Powered By Blogger

jam

_

assalammualaikum

semoga bermanfaat

Minggu, 08 Juni 2014

filsafat hukum (kaidah fiqih dan ushul)



BAB I
Pendahuluan
            Islam adalah kumpulan peraturan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad di dalamnya terkandung peraturan-peraturan tentang aqidah, ahklak, mu’amalat, dan segala berita yang disebut di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah perintah agar disampaikan kepada manusia.
            Peraturan –praturan tersebut bertujuan untuk kemaslahatan manusia seutuhnya, pada dasarnya manusia berharap pada hal-hal yaitu :Kemaslahatan hidup bagi diri dan oranglain, Tegaknya keadilan, Persamaan hak dan kewajiban dalam hukum, Saling control dalam kehidupan masyarakat sehingga tegaknya hukum dapat diujudkan, Kebebasan berekpresi, berpendapat, dan bertindak dengantidak melebihi batas-batas hukum dan norma social, Regenerasi social yamg positif dan bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupan social dan kehidupan berbangsa serta bernegara[1] 
            Untuk itulah adanya aturan yang diturunkan langsung oleh Allah. Salah satu dari kumpulan peraturan tersebut adalah acuan moral dalam penerapan fiqih mu’amalah ini, yang pada dasarnya kaidah-kaidah tersebut merupakan ciri dari sebuah ke-universalitas-an agama Islam. Hal ini sesuai dengan kaidah dan prinsip dasar Islam untuk mewujudkan cita-cita Islam yang universal,  serta sesuai dengan maqasidusyariahnya[2] yang di bagi kepada tiga macam yaitu: dharuri (kebutuhan pokok) Hifdzu Din (memelihara kebebasan beragama), Hifdzu Aql (memelihara kebebasan nalar berpikir), Hifdzu Mal (memelihara/menjaga harta benda), Hifdzu Nafs (memelihara hak hidup),Hifdzu Nasl (memelihara hak untuk mengembangkan keturunan), hajjiyah (bersifat kebutuhan ) seperti jual beli, sewamenyewa, dan transaksi lainnya, selanjutnya tahsini (bersifat perbaikan) yakni kemaslahatanyang merujuk kepada moral dan etika[3].


BAB II
Pembahasan
A.    Pengertian Qaidah Fiqhiyah
            Kata qaidah atau qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, apa-apa yang dibangun diatasnya sesuatu yang lain, pondasi, dasar misal jika dikatakan  قاعدة العمارة   artinya pondasi bagunan, bisa juga bermakna : prinsip dan asas ( metode/peraturan) , misal قاعدة البلاد أو الحكومــة  artinya prinsip atau peraturan negara atau pemerintah. Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah dengan: "hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya". 
            Fiqhiyah diambil dari kata  فَقِهَ – يفقه – فقها  artinya : mengerti, memahami, pemahaman yang diberi tambahan ya' nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqih lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari Firman Allah SWT surah at-Taubah: 122: "untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama". Dan berdasarkan Sabda Nabi Muhammad SAW, "barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama"Dan juga sebagaiman doa nabi kepada ibnu abbas :
الهــم فقِّهـــهٌ فــي الديــــن 
" ya allah pahamkanlah dia kepada ilmu agama "
            Fiquh menurut istilah syara’ ialah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang praktis, yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci. Dan bisa juga desebut dengan kompilasi[4] hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalilnya secara terrinci.[5] 
            Jadi yang dimaksud dari kaidah fiqhiyah adalah "hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang di bangun oleh syari' serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya" atauhukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya atau cabang-cabangnya”.
            Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap qaidah fiqhiyah telah mengatur dan menghimpun beberapa banyak masalah fiqih dari berbagai bab.[6]
B.     Perbedaan Kaidah Ushul dengan Kaidah Fiqhiyah
            Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh terletak pada kesaaman sebagai wasilah pengambilan hukum. Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-masalah dalam kajian syari’ah. Oleh karena itu, dalam perspetif ini kaidah ushul sangatlah mirip dengan kaidah fiqih. Namun, kita pun bisa melihat perbedaan yang signifikan dari kedua kaidah tersebut, secara ringkas perbedaan kedua kaidah tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid dalam istinbath(pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
2.      Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
3.      Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya (objek). Jika Kaidah ushulmaudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain
4.      Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
5.      Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh
C.     Kaidah Fiqhiyah
            Ada lima kaidah fiqhiyah yang disebut juga sebagai panca kaidah yang menurut sebagian besar ulama’ seluruh masalah fiqih dikembalikan kepadanya yaitu :
1.      الامور بمقاصدها
“segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya”
2.      اليقين لا يزال بالشك
“Yang sudah yakin tidak dapat dihapuskan oleh keraguan”
3.      المشقة تجلب التيسر[7]
“Kesukaran itu menimbulkan adanya kemudahan”
4.      الضرر يزال
“kemudlorotan itu harus dihilangkan”
5.      العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”[8]

            Dari kelima qaidah tersebut maka akan menimbulkan furu’nya yaitu :

1.      الامور بمقاصدها  (Segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya)
            Termasuk dalam lingkungan kaidah ini ialah kaidah-kaidah berikut :
a.       ما لا يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ لم يضر                                                    
            Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun terperinci ketika dita'yin dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan.
 Contoh Orang yang didalam niat shalat menegaskan tentang tempat shalatnya dimasjid tapi ternyata itu mushallah maka shalatnya tetap sah[9]
b.      ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل                  
Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan menyebabkan batal. 
Contoh Seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat 'ashar atau sebaliknya, maka shalatnya tersebut tidak sah.  
c.       اذا عينه واخطأ ضرَّ ما يشترط التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا
            Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan penjelasan secara rinci, maka ketika kesalahan dalam penjelasan secara rinci membahayakan.
Contoh Seseorang yang bernama Iqbal niat berjamaah kepada seorang imam bernama mbah Arief. Kemudian, ternyata bahwa yang menjadi imam bukanlah mbah Arief tapi orang lain yang mempunyai panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin), maka shalat Iqbal tidak sah karena ia telah berniat makmum dengan mbah Arief yang berarti telah menafikan mengikuti Seger. Perlu diketahui, bahwa dalam shalat berjamah hanya disyaratkan niat berjamaah tanpa adanya kewajiban menentukan siapa imamnya.  
d.      مقاصد اللفظ على نية اللافظ
Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat yang mengucapkan.
Contoh Seorang suami yan memanggil istrinya bernama thaliq ( yang ditalak) maka apabila dia bermaksud untuk mentalak istrinya maka tercapailah maksudnya itu[10]

2.      اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan”.
            Termasuk dalam kaidah ini, kaidah-kaidah berikut antara lain :
a.       الاصل بقاء ما كان على ما كان
Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula.
Contoh Seseorang yang makan sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya fajar maka puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya masih tetap malam (al-aslu baqa-u al-lail). 
b.      الاصل براة الذمة (hukum asal adalah tidak adanya tanggungan.)
Contoh Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih)melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman, karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).
c.       الاصل العدم (Hukum asal adalah ketiadaan) 
Contoh Tidak diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena pada dasarnya tidak adanya larangan (dalam muamalah). 
d.      الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه (Asal segala sesuatu diperkirakan dengan yang lebih dekat zamannya. )
 Contoh seorang yang berwudhu’ dari sebuah sumur lalu dia shalat, setelah shalat dia menemukan bangkai di dalam sumur tempat dia berwudhu’ tadi maka shalatnya tetap sah kecuali kalau dia yakin kalau dia berwudhu’ dengan air yang bernajis.
e.       الاصل فى الآ شياء التحريم (Hukum asal sesuatu adalah haram)
            hal ini berkaitan dengan ibadah sebab ibadah merupakan hak perogatif Allah, jadi selama ibadah itu tidak di atur dalam nas (selama tidak ada dalil yang membolehkannya)  maka hal itu adalah haram
contoh haramnya melakukan bid’ah
           
f.       الاصل فى الآ شياء الاءباحة (Hukum ashal (pada dasarnya) segala sesuatu itu diperbolehkan)
Hal ini berkaitan dengan yang selain ibadah.
contoh memakai sepeda motor, menjadi nasabah bank, dll

3.      المشقة تجلب التيسر (Kesulitan akan menarik kepada kemudahan)
            Termasuk dalam kaidah ini antara lain
1.      الاشياء اذا اتسع ضاقت
Sesuatu yang dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit.
 Contoh Orang yang dalam keadaan biasa (tidak sakit ataupun musafir) maka rukun dan syarat sah shalat berlaku baginya sebaliknya bagi yang dalam keadaan sakit maka boleh shalat duduk dan sebagainya, bagi musafie diperbolehkan untuk mengqasar atau mengqadha shalatnya.
4.          الضرر يزال(Kemudlorotan itu harus dihilangkan)
            Arti dari kaidah ini menunjukan bahwa kemudlorotan itu telah terjadi dan akan terjadi. Apabila demikian halnya wajib untuk dihilangkan. Termasuk dalam kaidah ini, kaidah-kaidah antara lain sebagai berikut:
a.       الضررلا يزال بالضرر (Kemudlorotan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemudlorotan). 
Contoh tidak boleh bagi seorang dokter mengobati pasien yang kekurangan darah dengan mengambil darah dari orang yang membutuhkan darah juga, yang apabila diambil darahnya akan lebih parah sakitnya.
b.      الضرورات تبيح المحظورات (Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang)
Contoh makan babi bagi orang yang tersesat di hutan karena tidak ada ,makanan lain lagi selain babi tersebut.
c.       ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها (Apa yang diperbolehkan karena adanya kemudlorotan diukur menurut kadar kemudlorotan).
Contoh berhubungan dengan contoh diatas, setelah kemudharatannya hilang maka hukum kembali menurut statusnya
d.       الحجة قد تنزل منزلة الضرورة (Kebutuhan (hajat) terkadang menempati posisi darurat)
contoh Diperbolehkan memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam muamalah atau karena khithbah (lamaran) dan juga bagi dokter yang menangani pasiennya.
e.       اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما (Apabila dua mafsadah bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar mudlorotnya dengan dikerjakan yang lebih ringan mudlorotnya.
Cotoh Menebang pohon orang lain yang diduga akan menimpa rumah seseorang
f.       درء المفاسد مقدم على جلب المصالح (Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan)
contoh Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.

5.      العادة محكمة (Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum)
            Perlu diingat bahwa adat kebiasaan yang berkembang di masyarakat saat ini sangat banyak jumlahnya. Usaha selektif terhadap berbagai adat kebiasaan yang dapat diadopsi sebagai hukum tentunya tidaklah sembarangan yang tentu harus menliputi bermacam-macam syarat diantaranya supaya adat dapat diterima sebagai landasan hukum ialah tidak bertentangan dengan syara’, dilaksanakan secara mayoritas, mendatangkan manfaat, dan juga tidak bertentangan dengan akal sehat.[11] Termasuk dalam kaidah ini,ialah : 
ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة يرجع فيه الى العرف   (Sesuatu yang berlaku mutlak karena syara' dan tanpa adanya yang membatasi didalamnya dan tidak pula dalam bahasa,maka segala sesuatunya dikembalikan kepada kebiasaan (al-"urf) yang berlaku).
Contoh Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut. Terkait dengan kaidah di atas, bahwasanya syara’ telah menentukankan tempat niat di dalam hati, tidak harus dilafalkan dan tidak harus menyebutkan panjang lebar, cukup menghadirkan hati; “aku niat shalat…………rakaaat”. itu sudah di anggap cukup.
            Hukum pada hakikatnya adalah masyarakat itu sendiri. Hukum merupakan masyarakat dari sudut pandang tertentu, karena hukum itu ada dalam masyarakat dan mengatur masyarakat itu untuk mencapai kedamaian social. Berdasarkan titik tolak itu hubungan hukum adat dengan masyarakat dan hukum-hukum lain yang berlaku dalam suatu masyarakat, demikian juga dengan hukum islam yang telah di manifestasikan oleh komunitas social yang beragama islam, secara filosofis bererak sesuai dengan aktualisasi norma social yang berlaku dengan regenerative, hal itu karena, dengan melakukan pendekatan filosofis, akan diperoleh suatu gambaran yang netral, hukum adat hukum islam dilihat sebagai inter subsistem hukum yang sejajar kedudukannya dan sama perannya bagi masyarakat yang menganutnya.[12] 
            Perubahan masyarakat adalah sebuah fenomena alamiah seiring dengan perputaran waktu, disebabkan kehidupan manusia yang secara teratur terus bergerak menuju kesempurnaan. Tidak ada masyarakat yang berada dalam kondisi stabil dan tetap pada waktu yang berbeda, semua bergerak, mengalir, menuju sebuah peradaban yang kian sempurna.
            Tata nilai dan norma dengan sendirinya hadir seiring dengan keberadaan manusia itu sendiri,ada yang dirumuskan dengan kesepakatan, kekuasaan, dan juga agama. Hukum islam merupakan hasil dari sebuah evolusi pemikiran manusiawi dari kemajemukan norma-norma agama yang berlandaskan nash.[13]
            Syariat dipahami sebagai segala ketentuan yang dikeluarkan dari alquran dan sunnah. Alquran dan sunnah diakuai sebagai sumber kewahyuan yang valid. Pemahaman dan penafsiran kedua sumber kewahyuan ini disebut dengan hukum fiqih, hukum fiqih inilah yang disebut dengan hukum islam.[14]
BAB III
Penutup

Kesimpulan
            Bahwa permasalahan-permasalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari ragam macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar supaya didapati jalan keluar terhadap jalan penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan.
            Maka, hendaklah seorang muslim memahami secara baik tentang konsep disiplin ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang diantara kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.
Unsur-unsur masyarakat yaitu :
1.      Mayarakat merupakan kumpulan individu dari jenis hewan yang hidup secara berkelompok.
2.      Makhluk social dan Saling menopang
3.       Selalu mengalami perkembangan dan perubahan dari segi budaya dan peradaban.
            Kehidupan manusia disebut berubah karena adanya perubahan disaat berubahnya waktu, sehingga akan melahirkan keberagaman kebutuhan, karakter, kultur dan pola pikir yang amat sangat berbeda dan akan selalu berubah seiring berjalannya waktu, hal inilah yang akan  menimbulkan perbuatan mukallaf yang tidak berdasarkan ketetapan hukum yang pasti.
            Secara garis besar yang mempengaruhi perubahan itu adalah lingkungan,poulasi yang makin bertambah, ideology pemikiran, peristiwa, inovasi kultur (iptek), dan perbuatan mukallaf. Untuk mengikat atau mengcover hal tersebut maka perlu adanya undang-undang, aturan, kaidah yang bersifat universal yaitu kaidah fiqhiyah.



Daftar Pustaka

Dr. Junaidi Lubis, 2010, Islam Dinamis, Jakarta : Dian Rakyat
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Abdul Wahab Khalllaf, 1994, ilmu ushul fiqih, terjemahan oleh Ahmad Qarib, semarang : Dina     Utama
Drs. H. Abdul Mudjib, 2010, kaidah-kaidah ilmu fiqih, Jakarta : Kalam Mulia,
Drs. Beni Ahmad Saebani, 2007, filsafat hukum islam, Bandung : Pustaka Setia,
Ahmad almursi Husain jauhari, 2009, maqasid syariah, Terjemahan oleh khikmawati Jakarta :       Amzah,


                [1] Drs. Beni Ahmad Saebani, filsafat hukum islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), h. 243
                [2] Adbul wahab Khallaf mengatakan “tujuan umum syari’ dalam mensyariatkan hukum-hukumnya ialah mewujudkan kemaslahatan manjusia dengan menjamin hal-hal yang dharuri, hajiyat, tahsiniyat. Dan setiap hukum tidaklah dikehendaki padanya kecuali salah satu yang tiga hal tersebut yang menjadi penyebab terwujudnya kemaslahatan manusia”.Abdul Wahab Khalllaf, ilmu ushul fiqih, terjemahan oleh Ahmad Qarib, (semarang : Dina Utama 1994), h. 310
                [3] Ahmad almursi Husain jauhari, maqasid syariah, Terjemahan oleh khikmawati (Jakarta : Amzah, 2009), h. 16
[4] Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan sebagai kumpulan yg tersusun secara teratur, daftar informasi, karangan
[5] Prof. Abdul Wahab Khallaf, ilmu ushul fiqih, (semarang : dina utama, 1994), h. 1
[6] Drs. H. Abdul Mudjib kaidah-kaidah ilmu fiqih, (Jakarta : Kalam Mulia, 2010), h. 4
[7] Drs. Beni Ahmad Saebani meletakkannya (المشقة تجلب التيسر)pada urutan yang kelima
dan اليقين لا يزال بالشك pada urutan keempat, Drs. Beni Ahmad Saebani,filsafat hukum islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), h. 251
[8] Op cit , Drs. H. Abdul Mudjib, h. 9
[9] Ibid, h. 15
[10] ibid
[11] Dalam hukum islam adat dibagi dua pertama Adat shahiha yaitu adat yang tidak bertentengan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber dari alquran dan sunnahdan tidak bertentangna dengan undang-undang yang berlaku. Dan yang kedua, Adat fasidah yaitu bertebtangan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber dari alquran dan sunnah, dan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, Drs. Beni Ahmad Saebani,filsafat hukum islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), h. 262
[12] Ibid, h. 264
[13] Dr. Junaidi Lubis, MA, Islam Dinamis, (Jakarta : Dian Rakyat, 2010), h. 10
[14]  Ibid, h. 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar