HIR
pasal 118
Hakim dalam memeriksa perkara serdikap pasif ,artinya ruang
lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya untuk diperiksa pada
azasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Atau dengan
kata lain Hakim tidak boleh menentukan luas dari pokok perkara, Hakim tidak
boleh menambah atau mengurangi pokok gugatan para pihak[4].Hakim
hanya diperbolehkan aktif dalam hal-hal tertntu, yaitu misalnya Memimpin siding, Dalam
proses pemeriksaan di sidang pengadilan Hakim bertindak memimpin jalannya
persidangan. Artinya Hakim yang mengatur dan mengarah tata tertib pemeriksaan,
juga Hakim berwenang menentukan hukum yang diterapkan serta ia yang memutus
perkara yang disengketakan. Sifat kedudukan Hakim yang aktif sesuai dengan
sistim yang dianut HIR dan R.Bg, antara lain;
a. Pemeriksaan persidangan secara
langsung
b. Proses beracara secara lisan
3.
Persidangan
terbuka untuk umum (Openbaar)
Yang
dimaksud dengan persidangan terbuka untuk umum adalah bahwa setiap orang
diperbolehkan hadir dan mendengarkan serta menyaksikan jalannya pemeriksaan
perkara. Tujuan azas ini adalah:
1. Untuk menjamin pelaksanaan
peradilan yang tidak memihak, yakni dengan meletakan peradilan dibawah
penguasaan umum.
2. Untuk memberi perlindungan terhadap
hak-hak azasi manusia dalam bidang peradilan.
3. Untuk lebih menjamin obyektivitas
peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair serta putusan yang adil
kepada masyarakat.[5]
Azas
ini dijumpai dalam pasal 17 dan 18 UU No. 14 Tahun 1970jo UU No 4 Tahun 2004
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 179 ayat (1), 317
HIR dan pasal190 R.Bg..[18] Kecuali dalam perkara perceraiaan. Akan tetapi
walaupun pemeriksaan suatu perkaradilakukan tertutup untuk umum dalam perkara
perceraian, namun putusannya harus tetap dibacakandalam sidang terbuka untuk
umum. Putusan yang diucapakan dalam sidang yang tidak dinyatakanterbuka untuk
umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum
sertamengakibatkan batalnya putusan. Meskipun hakim tidak menyatakan
persidangan terbuka untukumum, akan tetapi di dalanm berita acara persidangan
dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbukauntuk umum, maka putusan yang telah
dijatuhkan tetap sah.
4.
Mendengarkan
kedua belah pihak (audi et alterampartem )
Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah
diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Dengan kata lain
para pihak yang berperkara harus diberikan kesempatan yang sama untuk membela
kepentingannya atau pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan secara adil.[6] Pasal
5 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 menyatakan bahwa “pengadilan mengadili menurut
hokum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Mendengar kedua belah pihak
yang berperkara dikenal dengan azas audi et alterampartem artinya
Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak
yang benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk
mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti bahwa pengajuan alat bukti harus
dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.
Selain
pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, dasar hukum yang lainnya dapat ditemukan dalam
pasal 121 ayat (2), 132 a, HIR dan pasal 145 ayat (2), 157 R.Bg.
5.
Putusan
harus disertai alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi
dasar untuk mengadili. Karena dengan adanya alasan-alsan maka putusan mempunyai
wibawa, dapat dipertanggung jawabkan dan bernilai objektif. Menurut
yurisprudensi suatu putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup
dipertimbangkan merupakan alasan pada tingkat kasasi untuk dibatalkannya
putusan tersebut.[7]
6.
Berperkara
dikenakan biaya
Untuk berperkara pada azasnya dikenakan biaya yang meliputi;
a.
Biaya
kepaniteraan dan biaya materai
b.
Biaya
saksi, saksi ahli, juru bahasa termasuk biaya sumpah
c.
Biaya
pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
d.
Biaya
pemanggilan para pihak yang berperkara
e.
Biaya
pelaksanaan putusan, dan sebagainya.
Pengecualian dari azas ini adalah bagi mereka yang tidak mampu
untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma
(prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaraan biaya
perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu dari kepala Desa/Lurah
yang diketahui oleh Camat yang membawahi domisili yang bersangkutan.[8] Dasar
hukumnya adalah pasal 237 HIR “Orang-orang yang demikian, yang sebagai
penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara, akan tetapi tidak mampu
membayar biaya perkara dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak
berbiaya”. Demikian pula yang terdapat dalam pasal 273 R.Bg. “penggugat atau
tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk
berperkara tanpa biaya”.
7. Demi keadilan berdasarkan Tuhan
Yang Maha Esa
Setiap kepala putusan peradilan di Indonesia harus memuat
kata-kata ini, yakni dengan menyandarkan “demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang
Maha Esa”. Tidak dicantumkan kata ini, maka putusan itu tidak mempunyai
kekuatan hukum sama sekali, dalam arti putusan tersebut tidak dapat dieksikusi
dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial (daya memaksa). Dasarnya adalah
UU No. 14 Tahun 1970.[9]
8.
Azas
sederhana, cepat dan biaya ringan
Yang dimaksud dengan Azas sederhana, cepat dan biaya ringan
adalah:
a. Sederhana, acara yang jelas,
mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Atau dengan kata lain suatu proses
pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu jangka waktu lama sampai
bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri.
b. Cepat, menunjuk kepada jalannya
peradilan dalam pemeriksaan dimuka sidang, cepat penyelesaian berita acaranya
sampai penandatanganan putusan dan pelaksanaan putusannya itu.
c. Biaya ringan, biaya perkara pada
pengadilan dapat dijangkau dan dipikul oleh masyarakat pencari keadilan[10]
C.
Perbedaan antara Permohonan dengan Gugatan
Perbedaan antara gugatan dengan
permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik
yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan. Dalam gugatan ada
seorang atau lebih yang merasa bahwa haknya atau hak mereka telah dilanggar
akan tetapi orang yang dirasa melanggar haknya atau hak mereka tidak mau
melakuka sesuatu sesuai yang diminta. Untuk menentukan siapa yang benar dan
berhak maka diperlukan adanya putusan hakim. Disini hakim benar-benar berfungsi
sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa diantara pihak tersebut mana
yang benar dan tidak benar, misalnya dalam kasus atikah dan yakub.
Dalam perkara yang disebut
permohonan tidak ada sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris almarhum
secara bersama-sama menghadap ke pengadilan untuk mendapat suatu penetapan
perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum berdasarkan ketentuan pasal
236a H.I.R. disini hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang
tata usaha Negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan atau lazimnya
disebut putusan declaratoir, yaitu suatu
putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja. Dalam persoalan ini hakim
tidak memutuskan konflik seperti halnya dalam perkara gugatan (dibandingkan
dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 23 oktober 1957 No.130 K/Sip/1957,
termuat dalam Hukum Majalah Pahi 1958 No 7-8, halaman 102). Permohonan yang
banyak diajukan dimuka pegadilan negeri adalah mengenai permohonan pengangkatan
anak angkat wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil dan sebagainya[11]. Menurut
pasal 118 HIR, gugatan harus diajukan secara tertulis oleh penggugat atau
kuasanya. Bagi yang buta huruf dapat mengajukan gugatannya secara lisan. Surat
gugatan memuat tiga hal, antara lain:
1.
Identitas para pihak (persona standi in yudico), seperti
nama lengkap, gelar, alias julukan, bin/binti, umur, agama, pekerjaan, tempat
tinggal, dan statusnya sebagai penggugat/tergugat.
2.
Posita/position (fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi
antara kedua belah pihak). Dari posita inilah penggugat mengajukan
gugatan, tanpa posita yang jelas dapat berakibat gugatannya dinyatakan
gugatan tidak dapat diterima karena termasuk kabur (obcuur libel). Karena
itu dalam membuat posita dalam surat gugatan hendaknya jelas, singkat,
kronologis, tepat dan terarah.
3.
Petita/petitum (isi
tuntutan). Petita dapat bersifat alternatif, dalam arti hanya ada satu
gugatan yang di ajukan dan ada pula yang bersifat kumulatif, yaitu penggugat
mengajukan lebih dari satu gugatan, misalnya seorang istri mengajukan gugatan
cerai kepengadilan agama, secara bersamaan ia juga mengajukan gugatan tentang hadhanah
(hak asuh anak), biaya nafkah anak dan harta gono gini.
Sedangkan pemohonan tidak jauh
berbeda dengan format gugatan yaitu mengandung identitas, petita dan posita.
Perbedaan inti antara surat gugatan dan surat permohonan yaitu pada surat
permohonan tidak dijumpai kalimat “berlawanan dengan”, kalimat “duduk
perkaranya”, dan kalimat “permintaan membayar biaya perkara kepada pihak lawan”. Adapun Syarat kelengkapan dalam surat
gugatan dan permohonan adalah sebagai berikut:
1.
Surat permohonan/gugatan tertulis, kecuali bagi yang buta huruf,
baik dibuat oleh penggugat/termohon atau kuasanya ditujukan kepengadilan yang
berwenang.
2.
Fotokopi identitas seperti KTP
3.
Vorschot biaya perkara (bagi yang miskin dapat mengajukan
dispensasi biaya dengan membawa surat keterangan miskin dari
kelurahan/kecamatan).
4.
Surat keterangan kematian untuk perkara waris
5.
Surat izin dari komandan bagi TNI/POLRI, surat izin atasan bagi PNS
(untuk perkara poligami)
6.
Surat persetujuan tertulis dari istri atau istri-istrinya (untuk
perkara poligami)
7.
Surat keterangan penghasilan (untuk
perkara poligami)
8.
Salinan/fotokopi Akta Nikah (untuk perkara gugat cerai, permohonan
cerai, gugatan nafkah istri, dan lain-lain).
9.
Salinan/fotokopi Akta cerai (untuk perkara nafkah iddah, gugatan
tentang mut’ah)
10.
Surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan[12].
D.
Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Pidana
1.
Kepentingan yang dilindungi
Bahwa hukum acara
pidana selain untuk melindungi kepentingan umum (publik), sedangkan hukum acara
perdata hanya untuk melindungi kepentingan perorangan (privat)
2.
Keyakinan Hakim
Bahwa dalam perkara
pidana, meskipun terdakwa telah mengakui suatu hal, hakim tidak serta-merta
menerima bagitu saja pengakuan dari terdakwa kalau seandainya hakim tidak yakin
dengan pengakuan dari terdakwa. Sedangkan dalam perkara perdata, jika tergugat
mengakui perbuatannya dan apa yang dituntut oleh penggugat sekalipun hakim
tidak yakin dengan pengakuan tergugat, hakim wajib memutuskan perkara tersebut
dan tidak lagi mempersoalkan tentang pengakuan tergugat.
3.
Dasar timbulnya gugatan
Dalam Perdata timbulnya perkara karena terjadi pelanggaran hak yang
diatur dalam hukum perdata, sedangkan dalam acara Pidana timbulnya perkara karena
terjadi pelanggaran terhadap perintah atau larangan yang diatur dlm hkm pidana
4.
Inisiatif berperkara
Dalam acara Perdata datang dari salah satu pihak yang merasa dirugikan, sedangkan
dalam acara Pidana datang penguasa negara/pemerintah melalui aparat penegak
hukum seperti polisi dan jaksa
5.
Istilah yang digunakan
Dalam acara Perdata yang mengajukan gugatan adalah penggugat,
sedangkan dalam acara Pidana yang mengajukan perkara ke pengadilan yaitu jaksa/penuntut
umum kepada pihak yang disangka (tersangka)
4.
Tugas hakim dalam beracara
Dalam acra Perdata bersifat mencari kebenaran formil atau mencari
kebenaran sesungguhnya yang didasarkan apa yang dikemukakan oleh para pihak dan
tidak boleh melebihi dari itu.sedangkan dalam acara Pidana tugasnya mencari
kebenaran materil tidak terbatas apa saja yang telah dilakukan terdakwa
melainkan lebih dari itu. Harus diselidiki sampai latar belakang perbuatan
terdakwa. Hakim mencari kebenaran materil secara mutlak dan tuntas
5.
Perdamaian
Dalam Perdata dikenal dengan adanya perdamaian didalam acara
pidana tidak dikenal perdamaian
6.
Sumpah decissoire
Dalam acara Perdata ada sumpah decissoire yaitu sumpah yang
dimintakan oleh satu pihak kepada pihak lawannya tentang kebenaran suatu
peristiwa. Namun didalam Pidana tidak dikenal sumpah decissoire.
7.
Hukuman
Dalam Perdata, berlaku kewajiban untuk memenuhi prestasi
(melakukan memberikan dan tidak melakukan sesuatu atau menetapkan hak),
sedangkan dalam Pidana berlaku hukuman badan ( kurungan, penjara dan mati),
denda dan pencabutan hak[13]
[1] Salim HS, S.H.,M.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 9-11
[2] M. Nur Rasyid. SH, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), hlm 7-8
[3] Bambang sugeng A.S,S.H, M.H Hukum acara perdata dan dokumen
litigasi perkara perdata : kencana prenada media group 2011 hal. 10
[4] Ibid
[5] Ibid hal. 11
[6] ibid
[7] ibid
[8] ibid
[10] ibid
[11] Ny. Retnowulan Sutianto, SH, Iskandar Oeripkartawinata, SH, Hukum
Acara Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 10-11
[12] Dr. Mardani, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama & Mahkamah
Syar’iah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 81-82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar