12 april 2012
aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan,jalan pikiranku terhalang oleh angan-angan yang takkan mungkin tecapai karena keterbatasanku dalam menanggapi hidup
kepada siapa aku haru mengadu
berteriak sekuat-kuatnya dalam hati yang selaluku lakukan untuk meratapi keterbatasanku
ruang lingkup : - ushul fiqh - fiqh - hukum syariah islam - konvensional indonesia dan internasional
Kamis, 12 April 2012
Rabu, 07 Maret 2012
TEORY-TEORY HUKUM ADAT
Dalam kajian ilmu hukum pada
umumnya, ada yang disebut hukum positif dan hukum yang di cita-citakan. Hukum
positif adalah hukum yang sedang berlaku disuatu negara, sedangkan hukum yang
di cita-citakan yaitu hukum yang hidup dimasyarakat, tetapi belum menjadi hukum
positif secara legal-formal. Eksistensi hukum Islam di Indonesia yang menjadi
hukum positif hanya yang berkaitan dengan hukum privat, yaitu ubudiah dan
muamalah. Sedangkan yang berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini
masih menjadi hukum yang di cita-citakan.
Persoalan seputar penting tidaknya
syariat Islam dilegislasikan menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang
kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang.Tentunya berawal sejak zaman
penjajahan di tanah air dengan munculnya kolonialisme Barat (Belanda) yang membawa misi
tertentu, mulai dari misi dagang, politik, bahkan sampai misi kristenisasi.[1] Intervensi kolonial Belanda di akhir abad ke-16
ditandai dengan kedatangan organisasi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie)[2] tahun 1596 di Banten. Memang sejak tahun 1800,
para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda mengakui bahwa dikalangan
masyarakat Indonesia, Islam merupakan agama yang sangat di junjung tinggi
pemeluknya. Penyelesaian masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk kepada
ajaran Islam, baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakan lainnya.
Atas fenomena ini, maka para pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa di tengah-tengah
komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun
diberlakukan hukum undang-undang agama Islam. Hal yang sama juga ketika VOC
bubar dan berubah menjadi pemerintah jajahan, kedudukan hukum Islam masih belum
dapat diganggu gugat oleh kolonial.
Berdasarkan gejala sosial seperti itu, L.W.C Van
Den Berg (1845-1927), seorang sarjana Belanda berkesimpulan bahwa pada
awal-awal masa penjajahan Belanda, bagi orang-orang Indonesia yang beragama
Islam berlaku teori Receptio in Complexu
yang berarti orang-orang Muslim Indonesia menerima dan memberlakukan syari’at
Islam secara keseluruhan. Dan dia juga telah memeluk agama Islam.
Namun, ketakutan bangsa Belanda akan berlakunya
hukum Islam, membuat mereka mengeluarkan teori selanjutnya yaitu teori Receptie yang di pelopori oleh Snouck
Hurgronje. Melalui usaha terus-menerus dan sistematis, mereka berhasil
mengganti teori Receptio in Complexu
menjadi teori Receptie. Ia juga
berhasil mengganti pasal 78 RR ayat 2 menjadi pasal 134 ayat 2 IS yang
berbunyi: “dalam hal terjadi perkara
perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam
apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka sejauh belum di
tentukan lain oleh ordonansi.”[3]
Karena pandangan dan saran penganut teori Receptie
ini pula pada tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk
meninjau ulang wewenang Pengadilan Agama atau mereka sebut Priesterraad di Jawa
dan Madura yang semenjak tahun 1882 wewenang Priesterraad ini meliputi
perkawinan, kewarisan dan wakaf.
Guna meredam reaksi masyarakat, pemerintah Belanda
melaksanakan politik keagamaan dengan mendirikan sebuah Pengadilan Agama Tinggi
(Hof Voor Islamietische Zaken) atau
Mahkamah Islam Tinggi pada tanggal 1 Januari 1938 dan di buka secara resmi
sejak 7 Maret 1938 di Gedung Cikini No. 8 Jakarta. Namun, kebijakan ini
disambut dingin oleh masyarakat Muslim karena keputusan mengalihkan
wewenang menangani hukum waris tersebut
ke Pengadilan Negeri, sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Bahkan
perasaan tidak puas terus meluas dan protes keras semakin mengental dari umat
Islam.[4]
Melihat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
Snouck Hurgronje sangat merisaukan umat Islam di Indonesia, maka di
keluarkanlah beberapa teori baru dalam rangka membantah teori Receptie. Diantaranya adalah teori Recceptie Exit dan Receptie A Contrario.
Teori Receptie Exit dipelopori oleh
Hazairin sedangkan Receptie A Contrario
dipelopori oleh H. Sayuti Thalib. Namun pada hakikatnya, kedua teori ini
memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin membantah teori Receptie. Teori Receptie A
Contrario merupakan pengembangan dari teori Receptie Exit yang di kemukakan oleh Hazairin.
Teori Receptie
Exit atau Receptie A Contrario adalah teori yang mengatakan bahwa hukum
adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Teori ini adalah
kebalikan dari dari teori Receptie.
Bagi orang Islam, berlaku hukum Islam dan ini masih sesuai dengan cita-cita
hukum dan cita-cita bagi pemeluknya.
Pada tahun 1950 di Salatiga, Hazairin mengeluarkan
teori Receptie Exit. Dalam Rapat
Kerja Departemen Kehakiman tahun 1950 beliau mengemukakan suatu analisis dan
pandangan agar hukum Islam itu di berlakukan kembali di Indonesia sebagaimana
teori Receptio In Complexu, tidak
berdasarkan pada hukum adat sebagaimana yang diatur berdasarkan teori Receptie.
Pada tahun 1963 dengan dikeluarkannya buku Hazairin
tentang Hukum Kekeluargaan Nasional, pandangan Hazairin terhadap teori Snouck
Hurgronje itu dipertegas dan dipertajam dengan menyebut bahwa teori Receptie adalah teori iblis. Ungkapan
Hazairin ditujukan pula pada tidak sahnya lagi Pasal 134 ayat 2 IS itu.
a. Teori
eksistensi
Teori eksistensi ini dikemukakan
oleh H. Ichtijanto S.A,yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya
dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam
didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam
sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut;
a. Merupakan
bagian integral dari hukum nasional Indonesia,
b. Keberadaan,
kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi
status sebagai hukum nasional,
c. Norma-norma
hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional
Indonesia, dan
Kemudian sobat cari kode
d. Sebagai
bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan
perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang berjalan
di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenan dengan
puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari raya
besar Islam, selalu ditatai oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat
adanya hubungan yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional,
maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis dan semestinya
diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.
Eksistensi hukum Islam dalam tata
hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum
tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam
hukum nasional.
Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa hukum Islam ada
di dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum
Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara
tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti
undang-undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan
syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu
ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui acara ritual
kenegaraan dan kegamaan, seperti isra miraj, nuzunul qur’an, maulid Nabi
Muhammad.
b. Teori
receptio a contrario
Teori ini dikembangkan oleh H.
Sayuti Thalib, yang mengungkapkan perkembangan hukum Islam dari segi politik
hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia.
Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang
kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul
berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang
berlaku saat ini, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut; (1) bagi
orang Islam berlaku hukum Islam, (2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan
cita-cita hukum, cita-cita batin, dan moralnya, (3) hukum adat berlaku bagi
orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.Teori
ini disebut teori reception a contrario karena memuat tentang kebalikan
dari teori receptive.
Sayuti Thalib berpendirian bahwa di
Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada pancasila dan UUD 1945, semestinya
orang yang beragama menaati hukum agamnya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa.” Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, atuaran-aturan itu
dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan dengan
norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan dengan
hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma adat yang
bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat
diberlakukan.
Kalau teori receptie melihat
kedudukan hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka
teori receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi
sebaliknya, dan hukum adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
2. Pengaruh yang di timbulkan oleh teori receptie a contrario
Pada mulanya, para ahli hukum tidak begitu tertarik
terhadap teori ini, tetapi karena konsep teori ini sesuai dengan cita-cita
hukum yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia, berkat usaha dari para ahli hukum
dalam merealisasikan teori ini, maka pada akhirnya teori ini berpengaruh juga
dalam perkembangan hukum di Indonesia. Dengan lahirnya teori ini, memberikan
pengaruh dan andil yang cukup besar terhadap lahirnya Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia yang
dilaksanakan oleh empat lingkungan Peradilan dan Pengadilan Agama termasuk
didalamnya. Dalam Undang-undang tersebut diakui kembali eksistensi Peradilan
Agama nyaris terhapusberdasarkan UU No. 19 Tahun 1948. Lahirnya UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan mempertegas lagi kedudukan Pengadilan Agama sebagai
Lembaga Peradilan Negara, dimana disebutkan bahwa perselisihan sebagai akibat
dari perkawinan bagi orang-orang Islam harus diselesaikan di Pengadilan Agama
dan bagi non-Islam harus diselesaikan di Pengadilan Negeri. Dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dipertegas lagi eksistensi Pengadilan Agama sebagai
lembaga kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 1 huruf b dikemukakan Pengadilan Agama adalah pengadilan bagi
mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainnya.
Sebagai contoh dari pengaruh yang telah ditimbulkan
oleh teori Receptie A Contrario, di
Aceh misalnya, masyarakatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan
soal-soal mengenai harta mereka termasuk kewarisan diatur menurut hukum Islam.
Ada ketentuan-ketentuan adat dalam upacara perkawinan, hal itu boleh-boleh saja
dilakukan dan dipakai, tetapi dengan suatu ukuran. Ukuran itu berupa, apakah
adat itu bertentangan dengan hukum Islam, maka tidak boleh dijalankan kebiasaan
upacara adat itu. Diperbaiki dan diubah sehingga tidak menyalahi ketentuan
agama. Dengan demikian kita melihat, bahwa hukum adatlah sekarang yang diukur
dengan hukum Islam. Hukum adat atau upacara adat baru berlaku kalau tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Demikian juga di Sumatra Barat, Minangkabau. Daerah
ini dikenal dengan daerah yang kuat kedudukan adatnya. Penghulu mengetuai
sesuatu kelompok dalam masyarakat yang berkaum-kaum atau bersuku-suku itu.
Kedudukan adat sangat kuat. Terutama di daerah pedalamannya. Memang ada juga
terdapat di beberapa tempat di kota-kotanya. Melanggar adat masih merupakan
suatu celaan besar dalam masyarakat Minang Kabau itu. Bahkan mempunyai akibat
yang jauh dalam bentuk pengutukan masyarakatnya bagi mereka yang melanggar adat
itu.
Tetapi, sungguhpun demikian, malahan disanalah
terdapat ketentuan yang tegas-tegas bahwa adat itu baru dapat berlaku kalau
bersandar kepada agama. Berbagai pepatah petitih yang menjelaskan hal itu.
Pepatah petitih itu dalam masyarakat Minangkabau merupakan perumusan
undang-undang dan hukum.
Salah satu pepatah petitih itu berbunyi : “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi
kitabullah“[5]
3. Langkah-langkah dalam merealisasikan teori ini
Ada beberapa langkah yang dilakukan para ahli hukum
dalam rangka merealisasikan teori Receptie
A Contrario ini, di antaranya adalah :
1. Menyebarkan
agama Islam seluas-luasnya keseluruh pelosok daerah, seperti yang pernah
dilakukan oleh raja-raja di Jawa yang sempat dihentikan oleh para kolonial
Belanda.[6]
2. Memberlakukan
kembali hukum Islam dan menempatkannya sesuai dengan posisi yang sebenarnya.[7]
3. Membantah
keras dan menghapus berlakunya Pasal 134 ayat 2 IS.
4. Memberlakukan
kembali wewenang Pengadilan Agama yang nyaris terhapus berdasarkan UU No. 19
Tahun 1948.
5. Memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk menjalankan ajaran agama sesuai kepercayaan
mereka masing-masing.[8]
4.Faktor Pendukung dan Kendala Penerapan Hukum Islam
1. Faktor-faktor Pendukung Usaha
Penerapan Syariat Islam
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan
dalam usaha menuju penerapan syariat Islam;
- Jumlah
umat Islam cukup signifikan.
- Maraknya
gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat
Islam.
- Gagalnya
beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah memunculkan
rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan
alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam.
- Keberhasilan
usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partai-partai politik Islam di
beberapa negeri muslim.
- Sejarah
umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat
Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan
kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan
mereka.
2. Kendala-Kendala dalam Usaha
Penerapan Syariat Islam
Secara umum hambatan-hambatan yang ada adalah sebagai
berikut;
- Hambatan
eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antipati
terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan
ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit
melawan Islam. Mereka senantiasa menyebarluaskan imej yang negative
tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam
dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai simbol bagi pengungkungan kaum
wanita dan kekerasan).
- Hambatan
dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa
mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan
mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang
dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy.
- Hambatan
dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena belum memahami syariat
Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang
dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl.
- Disamping
itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan
masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang
sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki
strategi yang berbeda-beda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin
signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu
sama lain.
5.
Hasil Dari Keberadaan Teori Receptie A
Contrario
Timbulnya
beberapa teori hukum seperti teori Receptie
Exit dan Receptie A contrario sebagai reaksi terhadap teori Receptie telah melahirkan beberapa
aturan hukum, diantaranya adalah :
1. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
3. Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Hak Milik
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama[9]
Pandangan para ahli dalam
penerapan hukum islam di tanah air
Persoalan seputar penting tidaknya
syariat Islam dilegislasikan menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang
kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran kearah itu banyak
disampaikan oleh berbagai kalangan, walaupun dapat dipastikan bahwa pendapat
para ahli tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis,
kultural, ideologis, dan religiositas.
Azyumardi Azra mengungkapkan bahwa, yang harus diperhatikan
adalah kondisi umat Islam Indonesia yang bukan merupakan realitas monolitik,
tapi adalah realitas yang beragam, banyak golongannya, pemahaman keislamannya,
keterikatannya, dan pengetahuannya yang berbeda-beda. Realitas sosilogis ini
dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan viabilitas. Artinya hukum Islam
tersebut tidak bisa bertahan, bahkan mungkin juga bisa menjadi kontraproduktif
ketika lapisan masyarakat muslim yang pemahamannya terhadap Islam berbeda tadi
kemudian tidak sebagaimana yang diharapkan.
Selain itu, menurut Azyumardi Azra,
perbedaan mazhab fikih juga perlu diperhitungkan, karena harus kita akui bahwa
di dalam soal fikih, khususnya mengenai hudud, terdapat perbedaan yang dari
dulu sampai sekarang belum teratasi. Jadi, ada masalah secara internal di dalam
fikih itu sendiri. Misalnya soal hudud, atau lebih spesifik lagi soal hukum
rajam. Ada kalangan ulama misalnya Mahmud Syaltut berpendapat, hukum rajam
adalah hukuman maksimal. Padahal kalau hukum rajam itu menjadi hukum yang
maksimal, maka salah satu filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat
hukum adalah menghindari semaksimal mungkin hukum yang maksimal. Karena kalau
hukuman maksimal dijatuhkan maka fungsi aspek edukatif dari hukum itu menjadi
hilang. Itu satu contoh yang perlu dipertimbangkan.
Juhaya S. Praja – pendapatnya dalam
merespon wacana dijadikannya hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam
kerangka sistem hukum nasional – mengatakan bahwa, walaupun dalam praktek tidak
lagi berperan secara menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi
kehidupan pemeluknya. Setidaknya, ada tiga faktor yang menurut Juhaya Praja
menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam kehidupan bangsa. Pertama,
hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan
umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk,
apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua,
banyak keputusan hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap
menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang
masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam sehingga peranan hukum
Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai
pengaruh cukup besar.
Habib Riziq Shihab, menurutnya penerapan hukum Islam harus
formalistik-legalistik melalui institusi Negara. Ia mengatakan bahwa syariat
Islam secara formal harus diperjuangkan dan harus diamalkan secara substansial.
Tidak ada gunanya memperjuangkan formalitas sedangkan substansialnya
ditinggalkan. Sebaliknya ia tidak setuju bila mengatakan yang penting substantinya,
formalitasnya tidak perlu. Justru dengan formalisasi, maka substansi bisa
diamalkan. Ia juga mengungkapkan pendapat Imam al-Ghazali yang berbicara
tentang tata Negara Islam, bahwa “agama adalah fondasi, pemerintahan sebagai
penjaganya. Apa-apa yang tidak ada fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang
tidak dijaga pasti akan hilang.” Karenanya menurut Habib Riziq tidak boleh
memisahkan agama dengan kekuasaan.
[1] Abdul Halim, Peradilan Agama
dalam Politik Hukum Islam, hal. 46
[2] Pada mulanya Belanda datang ke Indonesia dalam rangka berdagang yaitu
mendapatkan rempah-rempah di bumi
Nusantara yang subur ini.
[3] Drs. Ahmad Rofiq, MA, Hukum
Islam di Indonesia, hal. 18
[4] Abdul Halim, Peradilan Agama
dalam Politik Hukum Islam, hal. 63
[5] Sajuti Thalib, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam,
hal. 60-61
[6] Abdul Halim, Peradilan Agama
dalam Politik Hukum di Indonesia, hal. 59
[7] Imam Syaukani, Rekonstruksi
Epistologi Hukum Islam Indonesia, hal. 83
[8] Drs. Ahmad Rofiq, MA, Hukum
Islam di Indonesia, hal. 21
[9] Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M. Hum, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 311
TRANPLANTASI ORGAN TUBUH DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Ada yang
mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang
mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah
apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu
memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat
mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan
mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan titipan
dari Allah yang tidak boleh ia pergunakan
kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh
memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri pada
waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan
membunuhnya (bunuh diri), maka dia
juga tidak boleh mempergunakan sebagian
tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.
Namun demikian, yusuf qardhawi mengatakan
bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah,
tetapi manusia diberi wewenang untuk
memanfaatkan dan mempergunakannya,
sebagaimana harta. Harta pada
hakikatnya milik Allah sebagaimana diisyaratkan
oleh Al-Qur'an, misalnya dalam firman Allah:
وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ
"... dan berikanlah kepada mereka sebagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ..." (an-Nur: 33)
Akan tetapi, Allah memberi wewenang
kepada manusia untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu.Sebagaimana
manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk
kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka
diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang
lain yang memerlukannya. Hanya perbedaannya adalah bahwa
manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan
seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya.
Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk
menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan
yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara. Apabila seorang
muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan
orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api untuk
memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim
mempertaruhkan sebagian wujud
materiilnya (organ tubuhnya) untuk
kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?
Pada zaman sekarang kita melihat adanya
donor darah, yang merupakan bagian dari
tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum
muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya,
bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta menjadi
donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara
diam-diam) ini --menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah
ini-- menunjukkan bahwa donor darah dapat diterima syara'.
Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa
mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan
untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa,
menolong orang yang terluka, memberi makan
orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang
yang sakit, dan menyelamatkan orang yang
menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya
Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu
dharar (bencana, bahaya) yang menimpa
seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak
berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya,
atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Si A berusaha menghilangkan
penderitaan seorang muslim yang menderita
gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah
satu ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan
syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya.
Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di bumi,
sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di
langit. Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam
menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan
sebagian organ tubuh termasuk kebaikan (sedekah).
Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah
yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh
(anggota tubuh) itu lebih utama daripada
harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta
kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya.
Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh
karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling
utama dan sedekah yang paling mulia
Kalau kita katakan orang hidup
boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka
apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu?
Jawabannya, bahwa
kebolehannya itu bersifat muqayyad
(bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ
tubuhnya yang justru akan
menimbulkan dharar, kemelaratan, dan
kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang
punya hak tetap atas dirinya. Oleh sebab itu, tidak diperkenankan
seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam
tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak
mungkin dapat hidup tanpa adanya
organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan
dharar dari orang lain dengan menimbulkan
dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi:
"Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan,
nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi:
"Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan
menimbulkan dharar pula."[2] Para
ulama ushul menafsirkan kaidah
tersebut dengan pengertian: tidak boleh
menghilangkan dharar dengan menimbulkan
dharar yang sama atau yang
lebih besar daripadanya. karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh
bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki.
Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain
dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri
yang lebih besar, sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu
bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam
yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan itu tidak
berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.
Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salahseorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor),seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang(mengutangkan sesuatu kepadanya).
Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salahseorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor),seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang(mengutangkan sesuatu kepadanya).
Pada suatu hari pernah ada seorang wanita
bertanya kepada yusuf qardawi bahwa dia ingin mendonorkan salah satu
ginjalnya kepada saudara
perempuannya, tetapi
suaminya tidak memperbolehkannya, apakah memang
ini termasuk hak suaminya? Maka dia menjawab bahwa suami punya hak atas istrinya.
Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu ginjalnya, sudah
barang tentu ia harus dioperasi dan masuk
rumah sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua
itu dapat menghalangi sebagian hak suami
terhadap istri, belum lagi ditambah dengan beban-beban
lainnya. Oleh karena itu, seharusnya hal itu dilakukan dengan izin dan
kerelaan suami.
Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya
boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian,
tidak diperbolehkan anak kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia
tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian
pula halnya orang gila.
Begitu
juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan
orang gila yang dibawah perwaliannya, disebabkan
keduanya tidak mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak
boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia mendermakan
sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia
daripada harta, semisal organ tubuh.
Disamping itu Prof Drs.
Masyfuk Zuhdi, berpendapat pencangkokan organ tubuh dilarang (haram)
berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
- Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Artinya:”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan”
Dalam kasus ini, orang yang menyumbangkan
sebuah mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai
ginjal… ia (mungkin) akan menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak
normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu
2.
Kaidah hukum Islam:
Artinya:”Menolak
kerusakan harus didahulukan atas meraih kemaslahatan”
Dalam kasus ini, pendonor mengorbankan dirinya
dengan cara melepas organ tubuhnya untuk diberikan kepada dan demi kemaslahatan
orang lain, yakni resipien.
3.
Kaidah Hukum Islam:
Artinya” Bahaya
tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya.”
Dalam kasus ini bahaya yang mengancam seorang
resipien tidak boleh diatasi dengan cara membuat bahaya dari orang lain, yakni
pendonor.[3]
Hal ini dikarenakan Prof Drs Masyfuk Zuhdi
tidak mengiaskannya dengan harta. Yang mana dalam hal ini bias diqiaskan
baerdasarkan ilat hokum “hak milik individual” serta beliau tidak memakai
kaidah “”kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang
lebih ringan”atau singkatnya mengambil kemudharatan yang lebih ringan [4]
B.
MENDONORKAN KEPADA ORANG
NON-MUSLIM
Mendonorkan organ tubuh itu seperti
menyedekahkan harta. Hal ini boleh dilakukan terhadap
orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang
kafir harbi yang memerangi kaum muslim. Demikian
pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada
orang murtad yang keluar dari
Islam secara terang-terangan. Karena
menurut pandangan Islam, orang murtad berarti telah
mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak dihukum bunuh.
Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup?
Apabila ada dua orang yang membutuhkan
bantuan donor, yang satu muslim dan satunya
lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain
..." (atTaubah: 71)
Bahkan seorang muslim yang
saleh dan komitmen terhadap agamanya lebih utama untuk diberi
donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada
Allah. Karena dengan hidup dan sehatnya muslim yang saleh itu
berarti si pemberi donor telah membantunya melakukan ketaatan
kepada Allah dan memberikan manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Hal
ini berbeda dengan ahli maksiat
yang mempergunakan nikmat-nikmat Allah hanya
untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain. Apabila
si muslim itu kerabat atau tetangga si donor, maka dia
lebih utama daripada yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat
dan kerabat punya hak yang lebih kuat lagi, sebagaimana
firman Allah:
وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ
اللَّهِ
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) di dalam kitab Allah ..." (al-Anfal:
75)
Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan
organ tubuhnya kepada orang tertentu,
sebagaimana ia juga boleh mendermakannya
kepada suatu yayasan seperti bank yang khusus menangani masalah
ini (seperti bank mata dan sebagiannya), yang merawat dan
memelihara organ tersebut dengan caranya sendiri,
sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan.
C.
TIDAK DIPERBOLEHKAN
MENJUAL ORGAN TUBUH
Karena jual beli itu
--sebagaimana dita'rifkan fuqaha-- adalah
tukar-menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh manusia
itu bukan harta yang dapat dipertukarkan
dan ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek
perdagangan dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi
di beberapa daerah miskin, di sana terdapat pasar yang mirip
dengan pasar budak. Di situ diperjualbelikan organ
tubuh orang-orang miskin dan orang-orang lemah --untuk
konsumsi orang-orang kaya-- yang tidak lepas
dari campur tangan "mafia baru" yang
bersaing dengan mafia dalam masalah minum-minuman
keras, ganja, morfin, dan sebagainya. Tetapi, apabila orang
yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor
--tanpa persyaratan dan tidak ditentukan
sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan
pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan
terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang
yang berutang ketika mengembalikan pinjaman
dengan memberikan
tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya.
Hal ini diperkenankan syara' dan terpuji, bahkan Rasulullah saw.
pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang)
dengan sesuatu yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya
bersabda:
"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara
kamu ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR Ahmad, Bukhari,
Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
D.
MEWASIATKAN ORGAN TUBUH
Apabila seorang muslim
diperbolehkan mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang
bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya
sendiri, maka bolehkah dia berwasiat untuk mendonorkan
sebagian organ tubuhnya itu setelah dia meninggal dunia nanti? Menurut
pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ
tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan
mendatangkan kemelaratan --meskipun kemungkinan
itu kecil-- maka tidaklah terlarang
dia mewasiatkannya setelah meninggal dunia nanti. Sebab
yang demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain
tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan) sedikit
pun kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang yang meninggal
akan lepas berantakan dan dimakan tanah
beberapa hari setelah dikubur. Apabila ia berwasiat untuk
mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri dan mencari
keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan
amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara' yang
mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah,
kecuali jika ada dalil yang sahih dan
sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak dijumpai.
Umar r.a. pernah berkata kepada
sebagian sahabat mengenai beberapa masalah, "Itu
adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu dan tidak
memberikan mudarat kepada dirimu, mengapa engkau hendak
melarangnya?" Demikianlah kiranya yang dapat dikatakan
kepada orang yang melarang
masalah mewasiatkan organ tubuh ini.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini
menghilangkan kehormatan mayit yang sangat dipelihara
oleh syariat Islam, yang Rasulullah saw. sendiri pernah
bersabda:
"Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."
Halini bahwa mengambil sebagian organ dari tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang dimaksud dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan) itu dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya. Sementara itu, hadits tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliah dalam peperangan-peperangan --bahkan sebagian dari mereka masih terus melakukannya hingga sekarang. Itulah yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam. Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan ulama salaf tidak pernah melakukannya, sedangkan kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka. Memang benar, andaikata mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi banyak sekali perkara yang kita lakukan sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf karena memang belum ada pada zaman mereka. Sedangkan fatwa itu sendiri dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana ditetapkan oleh para muhaqqiq. Meskipun demikian, dalam hal ini terdapat ketentuan yang harus dipenuhi yaitu tidak boleh mendermakan atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh, sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang kewajiban memandikannya, mengafaninya, menshalatinya, menguburnya di pekuburan kaum muslim, dan sebagainya
"Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."
Halini bahwa mengambil sebagian organ dari tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang dimaksud dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan) itu dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya. Sementara itu, hadits tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliah dalam peperangan-peperangan --bahkan sebagian dari mereka masih terus melakukannya hingga sekarang. Itulah yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam. Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan ulama salaf tidak pernah melakukannya, sedangkan kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka. Memang benar, andaikata mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi banyak sekali perkara yang kita lakukan sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf karena memang belum ada pada zaman mereka. Sedangkan fatwa itu sendiri dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana ditetapkan oleh para muhaqqiq. Meskipun demikian, dalam hal ini terdapat ketentuan yang harus dipenuhi yaitu tidak boleh mendermakan atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh, sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang kewajiban memandikannya, mengafaninya, menshalatinya, menguburnya di pekuburan kaum muslim, dan sebagainya
Mendonorkan sebagian
organ tubuh sama sekali tidak
menghilangkan semua itu secara meyakinkan.
E.
MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN
TUBUH MAYIT
Ada yang mengatakan
bahwa tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali
atau ahli warisnya tidak diperbolehkan mempergunakan atau
mendonorkannya.
Namun begitu, sebenarnya seseorang
apabila telah meninggal dunia maka dia tidak
dianggap layak memiliki sesuatu. Sebagaimana
kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada ahli warisnya, maka mungkin
dapat dikatakan bahwa tubuh si mayit menjadi hak
wali atau ahli warisnya. Sebagaimana ALLAH telah memberikan hak
kepada wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh
ketika terjadi pembunuhan dengan
sengaja, sebagaimana difirmankan oleh Allah:
وَمَنْ
قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلا يُسْرِفْ فِي
الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
"... Dan barangsiapa dibunuh secara
zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia
adalah orang yang mendapat pertolongan." (al-Isra':
33)
Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak
melakukan hukum qishash jika mereka menghendaki, atau
melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau
banyak. Atau memaafkannya secara mutlak karena Allah,
pemaafan yang bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti yang
disinyalir oleh Allah dalam firmanNya:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang dlberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula) ..." (al-Baqarah:
178)
Maka tidak menutup kemungkinan bahwa
mereka mempunyai hak mempergunakan sebagian organ tubuhnya,
yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi
mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya,
sesuai kadar manfaat yang diperoleh orang
sakit yang membutuhkannya meskipun si mayit tidak berniat,
sebagaimana halnya seseorang mendapat pahala karena tanamannya
dimakan oleh orang lain, burung, atau binatang lain, atau
karena ditimpa musibah, kesedihan, atau terkena gangguan,
hingga terkena duri sekalipun ... Seperti juga halnya
ia memperoleh manfaat --setelah meninggal dunia--
dari doa anaknya khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta
dengan sedekah mereka untuknya. Dan telah saya
sebutkan bahwa sedekah dengan sebagian anggota
tubuh itu lebih besar pahalanya daripada sedekah dengan
harta.
Oleh karena itu, yusuf qardhawi berpendapat
tidak terlarang bagi ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit
yang dibutuhkan oleh orang-orang sakit untuk
mengobati mereka, seperti ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan
niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan
pahalanya selama si sakit masih memanfaatkan organ yang
didonorkan itu.
Hanya saja, para ahli waris tidak
boleh mendonorkan organ tubuh si mayit jika si mayit sewaktu
hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak didonorkan, karena yang
demikian itu merupakan haknya, dan wasiat
atau pesannya itu wajib dilaksanakan selama bukan berisi
maksiat.
F.
MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH
ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM
Adapun mencangkokkan organ
tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim
tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi
sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan
alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan
akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh
dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari
wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan
misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan
orang muslim yang mengambil senjata orang kafir
dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah. Bahkan kami katakan bahwa
organ-organ di dalam tubuh orang kafir itu adalah muslim
(tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih dan
bersujud kepada Allah SWT, sesuai dengan
pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu yang
ada di langit dan di bumi itu
bersujud menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka
bertasbih.
Kalau begitu, maka yang benar adalah
bahwa kekafiran atau keislaman seseorang
tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya termasuk
terhadap hatinya (organnya) sendiri, yang oleh Al-Qur'an
ada yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup.
Padahal yang dimaksud disini bukanlah organ yang dapat
diraba (ditangkap dengan indra) yang termasuk bidang
garap dokter spesialis dan ahli anatomi,
sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir,
serta antara yang taat dan yang bermaksiat.
Tetapi yang dimaksud dengannya adalah makna ruhiyahnya
yang dengannyalah manusia merasa, berpikir, dan memahami sesuatu,
sebagaimana firman Allah:
فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا
"... lalu mereka mempunysi hati yang
dengan itu mereka dapat memahami ..." (al-Hajj:
46)
لَهُمْ
قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا
"... mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) ..." (al-A'raf: 179)
Dan firman Allah:
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ"... sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis
..." (at-Taubah: 28)
Kata najis dalam ayat tersebut
bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang berhubungan dengan
badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran).
Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi
orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.
G.
PENCANGKOKAN ORGAN
BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM[5]
Adapun pencangkokan organ
binatang yang dihukumi najis seperti babi misalnya, ke
dalam tubuh orang muslim, maka pada
dasarnya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi
darurat. Sedangkan darurat itu
bermacam-macam kondisi dan hukumnya dengan harus
mematuhi kaidah bahwa "segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat
itu harus diukur menurut kadar
kedaruratannya," dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan
dokter-dokter muslim yang tepercaya.
Mungkin juga ada yang
mengatakan disini bahwa yang diharamkan
dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan
Al-Qur'an dalam empat
ayat, sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam
tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya.
Selain itu, Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai
--yaitu kulitnya-- padahal
bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan
pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an. Maka apabila syara' memperkenankan
memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan,
maka arah pembicaraan ini ialah
diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.
Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah
saw. pernah melewati bangkai seekor kambing, lalu para sahabat
berkata, "Sesungguhnya itu bangkai kambing
milik bekas budak Maimunah." Lalu beliau bersabda:
"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu
kamu samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka menjawab,
"Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau bersabda,
"Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya."
Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu
najis, maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam
tubuh orang muslim?
Dalam hal ini yang dilarang syara' ialah
mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun yang didalam
tubuh maka tidak terdapat
dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam
tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda-benda najis, seperti
darah, kencing, tinja, dan semua kotoran;
dan manusia tetap melakukan shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf
di Baitul Haram, meskipun benda-benda najis itu
ada di dalam perutnya dan tidak membatalkannya sedikit
pun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada
didalam tubuh.
Majma’ al Fiqhi al Islami pada Muktamar IV di
Jedah, Saudi Arabia yang diselenggarakan dari tanggal 18 – 23 Safar 1408 H atau
6 – 11 Pebruari 1988 M, memutuskan berdasarkan tinjauan syariat tentang
pencangkokan organ tubuh sebagai berikut :
1.
Diperbolehkan memindahkan organ tubuh dari satu
tempat di bagian tubuh ke tempat yang lainnya pada tubuh yang sama dengan tetap
memperhatikan bahwa adanya manfaat yang riil dari operasi tersebut lebih besar
daripada kemudharatan yang akan terjadi. Dengan syarat bahwa pemindahan ini
adalah untuk mengadakan bagian tubuh yang hilang, mengembalikan bentuk,
mengembalikan fungsinya selama ini, memperbaiki yang cacat, atau menghilangkan
keburukan yang menyebabkan penyakit baik jiwa maupun anggota tubuh.
2.
Diperbolehkan memindahkan organ tubuh dari
tubuh seorang yang masih hidup ke tubuh orang lain apabila organ tersebut mampu
dengan segera memperbaharuinya, seperti darah dan kulit. Dalam hal ini yang
harus diperhatikan adalah bahwa si pendonor disyaratkan orang yang mempunyai
kecakapan bertindak yang sempurna dan juga memenuhi persyaratan-persyaratan
yang ditetapkan syariat.
3.
Diperbolehkan memanfaatkan bagian dari anggota
tubuh yang dibedah dari tubuh dikarenakan suatu penyakit untuk orang lain,
seperti mengambil kornea mata untuk seseorang saat pembedahan mata disebabkan
suatu penyakit.
4.
Diharamkan memindahkan suatu organ tubuh yang
menjadi tempat bergantungnya kehidupan, seperti pencangkokan jantung dari
seseorang kepada orang lain.
5.
Diharamkan memindahkan suatu organ dari
seseorang yang masih hidup yang menghambat hilangnya fungsi asasi dalam
kehidupannya walaupun keselamatan hidup tidak bergantung kepadanya, seperti
pencangkokan kedua kornea matanya. Adapun apabila pencangkokan itu menghambat
sebagian dari fungsi asasinya maka hal ini memerlukan riset dan telaah.
6.
Diperbolehkan pemindahan suatu organ tubuh dari
orang yang sudah meninggal kepada orang yang masih hidup yang mana organ itu
menentukan kehidupannya atau kesembuhan dari fungsi asasinya. Disyaratkan agar
meminta izin terlebih dahulu kepada si mayit sebelum meninggalnya atau ahli
warisnya setelah meninggalnya. Atau disyaratkan juga persetujuan dari pemimpin
kaum muslimin apabila orang yang meninggal itu tidak dikenal atau tidak
memiliki ahli waris.
7.
Seyogyanya memperhatikan bahwa kesepakatan
diperbolehkannya pencangkokan organ-organ tubuh yang telah dijelaskan tersebut
dengan persyaratan bahwa itu semua tidak melalui sarana jual beli organ karena
tidak diperbolehkan merendahkan organ-organ tubuh dengan jual beli dalam
kondisi apa pun. Adapun pemberian harta dari orang yang memanfaatkannya untuk
mendapatkan organ yang diinginkan itu karena darurat atau imbalan dan
penghargaan maka disini adalah tempat ijtihad dan telaah.[6]
Seorang pendonor juga perlu memperhatikan siapa
orang yang akan diberikan organ tubuhnya itu. Karena donor anggota tubuh ini
bagaikan sedekah maka pemberiannya kepada seorang muslim lebih diutamakan dari
pada non muslim, orang muslim yang sholeh lebih diutama dari pada orang muslim
awam atau suami maupun istrinya lebih diutamakan dari pada orang lain, sehingga
organ tubuh itu bisa lebih bermanfaat dan bernilai disisi Allah swt.
[1]
Dr.yusuf al-qardhawi hadyul islam fatawi mu’shira,terjemahan
drs.as’ad yasin gema insani press,2002 jilid 2 hlm 755
[2]
Prof.abdul wahhab khallaf ilmu ushul fiqih terjemahan,toha putra
group,1994 hlm 324
[3] www.tranplantasi organ tubuh-artikel.com
[4]
Prof.H.A.djazuli,kaidah-kaidah fiqih: kaidah-kaidah islam dalam menyelesaikan
masalah yang praktis,Jakarta,kencana,2010 hlm 75
[5] Fatwa-fatwa
Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Langganan:
Postingan (Atom)