Powered By Blogger

jam

_

assalammualaikum

semoga bermanfaat

Minggu, 08 Juni 2014

pengantar hukum acara perdata



BAB I
PENDAHULUAN
Disamping perkara gugatan, dimana terdapat pihak Penggugat dan pihak Tergugat. Ada perkara-perkara yang disebut permohonan yang diajukan oleh seorang pemohon atau lebih secara bersama-sama. Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan. Dalam suatu gugutan ada seorang atau lebih yang merasa bahwa hak nya atau hak mereka telah dilanggar akan tetapi orang yang melanggar hak nya atau hak mereka itu tidak mau secara sukarela melakukan sesuatu yang diminta itu, untuk penentuan sipa yang benar dan yang berhak, diperlukan adanya putusan hakim, disini hakim benar-benar berfungsi sebagi hakim yang mengadili yang mememutuskan siapa yang tidak benar. Misalnya dalam contoh kasus atikah dan yakub.
Dalam perkara yang disebut permohonan tidak ada sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris almarhum secara bersama-sama menghadap kepengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum berdasarkan ketentuaan pasal 236a H.I.R disini hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang tenaga tata usaha Negara, hakim tersebut mengeluarkan suatu penetepan atau lajimnya disebut putusan declaratoir yaitu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja. Dalam persoalan ini hakim tidak memutuskan sesuatu konflik seperti halnya dalam perkara gugatan, permohonan yang banyak diajukan dimuka pengadilan negri adalah mengenai permohonan pengangkatan anak angkat wali, perbaikan akta catatan sipil dan sebagainya.






BAB II
PEMBAHASAN
A.           Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
Volmar membagi sumber hukum perdata menjadi empat macam yaitu KUH Perdata, traktat, yurisprudensi dan kebiasaan. Dari keempat sumber hukum perdata itu dapat dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu sumber hukum perdata tertulis dan sumber hukum perdata tidak tertulis. Sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat ditemukan kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya terdapat dalam didalam peraturan perundang-undangan, traktat dan yurispudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukm perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis, seperti yang terdapat dalam hukum kebiasaan. Yang termaksuk sumber hukum perdata tertulis, yaitu:
1.         Algemene Bapalingen van Wetgeving (AB), AB merupakan ketentuan-ketentuan umum pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan di Indonesia dengan Stb. 1847 Nomor 23, tanggal 30 Aril 1847. AB terdiri dari 36 pasal.
2.         KUH Perdata BW, merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk pemerintah Hindia Belanda yang diundangkan pada Tahun 1848 diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi.
3.         KUH Dagang, diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23. KUH Dagang terdiri atas 2 buku yaitu buku I dan buku II tentang Hak-hak dan Kewajiban yang Timbul dalam pelayaran. Jumlah pasalnya sebanyak 754 pasal.
4.         Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria.
5.         Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan.
6.         UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
7.         UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia
8.         Inpres Nomor I Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua Negara atau lebih dalam bidang keperdataan. Terutama erat kaitannya dengan perjanjian internasional. Contohnya perjanjian bagi hasil yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia Company tentang perjanjian bagi hasil tembaga dan emas. Yurispudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang berperkara terutama dalam perkara perdata. Contohnya putusan H.R. 1919, maka pengertian melawan hukum tidak menganut arti luas tetapi arti sempit. Putusan H.R 1919 ini dijadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia dalam memutuskan sengketa perbuatan melawan hukum[1]. Dalam buku M. Nur Rasaid SH judul Hukum Acara Perdata, sumber hukum acara perdata yaitu:
1.         RV (Reglement of The Burgerlijke Rechtsvordering), tapi ketentuan ini sekarang sudah tidak berlaku lagi, kecuali apabila bener-bener dirasa perlu dalam praktek keadilan.
2.         RO (Reglement of The Rechterlijke Organisatie in Her Beleid der justitie in indonesie/Reglemen tentang Organisasi kehakima, S, 1847 No. 23)
3.         BW Buku IV, dan selebihnya yang terdapat tersebar dalam BW dan peraturan kepailitan.
4.         UU Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
5.         UU Nomor 20 Tahun 1947, tentang ketentuan Banding untuk daerah Jawa dan Madura
6.         Yurispudensi, contohnya adalah putusan MA tanggal 14 april 1971 No. 99 K/SIP/1971, yang menyeragamkan hukum acara dalam perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW
7.         Adat Kebiasaan yang dianut oleh para Hakim dalam melakukan pemeriksaan Perdata
8.         Perjanjian Internasional, contohnya yaitu perjanjian kerja sama dibidang Peradilan antara Republik Indonesia dengan kerajaan Thailand (KEPRES No. 6 Tahun 1978), yang isinya antara lain memuat tentan adanya kesepakatan mengadakan kerjasama dalam menyampaikan dokumen-dokumen pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam hal-hal perkara.
9.         Perkara Hukum Perdata dan Dagang
10.     Doktrin atau Ilmu Pengetahuan, sebagai sumber tempat hakim apat menggali Hukum Acara Perdata
11.     Surat Edaran Mahkamah Agung ((SEMA) sepanjang mengatur Hukum Acara Perdata dan Hukum Perdata dan Hukum Perdata Materil[2].
B.  Asas-asas Hukum Acara Perdata

1.    Hakim bersifat menungggu[3]
Azas ini mengandung arti, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkpentingan. Jadi apakah ada perkara atau tuntutan hak akan diajukan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim (Wo kein klager ist, ist kein richter, nemo judex sine actor).  Jadi, yang mengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya Dasarnya adalah HIR pasal 118 dan R.Bg pasal  142.
HIR pasal 118
2.    Hakim bersifat pasif
Hakim dalam memeriksa perkara serdikap pasif ,artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya untuk diperiksa pada azasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Atau dengan kata lain Hakim tidak boleh menentukan luas dari pokok perkara, Hakim tidak boleh menambah atau mengurangi pokok gugatan para pihak[4].Hakim hanya diperbolehkan aktif dalam hal-hal tertntu, yaitu misalnya Memimpin  siding, Dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan Hakim bertindak memimpin jalannya persidangan. Artinya Hakim yang mengatur dan mengarah tata tertib pemeriksaan, juga Hakim berwenang menentukan hukum yang diterapkan serta ia yang memutus perkara yang disengketakan. Sifat kedudukan Hakim yang aktif sesuai dengan sistim yang dianut HIR dan R.Bg, antara lain;
a.    Pemeriksaan persidangan secara langsung
b.    Proses beracara secara lisan

3.    Persidangan terbuka untuk umum (Openbaar)
Yang dimaksud dengan persidangan terbuka untuk umum adalah bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan serta menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara. Tujuan azas ini adalah:
1.    Untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak memihak, yakni dengan meletakan peradilan dibawah penguasaan umum.
2.    Untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia dalam bidang peradilan.
3.    Untuk lebih menjamin obyektivitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair serta putusan yang adil kepada masyarakat.[5]
Azas ini dijumpai dalam pasal 17 dan 18 UU No. 14 Tahun 1970jo UU No 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 179 ayat (1), 317 HIR dan pasal190 R.Bg..[18] Kecuali dalam perkara perceraiaan. Akan tetapi walaupun pemeriksaan suatu perkaradilakukan tertutup untuk umum dalam perkara perceraian, namun putusannya harus tetap dibacakandalam sidang terbuka untuk umum. Putusan yang diucapakan dalam sidang yang tidak dinyatakanterbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum sertamengakibatkan batalnya putusan. Meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untukumum, akan tetapi di dalanm berita acara persidangan dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbukauntuk umum, maka putusan yang telah dijatuhkan tetap sah.

4.    Mendengarkan kedua belah pihak (audi et alterampartem )
Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Dengan kata lain para pihak yang berperkara harus diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya atau pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan secara adil.[6] Pasal 5 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 menyatakan bahwa “pengadilan mengadili menurut hokum dengan tidak membeda-bedakan orang”.  Mendengar kedua belah pihak yang berperkara dikenal dengan azas audi et alterampartem artinya Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.
Selain pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, dasar hukum yang lainnya dapat ditemukan dalam pasal 121 ayat (2), 132 a, HIR dan pasal 145 ayat (2), 157 R.Bg.
5.    Putusan harus disertai alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadili. Karena dengan adanya alasan-alsan maka putusan mempunyai wibawa, dapat dipertanggung jawabkan dan bernilai objektif. Menurut yurisprudensi suatu putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan pada tingkat kasasi untuk dibatalkannya putusan tersebut.[7]
6.    Berperkara dikenakan biaya
Untuk berperkara pada azasnya dikenakan biaya yang meliputi;
a.    Biaya kepaniteraan dan biaya materai
b.    Biaya saksi, saksi ahli, juru bahasa termasuk biaya sumpah
c.    Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
d.   Biaya pemanggilan para pihak yang berperkara
e.    Biaya pelaksanaan putusan, dan sebagainya.
Pengecualian dari azas ini adalah bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaraan biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu dari kepala Desa/Lurah yang diketahui oleh Camat yang membawahi domisili yang bersangkutan.[8] Dasar hukumnya adalah pasal 237 HIR “Orang-orang yang demikian, yang sebagai penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara, akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya”. Demikian pula yang terdapat dalam pasal 273 R.Bg. “penggugat atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa biaya”.


7.    Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa
Setiap kepala putusan peradilan di Indonesia harus memuat kata-kata ini, yakni dengan menyandarkan “demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”. Tidak dicantumkan kata ini, maka putusan itu tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali, dalam arti putusan tersebut tidak dapat dieksikusi dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial (daya memaksa).  Dasarnya adalah UU No. 14 Tahun 1970.[9]
8.    Azas sederhana, cepat dan biaya ringan
Yang dimaksud dengan Azas sederhana, cepat dan biaya ringan adalah:
a.       Sederhana, acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Atau dengan kata lain suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu jangka waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri.
b.      Cepat, menunjuk kepada jalannya peradilan dalam pemeriksaan dimuka sidang, cepat penyelesaian berita acaranya sampai penandatanganan putusan dan pelaksanaan putusannya itu.
c.       Biaya ringan, biaya perkara pada pengadilan dapat dijangkau dan dipikul oleh masyarakat pencari keadilan[10]
C.           Perbedaan antara Permohonan dengan Gugatan
Perbedaan antara gugatan dengan permohonan adalah bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputuskan oleh pengadilan. Dalam gugatan ada seorang atau lebih yang merasa bahwa haknya atau hak mereka telah dilanggar akan tetapi orang yang dirasa melanggar haknya atau hak mereka tidak mau melakuka sesuatu sesuai yang diminta. Untuk menentukan siapa yang benar dan berhak maka diperlukan adanya putusan hakim. Disini hakim benar-benar berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa diantara pihak tersebut mana yang benar dan tidak benar, misalnya dalam kasus atikah dan yakub.
Dalam perkara yang disebut permohonan tidak ada sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris almarhum secara bersama-sama menghadap ke pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum berdasarkan ketentuan pasal 236a H.I.R. disini hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang tata usaha Negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan atau lazimnya disebut putusan declaratoir,  yaitu suatu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja. Dalam persoalan ini hakim tidak memutuskan konflik seperti halnya dalam perkara gugatan (dibandingkan dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 23 oktober 1957 No.130 K/Sip/1957, termuat dalam Hukum Majalah Pahi 1958 No 7-8, halaman 102). Permohonan yang banyak diajukan dimuka pegadilan negeri adalah mengenai permohonan pengangkatan anak angkat wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil dan sebagainya[11]. Menurut pasal 118 HIR, gugatan harus diajukan secara tertulis oleh penggugat atau kuasanya. Bagi yang buta huruf dapat mengajukan gugatannya secara lisan. Surat gugatan memuat tiga hal, antara lain:
1.      Identitas para pihak (persona standi in yudico), seperti nama lengkap, gelar, alias julukan, bin/binti, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal, dan statusnya sebagai penggugat/tergugat.
2.      Posita/position (fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak). Dari posita inilah penggugat mengajukan gugatan, tanpa posita yang jelas dapat berakibat gugatannya dinyatakan gugatan tidak dapat diterima karena termasuk kabur (obcuur libel). Karena itu dalam membuat posita dalam surat gugatan hendaknya jelas, singkat, kronologis, tepat dan terarah.
3.      Petita/petitum (isi tuntutan). Petita dapat bersifat alternatif, dalam arti hanya ada satu gugatan yang di ajukan dan ada pula yang bersifat kumulatif, yaitu penggugat mengajukan lebih dari satu gugatan, misalnya seorang istri mengajukan gugatan cerai kepengadilan agama, secara bersamaan ia juga mengajukan gugatan tentang hadhanah (hak asuh anak), biaya nafkah anak dan harta gono gini.
Sedangkan pemohonan tidak jauh berbeda dengan format gugatan yaitu mengandung identitas, petita dan posita. Perbedaan inti antara surat gugatan dan surat permohonan yaitu pada surat permohonan tidak dijumpai kalimat “berlawanan dengan”, kalimat “duduk perkaranya”, dan kalimat “permintaan membayar biaya perkara kepada pihak  lawan”. Adapun Syarat kelengkapan dalam surat gugatan dan permohonan adalah sebagai berikut:
1.    Surat permohonan/gugatan tertulis, kecuali bagi yang buta huruf, baik dibuat oleh penggugat/termohon atau kuasanya ditujukan kepengadilan yang berwenang.
2.    Fotokopi identitas seperti KTP
3.    Vorschot biaya perkara (bagi yang miskin dapat mengajukan dispensasi biaya dengan membawa surat keterangan miskin dari kelurahan/kecamatan).
4.    Surat keterangan kematian untuk perkara waris
5.    Surat izin dari komandan bagi TNI/POLRI, surat izin atasan bagi PNS (untuk perkara poligami)
6.    Surat persetujuan tertulis dari istri atau istri-istrinya (untuk perkara poligami)
7.    Surat keterangan penghasilan (untuk  perkara poligami)
8.    Salinan/fotokopi Akta Nikah (untuk perkara gugat cerai, permohonan cerai, gugatan nafkah istri, dan lain-lain).
9.    Salinan/fotokopi Akta cerai (untuk perkara nafkah iddah, gugatan tentang mut’ah)
10.    Surat keterangan untuk bercerai dari kelurahan[12].

D.    Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Pidana
1.      Kepentingan yang dilindungi
         Bahwa hukum acara pidana selain untuk melindungi kepentingan umum (publik), sedangkan hukum acara perdata hanya untuk melindungi kepentingan perorangan (privat)
2.      Keyakinan Hakim
         Bahwa dalam perkara pidana, meskipun terdakwa telah mengakui suatu hal, hakim tidak serta-merta menerima bagitu saja pengakuan dari terdakwa kalau seandainya hakim tidak yakin dengan pengakuan dari terdakwa. Sedangkan dalam perkara perdata, jika tergugat mengakui perbuatannya dan apa yang dituntut oleh penggugat sekalipun hakim tidak yakin dengan pengakuan tergugat, hakim wajib memutuskan perkara tersebut dan tidak lagi mempersoalkan tentang pengakuan tergugat.
3.      Dasar timbulnya gugatan
Dalam Perdata timbulnya perkara karena terjadi pelanggaran hak yang diatur dalam hukum perdata, sedangkan dalam acara Pidana timbulnya perkara karena terjadi pelanggaran terhadap perintah atau larangan yang diatur dlm hkm pidana
4.      Inisiatif berperkara
Dalam acara Perdata datang dari salah satu pihak yang merasa dirugikan, sedangkan dalam acara Pidana datang penguasa negara/pemerintah melalui aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa
5.      Istilah yang digunakan
Dalam acara Perdata yang mengajukan gugatan adalah penggugat, sedangkan dalam acara Pidana yang mengajukan perkara ke pengadilan yaitu jaksa/penuntut umum kepada pihak yang disangka (tersangka)
4.      Tugas hakim dalam beracara
Dalam acra Perdata bersifat mencari kebenaran formil atau mencari kebenaran sesungguhnya yang didasarkan apa yang dikemukakan oleh para pihak dan tidak boleh melebihi dari itu.sedangkan dalam acara Pidana tugasnya mencari kebenaran materil tidak terbatas apa saja yang telah dilakukan terdakwa melainkan lebih dari itu. Harus diselidiki sampai latar belakang perbuatan terdakwa. Hakim mencari kebenaran materil secara mutlak dan tuntas
5.      Perdamaian
Dalam Perdata dikenal dengan adanya perdamaian didalam acara pidana tidak dikenal perdamaian
6.      Sumpah decissoire
Dalam acara Perdata ada sumpah decissoire yaitu sumpah yang dimintakan oleh satu pihak kepada pihak lawannya tentang kebenaran suatu peristiwa. Namun didalam Pidana tidak dikenal sumpah decissoire.
7.      Hukuman
Dalam Perdata, berlaku kewajiban untuk memenuhi prestasi (melakukan memberikan dan tidak melakukan sesuatu atau menetapkan hak), sedangkan dalam Pidana berlaku hukuman badan ( kurungan, penjara dan mati), denda dan pencabutan hak[13]


[1] Salim HS, S.H.,M.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 9-11
[2] M. Nur Rasyid. SH, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 7-8
[3] Bambang sugeng A.S,S.H, M.H Hukum acara perdata dan dokumen litigasi perkara perdata : kencana prenada media group 2011 hal. 10
[4] Ibid
[5] Ibid hal. 11
[6] ibid
[7] ibid
[8] ibid
[10] ibid
[11] Ny. Retnowulan Sutianto, SH, Iskandar Oeripkartawinata, SH, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 10-11
[12] Dr. Mardani, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama & Mahkamah Syar’iah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 81-82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar