BUDAYA KORUPSI
A. Data dan Fakta Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia dianggap sudah berada pada kondisi yang sangat genting. Data dan fakta tentang korupsi menunjukkan bahwa korupsi sudah begitu menggurita diseluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia. Data kuantitatif yang dihasilkan dari survei oleh beberapa lembaga independen menunjukkan kenyataan yang memprihatinkan. Sejak tahun 1995, Transparansi Internasional telah menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) setiap tahun yang mengurutkan negara-negara di dunia berdasarkan persepsi (anggapan) publik terhadap korupsi di jabatan publik dan politis. IPK merupakan instrumen pengukuran tingkat korupsi di kota-kota pada suatu negara. Rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, dimana 0 berarti dipersepsikan sangat korup dan 10 sangat bersih atau tidak korup. Transparansi Internasional merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2010 tetap dibanding 2009 yakni dengan nilai 2,8. Namun, meski nilai IPK tetap, peringkat Indonesia naik ke posisi 110 dari 111 pada 2009.
Negara yang paling tinggi IPK-nya diduduki oleh Denmark, Selandia Baru, dan Singapura. Tiga negara itu meraih IPK 9,3. Sedangkan negara terkorup adalah Somalia dengan nilai 1,1; diikuti oleh Myanmar (IPK=1,4) dan Afghanistan (IPK=1,4). Untuk ukuran Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi kelima negara yang bersih dari korupsi. Indonesia berada di bawah Thailand (IPK=3,5), Malaysia (IPK=4,4), Brunei Darussalam (IPK=5,5), dan Singapura (IPK=9,3). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
1. Singapura dgn IPK 9,3
2. Brunei Darussalam dgn IPK 5,5
3. Malaysia dgn IPK 4,4
4. Thailand dgn IPK 3,5
5. Indonesia dgn IPK 2,8
6. Vietnam dgn IPK 2,7
7. Filipina dgn IPK 2,4
8. Kamboja dgn IPK 2,1
9. Laos dgn IPK 2,1
10. Myanmar dgn IPK 1,4
Pada tanggal 9 November 2010, Transparency International Indonesia (TI-Indonesia) menyampaikan pada publik atas Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK Indonesia) atas 50 kota di Indonesia. Mengapa survei pengukuran korupsi diperlukan? Dalam situasi korupsi yang sudah merajalela dan tidak jelas arah strategi bagaimana memberantas korupsi dengan tepat. Maka, kehadiran Instrumen pengukuran yang bisa dipertanggungjawabkan metodenya diharapkan bisa memberikan arah dalam menyusun skala prioritas pencegahan maupun penindakan korupsi.
IPK Indonesia adalah instrumen pengukuran tingkat korupsi di kota-kota Indonesia. Berbeda dengan CPI yang mengukur tingkat korupsi negara-negara di dunia berdasarkan gabunan beberapa indeks. IPK Indonesia dibuat berdasarkan survey yang metodenya dikembangkan oleh TI-Indonesia. Survei dilakukan dengan cara wawancara tatap muka terhadap 9237 responden pelaku bisnis, antara bulan Mei sampai Oktober 2010. IPK Indonesia mengukur tingkat korupsi di 50 kota di seluruh Indonesia, meliputi 33 ibukota provinsi ditambah 17 kota lain yang signifikan dari segi ekonomi. Rentang Indeks antara 0 sampai dengan 10; 0 berarti dipersepsikan sangat korup dan 10 sangat bersih.
Tahun ini, Kota Denpasar mendapatkan skor paling tinggi (6,71), disusul Tegal (6,26), Solo (6,00), Jogjakarta dan Manokwari (5,81). Sementara kota Cirebon dan Pekanbaru mendapatkan skor terendah (3,61), disusul Surabaya (3,94), Makassar (3,97) dan Jambi (4,13). Kota-kota dengan skor tertinggi mengindikasikan bahwa para pelaku bisnis di sana menilai korupsi mulai menjadi hal yang kurang lazim terjadi, dan usaha pemerintah dan penegak hukum di sana dalam pemberantasan korupsi cukup serius. Sebaliknya, korupsi masih lazim terjadi dalam sector-sektor publik, sementara pemerintah daerah dan penegak hukum kurang serius dalam pemberantasan korupsi, menurut persepsi para pelaku bisnis di kota-kota yang mendapat skor rendah.
Masih menurut hasil survei, Indonesia yang disebut-sebut sebagai salah satu bintang negara emerging markets ternyata merupakan negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik. Demikian hasil survei bisnis yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy" (PERC) yang berbasis di Hong Kong menyebutkan Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup yang disurvei pada 2010. Nilai tersebut naik dari tahun lalu yang poinnya 7,69. Responden survei berjumlah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat. Sedangkan, posisi kedua ditempati oleh Kamboja sebagai negara paling korup. Kemudian diikuti oleh Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Taiwan, Korea, Macau, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, dan Australia. Mereka semua termasuk negara paling korup dalam survei, selain Singapura. Survei ini mengkaji bagaimana korupsi mempengaruhi berbagai tingkat kepemimpinan politik dan layanan sipil dan melihat bagaimana korupsi dianggap berpengaruh pada lingkungan bisnis secara menyeluruh, serta seberapa jauh perusahaan mengatasi masalah internal dan eksternal ketika berhadapan dengan situasi tersebut.
Selain data-data di atas, masih banyak fakta-fakta yang menunjukkan betapa korupsi itu sudah merajalela di negeri ini. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta, menyatakan, bahwa terdapat 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, 17 orang di antaranya adalah gubernur. Berdasarkan kajian ICW, selain keterlibatan pejabat lokal dalam kasus korupsi di daerah, didapati pula peningkatan keterlibatan aktor dari sektor swasta, khususnya dengan latar belakang jabatan komisaris/ direktur perusahaan swasta. Pelaku korupsi dari swasta umumnya terkait pengadaan barang dan jasa. Hal tersebut menunjukkan adanya upaya masif di kalangan swasta untuk menggerogoti anggaran daerah melalui kegiatan pengadaan. Selama Januari-Juli 2010, potensi kerugian negara akibat korupsi sektor keuangan daerah mencapai Rp 596,232 miliar (38 kasus), dan untuk semester II 2010 trennya juga meningkat.
B. Persepsi Masyarakat Terhadap Korupsi
Masyarakat percaya bahwa akibat dari korupsi sedemikian dahsyatnya. Sedemikian dianggap dahsyatnya hingga sebagian pakar merasa perlu menggolongkannya korupsi sebagai extra ordinary crime. Korupsi ibarat sebuah pencurian atas hak-hak rakyat oleh para pemangku jabatan dan pemangku kepentingan politik. Rezim baru hukum anti korupsi lahir karena adanya kesadaran semakin meluasnya praktik-praktik korupsi di Indonesia. Bahkan sudah sampai pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Berbagai upaya pemberantasan gencar dilakukan, termasuk membangun persepsi masyarakat terhadap korupsi. Persepsi yang sudah terbangun menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dengan maraknya demonstrasi masyarakat yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang menentang korupsi dan menuntut agar para koruptor diadili dan diproses secara hukum. Selain itu dukungan masyarakat yang terus mengalir sewaktu terjadi kriminalisasi Pimpinan KPK.
Berdasarkan survei yang dikembangkan oleh Litbang Kompas dan dirilis pada tanggal 11 Juni 2010, diketahui bahwa menurut masyarakat/responden, hal yang menjadi ancaman terbesar bagi bangsa ini adalah budaya korupsi. Persepsi atas hal tersebut setidaknya merupakan anggapan dari 38,6% responden yang mewakili masyarakat Indonesia. Hasil survei tersebut dapat dilihat pada diagram berikut ini.
1. Budaya Korupsi 38,6%
2. Krisis ekonomi 15,1%
3. Lapanagan pekerjaan/pengangguran 10,3%
4. Terorisme/keamanan 9,7%
5. Konpilk antar kelompok 9,3%
6. Birokrasi yang rusak 5,6%
C. Definisi Budaya
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), budaya adalah
1) Pikiran atau akal budi;
2) Adat istiadat termasuk bahasa; dan
3) Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah.
Sementara Koentjaraningrat (2002) mengartikan budaya sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar.
Sedangkan menurut Koentjaraningrat (2002) yang mendefinisikan konsep budaya adalah “sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar.
Karena konsep budaya yang sangat luas, sehingga untuk memahaminya konsep tersebut kemudian dipecah ke dalam unsur-unsur budaya. Koentjaraningrat (2002) memecahnya ke dalam 7 unsur yaitu :
1) sistem religi dan upacara keagamaan,
2) sistem dan organisasi kemasyarakatan,
3) sistem pengetahuan,
4) bahasa,
5) kesenian,
6) sistem mata pencaharian,
7) sistem teknologi dan peralatan.
Koentjaraningrat (2002) menjelaskan bahwa ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara keseluruhan.
Definisi budaya lainnya adalah dari Herskovits, yang mendefinisikan budaya sebagai “hasil karya manusia sebagai bagian dari lingkungannya (culture is the human-made part of the environment). Artinya segala sesuatu yang merupakan hasil dari perbuatan manusia, baik hasil itu abstrak maupun nyata, asalkan merupakan proses untuk terlibat dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial, maka bisa disebut budaya. Namun, definisi tersebut masih dianggap sangat luas. Namun, defisni tersebut digunanakan oleh Harry C. Tiandis, salah seorang pakar psikologi lintas budaya yang paling termuka, sebagai dasar bagi penelitian-peneliatannya. Karena defisini tersebut memungkinnya untuk memilah adanya oobjective culture dan subjective culture. Budaya objektif adalag segala sesuatu yang memiliki bentu nyata, seperti alat pertanian, hasil kesenian, rumah, alat transportasi, alat komunikasi dan sebagainya. Sedangkan, budaya subjektif adalah sesuatu yang bersifat abstrak misalnya norma, moral, nilai-nilai, dan lainnya.
Dari segi ilmu psikologi, budaya juga memperoleh banyak definisi. Triandis memandang budaya memililki kerja yang persis sama seperti halnya memori bagi indvidu. Memori adalah bagian yang sangat vital dalam kehidupan seseorang individu. Tanpa memori seorang individu tidak pernah bisa belajar apapun juga. Tanpa memori maka hal itu berarti kematian bagi manusia, karena tidak ada satupun ketrampilan untuk kehidupan yang dapat dikuasai. Memorilah yang menentukan segala pikiran dan perilaku manusia. Demikian juga masyarakat bisa tumbuh dan berkembang karena adanya budaya. Tanpa budaya maka tidak akan terbentuk suatu kelompok masyarakat. Itu artinya tidak ada juga akan ada masyarakat seperti diri kita sekarang.
Shinobu Kitayama menganalogikan peran budaya bagi manusia seperti peran air bagi ikan. Tanpa air ikan mati, manusia pun akan menjadi bukan manusia jika tanpa budaya. Sebagaimana air menentukan kehidupan ikan, budaya menentukan seperti apa kehidupan yang dijalani manusia. Air yang berbeda akan membuat ikan berperilaku berbeda. Demikian juga dengan budaya yang berbeda akan membuat manusia berperilaku yang berbeda juga.
Analogi tentang budaya dari Hofstede sangat menarik. Ia meakai perumpamaan komputer untuk menjelaskan peran budaya bagi kehidupan manusia. Softwaere, kita tahu adalah program yang membuat sebuah komputer bekerja dan mempunyai nilai lebih. Tanpa softwaere, komputer hanya seonggok benda mati yang tidak berguna. Software lah yang menentukan kerja komputer. Jadi Hosftede ingin menegaskan betapa pentingnya budaya ketika ia menganalogikan budaya sebagai “software of the mind”. Budaya adalah penggerak manusia tanpanya, manusia sekedar makhluk tanpa makna.
D. Apakah Korupsi Sudah Membudaya di Indonesia
Maraknya kasus korupsi yang ada di Indonesia maka wajar saja jika muncul sebuah pertanyaan “Apakah Korupsi Sudah Membudaya di Indonesia? “. Pertanyaan tersebut timbul karena masyarakat merasa perbuatan korupsi sudah merajajela dan terjadi sampai di tingkat paling rendah yaitu dalam kehidupan sehari-hari.
Makalah ini membahas pertanyaan tersebut, apakah korupsi yang terjadi adalah hanya tingkah laku sebagian masyarakat saja atau sudah menjadi budaya bangsa Indonesia. Apakah korupsi yang terjadi di kehidupan sehari-hari memang sudah membudaya di masyarakat kita.
Korupsi sudah terjadi di berbagai lini di kehidupan bermasyarakat Indonesia, dimulai dari tingat RT sampai ke gedung DPR. Korupsi terjadi dari pembuatan KTP sampai dengan proses pembuatan Undang-undang. Dilihat dari fenomena ini maka tanpa kita sadari bahwa Korupsi sudah menjadi bentuk kebiasaan dan lama-lama akan membudaya.
Hal ini disebabkan adanya budaya-budaya lain yang berkembang di masyarakat yang mendukung tumbuhnya budaya korupsi dengan subur. Sehingga penulis berpendapat akan sangat sulit memberantas korupsi jika kita tidak merubah kebiasaan atau budaya kita. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa Untuk mencegah korupsi harus dengan merubah budaya. Hal ini berarti budaya korupsi yang ada di Indonesia telah berkembang dan tumbuh menjadi sebuah budaya tersendiri.
Seorang mantan anggota DPR pernah menyatakan bahwa pemberantasan korupsi selama ini hanya dilakukan melalui jalur hukum yang legal-formal. Dan itu tidak cukup. Korupsi telah menjadi virus yang menyebar dari tingkat atas hingga ke masyarakat bawah. Ini persoalan budaya. Sehingga selain melalui jalur hukum, penyadaran anti korupsi melalui ranah budaya juga harus dilakukan.
Ilustrasi 1
Jika Anda menjadi pejabat, termasuk menjadi anggota DPR, sepertinya sudah pasti Anda akan mengalami kesulitan untuk bersikap jujur. Konon, hanya sedikit saja anggota DPR yang masuk kategori jujur, karena lingkungan akan mempengaruhi bahkan memaksa Anda untuk bertindak tidak jujur. Dan jika Anda menjadi pejabat, ada saja pihak keluarga yang meminta Anda melakukan lebih dari yang sudah menjadi wewenang Anda, termasuk dalam soal tender dan penghasilan. Keluarga mendorong (alih-alih melarang) Anda untuk berlaku korup. Misalnya, “Masa menjadi anggota DPR tidak bisa mengontrol atau mengambil alih proyek di daerah. Daerah kan ada di bawah wewenang Anda.”
Ilustrasi 2
Masyarakat di tingkat bawah seringkali tergiur melihat kekayaan para pejabat. Mereka tidak perduli dari mana kekayaan itu didapat. Bahkan ketika Gayus ditangkap dan media mengumumkan berapa harta kekayaan Gayus, masyarakat sedikit saja yang perduli dengan hukuman yang akan diterima Gayus. Sebagian besar justru lebih concern dengan harta yang berhasil Gayus bawa lari.
Ilustrasi 3
Ketika ada seorang anggota masyarakat hendak berkendara dengan menggunakan motor, misalnya, namun tanpa dilengkapi dengan surat izin mengemudi atau helm, orang itu sudah bersiap sejak awal menyisipkan uang lembar 20 ribuan di dalam dompetnya. Tujuannya, jika nanti kena tilang, dia akan mencoba untuk damai dengan aparat yang menangkapnya di jalan. Ini perilaku yang umum terjadi di tangah masyarakat. memang tindakan ini bukan masuk konteks korupsi, melainkan kolusi. Namun unsur korupsi tetap ada pada tindakan itu melalui anasir suap, dan itu diniatkan. Hal ini mendarah daging menjadi sebuah kebudayaan. Sikap yang dianggap menjadi bagian dari kehidupan sebagai warga negara. Kewibawaan aparat jelas kabur pada konteks ini.
Nyatanya, sikap dan tingkah laku korup bukan hanya milik sebagian para pejabat, namun juga milik sebagian masyarakat. Katakanlah, korupsi telah menjadi budaya bangsa ini.
Faktor-faktor yang mendukung tumbuhnya budaya korupsi adalah :
1. Budaya Instan
Dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat memungkinkan kita melakukan segala sesuatunya dengan instan. Nilai positifnya kita dapat melakukan pekerjaan dengan lebih mudah dan cepat. Komunikasi menjadi lebih murah, cepat, dan mudah. Namun hal ini berdampak buruk jika masyarakat tidak dewasa dalam menanggapi hal ini. Timbulnya budaya yang serba instan dan melupakan proses. Banyak remaja yang ingin mendapatkan nilai bagus di kelas dengan cara instan yaitu dengan mencontek. Padahal remaja tersebut harusnya melalui proses belajar terlebih dahulu baru akan mendapatkan dampaknya yaitu nilai di kelas akan semakin bagus. Begitu juga dengan birokrat yang ingin segera kaya atau naik jabatan tanpa ingin melalui proses yang seharusnya. Alhasil, terjadi proses suap-menyuap untuk menduduki jabatan tersebut dan juga korupsi agar dapat kayak dengan waktu yang singkat. Contoh lain adalah proses pembuatan paspor atau KTP di mana masyrakat tidak mau mengikuti prosedur yang ada dan lebih memilih calo agar proses berjalan dengan lancar.
2. Budaya Permisif
Budaya yang serba permisif adalah salah satu faktor yang menyebabkan tumbuhnya budaya korupsi. Masyarakat yang serba tidak perduli dengan keadaan sekitar dan semakin melupakan nilai-nilai luhur bangsa. Perilaku masyarakat sekarang lebih memilih jalan aman untuk tidak perduli jika ada salah satu orang yang dikenal melakukan tindakan korupsi. Kita cenderung diam saja jika melihat rekan kerja kita melakukan tindakan korupsi dan merasa aman-aman saja selama kita tidak melakukannya. Hal inilah yang membuat budaya korupsi yang semakin merajalela.
3. Penghormatan kepada Jabatan dan Kekayaan
Dalam masyarakat terdapat pola pikir bahwa orang yang memiliki kekayaan yang lebih dari lingkungan sekitar dan seseorang yang memiliki jabatan di pemerintahan walau hanya sebagai aparat desa akan dipandang lebih terhormar dibandingkan dengan warga lainnya. Pola pikir yang seperti inilah yang membuat budaya korupsi semakin subur. Masyarakat akan berusaha bagaimana caranya untuk menambah kekayaan atau mendapatkan jabatan demi mendapatkan penghormatan dari anggota masyarakat lainnya. Sehingga tolak ukur di masyarakat adalah kekayaan dan jabatan. Maka masyarakat akan tetap hormat tanpa perduli bahwa semua itu adalah hasil dari perbuatan korupsi. Contohnya adalah Keluarga Soeharto yang masih dihormati oleh masyarakat walaupun Alm Soeharto mendapat tuntutan atas perbuatan korupsi.
4. Budaya Materialistis
Budaya materalistis adalah budaya di mana semua diukur terhadap apa yang bisa dilihat dan diukur. Ujungnya budaya ini adalah timbulnya masyarakat atheis dan pendewaan kepada uang dan kekayaan. Ketika uang dan kekayaan dijadikan sebagai tolak ukur maka hal-hal seperti budi pekerti yang luhur, perilaku dan karakter yang jujur tidak akan berarti. Karena masyarakat akan memandang dari segi kekayaan kita. Sehingga selebriti, konglomerat, dan birokrat mendapatkan posisi utama di masyarakat dibandingkan dengan pemuka agama atau guru. Hal inilah yang selalu kita hadapi di kehidupan sehari-hari seperati yang kita kenal dengan sebutan uang rokok,uang benzin,uang Cpek dan benyak lagi sebutan-sebutan yang kita kenal di tengah-tengah masyarakat kita yang mengarah kepada tindak korupsi
Saran
dari penulis adalah diperlukannya langkah komperehensif dalam memberantas
korupsi yang sudah membudaya yaitu langkah preventif/pencegahan, pre-emptif,
dan represif. Selama ini yang digembar-gemborkan oleh Pemerintah adalah langkah
represif yang seharusnya sebagai langkah terakhir dari pemberatansan korupsi.
Beberapa
langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah tindakan korupsi antara lain:
1.
Membentuk perilaku anti-korupsi melalui pendidikan;
2.
Penanaman nilai-nilai budaya luhur pada
masyarakat (kejujuran, budaya malu, disiplin,
kesederhanaan, daya juang);
3.
Teladan Dari Keluarga;
4.
Membangunkan kesadaran masyarakat bahwa
korupsi sangat berbahaya dan menjadikan korupsi sebagai musuh bersama
masyarakat;
5.
Carrot and stick untuk birokrasi
dan aparat penegak hukum;
6.
Transparansi perencanaan, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban program penganggaran;
7.
Penerapan pembuktian terbalik secara
murni dan memberi perlindungan hukum pada saksi pelapor;
8.
Hukuman yang sangat berat pada aparat penegak hukum yg
korupsi pada waktu menangani kasus korupsi;
9.
Presiden dan wakil presiden mempunyai
komitmen yang kuat dan konsisten dalam pembrantasan korupsi; dan
10. Mendukung penegakan hukum yang telah berhasil dilakukan oleh KPK.
11. Dan penerapan
pidana mati bagi tindak pidana korupsi sebagai mana yang telah di muat dalam
undang-undang pemberantasan korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar