Pandangan Fiqih Jinayah tentang Pidana Mati Bagi
Pelaku TIPIKOR Berdasarkan UU Pemberantasan TIPIKOR
Secara kasat mata, pada awalnya penulis
memiliki kesimpulan awal ( hipotesa ), bahwa pemberlakuan dan penetapan Undang-undang
tentang pidana mati bagi pelaku tipikor bertentangan dan melanggar hak asasi
manusia, sebab kehidupan adalah hak asasi manusia yang dianugrahkan oleh tuhan
yang menciptakannya sehingga tidak boleh diganggu gugat oleh yang lainnya.
Segala bentuk usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia harus untuk menjaga kelansungan hidup manusia.
Dalam hukum islam, maqashid syariah (tujuan pensyariatan) adalah untuk
mendapatkan dan menjaga kemaslahatan manusia itu sendiri baik itu yang
berhubungan dengan politik, pidana, perdata, dan muamalah.
a. Metode Penemuan Hukum Bayani
Berdasarkan
metode penemuan hukum bayani penulis menyimpulkan bahwa dalam jarimah
ini (tindak pidana korupsi) tidak tergolong kepada jarimah qishas
maupun jarimah hudud sebab tidak terdapat satuan ketetapan yang
baku yang mengatur secara rinci ( tidak terdapat ketetaapan materil dan formil
sehingga sanksinya pun tidak jelas) terlebih lagi ketetapan untuk jarimah ini
hanya ditemukan berupa himbauan untuk menghindari dan tidak melakukannya serta
saksinya yang bersifat moril, sehingga jarimah ini termasuk kepada
jarimah ta’zir dimana ketetapan dan sanksinya diserahkan kepada pemmpin
atau hakim di suatu daerah.
Ta’zir[1]
memang bukan termasuk dalam kategori hukuman hudud. Namun bukan berarti
tidak boleh lebih keras dari hudud, bahkan sangat dimungkinkan diantara
sekian banyak jenis dan bentuk ta’zir berupa hukuman mati.[2]Dalam
Undang-undang No 31 tahun 1999 jo Undang-undang No 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat tiga unsur pemindanaan atau
hukuman yaitu 1) hukuman mati, 2) hukuman penjara 3) hukuman ganti rugi.
Berdasarkan
paparan tersebut menurut hemat penulis tentang pemindanaan ( hukuman atau
sanksi ) bagi pelaku tindak pidana korupsi yang termaktub dalam UU tersebut
diatas melalui metode penemuan hukum bayani pidana mati sudah pantas dan
sewajarnya ada karena tidak bertentangan dengan metodologi penemuan hukum ini (
tergolong kepada jarimah ta’zir karena tidak terdapat ketetapan baku
yang mengaturnya secara khusus ) hanya saja dibutuhkan keberanian para penegak
hukum untuk menerapkannya, walau pun ada sebahagian ulama yang berpendapat
bahwa ta’zir hanya bersifat moralitas namun penulis berpendapat untuk
membendung kejahatan yang disebabkan oleh perubahan sosial maka diperlukan juga
usaha dan hukum yang lahir dari perubahan itu sendiri yang bersifat dinamis dan
disinilah islam itu sebagai rahmatan lilalamin tidak terikat oleh
jarak batas bahkan ruang.
b.
Metode Penemuan Hukum Ta’lili
Melangkah dari
ada atau tidaknya ‘ilat sebagai perwujudan hukum, maka penulis ingin
bertitik tolak dari relevansi jarimah ini (tipikor) dengan jarimah yang
ada dalam fiqih jinayah yang juga telah penulis jelaskan terlebih
dahulu pada bab sebelumnya, secara sederhana yaitu ghulul dengan ‘ilat
penggelapan , risywah dengan ‘ilat gratifikasi, alsuht dengan
‘ilat Suap/sogok, hirobah dengan ‘ilat Merampas harta, sariq
dengan ‘ilat Mengambil yang bukan hak secara sembunyi, ghasab dengan
‘ilat Memakan harta secara batil, khasr/bahks dengan ‘ilat
curang,
Dari relevansi jarimah tersebut ada yang tergolong kepada jarimah
ta’zir dan ada yang tergolong kepada jarimah hudud namun
dari semua jarimah tersebut hanya satu yang memberikan sanksi pidana
mati bagi pelakunya yaitu hirobah.
Berdasarkan jarimah tersebut untuk dua jarimah ( hirobah
dan syariq ) ketika di qiaskan ke tindak pidana korupsi maka
menurut hemat penulis, ‘ilat hukumnya terdapat kelemahan sebab untuk
hirobah yang ‘ilat hukumnya “merampas harta” maka kita akan meninggalkan
atau menafikan nusur-unsur dari jarimah hirobah itu sendiri
dimana dalam jarimah hirobah terdiri dari unsur paksaan, memakai
senjata qawaid fiqhiyah berbunyi : ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ
ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﻴﻦ ﺳﻼﺡ
Artinya : Orang-orang yang
merampok itu harus menggunakan senjata.[3]
Dan dilakukan di tempat terbuka atau terang-terangan,[4] qawaid fiqhiyah
berbunyi ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ ﻫﻮ ﺃﺧﺬ
ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﻐﺎﻟﺒﺔ
Artinya : Perampokan adalah pengambilan harta yang dilakukan secara
terang-terangan.[5]
Sedangkan dalam kasus tindak pidana
korupsi tidak ditemukan unsur-unsur seperti itu. Jarimah sariq
yang ‘ilatnya adalah “mengambil harta atau hak orang lain dengan cara
sembunyi-sembunyi” qawaid fiqhiya
berbunyi :
ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ ﻋﺸﺮﺓ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺃﻭ ﻣﻘﺪﺍﺭﻫﺎ ﺧﻔﻴﺔ ﻋﻤﻦ ﻫﻮ
ﻣﺘﺼﺪ ﻟﻠﺤﻔﻈ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﺘﺴﺎﺭﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺘﻤﻮﻝ ﻟﻠﻐﻴﺮ ﻣﻦ ﺣﺮﺯ ﺑﻼ ﺷﺒﻬﺔ
Artinya: Pencurian adalah mengambil harta yang
dilakukan oleh orang yang berakal (tidak gila) dan telah dewasa;
sekurang-kurangnya sepuluh dirham; yang dilakukan dengan cara diam-diam; harta
tersebut tersimpan di tempat yang terjaga (layak), tidak cepat rusak dan milik
orang lain dengan tidak ada syubhat.[6]
Sedangkan dalam hal tindak pidana
korupsi yang diambil adalah harta negara[7], sehingga konsekuensinya
adalah para pelaku tindak pidana korupsi tidak sepenuhnya mengambil harta yang
bukan haknya sebab pelaku yang notabenenya sebagai warga negara juga memiliki
hak didalam harta tersebut.
Untuk dua jenis jarimah tersebut keduanya masuk kedalam jarimah
hudud, apakah tindak pidana korupsi bisa disamakan atau di analogikan
dengan tindak pidana pencurian atau bahkan permpokan? Dalam hal ini Andi
Hamzah, dengan mengutip pendapat M. Cherif Bassiouni, ahli pidana internasional
berkebangsaan Mesir, berpendapat bahwa tindak pidana korupsi tidak bisa
disamakan atau dianalogikan dengan pencurian atau perampokan. Sebab kedua jenis
tindak pidana ini masuk dalam wilayah jarimah hudud yang
ketentuannya sudah baku dan tegas disebutkan dalam al Quran. Oleh sebab itu,
sanksi tindak pidana korupsi tidak sama dengan sanksi tindak pidana pencurian
yang berupa potong tangan dan berbeda dengan sanksi tindak pidana perampokan
berupa hukuman mati.
Terlepas dari kedua jarimah tersebut yang memiliki relevansi dan
bisa ditelusuri melalui metode ta’lili ini adalah ghulul, risywah,
alsuht, ghasab dan khasr/bakhs. Penulis telah menjelaskan secara
rinci dalam bab sebelumnya, dan dari semua jarimah tersebut (kecuali hirobah
dan sariq) hanya berlaku sanksi moril sebab tidak ada ketetapan secara
pasti dan rinci mengenai ketetapan materil formil dan ‘uqubahnya, maka jarimah
ini tergolong kepada jarimah ta’zir dimana ketetapan dan
sanksinya berada pada kebijakan pemimpin atau hakim disetiap daerah dan boleh
jadi ketetapan di setiap daerah akan berdeda-beda tergantung pengamatan dan
analisa hakim yang terkait.
Menurut M. Cherif Bassiouni sanksi tindak pidana korupsi sebaiknya
masuk kedalam wilayah jarimah ta’zir yang terbuka untuk dianalogikan.
Namun demikian, sekalipun sanksi tindak pidana korupsi hanya masuk kedalam
wilayah jarimah ta’zir, bukan berarti dalam bentuk sanksi yang
ringan sebab bentuk danjenis hukuman ta’zir meliputi berbagai macam,
termasuk dalam bentuk penjara seumur hidup bahkan bisa berupa pidana mati.[8]
c.
Metode Penemuan Hukum Istishlahi
untuk mengsingkronkan metode penemuan hukum ini dengan masalah yang
penulis angkat dalam tulisan ini, penulis memulainya dengan defenisi korupsi
secara singkat.
Korupsi dalam undang-undang
adalah “tindak
pidana yang bermaksud untuk memperkaya diri sendiri dan atau memperkaya orang
lain dan atau memperkaya koorporasi dengan cara melawan hukum dan merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara”. Berdasarkan defenisi tersebut dapat
diformulasikan kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi ini yaitu
“kerugian perekonomian negara” yang pada akhirnya berimbas kepada kesejahteraan
negara secara umum dan terrampasnya hak-hak yang semestinya didapatkan oleh
rakyat / warga negaranya.
Selanjutnya mengenai objek
penelitian ini adalah pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan
UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi, dan
disingkronkan dengan metode penemuan hukum ini ( istislahi ) yang
berlatarbelakang kepada mengkaji tentang manfaat dan kerusakan bagi manusia,
maka dalam hal ini terlebih dahulu penulis mencoba untuk menformulasikan
kerusakan yang terkandung dalam pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No
20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi yang menyatakan :
Pasal 2 : “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang
dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan”
Dalam penjelasannya disebutkan “ Yang dimaksud dengan keadaan
tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak
pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam
keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi
bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada
waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter”. [9]
Penjelasan ini dirubah dengan Undang undang No 20 Tahun 2001 yang
berbunyi “ Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah
keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan akibat
krisis dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi.[10]
Unsur-unsurnya
adalah :
1) Tindak pidana korupsi tersebut dilakukan terhadap
dana-dana yang diperuntukkan bagi
a) Penaggulangan keadaan bahaya
b) Bencana alam nasional
c) Penanggulangan akiat kerusuhan sosial yang
meluas
d) Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter
2) Pengulangan tindak pidana korupsi.
Singkronisasi unsur-unsur tersebut dengan maslahat dharuriyah
adalah penaggulangan keadaan bahaya ( perang ), Bisa dikategorikan kedalam lima maslahat dharuriyah ,
selanjutnya bencana alam Nasional bisa di hubungkan kedalam
hifzunnafs dan hifzulmal, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang
meluas bisa di hubungkan kedalam hifzunnafs dan hifzulmal, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter bisa
di hubungkan kedalam hifzulmal, pengulangan tindak pidana korupsi bisa di
hubungkan kedalam hifzulmal.
Tindak pidana korupsi ini merupakan
sesuatu yamg akan mendatangkan kemudharotan bagi rakyatnya apalagi dalam
keadaan tertentu yang telah dicantumkan dalam UU tentang pemberantasan korupsi
tersebut. Untuk itu harus ada usaha preventif untuk membentengi calon pelaku
agar tidak melakukan tindak pidana tersebut dan tentang ini dikenal dengan
istilah “Saddu Adz-Dzari’ah”
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ
جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak
keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).[11]
Kaidah ini merupakan kaidah asasi
yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain
juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun
bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd
adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
Secara
logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya
ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia
pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut.
Berdasarkan
catatan Amnesty Internasional, sampai dengan tahun 2002 tercatat 111 negara
telah menentang penerapan hukuman mati, melebihi 84 negara yang masih
mempertahankannya. Ini mencerminkan bahwa hukuman mati sudah dianggap tidak
manusiawi dan relevan dalam perkembangan hukum global.[12]
Dalam
banyak perdebatan kontemporer, isu hukuman bukan saja tekait dengan argumentasi
hukum, namun juga dipengaruhi oleh konteks hukum internasional, pandangan
filosofis yang berkembang dan perubahan sosial yang terjadi. Sehingga
perbincangan tentang pemberlakuan hukuman mati di suatu negara paling tidak
akan memperbincangkan tiga aspek yang saling terkait, yaitu 1). Konstitusi atau
Undang-undang tertinggi yang dianut suatu negara dan bentuk pemerintahan yang
dianutnya; 2). Dinamika Sosial, politik dan hukum internasional yang
mempengaruhi corak berpikir dan
hubungan-hubungan sosial di masyarakat; dan 3). Relevansi nilai-nilai lama
dalam perkembangan zaman yang jauh sudah lebih maju.
Artinya,
perdebatan ini bukan saja pertarungan antara keyakinan, cara pandang dan
pengalaman seseorang, namun juga relevansinya dengan konteks dimana hukuman
mati tersebut akan diberlakukan.
Dalam konteks Hukum Nasional kita, perdebatan ini
tetap relevan dan memperkaya khazanah pandangan hukum kita. Namun yang harus
diperhatikan adalah, bahwa kepastian hukum menjadi penting, dalam artian hukum
yang konsisten dengan Konstitusi, Perundang-undangan yang berlaku dan tuntutan
masyarakat. Karenanya, diharapkan bahwa perdebatan ini akan berakhir pada suatu
rumusan hukum yang sesuai dengan konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia
kedepan.[13]
Melirik dari
aliran-aliran hukum maka akan dapat ditarik intisari
1. Hukuman mati apabila dibandingkan dengan aliran positfisme, maka hukuman
mati tidak bertentangan dengan aliran positifisme khususnya di Indonesia. Sebab
dalam konstitusi Indonesia yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Pidana ( KUHP )
pasal 10 bahwa hukuman mati menjadi hukuman pokok.
2. Hukuman mati apabila dibandingkan dengan aliran hukum alam/
hukum tuhan/ hukum islam tidak bertentangan dapat dibuktikan bahwa didalam
hukum Islam pun terdapat hukuman mati namun hanya untuk kasus pidana pembunuhan
atau pencederaan seseorang tanpa alasan yang benar, yaitu dengan hukuman
qishash. Namun untuk Indonesia tidak menggunakan aliran hukum alam sebab
Indonesia bukanlah negara islam.
3. Hukuman mati apabila dibandingkan dengan aliran utilitarisme kurang
mendukung. Sebab dalam aliran ini yang diutamakan adalah kebaikan yang menimbulkan
kebahagian. Dalam hukuman mati justru menibulkan kesusahan bahkan penderitaan.
Sedangkan aliran yang tepat
digunakan di Indonesia jelas adalah aliran positifisme karena negara Indonesia
adalah negara hukum. Dengan mendasarkan konsep negara hukum bersandar
pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang
adil dan baik.
[1] Berkaitan dengan
macam-macam ta’zir, tampaknya tidak ada kesepakatan antara satu penulis
denganpenulis lain, sebab sifat sanksi hukum jenis ta’zir sanngant relatif,
temporal, dan kondisional. Boleh jadi sebuah hukuman dipandang sebagai sangsi
hukum disuatu tempat tetapi ditempat lain justru dianggap sebagai suatu bentuk
penghormatan,
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam (penerapan syariat islam dalam
konteks modernitas), (Bandung : Asy-Syamilah, 2001), cet ke-2, h.146
[3] Imam Muhyiddin al-Nawawi, Majmu’ Sarih
Muhazzab, ( Libanon : Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2011 ), edisi 2, juz 27, h.
466
[5] Abdul Qadir ‘Auroh, Tasri’u al-Jinayah Islamiyah,
( Beirut : Darul Kitab Arabi, t.t ), Juz 2, h, 638
[6] Hal ini sama dengan defenisi yang diberikan
Imam Hanafi namun Beliau mengatakan mukallaf bukan dengan istilah baligh
berakal. Imam Muhyiddin al-Nawawi, op cit, h. 318.
[11]Abdul Mudjib, al-Qowa’idul Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2001 ), cet. ke-2, h. 39