TEORY-TEORY HUKUM ADAT
Dalam kajian ilmu hukum pada
umumnya, ada yang disebut hukum positif dan hukum yang di cita-citakan. Hukum
positif adalah hukum yang sedang berlaku disuatu negara, sedangkan hukum yang
di cita-citakan yaitu hukum yang hidup dimasyarakat, tetapi belum menjadi hukum
positif secara legal-formal. Eksistensi hukum Islam di Indonesia yang menjadi
hukum positif hanya yang berkaitan dengan hukum privat, yaitu ubudiah dan
muamalah. Sedangkan yang berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini
masih menjadi hukum yang di cita-citakan.
Persoalan seputar penting tidaknya
syariat Islam dilegislasikan menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang
kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang.Tentunya berawal sejak zaman
penjajahan di tanah air dengan munculnya kolonialisme Barat (Belanda) yang membawa misi
tertentu, mulai dari misi dagang, politik, bahkan sampai misi kristenisasi.[1] Intervensi kolonial Belanda di akhir abad ke-16
ditandai dengan kedatangan organisasi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie)[2] tahun 1596 di Banten. Memang sejak tahun 1800,
para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda mengakui bahwa dikalangan
masyarakat Indonesia, Islam merupakan agama yang sangat di junjung tinggi
pemeluknya. Penyelesaian masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk kepada
ajaran Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakan lainnya.
Atas fenomena ini, maka para pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa di tengah-tengah
komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun
diberlakukan hukum undang-undang agama Islam. Hal yang sama juga ketika VOC
bubar dan berubah menjadi pemerintah jajahan, kedudukan hukum Islam masih belum
dapat diganggu gugat oleh kolonial.
Berdasarkan gejala sosial seperti itu, L.W.C Van
Den Berg (1845-1927), seorang sarjana Belanda berkesimpulan bahwa pada
awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang-orang Indonesia yang beragama
Islam berlaku teori Receptio in Complexu
yang berarti orang-orang Muslim Indonesia menerima dan memberlakukan syari’at
Islam secara keseluruhan. Dan dia juga telah memeluk agama Islam.
Namun, ketakutan bangsa Belanda akan berlakunya
hukum Islam, membuat mereka mengeluarkan teori selanjutnya yaitu teori Receptie yang di pelopori oleh Snouck
Hurgronje. Melalui usaha terus-menerus dan sistematis, mereka berhasil
mengganti teori Receptio in Complexu
menjadi teori Receptie. Ia juga
berhasil mengganti pasal 78 RR ayat 2 menjadi pasal 134 ayat 2 IS yang
berbunyi: “dalam hal terjadi perkara
perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam
apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka sejauh belum di
tentukan lain oleh ordonansi.”[3]
Karena pandangan dan saran penganut teori Receptie
ini pula pada tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk
meninjau ulang wewenang Pengadilan Agama atau mereka sebut Priesterraad di Jawa
dan Madura yang semenjak tahun 1882 wewenang Priesterraad ini meliputi
perkawinan, kewarisan dan wakaf.
Guna meredam reaksi masyarakat, pemerintah Belanda
melaksanakan politik keagamaan dengan mendirikan sebuah Pengadilan Agama Tinggi
(Hof Voor Islamietische Zaken) atau
Mahkamah Islam Tinggi pada tanggal 1 Januari 1938 dan di buka secara resmi
sejak 7 Maret 1938 di Gedung Cikini No. 8 Jakarta. Namun, kebijakan ini
disambut dingin oleh masyarakat Muslim karena keputusan mengalihkan
wewenang menangani hukum waris tersebut
ke Pengadilan Negeri, sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Bahkan
perasaan tidak puas terus meluas dan protes keras semakin mengental dari umat
Islam.[4]
Melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
Snouck Hurgronje sangat merisaukan umat Islam di Indonesia, maka di
keluarkanlah beberapa teori baru dalam rangka membantah teori Receptie. Diantaranya adalah teori Recceptie Exit dan Receptie A Contrario.
Teori Receptie Exit dipelopori oleh
Hazairin sedangkan Receptie A Contrario
dipelopori oleh H. Sayuti Thalib. Namun pada hakikatnya, kedua teori ini
memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin membantah teori Receptie. Teori Receptie A
Contrario merupakan pengembangan dari teori Receptie Exit yang di kemukakan oleh Hazairin.
Teori Receptie
Exit atau Receptie A Contrario adalah teori yang mengatakan bahwa hukum
adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Teori ini adalah
kebalikan dari dari teori Receptie.
Bagi orang Islam, berlaku hukum Islam dan ini masih sesuai dengan cita-cita
hukum dan cita-cita bagi pemeluknya.
Pada tahun 1950 di Salatiga, Hazairin mengeluarkan
teori Receptie Exit. Dalam Rapat
Kerja Departemen Kehakiman tahun 1950 beliau mengemukakan suatu analisis dan
pandangan agar hukum Islam itu di berlakukan kembali di Indonesia sebagaimana
teori Receptio In Complexu, tidak
berdasarkan pada hukum adat sebagaimana yang diatur berdasarkan teori Receptie.
Pada tahun 1963 dengan dikeluarkannya buku Hazairin
tentang Hukum Kekeluargaan Nasional, pandangan Hazairin terhadap teori Snouck
Hurgronje itu dipertegas dan dipertajam dengan menyebut bahwa teori Receptie adalah teori iblis. Ungkapan
Hazairin ditujukan pula pada tidak sahnya lagi Pasal 134 ayat 2 IS itu.
a. Teori
eksistensi
Teori eksistensi ini dikemukakan
oleh H. Ichtijanto S.A,yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya
dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam
didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam
sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut;
a. Merupakan
bagian integral dari hukum nasional Indonesia,
b. Keberadaan,
kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi
status sebagai hukum nasional,
c. Norma-norma
hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional
Indonesia, dan
Kemudian sobat cari kode
d. Sebagai
bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan
perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang berjalan
di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenan dengan
puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari raya
besar Islam, selalu ditatai oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat
adanya hubungan yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional,
maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis dan semestinya
diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.
Eksistensi hukum Islam dalam tata
hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum
tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam
hukum nasional.
Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa hukum Islam ada
di dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum
Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara
tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti
undang-undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan
syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu
ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui acara ritual
kenegaraan dan kegamaan, seperti isra miraj, nuzunul qur’an, maulid Nabi
Muhammad.
b. Teori
receptio a contrario
Teori ini dikembangkan oleh H.
Sayuti Thalib, yang mengungkapkan perkembangan hukum Islam dari segi politik
hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia.
Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang
kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul
berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang
berlaku saat ini, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut; (1) bagi
orang Islam berlaku hukum Islam, (2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan
cita-cita hukum, cita-cita batin, dan moralnya, (3) hukum adat berlaku bagi
orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.Teori
ini disebut teori reception a contrario karena memuat tentang kebalikan
dari teori receptive.
Sayuti Thalib berpendirian bahwa di
Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada pancasila dan UUD 1945, semestinya
orang yang beragama menaati hukum agamnya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa.” Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, atuaran-aturan itu
dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan dengan
norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan dengan
hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma adat yang
bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat
diberlakukan.
Kalau teori receptie melihat
kedudukan hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka
teori receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi
sebaliknya, dan hukum adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
2. Pengaruh yang di timbulkan oleh teori receptie a contrario
Pada mulanya, para ahli hukum tidak begitu tertarik
terhadap teori ini, tetapi karena konsep teori ini sesuai dengan cita-cita
hukum yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia, berkat usaha dari para ahli hukum
dalam merealisasikan teori ini, maka pada akhirnya teori ini berpengaruh juga
dalam perkembangan hukum di Indonesia. Dengan lahirnya teori ini, memberikan
pengaruh dan andil yang cukup besar terhadap lahirnya Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia yang
dilaksanakan oleh empat lingkungan Peradilan dan Pengadilan Agama termasuk
didalamnya. Dalam Undang-undang tersebut diakui kembali eksistensi Peradilan
Agama nyaris terhapusberdasarkan UU No. 19 Tahun 1948. Lahirnya UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan mempertegas lagi kedudukan Pengadilan Agama sebagai
Lembaga Peradilan Negara, dimana disebutkan bahwa perselisihan sebagai akibat
dari perkawinan bagi orang-orang Islam harus diselesaikan di Pengadilan Agama
dan bagi non-Islam harus diselesaikan di Pengadilan Negeri. Dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dipertegas lagi eksistensi Pengadilan Agama sebagai
lembaga kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 1 huruf b dikemukakan Pengadilan Agama adalah pengadilan bagi
mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya.
Sebagai contoh dari pengaruh yang telah ditimbulkan
oleh teori Receptie A Contrario, di
Aceh misalnya, masyarakatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan
soal-soal mengenai harta mereka termasuk kewarisan diatur menurut hukum Islam.
Ada ketentuan-ketentuan adat dalam upacara perkawinan, hal itu boleh-boleh saja
dilakukan dan dipakai, tetapi dengan suatu ukuran. Ukuran itu berupa, apakah
adat itu bertentangan dengan hukum Islam, maka tidak boleh dijalankan kebiasaan
upacara adat itu. Diperbaiki dan diubah sehingga tidak menyalahi ketentuan
agama. Dengan demikian kita melihat, bahwa hukum adatlah sekarang yang diukur
dengan hukum Islam. Hukum adat atau upacara adat baru berlaku kalau tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Demikian juga di Sumatra Barat, Minangkabau. Daerah
ini dikenal dengan daerah yang kuat kedudukan adatnya. Penghulu mengetuai
sesuatu kelompok dalam masyarakat yang berkaum-kaum atau bersuku-suku itu.
Kedudukan adat sangat kuat. Terutama di daerah pedalamannya. Memang ada juga
terdapat di beberapa tempat di kota-kotanya. Melanggar adat masih merupakan
suatu celaan besar dalam masyarakat Minang Kabau itu. Bahkan mempunyai akibat
yang jauh dalam bentuk pengutukan masyarakatnya bagi mereka yang melanggar adat
itu.
Tetapi, sungguhpun demikian, malahan disanalah
terdapat ketentuan yang tegas-tegas bahwa adat itu baru dapat berlaku kalau
bersandar kepada agama. Berbagai pepatah petitih yang menjelaskan hal itu.
Pepatah petitih itu dalam masyarakat Minangkabau merupakan perumusan
undang-undang dan hukum.
Salah satu pepatah petitih itu berbunyi : “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi
kitabullah“[5]
3. Langkah-langkah dalam merealisasikan teori ini
Ada beberapa langkah yang dilakukan para ahli hukum
dalam rangka merealisasikan teori Receptie
A Contrario ini, di antaranya adalah :
1. Menyebarkan
agama Islam seluas-luasnya keseluruh pelosok daerah, seperti yang pernah
dilakukan oleh raja-raja di Jawa yang sempat dihentikan oleh para kolonial
Belanda.[6]
2. Memberlakukan
kembali hukum Islam dan menempatkannya sesuai dengan posisi yang sebenarnya.[7]
3. Membantah
keras dan menghapus berlakunya Pasal 134 ayat 2 IS.
4. Memberlakukan
kembali wewenang Pengadilan Agama yang nyaris terhapus berdasarkan UU No. 19
Tahun 1948.
5. Memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan ajaran agama sesuai kepercayaan
mereka masing-masing.[8]
4.Faktor Pendukung dan Kendala Penerapan Hukum Islam
1. Faktor-faktor Pendukung Usaha
Penerapan Syariat Islam
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan
dalam usaha menuju penerapan syariat Islam;
- Jumlah
umat Islam cukup signifikan.
- Maraknya
gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat
Islam.
- Gagalnya
beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah memunculkan
rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan
alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
- Keberhasilan
usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-partai politik Islam di
beberapa negeri muslim.
- Sejarah
umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat
Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan
kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan
mereka.
2. Kendala-Kendala dalam Usaha
Penerapan Syariat Islam
Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai
berikut;
- Hambatan
eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati
terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan
ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit
melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negative
tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam
dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi pengungkungan kaum
wanita dan kekerasan).
- Hambatan
dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa
mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan
mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang
dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
- Hambatan
dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena belum memahami syariat
Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang
dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl.
- Disamping
itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan
masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang
sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki
strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin
signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu
sama lain.
5.
Hasil Dari Keberadaan Teori Receptie A
Contrario
Timbulnya
beberapa teori hukum seperti teori Receptie
Exit dan Receptie A contrario sebagai reaksi terhadap teori Receptie telah melahirkan beberapa
aturan hukum, diantaranya adalah :
1. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
3. Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Hak Milik
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama[9]
Pandangan para ahli dalam
penerapan hukum islam di tanah air
Persoalan seputar penting tidaknya
syariat Islam dilegislasikan menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang
kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran kearah itu banyak
disampaikan oleh berbagai kalangan, walaupun dapat dipastikan bahwa pendapat
para ahli tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis,
kultural, ideologis, dan religiositas.
Azyumardi Azra mengungkapkan bahwa, yang harus diperhatikan
adalah kondisi umat Islam Indonesia yang bukan merupakan realitas monolitik,
tapi adalah realitas yang beragam, banyak golongannya, pemahaman keislamannya,
keterikatannya, dan pengetahuannya yang berbeda-beda. Realitas sosilogis ini
dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan viabilitas. Artinya hukum Islam
tersebut tidak bisa bertahan, bahkan mungkin juga bisa menjadi kontraproduktif
ketika lapisan masyarakat muslim yang pemahamannya terhadap Islam berbeda tadi
kemudian tidak sebagaimana yang diharapkan.
Selain itu, menurut Azyumardi Azra,
perbedaan mazhab fikih juga perlu diperhitungkan, karena harus kita akui bahwa
di dalam soal fikih, khususnya mengenai hudud, terdapat perbedaan yang dari
dulu sampai sekarang belum teratasi. Jadi, ada masalah secara internal di dalam
fikih itu sendiri. Misalnya soal hudud, atau lebih spesifik lagi soal hukum
rajam. Ada kalangan ulama misalnya Mahmud Syaltut berpendapat, hukum rajam
adalah hukuman maksimal. Padahal kalau hukum rajam itu menjadi hukum yang
maksimal, maka salah satu filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat
hukum adalah menghindari semaksimal mungkin hukum yang maksimal. Karena kalau
hukuman maksimal dijatuhkan maka fungsi aspek edukatif dari hukum itu menjadi
hilang. Itu satu contoh yang perlu dipertimbangkan.
Juhaya S. Praja – pendapatnya dalam
merespon wacana dijadikannya hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam
kerangka sistem hukum nasional – mengatakan bahwa, walaupun dalam praktek tidak
lagi berperan secara menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi
kehidupan pemeluknya. Setidaknya, ada tiga faktor yang menurut Juhaya Praja
menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam kehidupan bangsa. Pertama,
hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan
umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk,
apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua,
banyak keputusan hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap
menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang
masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam sehingga peranan hukum
Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai
pengaruh cukup besar.
Habib Riziq Shihab, menurutnya penerapan hukum Islam harus
formalistik-legalistik melalui institusi Negara. Ia mengatakan bahwa syariat
Islam secara formal harus diperjuangkan dan harus diamalkan secara substansial.
Tidak ada gunanya memperjuangkan formalitas sedangkan substansialnya
ditinggalkan. Sebaliknya ia tidak setuju bila mengatakan yang penting substantinya,
formalitasnya tidak perlu. Justru dengan formalisasi, maka substansi bisa
diamalkan. Ia juga mengungkapkan pendapat Imam al-Ghazali yang berbicara
tentang tata Negara Islam, bahwa “agama adalah fondasi, pemerintahan sebagai
penjaganya. Apa-apa yang tidak ada fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang
tidak dijaga pasti akan hilang.” Karenanya menurut Habib Riziq tidak boleh
memisahkan agama dengan kekuasaan.
[1] Abdul Halim, Peradilan Agama
dalam Politik Hukum Islam, hal. 46
[2] Pada mulanya Belanda datang ke Indonesia dalam rangka berdagang yaitu
mendapatkan rempah-rempah di bumi
Nusantara yang subur ini.
[3] Drs. Ahmad Rofiq, MA, Hukum
Islam di Indonesia, hal. 18
[4] Abdul Halim, Peradilan Agama
dalam Politik Hukum Islam, hal. 63
[5] Sajuti Thalib, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam,
hal. 60-61
[6] Abdul Halim, Peradilan Agama
dalam Politik Hukum di Indonesia, hal. 59
[7] Imam Syaukani, Rekonstruksi
Epistologi Hukum Islam Indonesia, hal. 83
[8] Drs. Ahmad Rofiq, MA, Hukum
Islam di Indonesia, hal. 21
[9] Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M. Hum, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 311
Tidak ada komentar:
Posting Komentar