Powered By Blogger

jam

_

assalammualaikum

semoga bermanfaat

Rabu, 07 Maret 2012


TRANPLANTASI ORGAN TUBUH DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A.  MENDERMAKAN ORGAN TUBUH KETIKA  MASIH HIDUP[1]
Ada   yang   mengatakan   bahwa  diperbolehkannya  seseorang mendermakan  atau  mendonorkan  sesuatu  ialah  apabila  itu miliknya.  Maka,  apakah  seseorang  itu  memiliki  tubuhnya sendiri  sehingga  ia  dapat   mempergunakannya   sekehendak hatinya,  misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan titipan  dari  Allah  yang  tidak boleh  ia  pergunakan  kecuali  dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan  tubuhnya  dengan  semau sendiri  pada  waktu  dia  hidup  dengan  melenyapkannya dan membunuhnya  (bunuh  diri),  maka  dia  juga   tidak   boleh mempergunakan  sebagian  tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.
Namun demikian, yusuf qardhawi mengatakan  bahwa  meskipun tubuh  merupakan  titipan  dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang   untuk    memanfaatkan    dan    mempergunakannya, sebagaimana   harta.   Harta  pada  hakikatnya  milik  Allah sebagaimana  diisyaratkan  oleh  Al-Qur'an,  misalnya  dalam firman Allah:
 وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ
"... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ..." (an-Nur: 33)
Akan tetapi, Allah memberi  wewenang  kepada  manusia  untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu.Sebagaimana  manusia  boleh  mendermakan  sebagian  hartanya untuk  kepentingan  orang  lain  yang  membutuhkannya,  maka diperkenankan  juga  seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya. Hanya perbedaannya adalah  bahwa  manusia  adakalanya  boleh mendermakan  atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan  ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari  kematian,  dari  penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara. Apabila  seorang  muslim  dibenarkan  menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah  jilatan  api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan sebagian    wujud   materiilnya   (organ   tubuhnya)   untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?
Pada zaman sekarang kita melihat adanya  donor  darah,  yang merupakan   bagian  dari  tubuh  manusia,  telah  merata  di negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama  pun  yang mengingkarinya,  bahkan  mereka  menganjurkannya  atau  ikut serta menjadi donor. Maka ijma'  sukuti  (kesepakatan  ulama secara  diam-diam)  ini --menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini-- menunjukkan bahwa donor  darah  dapat diterima syara'.
Didalam  kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk  menolong  orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong  orang  yang  terluka,  memberi  makan  orang  yang kelaparan,  melepaskan  tawanan, mengobati orang yang sakit, dan  menyelamatkan  orang  yang  menghadapi   bahaya,   baik mengenai jiwanya maupun lainnya Maka  tidak  diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar  (bencana,  bahaya)  yang  menimpa   seseorang   atau sekelompok  orang,  tetapi  dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu  menghilangkannya,  atau  tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Si A  berusaha  menghilangkan penderitaan  seorang  muslim  yang  menderita  gagal  ginjal misalnya,  dengan  mendonorkan  salah  satu  ginjalnya  yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan  syara',  bahkan terpuji  dan  berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang  di  bumi, sehingga  dia  berhak  mendapatkan kasih sayang dari yang di langit. Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan  sebagian  organ  tubuh  termasuk  kebaikan (sedekah).  Bahkan  tidak  diragukan  lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan  paling  utama,  karena tubuh  (anggota  tubuh)  itu  lebih  utama  daripada  harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan  seluruh  harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya.  Karena  itu,  mendermakan  sebagian  organ  tubuh karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia
Kalau kita katakan orang hidup  boleh  mendonorkan  sebagian organ  tubuhnya,  maka  apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu?
Jawabannya,  bahwa  kebolehannya   itu   bersifat   muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ  tubuhnya  yang  justru   akan   menimbulkan   dharar, kemelaratan,   dan   kesengsaraan  bagi  dirinya  atau  bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya. Oleh sebab itu, tidak  diperkenankan  seseorang  mendonorkan organ  tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena  dia  tidak  mungkin  dapat  hidup tanpa   adanya   organ  tersebut;  dan  tidak  diperkenankan menghilangkan dharar  dari  orang  lain  dengan  menimbulkan dharar  pada  dirinya.  Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi: "Dharar (bahaya,  kemelaratan,  kesengsaraan,  nestapa)  itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar  itu  tidak  boleh  dihilangkan  dengan  menimbulkan dharar pula."[2] Para   ulama   ushul   menafsirkan  kaidah  tersebut  dengan pengertian:  tidak   boleh   menghilangkan   dharar   dengan menimbulkan   dharar   yang   sama  atau  yang  lebih  besar daripadanya. karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian  luar, seperti  mata,  tangan,  dan  kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang  lain  dengan  menimbulkan dharar  pada  diri  sendiri  yang  lebih besar, sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi  dirinya  dan menjadikan buruk rupanya.
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan  itu  tidak  berfungsi  atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.
Hal  itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salahseorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma  (donor),seperti  hak  istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang(mengutangkan sesuatu kepadanya).
Pada suatu hari pernah ada seorang  wanita  bertanya  kepada yusuf qardawi bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara     perempuannya,     tetapi     suaminya      tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya? Maka dia menjawab  bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu  ginjalnya,  sudah  barang tentu  ia  harus  dioperasi  dan  masuk  rumah  sakit, serta memerlukan perawatan khusus.  Semua  itu  dapat  menghalangi sebagian  hak  suami  terhadap  istri,  belum  lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya  hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.
Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian,  tidak diperbolehkan  anak  kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu  persis  kepentingan  dirinya,  demikian  pula halnya orang gila.
Begitu  juga  seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang  dibawah  perwaliannya, disebabkan  keduanya  tidak  mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya,  lebih-lebih  jika  ia mendermakan  sesuatu  yang  lebih  tinggi  dan  lebih  mulia daripada harta, semisal organ tubuh. 
Disamping itu Prof Drs. Masyfuk Zuhdi, berpendapat pencangkokan organ tubuh dilarang (haram) berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195
 وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
  Artinya:”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan
Dalam kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal… ia (mungkin) akan menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu
2.      Kaidah hukum Islam:
Artinya:”Menolak kerusakan harus didahulukan atas meraih kemaslahatan
Dalam kasus ini, pendonor mengorbankan dirinya dengan cara melepas organ tubuhnya untuk diberikan kepada dan demi kemaslahatan orang lain, yakni resipien.
3.      Kaidah Hukum Islam:
Artinya” Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.”
Dalam kasus ini bahaya yang mengancam seorang resipien tidak boleh diatasi dengan cara membuat bahaya dari orang lain, yakni pendonor.[3]
Hal ini dikarenakan Prof Drs Masyfuk Zuhdi tidak mengiaskannya dengan harta. Yang mana dalam hal ini bias diqiaskan baerdasarkan ilat hokum “hak milik individual” serta beliau tidak memakai kaidah “”kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan”atau singkatnya mengambil kemudharatan yang lebih ringan [4]
B.     MENDONORKAN KEPADA ORANG NON-MUSLIM
Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini  boleh  dilakukan  terhadap  orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir  harbi  yang memerangi  kaum  muslim.  Demikian  pula  tidak  diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada  orang  murtad  yang   keluar   dari   Islam   secara terang-terangan.   Karena  menurut  pandangan  Islam,  orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia  berhak  dihukum bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup?
Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan  donor,  yang satu  muslim  dan  satunya  lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong  bagi sebagian yang lain ..." (atTaubah: 71)
Bahkan seorang  muslim  yang  saleh  dan  komitmen  terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan  hidup  dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah membantunya  melakukan  ketaatan  kepada Allah  dan memberikan manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Hal ini  berbeda  dengan   ahli   maksiat   yang   mempergunakan nikmat-nikmat  Allah  hanya  untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain. Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si  donor,  maka dia  lebih  utama  daripada yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang  lebih  kuat  lagi, sebagaimana firman Allah:
 وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah ..." (al-Anfal: 75)
Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada   orang   tertentu,   sebagaimana   ia   juga   boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang khusus menangani  masalah  ini  (seperti bank mata dan sebagiannya), yang merawat dan memelihara  organ  tersebut  dengan caranya  sendiri,  sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan.
C.     TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH
Karena  jual  beli  itu --sebagaimana   dita'rifkan  fuqaha--  adalah  tukar-menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh  manusia  itu  bukan harta   yang   dapat  dipertukarkan  dan  ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek  perdagangan  dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, di sana terdapat  pasar  yang  mirip dengan  pasar  budak.  Di  situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang  lemah  --untuk  konsumsi orang-orang  kaya--  yang  tidak  lepas  dari  campur tangan "mafia  baru"  yang  bersaing  dengan  mafia  dalam  masalah minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya. Tetapi,  apabila  orang  yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor  --tanpa  persyaratan  dan  tidak ditentukan   sebelumnya,   semata-mata  hibah,  hadiah,  dan pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz  (boleh), bahkan  terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang  berutang  ketika  mengembalikan pinjaman    dengan    memberikan    tambahan    yang   tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara'  dan terpuji,  bahkan  Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang)  dengan  sesuatu  yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:
"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
D.  MEWASIATKAN ORGAN TUBUH
Apabila seorang muslim  diperbolehkan  mendonorkan  sebagian organ  tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah  dia berwasiat  untuk  mendonorkan  sebagian  organ  tubuhnya itu setelah dia meninggal dunia nanti? Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan  organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan  mendatangkan  kemelaratan  --meskipun kemungkinan   itu   kecil--   maka  tidaklah  terlarang  dia mewasiatkannya setelah meninggal  dunia  nanti.  Sebab  yang demikian  itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat  (kemelaratan/  kesengsaraan) sedikit  pun  kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang yang meninggal  akan  lepas  berantakan  dan  dimakan  tanah beberapa  hari  setelah  dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan  diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun  dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali  jika  ada  dalil  yang sahih  dan  sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak dijumpai.
Umar r.a. pernah berkata kepada  sebagian  sahabat  mengenai beberapa  masalah,  "Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu  dan  tidak  memberikan  mudarat  kepada   dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah kiranya yang dapat  dikatakan  kepada   orang   yang   melarang   masalah mewasiatkan organ tubuh ini.
Ada  yang  mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan mayit  yang  sangat  dipelihara  oleh  syariat  Islam,  yang Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:
 "Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."
            Halini bahwa  mengambil  sebagian  organ  dari tubuh  mayit  tidaklah  bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya.  Sebab  yang  dimaksud  dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ  yang  dibutuhkan) itu  dilakukan  seperti  mengoperasi orang yang hidup dengan penuh  perhatian  dan  penghormatan,  bukan  dengan  merusak kehormatan tubuhnya. Sementara  itu,  hadits  tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan  memotong-motong  tubuh  mayit,   merusaknya,   dan mengabaikannya  sebagaimana  yang  dilakukan  kaum  jahiliah dalam peperangan-peperangan --bahkan  sebagian  dari  mereka masih   terus  melakukannya  hingga  sekarang.  Itulah  yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam. Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan  ulama salaf  tidak  pernah  melakukannya,  sedangkan  kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka.  Memang  benar, andaikata  mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi  banyak  sekali perkara  yang  kita  lakukan  sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf  karena  memang  belum  ada  pada zaman  mereka.  Sedangkan  fatwa  itu  sendiri dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana   ditetapkan   oleh   para   muhaqqiq.  Meskipun demikian,  dalam  hal  ini  terdapat  ketentuan  yang  harus dipenuhi  yaitu  tidak  boleh  mendermakan  atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota  tubuh,  sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang     kewajiban      memandikannya,      mengafaninya, menshalatinya,  menguburnya  di  pekuburan  kaum muslim, dan sebagainya
Mendonorkan  sebagian  organ   tubuh   sama   sekali   tidak menghilangkan semua itu secara meyakinkan.
E.   MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN TUBUH MAYIT
Ada  yang  mengatakan  bahwa  tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali atau  ahli  warisnya  tidak diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.
Namun  begitu,  sebenarnya seseorang apabila telah meninggal dunia  maka  dia  tidak  dianggap  layak  memiliki  sesuatu. Sebagaimana  kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa  tubuh  si mayit  menjadi  hak  wali atau ahli warisnya. Sebagaimana ALLAH telah memberikan  hak  kepada wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika  terjadi  pembunuhan  dengan   sengaja,   sebagaimana difirmankan oleh Allah:
 وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
"... Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan." (al-Isra': 33)
Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak melakukan  hukum qishash  jika  mereka menghendaki, atau melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau  banyak.  Atau memaafkannya  secara  mutlak  karena  Allah,  pemaafan  yang bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti  yang  disinyalir oleh Allah dalam firmanNya:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dlberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) ..." (al-Baqarah: 178)
Maka tidak menutup kemungkinan bahwa  mereka  mempunyai  hak mempergunakan  sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi  mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya, sesuai  kadar  manfaat  yang  diperoleh  orang  sakit   yang membutuhkannya  meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana halnya seseorang mendapat pahala  karena  tanamannya dimakan  oleh  orang  lain, burung, atau binatang lain, atau karena ditimpa musibah, kesedihan,  atau  terkena  gangguan, hingga  terkena  duri  sekalipun  ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat  --setelah  meninggal  dunia--  dari  doa anaknya  khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan sedekah mereka  untuknya.  Dan  telah  saya  sebutkan  bahwa sedekah  dengan  sebagian  anggota  tubuh  itu  lebih  besar pahalanya daripada sedekah dengan harta.
Oleh karena itu, yusuf qardhawi berpendapat tidak terlarang bagi  ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan oleh  orang-orang  sakit  untuk  mengobati  mereka,  seperti ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya selama  si  sakit  masih  memanfaatkan organ yang didonorkan itu.
Hanya saja, para ahli waris tidak  boleh  mendonorkan  organ tubuh  si mayit jika si mayit sewaktu hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak didonorkan, karena  yang  demikian  itu merupakan   haknya,  dan  wasiat  atau  pesannya  itu  wajib dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.
F.      MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM
Adapun mencangkokkan  organ  tubuh  orang  nonmuslim  kepada orang  muslim  tidak  terlarang,  karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai  Islam  atau  kafir,  ia  hanya merupakan  alat  bagi  manusia  yang  dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya.  Apabila  suatu  organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi  alat baginya  untuk  menjalankan  misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang  mengambil  senjata  orang  kafir  dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah. Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam  tubuh  orang kafir  itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih  dan  bersujud  kepada  Allah  SWT,  sesuai dengan  pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu  yang  ada  di  langit  dan  di  bumi  itu  bersujud menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.
Kalau begitu, maka yang benar adalah  bahwa  kekafiran  atau keislaman   seseorang   tidak   berpengaruh  terhadap  organ tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri,  yang oleh  Al-Qur'an  ada  yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud  disini bukanlah  organ  yang  dapat diraba (ditangkap dengan indra) yang  termasuk  bidang  garap  dokter  spesialis  dan   ahli anatomi,  sebab  yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta  antara  yang  taat  dan  yang bermaksiat.  Tetapi  yang  dimaksud  dengannya  adalah makna ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa,  berpikir,  dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:
فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا
"... lalu mereka mempunysi hati yang dengan itu mereka dapat memahami ..." (al-Hajj: 46)
لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا
"... mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) ..." (al-A'raf: 179)
Dan firman Allah:
 إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ"... sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis  ..." (at-Taubah: 28)
Kata najis dalam ayat tersebut  bukanlah  dimaksudkan  untuk najis indrawi yang berhubungan dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran).
Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang  muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.

G.    PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM[5]
Adapun  pencangkokan  organ  binatang  yang  dihukumi  najis seperti babi misalnya, ke dalam  tubuh  orang  muslim,  maka pada  dasarnya  hal  itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi  darurat.  Sedangkan  darurat   itu   bermacam-macam kondisi  dan  hukumnya  dengan  harus  mematuhi kaidah bahwa "segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu  harus diukur  menurut  kadar  kedaruratannya,"  dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya. 
Mungkin  juga  ada  yang  mengatakan   disini   bahwa   yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan   Al-Qur'an   dalam   empat    ayat,    sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya.  Selain itu,  Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai --yaitu   kulitnya--   padahal   bangkai   itu    diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an. Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak    dimakan,    maka   arah   pembicaraan   ini   ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.
Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw.  pernah melewati  bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata, "Sesungguhnya  itu  bangkai  kambing   milik   bekas   budak Maimunah." Lalu beliau bersabda:
"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka menjawab,  "Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya."
Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis,  maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim?
Dalam hal ini yang dilarang syara' ialah  mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun yang  didalam  tubuh  maka   tidak   terdapat   dalil   yang melarangnya.  Sebab  bagian  dalam  tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda-benda najis, seperti darah,  kencing, tinja,  dan  semua  kotoran;  dan  manusia  tetap  melakukan shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram,  meskipun benda-benda  najis  itu  ada  di  dalam  perutnya  dan tidak membatalkannya sedikit pun, sebab tidak ada hubungan  antara hukum najis dengan apa yang ada didalam tubuh.
            Majma’ al Fiqhi al Islami pada Muktamar IV di Jedah, Saudi Arabia yang diselenggarakan dari tanggal 18 – 23 Safar 1408 H atau 6 – 11 Pebruari 1988 M, memutuskan berdasarkan tinjauan syariat tentang pencangkokan organ tubuh sebagai berikut :
1.      Diperbolehkan memindahkan organ tubuh dari satu tempat di bagian tubuh ke tempat yang lainnya pada tubuh yang sama dengan tetap memperhatikan bahwa adanya manfaat yang riil dari operasi tersebut lebih besar daripada kemudharatan yang akan terjadi. Dengan syarat bahwa pemindahan ini adalah untuk mengadakan bagian tubuh yang hilang, mengembalikan bentuk, mengembalikan fungsinya selama ini, memperbaiki yang cacat, atau menghilangkan keburukan yang menyebabkan penyakit baik jiwa maupun anggota tubuh.
2.      Diperbolehkan memindahkan organ tubuh dari tubuh seorang yang masih hidup ke tubuh orang lain apabila organ tersebut mampu dengan segera memperbaharuinya, seperti darah dan kulit. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah bahwa si pendonor disyaratkan orang yang mempunyai kecakapan bertindak yang sempurna dan juga memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan syariat.
3.      Diperbolehkan memanfaatkan bagian dari anggota tubuh yang dibedah dari tubuh dikarenakan suatu penyakit untuk orang lain, seperti mengambil kornea mata untuk seseorang saat pembedahan mata disebabkan suatu penyakit.
4.      Diharamkan memindahkan suatu organ tubuh yang menjadi tempat bergantungnya kehidupan, seperti pencangkokan jantung dari seseorang kepada orang lain.
5.      Diharamkan memindahkan suatu organ dari seseorang yang masih hidup yang menghambat hilangnya fungsi asasi dalam kehidupannya walaupun keselamatan hidup tidak bergantung kepadanya, seperti pencangkokan kedua kornea matanya. Adapun apabila pencangkokan itu menghambat sebagian dari fungsi asasinya maka hal ini memerlukan riset dan telaah.
6.      Diperbolehkan pemindahan suatu organ tubuh dari orang yang sudah meninggal kepada orang yang masih hidup yang mana organ itu menentukan kehidupannya atau kesembuhan dari fungsi asasinya. Disyaratkan agar meminta izin terlebih dahulu kepada si mayit sebelum meninggalnya atau ahli warisnya setelah meninggalnya. Atau disyaratkan juga persetujuan dari pemimpin kaum muslimin apabila orang yang meninggal itu tidak dikenal atau tidak memiliki ahli waris.
7.      Seyogyanya memperhatikan bahwa kesepakatan diperbolehkannya pencangkokan organ-organ tubuh yang telah dijelaskan tersebut dengan persyaratan bahwa itu semua tidak melalui sarana jual beli organ karena tidak diperbolehkan merendahkan organ-organ tubuh dengan jual beli dalam kondisi apa pun. Adapun pemberian harta dari orang yang memanfaatkannya untuk mendapatkan organ yang diinginkan itu karena darurat atau imbalan dan penghargaan maka disini adalah tempat ijtihad dan telaah.[6]
Seorang pendonor juga perlu memperhatikan siapa orang yang akan diberikan organ tubuhnya itu. Karena donor anggota tubuh ini bagaikan sedekah maka pemberiannya kepada seorang muslim lebih diutamakan dari pada non muslim, orang muslim yang sholeh lebih diutama dari pada orang muslim awam atau suami maupun istrinya lebih diutamakan dari pada orang lain, sehingga organ tubuh itu bisa lebih bermanfaat dan bernilai disisi Allah swt.



[1] Dr.yusuf al-qardhawi hadyul islam fatawi mu’shira,terjemahan drs.as’ad yasin gema insani press,2002 jilid 2 hlm 755

[2] Prof.abdul wahhab khallaf ilmu ushul fiqih terjemahan,toha putra group,1994 hlm 324
[3] www.tranplantasi organ tubuh-artikel.com
[4] Prof.H.A.djazuli,kaidah-kaidah fiqih: kaidah-kaidah islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis,Jakarta,kencana,2010 hlm 75
[5] Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qardhawi

1 komentar: