PEMBAHASAN
KODE ETIK ADVOKAT[1]
A. Definisi Advokat
Pengertian advokat terdapat dalam UU No. 18
Tahun 2003[2]
tentang Advokat (“UU Advokat”), Pasal 1 angka 1 , sebagai
berikut:
“Advokat
adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini.”[3]
Sedangkan, istilah “pengacara”[4]
dapat ditemui di dalam Pasal 1 Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”)
yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002, yaitu:
“Advokat
adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku,
baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara Praktek ataupun
sebagai konsultan hukum.”
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang disebut sebagai advokat adalah semua
orang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di
luar Pengadilan sesuai dengan ketentuan advokat, maka istilah advokat,
penasihat hukum, pengacara parktek, dan konsultan hukum dikategorikan kepada
advokat.[5]
B. Perbedaan Istilah Dalam Profesi Advokat
Sebelum berlakunya UUA, ketentuan yang mengatur mengenai advokat, penasihat
hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan sehingga pengertian pengacara dan penasihat hukum berbeda.
Pengacara adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa
hukum di dalam pengadilan di lingkup wilayah yang sesuai dengan
izin praktek beracara yang dimilikinya.[6] Sehubungan
dengan hal tersebut, apabila pengacara tersebut akan beracara di luar lingkup
wilayah izin prakteknya tersebut di atas, maka ia harus meminta izin terlebih
dahulu ke pengadilan di mana ia akan beracara.[7]
Advokat adalah orang yang mewakili kliennya untuk
melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan
atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di
pengadilan (proses litigasi). Atau seseorang yang memiliki profesi
untuk memberikan jasa hukum kepada orang di dalam pengadilan atau seseorang
yang mempunyai izin praktek beracara di pengadilan di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia.[8]
Konsultan hukum atau
Penasehat hukum adalah orang yang bertindak memberikan nasehat- nasehat
dan pendapat hukum terhadap suatu tindakan/ perbuatan hukum yang akan dan yang
telah dilakukan oleh kliennya (non-litigation).[9]
Atau juga bisa dikatakan seseorang yang tidak harus memiliki ijin praktek
sebagai advocat atau pengacara, tetapi ia harus mempunyai pengetahuan yang
cukup tentang penyelesaian sengketa di bidang hukum. Pengetahuan yang cukup
tidak ada kriteria yang tegas tetapi paling tidak seorang konsultan hukum harus
mempunyai latar belakang pendidkan hukum dan pengalaman-pengalaman
menyelesaikan sengketa hukum terutama di luar pengadilan. Dalam penyelesaian
sengketa seorang konsultan hukum hanya memberi nasehat.
C.
Fungsi
dan Peranan Advokat
Secara garis besar,
fungsi dan peranan advokat sebagai berikut :
a.
Sebagai pengawal
konstitusi dan hak asasi manusia.
b.
Memperjuangkan
hak asasi manusia
c.
Melaksanakan
kode etik advokat.
d.
Memegang teguh sumpah advokat dalam
rangka menegakkan hukum,keadilan, dan kebenaran.
e.
Menjunjung tinggi serta mengutamakan
idealisme(nilai keadilan,kebenaran, dan moralitas).
f.
Melindungi dan melihara kemandirian,
kebebasan, derajat, dan martabat advokat.
g.
Menjaga dan meningkatkan mutu
pelayanan advokat terhadap masyarakat dengan cara belajar terus-menerus untuk
memperluas wawasan dan ilmu hukum.
h.
Menangani perkara-perkara sesuai
dengan kode etik advokat, baik secara rasional maupun secara internasional.
i.
Mencegah penyalahgunaan keahlian dan
pengetahuan yang merugikan masyarakat dengan cara mengawasi pelaksanaan setika
profesi advokat melalui dewan kehormatan asosiasi advokat.
j.
Memelhara keperibadian advokat
karena profesi advokat yang kehormatan.
k.
Menjaga hubungan baik dengan klien
maupun dengan taman sejawat.
l.
Memelihara pelayanan hukum, nasihat
hukum,konsultan hukum, pendapat hukum,informasi hukum,dan menyusun
kontrak-kontrak.
m. Membela
kepentigan klien dan mewakili klien di muka pengadilan.
n.
Memberikan bantuan hukum dengan
cuma-Cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu. [10]
D.
Sistem Tarif
Advokat
Jasa advokat merupakan jasa yang memberikan perlindungan hukum dan
perdampingan hukum kepada kelien yang dihadapkan pada sebuah masalah hukum.
Pembayaran terhadap jasa advokat dilakukan oleh klien yang menggunakan jasa
advokat tersebut dengan jumlah atau nominal yang telah disepakati. Hal ini disebut
dalam UU no.18 tahun 2003 tentang advokat pasal 1 dan 7 yaitu :
1.
Pembayaran borongan. Advokat
memperoleh bayaran yang sudah ditentukan besarnya hingga perkara tersebut
tuntas ditangani.
2.
Pembayaran berdasarkan porsi.
Advokat menerima bagian dari hasil yang dimenangkan oleh kalien dalam suatu
sengketa hukum. Akan tetapi advokat hanya akan menerima bagian jika ia berhasil
memenangkan perkara tersebut.
3.
Pembayaran per jam. Cara pembayaran
ini dilakukan untuk jad dalam lingkup bisnis kecil.
4.
Pembayaran ditetapkan. Advokat yang
akan menangani suatu tugas atau proyek biasanya menentukan sistem pembayaran
tetap.
5.
Pembayaran berkala. Jika seorang
advokat menggunakan sistem pembayaran berkala,klien membayar secara bulanan
atau bisa juga dirancanga untuk pembayaran per triwulan,semesterr, atau tahunan
sebelum berbagai jasa hukum diterima untuk disepakati bersama. Sistem ini
sangant menguntungkan bagi klien, terutama jika klien tahu bahwa mereka akan
sering membutuhkan advokat dalma suatu periode tertentu.[11]
E. Prosedur Penngangkatan
1. Prosedur menjadi Advokat (menurut UU Advokat):
a.
Persyaratan:
a)
warga negara Republik Indonesia;
b)
bertempat tinggal di Indonesia;
c)
tidak berstatus sebagai pegawai
negeri atau pejabat negara;
d)
berusia sekurang-kurangnya 25 (dua
puluh lima) tahun;
e)
berijazah sarjana yang berlatar
belakang pendidikan tinggi hukum
f)
mengikuti pendidikan khusus profesi
Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat
g)
lulus ujian yang diadakan oleh
Organisasi Advokat;
h)
magang sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun terus menerus pada kantor Advokat;
i)
tidak pernah dipidana karena
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
j)
berperilaku baik, jujur, bertanggung
jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
b.
Pengangkatan:
a)
Pengangkatan Advokat dilakukan oleh
Organisasi Advokat
b)
Salinan surat keputusan pengangkatan
Advokat disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM
c)
Sebelum menjalankan profesinya,
Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh
di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya
d)
Salinan berita acara sumpah oleh
Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung,
Menteri, dan Organisasi Advokat.
F. Kode Etik Advokat[12]
Dalam pembentukan kode etik ada tiga tujuan yang
terkandung didalamnya yakni: (1) menjaga dan meningkatkan kualitas moral, (2)
menjaga dan menigkaatkan kualitas keterampilan teknis;dan (3) melindungi
kesejahteraan materil para pengemban profesi[13]
a.
Kepribadian
Advokat/Penasehat Hukum[14]
Advokat/Penasehat Hukum adalah warga negara Indonesia yang bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan
kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia demi tegaknya hukum,
setia kepada falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
1.
Advokat/Penasehat Hukum dalam
melakukan pekerjaannya wajib untuk selalu menjunjung tinggi hukum, kebenaran
dan keadilan.
2.
Advokat/Penasehat Hukum harus
bersedia memberi nasehat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang
memerlukannya tanpa membeda-bedakan kepercayaan, agama, suku, jenis kelamin,
keturunan, kedudukan sosial dan keyakinan politiknya.
3.
Advokat/Penasehat Hukum dalam
melakukan perkerjaannya tidak semata-mata mencari imbalan materiil, tetapi
diutamakan bertujuan untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dengan
cara yang jujur dan bertanggung jawab.
4.
Advokat/Penasehat Hukum dalam
melakukan pekerjaannya bekerja dengan bebas dan mendiri tanpa pengaruh atau
dipengaruhi oleh siapapun.
5.
Advokat/Penasehat Hukum wajib
memperjuangkan serta melindungi hak-hak azasi manusia dan kelestarian
lingkungan hidup dalam Negara Hukum Republik Indonesia.
6.
Advokat/Penasehat Hukum wajib
memiliki sikap setia kawan dalam memegang teguh rasa solidaritas antara sesama
sejawat.
7.
Advokat/Penasehat Hukum wajib
memberikan bantuan pembelaan hukum kepada sejawat Advokat/Penasehat Hukum yang
disangka atau didakwa dalam suatu perkara pidana oleh yang berwajib, secara
sukarela baik secara pribadi maupun atas penunjukkan/permintaan organisasi profesi.
8.
Advokat/Penasehat Hukum tidak
dibenarkan melakukan perkerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat
dan martabat Advokat/Penasehat Hukum dan harus senantiasa menjunjung tinggi
profesi Advokat/Penasehat Hukum sebagai profesi terhormat (officium nobile).
9.
Advokat/Penasehat Hukum dalam
melakukan tugas pekerjaannya harus bersikap sopan santun terhadap para pejabat
hukum, terhadap sesama sejawat Advokat/ Penasehat Hukum dan terhadap
masyarakat, namun ia wajib mempertahankan hak dan martabat Advokat/Penasehat
Hukum di mimbar manapun.
10.
Advokat/Penasehat Hukum berkewajiban
membela kepetingan kliennya tanpa rasa takut akan menghadapi segala kemungkinan
resiko yang tidak diharapkan sebagai konsekwensi profesi baik resiko atas
dirinya atau pun orang lain.
11.
Seorang Advokat/Penasehat Hukum yang
kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif,
Judikatif), tidak dibenarkan untuk tetap dicantumkan/dipergunakan namanya oleh
kantor dimana semulanya ia bekerja.
b.
Tentang
Kewajiban Advokat Kepada Masyarakat[15]
Pembukaan Kode Etik Advokat Indonesia 2002 (Selanjutnya KEAI) menyatakan
bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile). Kata “mobile
officium” mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang
dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan ungkapan yang kita kenal
“noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable),
murah-hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh
mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi
advokat, tidak saja harus berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus
juga mendapat kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan selalu
berperilaku demikian.
Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU Advokat, maka
seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang advokat dan akan menjadi
anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan diangkatnya seseorang
menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan
terhormat (mobile officium), dengan hak eksklusif: (a) menyatakan dirinya pada
publik bahwa ia seorang advokat, (b) dengan begitu berhak memberikan nasihat
hukum dan mewakili kliennya, dan (c) menghadap di muka sidang pengadilan dalam
proses perkara kliennya.
Akan tetapi, jangan dilupakan, bahwa hak dan kewenangan istimewa ini juga
menimbulkan kewajiban advokat kepada masyarakat, yaitu: (a) menjaga agar mereka
yang menjadi anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan
profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini,
serta (b) oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak
layak menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they
know that certain of their brethren are quilty).
Kewajiban advokat kepada masyarakat tersebut di atas, dalam asas-asas etika
(canons of ethics)[16]
American Bar Association[17]
(1954; selanjutnya ABA) termasuk dalam asas mengenai “Menjunjung Kehormatan
Profesi” (upholding the honor of the profession), dimana dikatakan (terjemahan
bebas) bahwa advokat itu harus selalu berusaha menjunjung kehormatan dan
menjaga wibawa profesi dan berusaha untuk tidak saja menyempurnakan hukum namun
juga penyelenggaraan sistem peradilannya (the administration of justice).
Bagian dari kewajiban advokat kepada masyarakat, adalah telah memberi
bantuan jasa hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin).
Dalam KEAI Pasal 3 dinyatakan bahwa seorang advokat “tidak dapat menolak dengan
alasan kedudukan sosial” orang yang memerlukan jasa hukum tersebut, dan juga di
Pasal 4 kalimat: “mengurus perkara cuma-cuma” telah tersirat kewajiban ini. Dan
asas ini dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI alinea 8:“ kewajiban untuk
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi ornag yang tidak
mampu”. Asas etika ini dalam ABA dikenal sebagai “Kewajiban Mewakili Orang
Miskin” (duty to represent the indigent).
Meskipun di Indonesia telah ada lembaga-lembaga yang membantu kelompok
ekonomi lemah ini, khususnya dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang
serupa) dan Biro Bantuan Hukum (BBH atau yang serupa), namun kewajiban advokat
atau kantor advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap harus
diutamakan oleh profesi terhormat ini. Mengurus perkara “cuma-cuma” tidak saja
untuk perkara pidana (criminal legal aid) tetapi juga untuk perkara perdata
(civil legal aid). Dengan adanya di Indonesia lingkungan peradilan tatausaha
negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer, maka
tentunya bantuan hukum ini harus juga mencakup perkara-perkara dalam bidang
peradilan tersebut. Problematik yang mungkin akan ditemukan dalam menegakkan
asas etika ini adalam pengertian “miskin”. Sebagai saran ingin diajukan di sini
agar dalam organisasi profesi advokat juga terdapat bagian yang mengatur
tentang bantuan hukum yang bersifat Pro Bono dan Public Interest.[18]
c.
Tentang
Kewajiban Advokat Kepada Pengadilan
Seorang advokat (counsel) adalah
seorang “pejabat pengadilan” (officer of the court) apabila dia melakukan
tugasnya di pengadilan. Oleh karena itu seorang advokat harus mendukung
kewenangan (authority) pengadilan dan menjaga kewibawaan (dignity) sidang.
Untuk memungkinkan keadaan ini, maka advokat harus patuh pada aturan-aturan
sopan santun (decorum) yang berlaku dalam melaksanakan tugasnya dan menunjukkan
sikap penghargaan profesional (professional respect) kepada hakim, advokat
lawan (atau jaksa/penuntut umum), dan para saksi
d.
Tentang
Kewajiban Advokat Kepada Klien[19]
Advokat adalah suatu profesi terhormat (officium mobile) dan karena itu
mendapat kepercayaan penuh dari klien yang diwakilinya. Hubungan kepercayaan
ini terungkap dari kalimat “the lawyer as a fiduciary” dan adanya “the duty of
fidelity[20]”
para advokat terhadap kliennya. Akibat dari hubungan kepercayaan dan kewajiban
untuk loyal pada kliennya ini, maka berlakulah asas tentang kewajiban advokat
memegang rahasia jabatan.[21]
Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya
dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan
bantuan hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid)
tentang untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan
hasilnya. Dalam canon 8 ABA ini dinamakan “duty to give candid advice”.
Sedang dalam KEAI diperingatkan agar advokat “tidak memberikan keterangan yang
menyesatkan” dan “tidak menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang
ditanganinya akan menang”.[22]
Pasal 4 alinea 8 KEAI mengatur tentang kewajiban advokat memegang rahasia
jabatan dan “ wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan
antar advokat dan klien.
Pendapat publik sering keliru menafsirkan kewajiban advokat menerima klien,
Pasal 3 alinea 1 KEAI memberi hak kepada advokat untuk menolak menerima perkara
seorang klien, kecuali atas dasar agama, politik, atau status sosial. Ini
dinamakan “the right to decline employment”.[23]
Sedangkan dalam alinea 2, dikatakan bahwa tujuan advokat menerima perkara klien
adalah terutama “tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan”. Sedangkan dalam
Pasal 4 alinea 9 KEAI tidak dibenarkan seorang advokat melepaskan tugas yang
diberikan oleh kliennya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien. Ketiga
ketentuan di atas harus dibaca bersama. Dalam kasus dimana klien oleh publik
telah “dianggap” bersalah, maka berlaku asas “the right of the lawyer to
undertake the defense of the person accused of crime, regardless of his
personal opinion as to the guilt of the accused”.[24]
Dalam hal kemudian advokat ingin mengundurkan diri, maka hal itu harus
dilakukan dengan “good cause” (alasan yang wajar). Dikatakan a.l. oleh canon 44
ABA: “the lawyer should non throw up the unfinished task to the detriment of
his client, except for reasons of honor or self-resfect”. Apa yang dimaksud
dengan ini adalah misalnya: klien memaksa agar advokat melakukan sesuatu yang
tidak adil (unjust) atau “immoral” dalam penanganan kasusnya. Apabila dia akan
mengundurkan diri, maka advokat harus memberikan kepada klien cukup waktu untuk
memilih advokat baru.
Sejauh mana seorang advokat boleh memperjuangkan kepentingan kliennya juga
sering disalahtafsirkan oleh publik. Hal yang sangat merugikan dan merusak
kehormatan advokat adalah pendapat yang sangat keliru: “it is the duty of the
lawyer to do what ever may enable him to succeed in winning his clients cause”.
Pendapat yang keliru ini bertentangan dengan sumpah atau janji advokat, yang
a.l. mengatakan bahwa dia (advokat) akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung
jawab berdasarkan hukum dan keadilan, serta tidak akan memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan, atau pejabat lainnya agar
memenangkan perkara kliennya.[25]
Asas terakhir di atas, adalah bagaimana kita harus menafsirkan dan
menjalankan profesi advokat seperti yang diwajibkan oleh asas KEAI, Pasal 3
alinea 7: “Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai
profesi terhormat (officium mobile)”.
- Cara Bertindak Dalam Menangani Perkara[26]
i. Advokat/Penasehat
Hukum bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapatnya yang
dikemukakan dalam sidang pengadilan, dalam rangka pembelaan suatu perkara yang
menjadi tanggung jawabnya, baik dalam sidang terbuka maupun sidang tertutup,
yang diajukan secara lisan atau tertulis, asalkan pernyataan atau pendapat
tersebut dikemukakan secara proporsional dan tidak berlebihan dengan perkara
yang ditanganinya.
ii. Advokat/Penasehat
Hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
(prodeo) bagi orang yang tidak mampu, baik dalam perkara perdata maupun dalam
perkara pidana bagi orang yang disangka/didakwa berbuat pidana baik pada
tingkat penyidikan maupun di muka pengadilan, yang oleh pengadilan
diperkenankan beracara secara cuma-cuma.
iii. Surat-surat
yang dikirim oleh Advokat/Penasehat Hukum kepada teman sejawatnya dalam suatu
perkara, tidak dibenarkan ditunjukkan kepada Hakim, kecuali dengan izin pihak
yang yang mengirim surat tersebut.
iv. Surat-surat
yang dibuat dengan dibubuhi catatan “SANS PREJUDICE “, sama sekali tidak
dibenarkan ditunjukkan kepada Hakim.
v. Isi
pembicaraan atau korespondensi kearah perdamaian antara Advokat/ Penasehat
Hukum akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai
alasan terhadap lawan dalam perkara di muka pengadilan.
vi. Advokat/Penasehat
Hukum tidak dibenarkan menghubungi skasi-saksi pihak lawan untuk didengar
keterangan mereka dalam perkara yang bersangkutan. Dalam suatu perkara perdata
yang sedang berjalan, Advokat/Penasehat Hukum hanya dapat menghubungi Hakim
bersama-sama dengan Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan.
vii. Dalam hal
meyampaikan surat hendaknya seketika itu juga dikirim kepada Advokat/Penasehat
Hukum pihak lawan tembusan suratnya.
viii. Dalam suatu
perkara pidana yang sedang berjalam di pengadilan, Advokat/ Penasehat Hukum
dapat menghubungi Hakim bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum.
ix. Advokat/Penasehat
Hukum tidak diperkenankan menambah catatan-catatan pada berkas di dalam/di luar
sidang meskipun hanya bersifat “informandum”, jika hal itu tidak diberitahukan
terlebih dahulu kepada Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan dengan memberikan
waktu yang layak, sehingga teman sejawat tersebut dapat mempelajari dan
menanggapi catatan yang bersangkutan.
x. Surat-surat
dari Advokat/Penasehat Hukum lawan yang diterma untuk dilihat oleh
Advokat/Penasehat Hukum, tanpa seizinnya tidak boleh diberikan surat
aslinya/salinannya kepada kliennya atau kepada pihak ke tiga, walaupun mereka
teman sejawat.
xi. Jika
diketahui seseorang mempunyai Advokat/Penasehat Hukum sebagai kuasa hukum lawan
dalam suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang tersebut mengenai
perkara tertentu tersebut hanya dapat dilakukan melalui Advokat/ Penasehat
Hukum yang bersangkutan atau dengan seizinnya.
xii. Jika
Advokat/Penasehat Hukum harus berbicara tentang soal lain dengan klien dari
sejawat Advokat/Penasehat Hukum yang sedang dibantu dalam perkara tertentu,
maka ia tidak dibenarkan meyinggung perkara tertentu tersebut.
xiii. Advokat/Penasehat
Hukum menyelesaikan keuangan perkara yang dikerjakannya diselesaikan melalui
perantaraan Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan, terutama mengenai
pembayaran-pembayaran kepada pihak lawan, terkecuali setelah adanya
pemberitahuan dan persetujuan dari Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan
tersebut.
xiv. Advokat/Penasehat
Hukum yang menerima pembayaran lansung dari pihak lawan, harus segera
melaporkannya kepada Advokat/Penasehat Hukum pihak lawan tersebut.
PENULIS
Ø
Nama : Zulkarnain
Ø
Nim :
11024104130
Ø
Negeri asal : Selat Panjang
Ø
Cita-cita : Pengacara Kondang
Ø
Nama : Dian kurniawan
Ø
Nim :
11024104077
Ø
Negeri Asal : Rumbio Kampar
Ø
Cita-cita : Hakim Konstitusi
[1] Judul makalah ini merupakan
judul yang di bahas oleh Dian kurniawan dan zulkarnain. Merak adalah mahasiswa
Jurusan Jinayah siyasah semester vi. makalah ini disajikan di depan kelas
dengan dosen pengajar bapak H.erman,M.Ag
[2] Disahkan pada tanggal 5 april
2003
[3] Sebelum diberlakukannya UU Advokat, maka yang dimaksud dengan advokat
adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum kepada orang
di dalam pengadilan atau seseorang yang mempunyai izin praktek beracara di
pengadilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dan diangkat oleh
Presiden Republik Indonesia melalui Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
[4] Istilah pengacara sebelum
diberlakukan UU Advokat didefenisikan sebagai seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum di dalam
pengadilan di lingkup wilayah yang sesuai dengan izin praktek beracara yang
dimilikinya
[6] Dalam buku Pipin Syarifin, Pengantar
Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm 222 disitu dijelaskan bahwa
pengacara adalah mereka yang sebagai mata pencaharian menyediakan diri sebagai
pembela atau kuasa dari pihak-pihak yang berperkara, akan tetapi tidak termasuk
kedalam golongan advokat. Dan tidak harus ada pengangkatan dari menteri kehakiman
dan tidak diambil sumpahnya seperti advokat.
[8] Pembedaan advokat dan pengacara ini
dapat kita temui dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het
Beleid der Justitie in Indonesia (Stb. 1847 Nomor 23 jo. Stb. 1848 Nomor 57),
Pasal 185 sampai Pasal 192dengan segala perubahan dan penambahannya (“RO”).
[9] Pipin Syarifin, Pengantar
Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm 221 menjelaskan istilah
penasehat hukum akan timbul kesan bahwa ia hanyalah seorang yang bertugas
memberikan nasehat-nasehat berkenaan dengan masalah hukum tidak lebih dari itu
sehingga kelihatannya kurang mencerminkan tugas “pembantuan”.
[10] Muhammad Nuh,SH,Mh.Adv, Etika
Profesi Hukum, (Bandung: Pustaka setia, 2011,hal.273-274
[11] Ibid.276-278
[12] Binziad kadafi
dkk, advokat indonesia mencari legitimasi,(jakarta:pusat studi hukum dan
kebijakan indonesia, 2001),hlm, 251 menjelaskan Subekti menilai bahwa fungsi
dan tujuan kode etik adalah untuk menjunjung martabat profesi dan menjaga atau
memelihara kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan para
anggota
[13] ibid
[14] Lihat Suhrawardi K. Lubis, Etika
Profesi Hukum,Jakarta:Sinar Grafika,2012),hlm,96 disini hanya dimuat dalam
enam piont, lihat juga komite kerja advokat indonesia kode etik advokat
indonesia bab II keprinadian advokat Pasal 2 dan 3
[15] Sebenarnya dalam kode etik
advokat indonesia 2002 (KEAI) tidak terdapat pasal tentang kewajiban advokat
kepada masyarakat namun dalam pembukaan mengandung beberapa aspek yang memberikan
penjelasan tentang hubungan advokat dengan masyarakat.
[16] Bisa diartikan dengan kode etik
pengacara yang berlaku di amerika seperti halnya komite kerja advokat indonesia
(KEAI)
[17] ABA (American Bar
Association) sendiri didefrinisikan: sebagai orang yang memenuhi syarat dengan
pendidikan dan pelatihan atau pengalaman kerja di kantor pengacara, kantor
hukum, korporasi, badan pemerintah, atau badan lainnya yang melakukan pekerjaan
legal substansif yang didelegasikan kepadanya namun dibawah tanggung jawab
langsung pengacara. Definsi ini menyatakan bahwa tanggungjawab hukum untuk
pekerjaan paralegal bersandar langsung di bawah pengacara dan juga bisa di
katakan Paralegal yaitu
gambaran pekerjaan yang membantu pengacara dalam pekerjaannya dan istilah ini
dipakai di beberapa negara. Paralegal itu sendiri bukanlah pengacara bukan juga
petugas pengadilan, oleh pemerintah sendiri paralegal tidak diizinkan untuk
berpraktik hukum.
Aslinya paralegal adalah pembantu pengacara yang
berpraktik dan melayani klien dalam masalah hukum. Di beberapa negara seperti
Amerika Serikat para ahli hukum mengakui para legal adalah profesi yang berada
langsung di bawah supervisi pengacara. Namun di Inggris Raya didefinisikan
profesi bukan pengacara tetapi mengerjakan pekerjaan legal terlepas siapa yang
mengerjakannya. Meski demikian tidak ada definisi yang konsisten mengenai
paralegal seperti: peranan dan pekerjaan, status, syarat dan kondisi kerja,
training, peraturan peraturan atau apa pun sehingga setiap yuridiksi harus
memandang secara individual http//wikipedia.com
[18] http://lutfichakim.blogspot.com/2012/01/etika-profesi-penegak-hukum_26.html
10:12 selasa 30 April 2013
[19] Lihat Suhrawardi K. Lubis, Etika
Profesi Hukum,Jakarta:Sinar Grafika,2012),hlm,97 disitu tercantum 14 point
namun dalam komite kerja advokat indonesia kode etik advokat indonesia hanya
memaparkan 11 point.
[20] Fidelitas di artikn dengan
kesetian / kejituan farida hamid, kamus ilmiah populer lengkap, (Surabaya:Apolo,2006),
hlm, 152
[21] lihat komite
kerja advokat indonesia kode etik advokat indonesia bab III hubungan dengan
klien Pasal 4 alinea 1
[22] Ibid alinea 2 dan 3
[26] komite kerja advokat indonesia
kode etik advokat indonesia bab VI cara bertindak menangani perkara pasal 7,
disini terdapat 9 point namun dalam Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi
Hukum,(Jakarta:Sinar Grafika,2012),hlm,98 disitu tercantum 11 point