Powered By Blogger

jam

_

assalammualaikum

semoga bermanfaat

Rabu, 07 Maret 2012


TEORY-TEORY HUKUM ADAT
Dalam kajian ilmu hukum pada umumnya, ada yang disebut hukum positif dan hukum yang di cita-citakan. Hukum positif adalah hukum yang sedang berlaku disuatu negara, sedangkan hukum yang di cita-citakan yaitu hukum yang hidup dimasyarakat, tetapi belum menjadi hukum positif secara legal-formal. Eksistensi hukum Islam di Indonesia yang menjadi hukum positif hanya yang berkaitan dengan hukum privat, yaitu ubudiah dan muamalah. Sedangkan yang berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini masih menjadi hukum yang di cita-citakan.
Persoalan seputar penting tidaknya syariat Islam dilegislasikan menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang.Tentunya berawal sejak zaman penjajahan di tanah air dengan munculnya kolonialisme Barat (Belanda) yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik, bahkan sampai misi kristenisasi.[1] Intervensi kolonial Belanda di akhir abad ke-16 ditandai dengan kedatangan organisasi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)[2] tahun 1596 di Banten. Memang sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda mengakui bahwa dikalangan masyarakat Indonesia, Islam merupakan agama yang sangat di junjung tinggi pemeluknya. Penyelesaian masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk kepada ajaran Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakan lainnya. Atas fenomena ini, maka para pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa di tengah-tengah komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan hukum undang-undang agama Islam. Hal yang sama juga ketika VOC bubar dan berubah menjadi pemerintah jajahan, kedudukan hukum Islam masih belum dapat diganggu gugat oleh kolonial.
Berdasarkan gejala sosial seperti itu, L.W.C Van Den Berg (1845-1927), seorang sarjana Belanda berkesimpulan bahwa pada awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang-orang Indonesia yang beragama Islam berlaku teori Receptio in Complexu yang berarti orang-orang Muslim Indonesia menerima dan memberlakukan syari’at Islam secara keseluruhan. Dan dia juga telah memeluk agama Islam.
Namun, ketakutan bangsa Belanda akan berlakunya hukum Islam, membuat mereka mengeluarkan teori selanjutnya yaitu teori Receptie yang di pelopori oleh Snouck Hurgronje. Melalui usaha terus-menerus dan sistematis, mereka berhasil mengganti teori Receptio in Complexu menjadi teori Receptie. Ia juga berhasil mengganti pasal 78 RR ayat 2 menjadi pasal 134 ayat 2 IS yang berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka sejauh belum di tentukan lain oleh ordonansi.”[3]
Karena pandangan dan saran penganut teori Receptie ini pula pada tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau ulang wewenang Pengadilan Agama atau mereka sebut Priesterraad di Jawa dan Madura yang semenjak tahun 1882 wewenang Priesterraad ini meliputi perkawinan, kewarisan dan wakaf.
Guna meredam reaksi masyarakat, pemerintah Belanda melaksanakan politik keagamaan dengan mendirikan sebuah Pengadilan Agama Tinggi (Hof Voor Islamietische Zaken) atau Mahkamah Islam Tinggi pada tanggal 1 Januari 1938 dan di buka secara resmi sejak 7 Maret 1938 di Gedung Cikini No. 8 Jakarta. Namun, kebijakan ini disambut dingin oleh masyarakat Muslim karena keputusan mengalihkan wewenang  menangani hukum waris tersebut ke Pengadilan Negeri, sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Bahkan perasaan tidak puas terus meluas dan protes keras semakin mengental dari umat Islam.[4]
Melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje sangat merisaukan umat Islam di Indonesia, maka di keluarkanlah beberapa teori baru dalam rangka membantah teori Receptie. Diantaranya adalah teori Recceptie Exit dan Receptie A Contrario. Teori Receptie Exit dipelopori oleh Hazairin sedangkan Receptie A Contrario dipelopori oleh H. Sayuti Thalib. Namun pada hakikatnya, kedua teori ini memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin membantah teori Receptie. Teori Receptie A Contrario merupakan pengembangan dari teori Receptie Exit yang di kemukakan oleh Hazairin.
Teori Receptie Exit atau Receptie A Contrario adalah teori yang mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Teori ini adalah kebalikan dari dari teori Receptie. Bagi orang Islam, berlaku hukum Islam dan ini masih sesuai dengan cita-cita hukum dan cita-cita bagi pemeluknya.
Pada tahun 1950 di Salatiga, Hazairin mengeluarkan teori Receptie Exit. Dalam Rapat Kerja Departemen Kehakiman tahun 1950 beliau mengemukakan suatu analisis dan pandangan agar hukum Islam itu di berlakukan kembali di Indonesia sebagaimana teori Receptio In Complexu, tidak berdasarkan pada hukum adat sebagaimana yang diatur berdasarkan teori Receptie.
Pada tahun 1963 dengan dikeluarkannya buku Hazairin tentang Hukum Kekeluargaan Nasional, pandangan Hazairin terhadap teori Snouck Hurgronje itu dipertegas dan dipertajam dengan menyebut bahwa teori Receptie adalah teori iblis. Ungkapan Hazairin ditujukan pula pada tidak sahnya lagi Pasal 134 ayat 2 IS itu.
a.       Teori eksistensi
Teori eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A,yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut;
a.       Merupakan bagian integral dari hukum nasional Indonesia,
b.      Keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional,
c.       Norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia, dan
Kemudian sobat cari kode Ganti kode dengan kode di bawah ini :
readmore »»  
d.      Sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenan dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari raya besar Islam, selalu ditatai oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional, maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.
Eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam hukum nasional.
Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti undang-undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui acara ritual kenegaraan dan kegamaan, seperti isra miraj, nuzunul qur’an, maulid Nabi Muhammad.
b.      Teori receptio a contrario
Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, yang mengungkapkan perkembangan hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia. Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat ini, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut; (1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam, (2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan moralnya, (3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.Teori ini disebut teori reception a contrario karena memuat tentang kebalikan dari teori receptive.
Sayuti Thalib berpendirian bahwa di Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada pancasila dan UUD 1945, semestinya orang yang beragama menaati hukum agamnya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, atuaran-aturan itu dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan dengan norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat diberlakukan.
Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka teori receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi sebaliknya, dan hukum adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2. Pengaruh yang di timbulkan oleh teori receptie a contrario
Pada mulanya, para ahli hukum tidak begitu tertarik terhadap teori ini, tetapi karena konsep teori ini sesuai dengan cita-cita hukum yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia, berkat usaha dari para ahli hukum dalam merealisasikan teori ini, maka pada akhirnya teori ini berpengaruh juga dalam perkembangan hukum di Indonesia. Dengan lahirnya teori ini, memberikan pengaruh dan andil yang cukup besar terhadap lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia yang dilaksanakan oleh empat lingkungan Peradilan dan Pengadilan Agama termasuk didalamnya. Dalam Undang-undang tersebut diakui kembali eksistensi Peradilan Agama nyaris terhapusberdasarkan UU No. 19 Tahun 1948. Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mempertegas lagi kedudukan Pengadilan Agama sebagai Lembaga Peradilan Negara, dimana disebutkan bahwa perselisihan sebagai akibat dari perkawinan bagi orang-orang Islam harus diselesaikan di Pengadilan Agama dan bagi non-Islam harus diselesaikan di Pengadilan Negeri. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dipertegas lagi eksistensi Pengadilan Agama sebagai lembaga kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 1 huruf b dikemukakan  Pengadilan Agama adalah pengadilan bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya.
Sebagai contoh dari pengaruh yang telah ditimbulkan oleh teori Receptie A Contrario, di Aceh misalnya, masyarakatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan soal-soal mengenai harta mereka termasuk kewarisan diatur menurut hukum Islam. Ada ketentuan-ketentuan adat dalam upacara perkawinan, hal itu boleh-boleh saja dilakukan dan dipakai, tetapi dengan suatu ukuran. Ukuran itu berupa, apakah adat itu bertentangan dengan hukum Islam, maka tidak boleh dijalankan kebiasaan upacara adat itu. Diperbaiki dan diubah sehingga tidak menyalahi ketentuan agama. Dengan demikian kita melihat, bahwa hukum adatlah sekarang yang diukur dengan hukum Islam. Hukum adat atau upacara adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Demikian juga di Sumatra Barat, Minangkabau. Daerah ini dikenal dengan daerah yang kuat kedudukan adatnya. Penghulu mengetuai sesuatu kelompok dalam masyarakat yang berkaum-kaum atau bersuku-suku itu. Kedudukan adat sangat kuat. Terutama di daerah pedalamannya. Memang ada juga terdapat di beberapa tempat di kota-kotanya. Melanggar adat masih merupakan suatu celaan besar dalam masyarakat Minang Kabau itu. Bahkan mempunyai akibat yang jauh dalam bentuk pengutukan masyarakatnya bagi mereka yang melanggar adat itu.
Tetapi, sungguhpun demikian, malahan disanalah terdapat ketentuan yang tegas-tegas bahwa adat itu baru dapat berlaku kalau bersandar kepada agama. Berbagai pepatah petitih yang menjelaskan hal itu. Pepatah petitih itu dalam masyarakat Minangkabau merupakan perumusan undang-undang dan hukum.
Salah satu pepatah petitih itu berbunyi : “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah“[5]
3. Langkah-langkah dalam merealisasikan teori ini
Ada beberapa langkah yang dilakukan para ahli hukum dalam rangka merealisasikan teori Receptie A Contrario ini, di antaranya adalah :
1.      Menyebarkan agama Islam seluas-luasnya keseluruh pelosok daerah, seperti yang pernah dilakukan oleh raja-raja di Jawa yang sempat dihentikan oleh para kolonial Belanda.[6]
2.      Memberlakukan kembali hukum Islam dan menempatkannya sesuai dengan posisi yang sebenarnya.[7]
3.      Membantah keras dan menghapus berlakunya Pasal 134 ayat 2 IS.
4.      Memberlakukan kembali wewenang Pengadilan Agama yang nyaris terhapus berdasarkan UU No. 19 Tahun 1948.
5.      Memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan ajaran agama sesuai kepercayaan mereka masing-masing.[8]
4.Faktor Pendukung dan Kendala Penerapan Hukum Islam
1. Faktor-faktor Pendukung Usaha Penerapan Syariat Islam
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat Islam;
  1. Jumlah umat Islam cukup signifikan.
  2. Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat Islam.
  3. Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
  4. Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-partai politik Islam di beberapa negeri muslim.
  5. Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan mereka.
2. Kendala-Kendala dalam Usaha Penerapan Syariat Islam
Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai berikut;
  1. Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negative tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi pengungkungan kaum wanita dan kekerasan).
  2. Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
  3. Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl.
  4. Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain.

5.       Hasil Dari Keberadaan Teori Receptie A Contrario
Timbulnya beberapa teori hukum seperti teori Receptie Exit dan Receptie A contrario sebagai reaksi terhadap teori Receptie telah melahirkan beberapa aturan hukum, diantaranya adalah :
1.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.      Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
3.      Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Hak Milik
4.      Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama[9]
Pandangan para ahli dalam penerapan hukum islam di tanah air
Persoalan seputar penting tidaknya syariat Islam dilegislasikan menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran kearah itu banyak disampaikan oleh berbagai kalangan, walaupun dapat dipastikan bahwa pendapat para ahli tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, kultural, ideologis, dan religiositas.
Azyumardi Azra mengungkapkan bahwa, yang harus diperhatikan adalah kondisi umat Islam Indonesia yang bukan merupakan realitas monolitik, tapi adalah realitas yang beragam, banyak golongannya, pemahaman keislamannya, keterikatannya, dan pengetahuannya yang berbeda-beda. Realitas sosilogis ini dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan viabilitas. Artinya hukum Islam tersebut tidak bisa bertahan, bahkan mungkin juga bisa menjadi kontraproduktif ketika lapisan masyarakat muslim yang pemahamannya terhadap Islam berbeda tadi kemudian tidak sebagaimana yang diharapkan.
Selain itu, menurut Azyumardi Azra, perbedaan mazhab fikih juga perlu diperhitungkan, karena harus kita akui bahwa di dalam soal fikih, khususnya mengenai hudud, terdapat perbedaan yang dari dulu sampai sekarang belum teratasi. Jadi, ada masalah secara internal di dalam fikih itu sendiri. Misalnya soal hudud, atau lebih spesifik lagi soal hukum rajam. Ada kalangan ulama misalnya Mahmud Syaltut berpendapat, hukum rajam adalah hukuman maksimal. Padahal kalau hukum rajam itu menjadi hukum yang maksimal, maka salah satu filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat hukum adalah menghindari semaksimal mungkin hukum yang maksimal. Karena kalau hukuman maksimal dijatuhkan maka fungsi aspek edukatif dari hukum itu menjadi hilang. Itu satu contoh yang perlu dipertimbangkan.
Juhaya S. Praja – pendapatnya dalam merespon wacana dijadikannya hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam kerangka sistem hukum nasional – mengatakan bahwa, walaupun dalam praktek tidak lagi berperan secara menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan pemeluknya. Setidaknya, ada tiga faktor yang menurut Juhaya Praja menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam kehidupan bangsa. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam sehingga peranan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai pengaruh cukup besar.
Habib Riziq Shihab, menurutnya penerapan hukum Islam harus formalistik-legalistik melalui institusi Negara. Ia mengatakan bahwa syariat Islam secara formal harus diperjuangkan dan harus diamalkan secara substansial. Tidak ada gunanya memperjuangkan formalitas sedangkan substansialnya ditinggalkan. Sebaliknya ia tidak setuju bila mengatakan yang penting substantinya, formalitasnya tidak perlu. Justru dengan formalisasi, maka substansi bisa diamalkan. Ia juga mengungkapkan pendapat Imam al-Ghazali yang berbicara tentang tata Negara Islam, bahwa “agama adalah fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa yang tidak ada fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti akan hilang.” Karenanya menurut Habib Riziq tidak boleh memisahkan agama dengan kekuasaan.


[1] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam, hal. 46
[2] Pada mulanya Belanda datang ke Indonesia dalam rangka berdagang yaitu mendapatkan rempah-rempah di    bumi Nusantara yang subur ini.
[3] Drs. Ahmad Rofiq, MA, Hukum Islam di Indonesia, hal. 18
[4] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum Islam, hal. 63
[5]  Sajuti Thalib, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam, hal. 60-61
[6] Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, hal. 59
[7] Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistologi Hukum Islam Indonesia, hal. 83
[8] Drs. Ahmad Rofiq, MA, Hukum Islam di Indonesia, hal. 21
[9] Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M. Hum, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 311

Tidak ada komentar:

Posting Komentar