BAB I
Pendahuluan
Islam adalah kumpulan peraturan yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad di dalamnya terkandung peraturan-peraturan
tentang aqidah, ahklak, mu’amalat, dan segala berita yang disebut di dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah adalah perintah agar disampaikan kepada manusia.
Peraturan
–praturan tersebut bertujuan untuk kemaslahatan manusia seutuhnya, pada
dasarnya manusia berharap pada hal-hal yaitu :Kemaslahatan hidup bagi diri dan
oranglain, Tegaknya keadilan, Persamaan hak dan kewajiban dalam hukum, Saling
control dalam kehidupan masyarakat sehingga tegaknya hukum dapat diujudkan, Kebebasan
berekpresi, berpendapat, dan bertindak dengantidak melebihi batas-batas hukum
dan norma social, Regenerasi
social yamg positif dan bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupan social
dan kehidupan berbangsa serta bernegara[1]
Untuk
itulah adanya aturan yang diturunkan langsung oleh Allah. Salah satu dari
kumpulan peraturan tersebut adalah acuan moral dalam penerapan fiqih mu’amalah ini,
yang pada dasarnya kaidah-kaidah tersebut merupakan ciri dari sebuah
ke-universalitas-an agama Islam. Hal ini sesuai dengan kaidah dan prinsip dasar
Islam untuk mewujudkan cita-cita Islam yang universal, serta sesuai dengan maqasidusyariahnya[2] yang di
bagi kepada tiga macam yaitu: dharuri (kebutuhan pokok) Hifdzu Din (memelihara
kebebasan beragama), Hifdzu Aql (memelihara kebebasan nalar
berpikir), Hifdzu Mal (memelihara/menjaga harta benda), Hifdzu
Nafs (memelihara hak hidup),Hifdzu Nasl (memelihara hak
untuk mengembangkan keturunan), hajjiyah (bersifat kebutuhan ) seperti jual
beli, sewamenyewa, dan transaksi lainnya, selanjutnya tahsini (bersifat
perbaikan) yakni kemaslahatanyang merujuk kepada moral dan etika[3].
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian Qaidah Fiqhiyah
Kata qaidah atau qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam
istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau
patokan, apa-apa yang dibangun
diatasnya sesuatu yang lain, pondasi, dasar misal jika dikatakan قاعدة العمارة artinya pondasi bagunan, bisa juga bermakna :
prinsip dan asas ( metode/peraturan) , misal قاعدة البلاد أو
الحكومــة artinya prinsip atau
peraturan negara atau pemerintah. Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul mendefinisikan
kaidah dengan: "hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan
sebagian besar bagian-bagiannya".
Fiqhiyah diambil dari kata فَقِهَ – يفقه –
فقها artinya : mengerti, memahami, pemahaman yang diberi tambahan ya' nisbah yang
berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqih
lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para
sahabat, makna tersebut diambil dari Firman Allah SWT surah at-Taubah:
122: "untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama". Dan berdasarkan Sabda Nabi Muhammad SAW, "barangsiapa
yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam
agama". Dan juga sebagaiman doa nabi kepada ibnu abbas :
الهــم
فقِّهـــهٌ فــي الديــــن
" ya allah pahamkanlah
dia kepada ilmu agama "
Fiquh menurut istilah syara’ ialah
pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang praktis, yang diambil dari
dalil-dalilnya secara terperinci. Dan bisa juga desebut dengan kompilasi[4]
hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalilnya secara terrinci.[5]
Jadi yang dimaksud dari kaidah
fiqhiyah adalah "hukum-hukum
yang berkaitan dengan asas hukum yang di bangun oleh syari' serta tujuan-tujuan
yang dimaksud dalam pensyariatannya" atau “hukum kulli
(kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya atau
cabang-cabangnya”.
Dari
pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap qaidah fiqhiyah telah mengatur
dan menghimpun beberapa banyak masalah fiqih dari berbagai bab.[6]
B.
Perbedaan
Kaidah Ushul dengan Kaidah Fiqhiyah
Persamaan
antara kaidah ushul dan kaidah fiqh terletak pada kesaaman sebagai wasilah
pengambilan hukum. Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup
masalah-masalah dalam kajian syari’ah. Oleh karena itu, dalam perspetif ini
kaidah ushul sangatlah mirip dengan kaidah fiqih. Namun,
kita pun bisa melihat perbedaan yang signifikan dari kedua kaidah tersebut,
secara ringkas perbedaan kedua kaidah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kaidah
ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi
wasilah para mujtahid dalam istinbath(pengambilan) sebuah
hukum syar’iyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang membantu para
mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami,
bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada
kesimpulan suatu hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan
lafadz yang mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang
mencakup di bawahnya banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah
fiqih adalah hukum syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan)
hukum bukan istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah
ushul). Misalnya, kaidah ushul “al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal
dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum
syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil
(baik Qur’an maupun Hadits) yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda
dengan kaidah fiqih “al-dharar yuzal” bahwa kemudharatan mesti
dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib
dihilangkan.
2. Kaidah
ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia
syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari
teksnya terkandung kedua hal tersebut.
3. Perbedaan
antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya
(objek). Jika Kaidah ushulmaudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah.
Sedangkan kaidah fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau
perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain
4. Kaidah-kaidah
ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
5. Kaidah-kaidah
ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh
C.
Kaidah Fiqhiyah
Ada
lima kaidah fiqhiyah yang disebut juga sebagai panca kaidah yang menurut sebagian besar ulama’ seluruh masalah fiqih dikembalikan
kepadanya yaitu :
1. الامور بمقاصدها
“segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya”
2. اليقين لا يزال بالشك
“Yang sudah yakin tidak dapat dihapuskan oleh keraguan”
3. المشقة تجلب التيسر[7]
“Kesukaran itu menimbulkan adanya kemudahan”
4. الضرر يزال
“kemudlorotan itu harus dihilangkan”
5. العادة محكمة
“Adat kebiasaan dapat
dijadikan hukum”[8]
Dari kelima qaidah
tersebut maka akan menimbulkan furu’nya yaitu :
1. الامور بمقاصدها (Segala sesuatu perbuatan tergantung pada
tujuannya)
Termasuk dalam lingkungan kaidah ini ialah kaidah-kaidah berikut :
a.
ما لا يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ لم يضر
Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun
terperinci ketika dita'yin dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan.
Contoh Orang yang didalam niat shalat menegaskan
tentang tempat shalatnya dimasjid tapi ternyata itu mushallah maka shalatnya
tetap sah[9]
b. ما يشترط فيه التعين
فالخطأ فيه مبطل
Sesuatu yang memerlukan
penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan menyebabkan batal.
Contoh Seseorang yang
melakukan shalat dhuhur dengan niat 'ashar atau sebaliknya, maka shalatnya
tersebut tidak sah.
c. اذا عينه واخطأ ضرَّ ما يشترط التعرض له
جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا
Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan
penjelasan secara rinci, maka ketika kesalahan dalam penjelasan secara rinci
membahayakan.
Contoh Seseorang yang bernama
Iqbal niat berjamaah kepada seorang imam bernama mbah Arief. Kemudian, ternyata
bahwa yang menjadi imam bukanlah mbah Arief tapi orang lain yang mempunyai
panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin), maka shalat Iqbal tidak sah karena
ia telah berniat makmum dengan mbah Arief yang berarti telah menafikan
mengikuti Seger. Perlu diketahui, bahwa dalam shalat berjamah hanya disyaratkan
niat berjamaah tanpa adanya kewajiban menentukan siapa imamnya.
d. مقاصد اللفظ على نية
اللافظ
Maksud sebuah ucapan
tergantung pada niat yang mengucapkan.
Contoh Seorang suami yan memanggil istrinya bernama
thaliq ( yang ditalak) maka apabila dia bermaksud untuk mentalak istrinya maka
tercapailah maksudnya itu[10]
2. اليقين لا يزال بالشك
“Keyakinan tidak bisa
dihilangkan oleh keraguan”.
Termasuk dalam kaidah ini, kaidah-kaidah berikut antara lain :
a. الاصل بقاء ما كان على
ما كان
Pada dasarnya ketetapan
suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula.
Contoh Seseorang yang makan
sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya fajar maka puasa orang
tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya masih tetap malam (al-aslu baqa-u
al-lail).
b. الاصل براة الذمة (hukum asal adalah tidak
adanya tanggungan.)
Contoh Seorang yang
didakwa (mudda’a ‘alaih)melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa ia tidak
melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman, karena pada
dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan
kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).
c. الاصل العدم (Hukum asal adalah
ketiadaan)
Contoh Tidak
diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena pada dasarnya
tidak adanya larangan (dalam muamalah).
d.
الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه (Asal segala sesuatu
diperkirakan dengan yang lebih dekat zamannya. )
Contoh seorang yang berwudhu’ dari sebuah sumur lalu
dia shalat, setelah shalat dia menemukan bangkai di dalam sumur tempat dia
berwudhu’ tadi maka shalatnya tetap sah kecuali kalau dia yakin kalau dia
berwudhu’ dengan air yang bernajis.
e. الاصل فى الآ شياء التحريم (Hukum asal sesuatu adalah haram)
hal ini berkaitan dengan ibadah sebab ibadah
merupakan hak perogatif Allah, jadi selama ibadah itu tidak di atur dalam nas
(selama tidak ada dalil yang membolehkannya) maka hal itu adalah haram
contoh haramnya melakukan bid’ah
f. الاصل فى الآ شياء
الاءباحة (Hukum ashal (pada dasarnya) segala sesuatu itu diperbolehkan)
Hal ini berkaitan dengan yang selain ibadah.
contoh memakai sepeda motor, menjadi nasabah bank, dll
3. المشقة تجلب التيسر (Kesulitan akan menarik kepada kemudahan)
Termasuk dalam kaidah ini antara lain
1. الاشياء
اذا اتسع ضاقت
Sesuatu yang dalam
keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit.
Contoh Orang yang
dalam keadaan biasa (tidak sakit ataupun musafir) maka rukun dan syarat sah
shalat berlaku baginya sebaliknya bagi yang dalam keadaan sakit maka boleh
shalat duduk dan sebagainya, bagi musafie diperbolehkan untuk mengqasar atau
mengqadha shalatnya.
4.
الضرر يزال(Kemudlorotan itu harus dihilangkan)
Arti dari kaidah ini menunjukan bahwa kemudlorotan itu telah terjadi dan akan
terjadi. Apabila demikian halnya wajib untuk dihilangkan. Termasuk dalam kaidah
ini, kaidah-kaidah antara lain sebagai berikut:
a.
الضررلا يزال بالضرر (Kemudlorotan itu tidak
boleh dihilangkan dengan kemudlorotan).
Contoh tidak boleh bagi seorang dokter mengobati pasien
yang kekurangan darah dengan mengambil darah dari orang yang membutuhkan darah
juga, yang apabila diambil darahnya akan lebih parah sakitnya.
b.
الضرورات تبيح المحظورات (Kondisi darurat
memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang)
Contoh makan babi bagi orang yang tersesat di hutan
karena tidak ada ,makanan lain lagi selain babi tersebut.
c.
ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها (Apa yang diperbolehkan
karena adanya kemudlorotan diukur menurut kadar kemudlorotan).
Contoh berhubungan dengan contoh diatas, setelah kemudharatannya hilang maka hukum
kembali menurut statusnya .
d.
الحجة قد تنزل منزلة الضرورة (Kebutuhan (hajat) terkadang menempati posisi darurat)
contoh Diperbolehkan
memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam muamalah atau karena
khithbah (lamaran) dan juga bagi dokter yang menangani pasiennya.
e. اذا تعارض المفسدتان رعي
اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما (Apabila dua mafsadah
bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar mudlorotnya dengan
dikerjakan yang lebih ringan mudlorotnya.
Cotoh Menebang pohon orang lain yang diduga akan
menimpa rumah seseorang
f. درء المفاسد مقدم على
جلب المصالح (Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan)
contoh Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika
berwudhu merupakan sesuatu yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang
berpuasa karena untuk menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.
5. العادة محكمة (Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum)
Perlu diingat bahwa adat kebiasaan yang berkembang di masyarakat saat ini
sangat banyak jumlahnya. Usaha selektif terhadap berbagai adat kebiasaan yang
dapat diadopsi sebagai hukum tentunya tidaklah sembarangan yang tentu harus
menliputi bermacam-macam syarat diantaranya supaya adat dapat diterima sebagai
landasan hukum ialah tidak bertentangan dengan syara’, dilaksanakan secara
mayoritas, mendatangkan manfaat, dan juga tidak bertentangan dengan akal sehat.[11]
Termasuk dalam kaidah ini,ialah :
ما ورد به الشرع مطلقا
ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة يرجع فيه الى العرف (Sesuatu yang berlaku
mutlak karena syara' dan tanpa adanya yang membatasi didalamnya dan tidak pula
dalam bahasa,maka segala sesuatunya dikembalikan kepada kebiasaan
(al-"urf) yang berlaku).
Contoh Niat shalat
cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan menghadirkan
hati pada saat niat shalat tersebut. Terkait dengan kaidah di atas, bahwasanya
syara’ telah menentukankan tempat niat di dalam hati, tidak harus dilafalkan
dan tidak harus menyebutkan panjang lebar, cukup menghadirkan hati; “aku niat
shalat…………rakaaat”. itu sudah di anggap cukup.
Hukum pada hakikatnya adalah masyarakat itu sendiri. Hukum merupakan
masyarakat dari sudut pandang tertentu, karena hukum itu ada dalam masyarakat dan
mengatur masyarakat itu untuk mencapai kedamaian social. Berdasarkan titik
tolak itu hubungan hukum adat dengan masyarakat dan hukum-hukum lain yang
berlaku dalam suatu masyarakat, demikian juga dengan hukum islam yang telah di
manifestasikan oleh komunitas social yang beragama islam, secara filosofis
bererak sesuai dengan aktualisasi norma social yang berlaku dengan
regenerative, hal itu karena, dengan melakukan pendekatan filosofis, akan
diperoleh suatu gambaran yang netral, hukum adat hukum islam dilihat sebagai
inter subsistem hukum yang sejajar kedudukannya dan sama perannya bagi
masyarakat yang menganutnya.[12]
Perubahan masyarakat adalah sebuah fenomena alamiah seiring dengan
perputaran waktu, disebabkan kehidupan manusia yang secara teratur terus
bergerak menuju kesempurnaan. Tidak ada masyarakat yang berada dalam kondisi
stabil dan tetap pada waktu yang berbeda, semua bergerak, mengalir, menuju
sebuah peradaban yang kian sempurna.
Tata nilai dan norma dengan
sendirinya hadir seiring dengan keberadaan manusia itu sendiri,ada yang
dirumuskan dengan kesepakatan, kekuasaan, dan juga agama. Hukum islam merupakan
hasil dari sebuah evolusi pemikiran manusiawi dari kemajemukan norma-norma
agama yang berlandaskan nash.[13]
Syariat dipahami sebagai segala ketentuan yang
dikeluarkan dari alquran dan sunnah. Alquran dan sunnah diakuai sebagai sumber
kewahyuan yang valid. Pemahaman dan penafsiran kedua sumber kewahyuan ini
disebut dengan hukum fiqih, hukum fiqih inilah yang disebut dengan hukum islam.[14]
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Bahwa permasalahan-permasalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari ragam
macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar supaya didapati jalan keluar terhadap
jalan penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti
cabang-cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan
kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan
terhadap pemecahan permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan.
Maka, hendaklah seorang muslim memahami secara baik tentang konsep disiplin
ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang
diantara kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian
hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan
meyikapi persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas
dari kegiatan hukum.
Unsur-unsur
masyarakat yaitu :
1.
Mayarakat
merupakan kumpulan individu dari jenis hewan yang hidup secara berkelompok.
2.
Makhluk
social dan Saling menopang
3.
Selalu mengalami perkembangan dan perubahan
dari segi budaya dan peradaban.
Kehidupan manusia disebut berubah
karena adanya perubahan disaat berubahnya waktu, sehingga akan melahirkan
keberagaman kebutuhan, karakter, kultur dan pola pikir yang amat sangat berbeda
dan akan selalu berubah seiring berjalannya waktu, hal inilah yang akan menimbulkan perbuatan mukallaf yang tidak
berdasarkan ketetapan hukum yang pasti.
Secara garis besar yang mempengaruhi
perubahan itu adalah lingkungan,poulasi yang makin bertambah, ideology
pemikiran, peristiwa, inovasi kultur (iptek), dan perbuatan mukallaf. Untuk mengikat atau mengcover hal tersebut
maka perlu adanya undang-undang, aturan, kaidah yang bersifat universal yaitu
kaidah fiqhiyah.
Daftar
Pustaka
Dr.
Junaidi Lubis, 2010, Islam Dinamis, Jakarta
: Dian Rakyat
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Abdul
Wahab Khalllaf, 1994, ilmu ushul fiqih, terjemahan oleh Ahmad Qarib, semarang : Dina Utama
Drs. H. Abdul Mudjib, 2010, kaidah-kaidah
ilmu fiqih, Jakarta : Kalam Mulia,
Drs.
Beni Ahmad Saebani, 2007, filsafat hukum
islam, Bandung : Pustaka Setia,
Ahmad almursi
Husain jauhari, 2009, maqasid syariah, Terjemahan oleh khikmawati
Jakarta : Amzah,
[2] Adbul
wahab Khallaf mengatakan “tujuan umum syari’ dalam mensyariatkan hukum-hukumnya
ialah mewujudkan kemaslahatan manjusia dengan menjamin hal-hal yang dharuri,
hajiyat, tahsiniyat. Dan setiap hukum tidaklah dikehendaki padanya kecuali
salah satu yang tiga hal tersebut yang menjadi penyebab terwujudnya
kemaslahatan manusia”.Abdul Wahab Khalllaf, ilmu ushul fiqih, terjemahan
oleh Ahmad Qarib, (semarang : Dina Utama 1994), h. 310
[4] Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan
sebagai kumpulan yg tersusun secara teratur, daftar
informasi, karangan
dan اليقين لا يزال بالشك
pada urutan keempat, Drs. Beni Ahmad
Saebani,filsafat hukum islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), h. 251
[9] Ibid, h. 15
[10] ibid
[11] Dalam hukum islam adat dibagi dua pertama Adat
shahiha yaitu adat yang tidak bertentengan dengan hukum yang lebih tinggi yang
bersumber dari alquran dan sunnahdan tidak bertentangna dengan undang-undang
yang berlaku. Dan yang kedua, Adat fasidah yaitu bertebtangan dengan hukum yang
lebih tinggi yang bersumber dari alquran dan sunnah, dan bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku, Drs. Beni Ahmad Saebani,filsafat
hukum islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), h. 262
[12] Ibid, h. 264
[13] Dr.
Junaidi Lubis, MA, Islam Dinamis, (Jakarta : Dian Rakyat, 2010), h. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar