Powered By Blogger

jam

_

assalammualaikum

semoga bermanfaat

Kamis, 30 November 2017

Pandangan Fiqih Jinayah tentang Pidana Mati Bagi Pelaku TIPIKOR Berdasarkan UU Pemberantasan TIPIKOR
Secara kasat mata, pada awalnya penulis memiliki kesimpulan awal ( hipotesa ), bahwa pemberlakuan dan penetapan Undang-undang tentang pidana mati bagi pelaku tipikor bertentangan dan melanggar hak asasi manusia, sebab kehidupan adalah hak asasi manusia yang dianugrahkan oleh tuhan yang menciptakannya sehingga tidak boleh diganggu gugat oleh yang lainnya. Segala bentuk usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia  harus untuk menjaga kelansungan hidup manusia. Dalam hukum islam, maqashid syariah (tujuan pensyariatan) adalah untuk mendapatkan dan menjaga kemaslahatan manusia itu sendiri baik itu yang berhubungan dengan politik, pidana, perdata, dan muamalah.
a.      Metode Penemuan Hukum Bayani 
Berdasarkan metode penemuan hukum bayani penulis menyimpulkan bahwa dalam jarimah ini (tindak pidana korupsi) tidak tergolong kepada jarimah qishas maupun jarimah hudud sebab tidak terdapat satuan ketetapan yang baku yang mengatur secara rinci ( tidak terdapat ketetaapan materil dan formil sehingga sanksinya pun tidak jelas) terlebih lagi ketetapan untuk jarimah ini hanya ditemukan berupa himbauan untuk menghindari dan tidak melakukannya serta saksinya yang bersifat moril, sehingga jarimah ini termasuk kepada jarimah ta’zir dimana ketetapan dan sanksinya diserahkan kepada pemmpin atau hakim di suatu daerah.
                        Ta’zir[1] memang bukan termasuk dalam kategori hukuman hudud. Namun bukan berarti tidak boleh lebih keras dari hudud, bahkan sangat dimungkinkan diantara sekian banyak jenis dan bentuk ta’zir berupa hukuman mati.[2]Dalam Undang-undang No 31 tahun 1999 jo Undang-undang No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat tiga unsur pemindanaan atau hukuman yaitu 1) hukuman mati, 2) hukuman penjara 3) hukuman ganti rugi.
                        Berdasarkan paparan tersebut menurut hemat penulis tentang pemindanaan ( hukuman atau sanksi ) bagi pelaku tindak pidana korupsi yang termaktub dalam UU tersebut diatas melalui metode penemuan hukum bayani pidana mati sudah pantas dan sewajarnya ada karena tidak bertentangan dengan metodologi penemuan hukum ini ( tergolong kepada jarimah ta’zir karena tidak terdapat ketetapan baku yang mengaturnya secara khusus ) hanya saja dibutuhkan keberanian para penegak hukum untuk menerapkannya, walau pun ada sebahagian ulama yang berpendapat bahwa ta’zir hanya bersifat moralitas namun penulis berpendapat untuk membendung kejahatan yang disebabkan oleh perubahan sosial maka diperlukan juga usaha dan hukum yang lahir dari perubahan itu sendiri yang bersifat dinamis dan disinilah islam itu sebagai rahmatan lilalamin tidak terikat oleh jarak batas bahkan ruang.
b.      Metode Penemuan Hukum Ta’lili
Melangkah dari ada atau tidaknya ‘ilat sebagai perwujudan hukum, maka penulis ingin bertitik tolak dari relevansi jarimah ini (tipikor) dengan jarimah yang ada dalam fiqih jinayah yang juga telah penulis jelaskan terlebih dahulu pada bab sebelumnya, secara sederhana yaitu ghulul dengan ‘ilat penggelapan , risywah dengan ‘ilat gratifikasi, alsuht dengan ‘ilat Suap/sogok, hirobah dengan ‘ilat Merampas harta, sariq dengan ‘ilat Mengambil yang bukan hak secara sembunyi, ghasab dengan ‘ilat Memakan harta secara batil, khasr/bahks dengan ‘ilat curang,
Dari relevansi jarimah tersebut ada yang tergolong kepada jarimah ta’zir dan ada yang tergolong kepada jarimah hudud namun dari semua jarimah tersebut hanya satu yang memberikan sanksi pidana mati bagi pelakunya yaitu hirobah.
Berdasarkan jarimah tersebut untuk dua jarimah ( hirobah dan syariq ) ketika di qiaskan ke tindak pidana korupsi maka menurut hemat penulis, ‘ilat hukumnya terdapat kelemahan sebab untuk hirobah yang ‘ilat hukumnya “merampas harta” maka kita akan meninggalkan atau menafikan nusur-unsur dari jarimah hirobah itu sendiri dimana dalam jarimah hirobah terdiri dari unsur paksaan, memakai senjata qawaid fiqhiyah berbunyi :                                          ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﻴﻦ ﺳﻼﺡ
Artinya : Orang-orang yang merampok itu harus menggunakan senjata.[3]
Dan dilakukan di tempat terbuka atau terang-terangan,[4] qawaid fiqhiyah berbunyi                       ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ ﻫﻮ ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﻐﺎﻟﺒﺔ   
Artinya : Perampokan adalah pengambilan harta yang dilakukan secara terang-terangan.[5]
Sedangkan dalam kasus tindak pidana korupsi tidak ditemukan unsur-unsur seperti itu. Jarimah sariq yang ‘ilatnya adalah “mengambil harta atau hak orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi”  qawaid fiqhiya berbunyi :
ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ ﻋﺸﺮﺓ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺃﻭ ﻣﻘﺪﺍﺭﻫﺎ ﺧﻔﻴﺔ ﻋﻤﻦ ﻫﻮ ﻣﺘﺼﺪ ﻟﻠﺤﻔﻈ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﺘﺴﺎﺭﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺘﻤﻮﻝ ﻟﻠﻐﻴﺮ ﻣﻦ ﺣﺮﺯ ﺑﻼ ﺷﺒﻬﺔ
Artinya:  Pencurian adalah mengambil harta yang dilakukan oleh orang yang berakal (tidak gila) dan telah dewasa; sekurang-kurangnya sepuluh dirham; yang dilakukan dengan cara diam-diam; harta tersebut tersimpan di tempat yang terjaga (layak), tidak cepat rusak dan milik orang lain dengan tidak ada syubhat.[6]
Sedangkan dalam hal tindak pidana korupsi yang diambil adalah harta negara[7], sehingga konsekuensinya adalah para pelaku tindak pidana korupsi tidak sepenuhnya mengambil harta yang bukan haknya sebab pelaku yang notabenenya sebagai warga negara juga memiliki hak didalam harta tersebut.
Untuk dua jenis jarimah tersebut keduanya masuk kedalam jarimah hudud, apakah tindak pidana korupsi bisa disamakan atau di analogikan dengan tindak pidana pencurian atau bahkan permpokan? Dalam hal ini Andi Hamzah, dengan mengutip pendapat M. Cherif Bassiouni, ahli pidana internasional berkebangsaan Mesir, berpendapat bahwa tindak pidana korupsi tidak bisa disamakan atau dianalogikan dengan pencurian atau perampokan. Sebab kedua jenis tindak pidana ini masuk dalam wilayah jarimah hudud yang ketentuannya sudah baku dan tegas disebutkan dalam al Quran. Oleh sebab itu, sanksi tindak pidana korupsi tidak sama dengan sanksi tindak pidana pencurian yang berupa potong tangan dan berbeda dengan sanksi tindak pidana perampokan berupa hukuman mati.
Terlepas dari kedua jarimah tersebut yang memiliki relevansi dan bisa ditelusuri melalui metode ta’lili ini adalah ghulul, risywah, alsuht, ghasab dan khasr/bakhs. Penulis telah menjelaskan secara rinci dalam bab sebelumnya, dan dari semua jarimah tersebut (kecuali hirobah dan sariq) hanya berlaku sanksi moril sebab tidak ada ketetapan secara pasti dan rinci mengenai ketetapan materil formil dan ‘uqubahnya, maka jarimah ini tergolong kepada jarimah ta’zir dimana ketetapan dan sanksinya berada pada kebijakan pemimpin atau hakim disetiap daerah dan boleh jadi ketetapan di setiap daerah akan berdeda-beda tergantung pengamatan dan analisa hakim yang terkait. 
Menurut M. Cherif Bassiouni sanksi tindak pidana korupsi sebaiknya masuk kedalam wilayah jarimah ta’zir yang terbuka untuk dianalogikan. Namun demikian, sekalipun sanksi tindak pidana korupsi hanya masuk kedalam wilayah jarimah ta’zir, bukan berarti dalam bentuk sanksi yang ringan sebab bentuk danjenis hukuman ta’zir meliputi berbagai macam, termasuk dalam bentuk penjara seumur hidup bahkan bisa berupa pidana mati.[8]
c.       Metode Penemuan Hukum Istishlahi
untuk mengsingkronkan metode penemuan hukum ini dengan masalah yang penulis angkat dalam tulisan ini, penulis memulainya dengan defenisi korupsi secara singkat.
            Korupsi dalam undang-undang adalah “tindak pidana yang bermaksud untuk memperkaya diri sendiri dan atau memperkaya orang lain dan atau memperkaya koorporasi dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”. Berdasarkan defenisi tersebut dapat diformulasikan kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi ini yaitu “kerugian perekonomian negara” yang pada akhirnya berimbas kepada kesejahteraan negara secara umum dan terrampasnya hak-hak yang semestinya didapatkan oleh rakyat / warga negaranya.
            Selanjutnya mengenai objek penelitian ini adalah pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi, dan disingkronkan dengan metode penemuan hukum ini ( istislahi ) yang berlatarbelakang kepada mengkaji tentang manfaat dan kerusakan bagi manusia, maka dalam hal ini terlebih dahulu penulis mencoba untuk menformulasikan kerusakan yang terkandung dalam pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi yang menyatakan :
Pasal 2 : “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”
Dalam penjelasannya disebutkan “ Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter”. [9]
Penjelasan ini dirubah dengan Undang undang No 20 Tahun 2001 yang berbunyi “ Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan akibat krisis dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi.[10]
Unsur-unsurnya adalah :
1)      Tindak pidana korupsi tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
a)      Penaggulangan keadaan bahaya
b)      Bencana alam nasional
c)      Penanggulangan akiat kerusuhan sosial yang meluas
d)     Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter
2)      Pengulangan tindak pidana korupsi.
Singkronisasi unsur-unsur tersebut dengan maslahat dharuriyah adalah penaggulangan keadaan bahaya ( perang ), Bisa dikategorikan kedalam lima maslahat dharuriyah , selanjutnya bencana alam Nasional bisa di hubungkan kedalam hifzunnafs dan hifzulmal, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas bisa di hubungkan kedalam hifzunnafs dan hifzulmalpenanggulangan krisis ekonomi dan moneter bisa di hubungkan kedalam hifzulmal, pengulangan tindak pidana korupsi bisa di hubungkan kedalam hifzulmal.
Tindak pidana korupsi ini merupakan sesuatu yamg akan mendatangkan kemudharotan bagi rakyatnya apalagi dalam keadaan tertentu yang telah dicantumkan dalam UU tentang pemberantasan korupsi tersebut. Untuk itu harus ada usaha preventif untuk membentengi calon pelaku agar tidak melakukan tindak pidana tersebut dan tentang ini dikenal dengan istilah “Saddu Adz-Dzari’ah”
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).[11]
 Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut.
Berdasarkan catatan Amnesty Internasional, sampai dengan tahun 2002 tercatat 111 negara telah menentang penerapan hukuman mati, melebihi 84 negara yang masih mempertahankannya. Ini mencerminkan bahwa hukuman mati sudah dianggap tidak manusiawi dan relevan dalam perkembangan hukum global.[12]
Dalam banyak perdebatan kontemporer, isu hukuman bukan saja tekait dengan argumentasi hukum, namun juga dipengaruhi oleh konteks hukum internasional, pandangan filosofis yang berkembang dan perubahan sosial yang terjadi. Sehingga perbincangan tentang pemberlakuan hukuman mati di suatu negara paling tidak akan memperbincangkan tiga aspek yang saling terkait, yaitu 1). Konstitusi atau Undang-undang tertinggi yang dianut suatu negara dan bentuk pemerintahan yang dianutnya; 2). Dinamika Sosial, politik dan hukum internasional yang mempengaruhi corak berpikir dan hubungan-hubungan sosial di masyarakat; dan 3). Relevansi nilai-nilai lama dalam perkembangan zaman yang jauh sudah lebih maju.
Artinya, perdebatan ini bukan saja pertarungan antara keyakinan, cara pandang dan pengalaman seseorang, namun juga relevansinya dengan konteks dimana hukuman mati tersebut akan diberlakukan.
Dalam konteks Hukum Nasional kita, perdebatan ini tetap relevan dan memperkaya khazanah pandangan hukum kita. Namun yang harus diperhatikan adalah, bahwa kepastian hukum menjadi penting, dalam artian hukum yang konsisten dengan Konstitusi, Perundang-undangan yang berlaku dan tuntutan masyarakat. Karenanya, diharapkan bahwa perdebatan ini akan berakhir pada suatu rumusan hukum yang sesuai dengan konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia kedepan.[13]
Melirik dari aliran-aliran hukum maka akan dapat ditarik intisari
1.      Hukuman mati apabila dibandingkan dengan aliran positfisme, maka hukuman mati tidak bertentangan dengan aliran positifisme khususnya di Indonesia. Sebab dalam konstitusi Indonesia yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Pidana ( KUHP ) pasal 10 bahwa hukuman mati menjadi hukuman pokok.
2.      Hukuman   mati apabila dibandingkan dengan aliran hukum alam/ hukum tuhan/ hukum islam tidak bertentangan dapat dibuktikan bahwa didalam hukum Islam pun terdapat hukuman mati namun hanya untuk kasus pidana pembunuhan atau pencederaan seseorang tanpa alasan yang benar, yaitu dengan hukuman qishash. Namun untuk Indonesia tidak menggunakan aliran hukum alam sebab Indonesia bukanlah negara islam.
3.      Hukuman mati apabila dibandingkan dengan aliran utilitarisme kurang mendukung. Sebab dalam aliran ini yang diutamakan adalah kebaikan yang menimbulkan kebahagian. Dalam hukuman mati justru menibulkan kesusahan bahkan penderitaan.
Sedangkan aliran yang tepat digunakan di Indonesia jelas adalah aliran positifisme karena negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan mendasarkan  konsep negara hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.


[1] Berkaitan dengan macam-macam ta’zir, tampaknya tidak ada kesepakatan antara satu penulis denganpenulis lain, sebab sifat sanksi hukum jenis ta’zir sanngant relatif, temporal, dan kondisional. Boleh jadi sebuah hukuman dipandang sebagai sangsi hukum disuatu tempat tetapi ditempat lain justru dianggap sebagai suatu bentuk penghormatan, Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam (penerapan syariat islam dalam konteks modernitas), (Bandung : Asy-Syamilah, 2001), cet ke-2, h.146
[2]M. Nurul Irfan, op.cit, h. 128
[3] Imam Muhyiddin al-Nawawi, Majmu’ Sarih Muhazzab, ( Libanon : Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2011 ), edisi 2, juz 27, h. 466
[4] M. Nurul Irfan,op.cit,,  h.123
[5] Abdul Qadir ‘Auroh, Tasri’u al-Jinayah Islamiyah, ( Beirut : Darul Kitab Arabi, t.t ), Juz 2, h, 638
[6] Hal ini sama dengan defenisi yang diberikan Imam Hanafi namun Beliau mengatakan mukallaf bukan dengan istilah baligh berakal. Imam Muhyiddin al-Nawawi, op cit, h. 318.
[7] Berdasarkan defenisi tindak pidana korupsi dalam UU pemberantasan tipikor
[8] M. Nurul Irfan, op.cit,,  h.127
[9] Ermansjah Djaja, op cit, h. 40  
[10] Ibid, h. 41  
[11]Abdul Mudjib, al-Qowa’idul Fiqhiyah,  (Jakarta : Kalam Mulia,  2001 ), cet. ke-2,  h. 39
[13] Ibid