Eksistensi Teori Positifisme Menyonsong Globalisasi Indonesia[1]
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Indonesia adalah Negara Hukum, istilah negara hukum yang
dipergunakan, dapat dianalogikan dengan padanan yang dipergunakan dalam bahasa
asing pada negara eropa kontinental atau negara penganut sistem civil law
yaitu dengan istilah rechstaat. Pada negara anglo saxon atau penganut
paham comon law disitilahkan dengan rule of law. [2]Negara
Hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.[3]
Dasar yuridis bagi
negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara
RI 1945 (amandemen ketiga), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Konsep
negara hukum mengarah pada tujuan terciptanya kehidupan demokratis, dan
terlindungi hak azasi manusia, serta kesejahteraan yang berkeadilan. Bukti lain
yang menjadi dasar yuridis bagi keberadaan negara hokum Indonesia dalam
arti material, yaitu pada: Bab XIV Pasal 33 dan Pasal 34 UUD Negara RI 1945,
bahwa negara turut aktif dan bertanggungjawab atas perekonomian negara
dan kesejahteraan rakyat.[4]
Hukum di
Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan
hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana,
berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena
aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama
di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau
yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari
masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.[5] Namun
sebahagian besar dalam hukup positif Indonesia hukum yang ditinggalkan oleh
belanda (dengan sistem hukum civil law ) lebih mendominasi dari yang lain.
Perubahan
masyarakat adalah sebuah fenomena alamiah seiring dengan perputaran waktu,
desebabkan kehidupan manusia yang secara teratur terus bergerak menuju
kesempurnaan. Tatanilai dan norma dengan sendirinya hadir seiring dengan
keberadaan manusia itu sendiri ada yangt dirumuskan dengan kesepakatan, ada yng
dipaksakan dengan kekuasaan, dan adapula yang diajarkan oleh agama yang lebih
luas, universal, abadi.[6]
Indonesia
berdasarkan asas konkordansi menganut dan memberlakukan hukum yang ditinggal
kan negara jajahannya civil law dimana mengutamakan asas
legalitas sebagai standarisasi ataupun pedoman dalam menjalankan kehidupan
bernegara, sehingga hukum yang berlaku ( hukum positif di Indonesia )
didefenisikan sebagai hukum yang tertulis dalam lembaran resmi negara yang
berisikan aturan-aturan perintah dan atau larangan sebagai pedoman bagi
masyarakatnya. Dalam hal ini intervensi politik dan kekuasaan sangat
mendominasi tanpa merujuk kepada hak dan keinginan rakyat sebagai objek hukum dan
tujuan hukum dalam mensejahterkannya. Untuk itu penulis ingin memberi judul
tulisan ini dengan “Eksistensi Teori Positifisme Menyonsong Globalisasi
Indonesia”
B.
Masalah
Secara umum penulis ingin membahas tentang satu pertanyaan yaitu Masih
relevan kah penerapan teori ini dalam masyarakat yang kontempratif?
Yang dirumuskan sebagai berikut :
1.
Seperti
apa Globalisasi yang terjadi di Indonesia?
2.
Adakah
Teori hukum yang menanggapi Teori Hukum Positifisme ?
3.
Bagaimana
Eksistensi Teori Positifistik pada Abad 20?
BAB II
Pembahasan
A.
Globalisasi
Perubahan
masyarakat adalah sebuah fenomena alamiah seiring dengan perputaran waktu,
desebabkan kehidupan manusia yang secara teratur terus bergerak menuju
kesempurnaan. Tatanilai dan norma dengan sendirinya hadir seiring dengan
keberadaan manusia itu sendiri ada yangt dirumuskan dengan kesepakatan, ada yng
dipaksakan dengan kekuasaan, dan adapula yang diajarkan oleh agama yang lebih
luas, universal, abadi.[7]
Cukup banyak
masalah/tantangan yang di hadapai bangsa indonesia saat ini dalam upaya
melakukan pembangunan nasional (BANGNAS). Hususnya dalam pembangunan hukum
nasional (BANGKUM-NAS), minimal dapat diidentifikasi tiga masalah besar yaitu :
1.
Masalah
peningkatan kualitas penegakan hukum in crocreto (masalah (“law enfocement”).
2.
Masalah
pembangunan/ pembaharuan SHN (Sistem Hukum Nasional); dan
3.
Masalah
perkembangan globalisasi yang multiu komplek, masalah internasionalisasi hukum,
globalisasi/transnasionalisasi kejahatan, dan masalah hitech/ cyber crime
yang terus berkembang.
Ketiga masalah
itu dapat dibedakan tapi sulit dipisahlepaskan karena ada saling keterkaitan
erat.[8]
Dalam hal ini globalisasi menjadi permasalahan yang menjadi komplek sebab
globalisasi tidak bisa di bendung dengan apapun yang bisa kita lakukan hanyalah
memperbaiki dan memperbaharui hukum untuk mengikat dan menata globalisasi
tersebut.
Perubahan tatanan dunia saat ini ditandai oleh
perkembangan teknologi yang memungkinkan komunikasi dan informasi antara
masyarakat internasional menjadi sangat mudah, dan hukum internasional saat ini
bercirikan hukum yang harmonis atau setidak-tidaknya hukum transnasional.
Harmonisasi hukum disini diartikan bahwa hukum internasional dipengaruhi hukum
nasional dan hukum nasional juga dipengaruhi hukum internasional. Dalam proses
harmonisasi hukum, dimana hukum internasional mempengaruhi hukum nasional, berarti
negara nasional harus membuat aturan-aturan nasional yang mendorong realisasi
kesepakatan guna mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh dalam bidang
perdagangan internasional, ketentuan perdagangan internasional dalam rangka
World Trade Organization (WTO) telah mendorong masing-masing negara membuat
aturan nasional sebagai tindak lanjut penerapan ketentuan tersebut dalam
suasana nasional.[9]
Perkembangan
IPTEK yang sangat pesat pasca era “pencerahan” di dunia sains dan seni secara
nyata juga berpengaruh terhadap perkembangan (perubahan) di bidang sosial,
politik, ekonomi dan juga hukum. Di bidang sosial misalnya terjadi perubahan
dari tipe masyarakat agraris menuju pada masyarakat industri yang bersifat
liberal. Di bidang politik tampak pada terbentuknya negara modern dengan
platform konstitusional dan demokrasinya. Di bidang ekonomi muncul sistem
perekonomian terbuka yang membuka pasar bebas dan cenderung bersifat
kapitalistik.
Tak pelak lagi
perubahan yang terjadi pada masyarakat modern tersebut juga diikuti dengan
perubahan pada tatanan hukumnya, yakni muncul dan berkembangannya tatanan hukum
modern atau lebih dikenal dengan sebutan hukum sistem hukum positif. Pada
awalnya sistem hukum positif dipandang bisa memberikan harapan untuk mengatur
berbagai persoalan pada masyarakat modern sehingga (diprediksikan) bisa
mencapai ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Namun demikian, pada
kenyataannya dan dalam perkembangannya, sifat hukum positif yang netral dan
liberal, justru menjadikan hukum modern semakin “terasing” dari
realitas-realitas yang terus berkembang semakin pesat.[10]
Dalam bidang hukum, globalisasi ditandai dengan
hilangnya batas-Batas kenegaraan dan tidak ada lagi negara yang mengklain bahwa
negara tersebut menganut satu sistem hukum secara absolut. Sudah terjadi
percampuran dan penetrasi satu sistem hukum ke sistem hukum lainnya. Di antara
keluarga hukum, baik sistem Anglo Saxson, Kontinental, Sosialis maupun sistem
hukum Timur Tengah dan Timur Jauh telah saling mengadobsi dan terjadi
percampuran hukum. Akibat globalisasi, maka saat ini masyarakat Indonesia
khususnya berada dalam situasi perubahan dari segala aspek kehidupan, baik
dimensi penggunaan teknologi, struktur pemerintahan, politik sosial budaya
maupun dalam cara - cara produksi yang kemudian l ebih mengedepankan konsep
efisiensi, terjadi pergeseran dari konsep padat karya ke arah konsep padat
modal sebagai konsekuensi dari perkembangan industrialisasi. Kesemuanya ini
perlu adanya pengaturan dengan cerdas dan cermat agar masyarakat dapat hidup teratur,
tentram dan aman dalam menjalankan segala aktivitasnya.[11]
Globalisasi tidak dapat dipungkiri bahwa, disamping
mendatangkan pengaruh atau dampak positif (manfaat), tetapi juga mendatangkan
pengaruh atau dampak nehatif (mudharat) dengan arti merugikan. Manusia tidak mungkin
lari dari arus globalisasi, walaupun takut akan terkena mudarat yang
ditimbulkannya. Sikap yang harus dimiliki oleh umat manusia adalah meraih
sebanyak mungkin manfaat dari globalisasi dan dalam waktu yang bersamaan mampu
menghindari segala kemungkinan mudarat.
Dalam diri manusia ada dua kemungkinan untuk
menghadapi arus globalisasi yaitu: prtama,
memiliki kemampuan dan sisi kekuatan serta keterampilan untuk
memanfaatkan sisi positif globalisasi. Kedua, terdapat titik lemah yang
menyebabkan manusia tidak mampu menghadapi dampak negatif tersebut, sehingga
globalisasi menjadi sumber malapetaka. Tindakan yang perlu dilakukan adalah
memaksimalkan kemampuan yang ada untuk meraih sebanyak mungkin kesempatan dan
peluang yang terbuka untuk memperoleh unsur positif yang ada pada globalisasi
itu. Di samping itu manusia harus berusaha menghilangkan titik lemah yang ada
pada dirinya untuk meminimalisir sekecil mungkin dampak negatif globalisasi.[12]
Sehubungan dengan globalisasi hukum tersebut, perlu
dilakukan pengembangan hukum (rechtsbeofening) secara terintegrasi dan
berkelanjutan, sesuai dengan tatanan hukum nasional(sistem hukum Indonesia)
berdasarkan nilai yang terkandung dalam substansi Pancasila dan UUD
1945.Pembangunan hukum adalah suatu pekerjaan yang sama tuanya dengan pekerjaan
pembangunan negara dan bangsa.[13]
B.
Teori
hukum yang menanggapi Teori Hukum Positifisme
Sebelum masuk
ke teori hukum penulis ingin memaparkan dua sistem hukum yang berhubungan
dengan teori hukum positifisme yaitu :
1)
Anglo
Saxon
Common Law, adalah sistem hukum yang dianut oleh
suku-suku Anglika dan Saksa yang mendiami sebagian besar Inggris sehingga
disebut juga sistem Anglo-Saxon. Negara-negara bekas jajahan Inggris menganut
sistem Common Law. Sistem Common Law sangat berkembang di Inggris terutama
melalui pengadilan kerajaan yang dibentuk semasa Raja William dan pengganti-penggantinya
berkuasa. Di wilayah jajahan Inggris, pengadilan kerajaan sangat kuat yang
membawahi pengadilan-pengadilan lokal dan hanya sedikit menangani
masalah-masalah kaum ningrat sedangkan di lain pihak pengadilan rakyat yang
lama tidak lagi digunakan. Hukum yang dikembangkan oleh pengadilan kerajaan
secara cepat menjadi suatu hukum yang umum (common) bagi semua orang di
seantero negeri. Itulah sebabnya sistem hukum Inggris disebut sistem Common
Law.
Inggris tidak mengenal suatu konstitusi tertulis,
praktik ketatanegaraan Inggris didasarkan atas Convention(praktik
ketatanegaraan yang dijalankan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan). Sistem Common
Law mempunyai 3 karakteristik, yaitu: (1) yurisprudensi dipandang sebagai
sumber hukum yang terutama, (2) dianutnya doktrin stare decisis, dan (3) adanya
adversary system dalam proses peradilan.
Adapun sumber hukum dalam sistem Common Law hanya
yurisprudensi yang di Inggris disebut judge made law atau di Amerika Serikat
disebut case law dan perundang-undangan ( statute law ). Di Inggris, sebelum
dituangkan ke dalam Common Law, hukum yang berlaku esensial merupakan hukum
kebiasan. Akan tetapi, hukum Inggris bukanlah hukum kebiasaan. Hal itu
disebabkan proses pembentukan Common Law melalui judge made law berdasarkan atas
nalar (Reason ).[14]
2)
Eropa
Continental
Civil law adalah sisitem hukum yang benyak dianut oleh negara
negara eropa kontinental yang didasarkan pada hukum romawi.negara-negara bekas
jajahan negara-negara eropa kontinental juga menganut sistem civil law.
Sisitem
memiliki 3 karakteristik, yaitu: (1) adanya kodifikasi; (2) hakim tidak
terkikat kepada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber huukum yang
terutama; (3) sistem peradilan bersifat inkuisitorial, yaitu hakim mempunyai
peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara, hakim aktif dalam
menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Hakim dalam civil law
berusaha mendapatkan gambaran lengkap daari peristiwa yang dihadapainya sejak
awal. Bentuk sumber hukum dalam arti formal berupa perundang-undangan,
kebiasaan, dan yurisprudensi. Dimana peraturan perundangng-undangan menjadi
rujukan yang pertama, dan menempatkan konstitusi tertulis pada urutan tertinggi
dalam hirarki peraturan perundang-undangan yangn kemudian diikuti dengan undang-undang
dan beberapa peraturan dibawahnya. [15]
Keadilan bukan
verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan dalam
pasal-pasal Undang-Undang. Keadilan Bukan tugas rutin mengetuk palu digedung
pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa
kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir
atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.
Sehingga
keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim sebagai
mata pencaharian didalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi PNS atau
polisi bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari tumpukan
file dimeja penegak hukum yang harus diselesaikan . Isu umum yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah
hukum mengacu pada prinsip pekerjaan yang diukur dengan nilai-nilai nominal
yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang
popular dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum. UUD (ujung-ujung duit), pasal
karet, 86 dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan dihayati sebagai pekerjaan
mencari uang didalam institusi pengadilan.[16]
Sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas bahwa sistem civil law menjadikan
undang-undang yang tertulis menjadi sumber hukum yang terutama sehingga hukum
dalam hal ini bisa didefenisikan sebagai tata aturan tertulis dalam lembaran
negara menjadi pedoman bagi rakyatnya dalam hidup bernegara. Dalam hal ini
dapat kita ketahui asas legalitas menjadi pokok utama, mengutamakan asas
legalitas sebagai standarisasi ataupun pedoman dalam menjalankan kehidupan
bernegara, Dalam hal ini intervensi politik dan kekuasaan sangat mendominasi
tanpa merujuk kepada hak dan keinginan rakyat sebagai objek hukum dan tujuan
hukum dalam mensejahterkannya. Sebagai konsekwensi dari asas legalitas adalah
hukum menjadi mati, kaku, statis, tidak mampu menjawab tantangan zaman ataupun
tidak bisa mengkover perkembangan dan perubahan zaman. Dan ini lah yang menurut
penulis awal dari teori positifistime dimana lebih mendahulukan logika serta
memisahkan hukum dengan nilai, etika dan norma.
a.
Teori
Responsif
Nonet dan
Selznick, dalam bukunya berjudul Law and Society in Transition, Toward
Responsive Law disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sistem
pemerintahan sebuah negara dengan hukum yang dianutnya. (Philippe Nonet, 2001)
Dalam sistem pemerintahan yang otoriter, hukum menjadi subordinasi dari
politik. Artinya, hukum mengikuti politik. Dengan kata lain, hukum digunakan
hanya sekadar menunjang politik penguasa. Sebaliknya dalam sistem pemerintahan
yang demokratis, hukum terpisah secara diametral dari politik. Artinya, hukum
bukan menjadi bagian dari politik, akan tetapi hukum menjadi acuan berpolitik
dari sebuah bangsa.[17]
Dalam sejarah
Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik secara
bergantian (berdasarkan periode sistem politik) antara konfigurasi politik yang
demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan
perubahan-perubahan konfigurasi politik itu, karakter produk hukum juga berubah.
Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-produk
hukum yang dilahirkannya berkarakter responsive, sebaliknya ketika konfigurasi
politik tampil secara otoriter, hukum-hukum yang dilahirkannya berkarakter
ortodoks.[18]
Konsep Hukum
Responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian
fungsi hukum, dan kewenangan menafsirkan hukum. Untuk selanjutnya pengertian
secara konseptual dirumuskan sebagai berikut:
a.
Konfigurasi
politik demokratis adalah
konfigurasi yang membuka ruang bagi partisipasi masyarakat untuk terlibat
secara maksimal dalam menentukan kebijakan negara. Konfigurasi politik demikian
menempatkan pemerintah lebih berperan sebagai organisasi yang harus
melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis. Oleh
karena itu badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara
proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara. Pers
terlibat dalam menjalankan fungsinya dengan bebas tanpa ancaman pembreidelan
atau tindakan kriminalisasi lainnya.
b.
Konfigurasi
politik otoriter adalah
konfigurasi politik yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan
dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan
negara, sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan
terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat
dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik
dan lebih merupakan alat untuk justifikasi (rubber stamp) atas kehendak
pemerintah, sedangkan pers tidak memiliki kebebasan dan senantiasa berada di
bawah kontrol pemerintah dalam bayang-banyang pembreidelan.
c.
Produk
hukum responsif atau otonom adalah
karakter produk hukum yang mencerminkan pemenuhan atas aspirasi masyarakat,
baik individu maupun berbagai kelompok sosial, sehingga secara relatif lebih
mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Proses normatifikasinya
mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat.[19]
Philippe Nonet and Philip Selznick, menjabarkan bahwa ada tiga
klasifikasi dasar dari hukum yang ada di masyarakat, sebagai berikut: 1. Hukum
sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif); 2. Hukum sebagai
institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas
dirinya (hukum otonom); dan 3. Hukum sebagai fasilitator dari berbagai
respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
(Philipe Nonet, 2001)
Di antara ketiga tipe hukum
tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang
menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Nonet melalui tipe
hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu
gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis.
Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan
kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan
oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di
dalam perspektif konsumen”. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif
adalah: a. Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan
tujuan; b. pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk
mencapainya.
Hukum responsif
berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar
hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan
melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari
nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model
hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang
dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.[20]
b.
Teori
Progresif
Sosok “Hukum
Progresif” sangat lekat dengan pencetusnya yakni Profesor Satjipto Rahardjo.
Hal demikian tidak berlebihan karena pada kenyataannya Prof. Tjip ini tidak
sekedar sebagai penggagas awal tetapi sekaligus juga “pejuang” dan “pengembang”
hukum progresif. Oleh sebab itu apa yang tertulis pada bagian ini tidak lebih
dari kilas balik dari gagasan-gagasan beliau.
Hukum progresif
merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan
birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal.
Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja
melalui intitusi-institusi kenegaraan. Hukum progresif ditujukan untuk
melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status quo,
serta tidak menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan
sebagai suatu institusi yang bermoral.[21]
Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan
mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia
bahagia. Secara lebih spesifik hukum progresif antara lain bisa disebut sebagai
“hukum yang pro rakyat” dan “hukum yang pro keadilan”.[22]
Gagasan hukum
progresif muncul sebagai reaksi keprihatinan terhadap keadaan hukum di
Indonesia yang sedemikian rupa sehingga muncul pendapat dari pengamat
internasional hingga masyarakat awam bahwa sistem hukum Indonesia masih jauh
dari harapan dan memerlukan pembenahan secara serius. Gagasan Hukum Progresif
muncul sebagai reaksi atas “kegagalan” hukum Indonesia yang didominasi doktrin
positivism dalam menanggulangi kasus-kasus korupsi dan pelanggaran hak asasi
manusia.
Prinsip utama
yang dijadikan landasan hukum progresif adalah: “Hukum adalah untuk Manusia”,
bukan sebaliknya manusia yang dipaksa masuk dalam skema hukum. Bahkan hukum
dibuat bukan untuk dirinya sendiri (hukum untuk hukum).[23]
Jadi manusialah yang merupakan penentu dan dipahami dalam hal ini manusia pada
dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin mengeser landasan teori dari
faktor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum bukan lah merupakan
sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as
process, law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti
menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau
hukum yang peduli terhadap rakyat.[24]
C.
Eksistensi
Teori Positifistik pada Abad 20
Bagi kaum
positivisme, tak ada hukum selai hukum positif, yaitu hukum yang didasarkan
pada otoritas yang berdaulat. Bagi kaum positivisme, hukum positif berbeda jika
dibandingkan dengan asas-asas lain yang didasarkan pada moralitas, religi,
kebiasaan masyarakat. Aliran positivisme ini sangat mengagungkan hukum yang
tertulis, sehingga aliran ini beranggapan bahwa tidak ada norma norma hukum
diluar hukum positif, semua persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum
tertulis.
Menurut W.
Friedmann, secara umum, tesis-tesis pokok dari aliran hukum positif ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1.
Hanya
ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah
2.
Hanya
fakta yang dapat menjadi objek pengetahuan
3.
Metode
filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu
4.
Tugas
filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu yang
menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi
landasan bagi organisasi sosial
5.
Semua
interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas pengalaman
(empiris verifikatif)
6.
Bertitik
tolak pada ilmu-ilmu alam
7.
Berusaha
memperoleh sesuatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik
maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan
hasil-hasil ilmu-ilmu alam.[25]
Von Savigny
yang menolak untuk mengagung- agungkan akal seseorang. Hukum, baginya tidak
dibuat tapi tumbuh dan ditemukan dalam masyarakat. Menurut Von Savigny, hukum
timbul bukan karena perintah penguasa atau kebinasaan, tetapi karena perasaan
keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang
menjadi sumber hukum. Karena itu, Savigny mengeluarkan pendapatnya yang amat
terkenal bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh bersama masyarakat.
Pendapat
Savigny amat bertolak belakang dengan pandangan positivisme, sebab mereka
berpendapat bahwa dalam membangun hukum maka studi terhadap sejarah atau bangsa
mutlak diperlukan. Pendapat tersebut oleh Puchta dibenarkan dan dikembangkan
dengan mengajarkan bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang
bersangkutan. Teori hukum lain yang lahir dari proses dialetika antara tesis
positivisme hukum dan antitesis aliran sejarah, yaitu sociological
juris-prudence yang berpendapat bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Teori ini memisahkan secara
tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup.
Tokoh aliran
ini terkenal di antaranya adalah Eugen Ehrlich yang berpendapat bahwa hukum
positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan atau selaras dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat. Tokoh lain yaitu Roscoe Pound yang
mengeluarkan teori hukum adalah alat untuk merekayasa sosial (law as a tool of
social engineering). Roscoe Pound juga mengajurkan supaya ilmu sosial
didayagunakan untuk kemajuan dan pengembangan ilmu hukum. Penggunaan paradigma
rekayasa sosial menekankan pada efektivitas hukum, yang umumnya diabaikan pada
studi hukum tradisional yang lebih menekankan pada struktur dan konsistensi
rasional dari sistem hukum. Dengan memperhatian perihal efektivitas hukum, maka
perhatian studi hukum menjadi melebar dan melampaui kajian tradisional yang
hanya menekankan pada masalah legalitas dan legitimasi saja.[26]
Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final
melaikan sangat tergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya.
manusialah yang merupakan penentu. Hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya
sendiri, melaikan untuk yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada
masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta
bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.[27]
Hukum adalah
institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirirnya menuju kepada
tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaannya dapat
diverifikasikan kedalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian
kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakekat “ hukum yang selalu dalam proses
menjadi” (law as a process, law indemaking). Hukum tidak ada untuk hukum
itu sendiri tetapi untuk manusia.[28]
Hukum
ada disebabkan karena adanya masyarakat yang hidup di suatu tempat tertentu dan
pada waktu tertentu serta melangsungkan kehidupan dengan saling berinteraksi
secara kontiniu.
Hukum pada
dasarnya merupakan jaminan negara atas hak-hak rakyatnya atau dengan kata lain
hukum itu sebagai pengejewantahan keinginan rakyat untuk hidup sejahtera,
teratur dan seimbang. Peraturan-peraturan dalam bentuk lembaran resmi negara
merupakan kristalisasi keinginan rakyat yang dirumuskan melalui wakilnya yang
mereka pilih secara demokrasi untuk menentukan standarisasi nilai dalam
kehidupan bernegara. Penafsiran menjadi jembatan penting dalam penerapan
ketentuan hukum yang tepat sehingga terbentuklah penegakan hukum yang baik.
Perkembangan manusia dan interaksinya dalam memenuhi kebutuhan pada akhirnya
menciptakan berbagai macam kejahatan dan pelanggaran yang ternyata tidak
semuanya diatur dalam ketentuan yang berlaku.[29]
Membicarakan
efektivitas hukum hanya dapat dilakukan dengan pendekataan sosiologis, yaitu
mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya. Hukum tidak
dilihaat sebagai institusi yang steril, melainkan senantiasa diuji kehadirannya
dan karya-karyanya dari hasil dan akibat yang ditimbulkannya dalam kehidupan
masyarakat luas. Bersamaan dengan itu, berkembang juga aliran realisme hukum.
Menurut aliran ini, hukum itu adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan
alat kontrol sosial.
Ciri-ciri
ajaran realisme sebagaimana dikemukakan oleh Karl. N. Liewellyn adalah sebagai
berikut: pertama, tidak ada mahzab realis. Realisme adalah gerakan dari
pemikiran dan kerja tentang hukum, kedua, realisme adalah konsep hukum yang
harus diuji tujuan dan akibat-akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang
masyarakat yang berubah lebih cepat dari pada hukum; ketiga, realisme
menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan hukum yang
seharusnya untuk tujuan-tujuan studi: keempat, realisme tidak percaya pada
ketentuan dan konsepsi hukum sepanjang menggambarkan apa yang sebenarnya
dilakukan oleh pengadilan dan orang, dan kelima realisme menekankan evolusi
tiap bagian dari hukum dengan mengingatkan akibatnya. Pospositivis dapat
dipahami sebagai mode pemikiran atau dapat juga merupakan tahapan dalam lintasan
sejarah. Pospositivis secara umum dapat dikatakan sebagai gugatan terhadap
positivis yang bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal yang telah
mencapai status hegemonis di dunia. Kalau positivis melahirkan modernisme, maka
post positivisme akan melahirkan pikiran post modernisme.
Era
pospositivisme sering dipahami sebagai gejala berkembangnya pemikiran yang
memberontak pada tatanan positivisme dengan indikasi bersifat anti
rasionalisme. Dengan demikian, berarti telah peluang dan tempat berkembangnya
pemikiran non rasional. Inilah yang oleh Jacques Derrida disebut sebagai
dekontruksi, yakni pembongkaran cara berpikir yang logis dan rasional.
Dekonstruksi membongkar unsurunsur kekuasaan yang muncul dalam kesadaran. Dekontruksi
dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran yang dianggap dominan dan benar, karena
yang dianggap benar selama ini, ternyata tidak membahagiakan manusia. Dekontruksi
telah membongkar pospositivisme yang selama ini dalam bidang hukum dianggap
sebagai kebenaran oleh masyarakat modern.
Konsepsi kebenaran
hukum merupakan nilai yang teramat penting menunjukkan kecenderungan yang
relatif dan kabur. Nilai kebenaran dipahami dengan menggunakan pandangan yang
berbeda dan mengarah pada suatu pemahaman bahwa kebenaran itu ukurannya menurut
persepsi pembuat hukum. Pembuat hukum didasarkan atas kemauan pihak penguasa
yang ditopang kelompok politik mayoritas dengan dituangkan dalam bentuk
undang-undang. Padahal, kehendak dan pandangan politik kelompok mayoritas belum
tentu mencerminkan kebenaran. Dalam bidang hukum publik, khususnya hukum
ketatanegaraan, demokrasi dengan sistem perwakilan dianggap sebagai sistem yang
terbaik dalam negara modern. namun dalam perkembangannya sudah mulai dipertanyakan.
Mereka menganggap bahwa representasi amat penting bagi modernisasi, organisasi,
struktur politik dan filsafat yang mendasarinya.
Akan tetapi,
representasi adalah asing dan berlawanan dengan apa yang dipandang bernilai
menurut pola post modernisme. Dalam alam pospositivisme, perspektif spiritual
dengan segala aspeknya seperti keagamaan, etika, dan moral diletakkan sebagai
bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan peradaban modern. Karena
itu, hukum modern dalam perkembangannya telah hilang unsur yang esensial yang
berupa nilai transedental. Hal ini terjadi sebagai akibat cara berpikir yang
didasari dari pandangan keduniaan yang diurus oleh kaisar dan keagamaan yang
diserahkan pada tokoh agama (pendeta, rahib dan ulama). Cara berpikir seperti
itu muncul bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Romawi dan berdirinya negara-negara
bangsa di Eropa melalui perjanjian West Phalia tahun 1648 M yang dianggap
sebagai awal kebangkitan Eropa, yang memunculkan etika protestan sebagai kekuatan
yang mempengaruhi kapitalis Barat.[30]
BAB III
Kesimpulan
Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia
kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Von Savigny
yang menolak untuk mengagung- agungkan akal seseorang. Hukum, baginya tidak
dibuat tapi tumbuh dan ditemukan dalam masyarakat. Menurut Von Savigny, hukum
timbul bukan karena perintah penguasa atau kebinasaan, tetapi karena perasaan
keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang
menjadi sumber hukum. Karena itu, Savigny mengeluarkan pendapatnya yang amat
terkenal bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh bersama masyarakat.
Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final
melaikan sangat tergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya.
manusialah yang merupakan penentu. Hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya
sendiri, melaikan untuk yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada
masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta
bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Hukum
adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirirnya
menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaannya
dapat diverifikasikan kedalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian
kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakekat “ hukum yang selalu dalam proses
menjadi” (law as a process, law indemaking). Hukum tidak ada untuk hukum
itu sendiri tetapi untuk manusia
Hukum ada disebabkan karena adanya masyarakat yang hidup di suatu
tempat tertentu dan pada waktu tertentu serta melangsungkan kehidupan dengan
saling berinteraksi secara kontiniu. Hukum pada dasarnya merupakan jaminan
negara atas hak-hak rakyatnya atau dengan kata lain hukum itu sebagai
pengejewantahan keinginan rakyat untuk hidup sejahtera, teratur dan seimbang.
Peraturan-peraturan dalam bentuk lembaran resmi negara merupakan kristalisasi
keinginan rakyat yang dirumuskan melalui wakilnya yang mereka pilih secara
demokrasi untuk menentukan standarisasi nilai dalam kehidupan bernegara.
Penafsiran menjadi jembatan penting dalam penerapan ketentuan hukum yang tepat
sehingga terbentuklah penegakan hukum yang baik. Perkembangan manusia dan
interaksinya dalam memenuhi kebutuhan pada akhirnya menciptakan berbagai macam
kejahatan dan pelanggaran yang ternyata tidak semuanya diatur dalam ketentuan yang
berlaku.
Daftar Pustaka
Al. Wisnubroto, Materi Sekolah Hukum Progresif Angkatan I, Kerjasama
Laboratorium Hukum FH UAJY dengan PSHP (Paguyuban Sinau Hukum Progresif), KMMH
(Keluarga Mahasiswa Magister Hukum) UGM dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)
UMY, Yogyakarta, 18-19 November 2014
Asep
Jaelani, Indonesia sebagai Negara Hukum, diakses pada 15:46 hari Rabu,
06 Mei 2015, dari
https://www.academia.edu/8838989/Indonesia_Sebagai_Negara_Hukum_INDONESIA_SEBAGAI_NEGARA_HUKUM
Hamzah K, Urgensi Hukum Dalam Tata Kehidupan
Masyarakat Global ,Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palopo Jln Dr
Ratulangi Palopo Sulsel, AL-FIKR Volume16 Nomor 2 Tahun 2012, jurnal
Hazmah,
Hukum Progresif S2 Uir, diakses pada 13:36
hari Kamis, 07 Mei 2015, dari :https://idiysorhazmah.files.wordpress.com/2010/06/hukum-progresif-s2-uir.doc
Henry Arianto, Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia
Lex Jurnalica Volume 7 Nomor2, April 2010 115, Fakultas Hukum, Universitas
Esa Unggul, Jakarta
Hwian
Cristianto, Penafsiran Hukum Prograsif dalam Perkara Pidana, Mimbar Hukum,
vol 23, No 3, Oktober, 2011
Iskandar, Hukum dalam Era Globalisasi dan
Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Ekonomi Dan Pelestarian Fungsi Lingkungan
Hidup(Kajian Pengembangan Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila dan
UUD1945), Artikel Kementerian Pendidikan Nasional Universitas
Bengkulu Fakultas Hukum, 2011
IDRUS
MASHUD NASRULLAH,
Sejarah Sistem Hkukm di Indonesia, diakses pada 16:25 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari https://www.academia.edu/8459153/Sejarah_Sistem_Hukum_Indonesia_Pada_Pra_Kemerdekaan_dan_Masa_Kemerdekaan
Junaidi
Lubis, Islam Dinamis, (Jakarta : Dian Rakyat, 2010), cet I
Mahendra
putra, Sistim Hukum Dunia, diakses pada
22:03 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari : http://mahendraputra.net/wp-content/uploads/2012/02/BAHAN-KULIAH-SISTEM-HUKUM-INDONESIA-2.pdf
Mahfud
MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta
: Rajawali Pers, 2009
Muhammad Erwin, filsafat hukum refleksi kritis terhadap hukum, (Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 2012), cet- 2
Nurul
Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, ( Jakarta : Sinar
Grafika, 2013 ), cet I
Prof.
Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia), (
Semarang : Penerbit Pustaka Magister, 2012), cet 1
Roberto
M. Unger, teori hukum kritis (posisi hukum dalam masyarakat modern),
Bandung : Nusa Media, 2011, cet- 5
Satjipto
Raharjo, hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, ( Yokyakarta
: Genta Publishing, 2009 ), cet ke-1
Turiman,
Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma
"Thawaf" (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang
Membumi /Grounded Theory Meng-Indonesia), makalah disajikan pada Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2010
Wikipedia,
Negara Hukum, diakses pada 15:51 hari Rabu, 06 Mei 2015,
dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_hukum
[1]
Makalah ini disajikan untuk matakuliah teori hukum di kelas B pascasarjana (magister
hukum) di universitas islam riau tahun 2015 oleh Dian Kurniawan. S,Sy
[2] Nurul Qamar,
Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2013
), cet I, h. 23
[3] Wikipedia, Negara
Hukum, diakses pada 15:51 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_hukum
[4] Asep Jaelani, Indonesia
sebagai Negara Hukum, diakses pada 15:46 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari
https://www.academia.edu/8838989/Indonesia_Sebagai_Negara_Hukum_INDONESIA_SEBAGAI_NEGARA_HUKUM
[5] IDRUS
MASHUD NASRULLAH, Sejarah Sistem Hkukm di Indonesia, diakses
pada 16:25 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari https://www.academia.edu/8459153/Sejarah_Sistem_Hukum_Indonesia_Pada_Pra_Kemerdekaan_dan_Masa_Kemerdekaan
[6] Junaidi Lubis,
Islam Dinamis, (Jakarta : Dian Rakyat, 2010), cet I, h. 1
[7] Junaidi Lubis,
loc cit
[8] Prof. Dr.
Barda Nawawi Arief, SH, Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia), (
Semarang : Penerbit Pustaka Magister, 2012), cet 1, h. 2
[9] Iskandar,
Hukum dalam Era Globalisasi dan
Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Ekonomi Dan Pelestarian Fungsi Lingkungan
Hidup(Kajian Pengembangan Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila dan
UUD1945), Artikel Kementerian Pendidikan Nasional Universitas Bengkulu Fakultas
Hukum, 2011, h. 7
[10] Al.
Wisnubroto, Materi Sekolah Hukum Progresif Angkatan I, Kerjasama
Laboratorium Hukum FH UAJY dengan PSHP (Paguyuban Sinau Hukum Progresif), KMMH
(Keluarga Mahasiswa Magister Hukum) UGM dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)
UMY, Yogyakarta, 18-19 November 2014, h. 2
[11]Hamzah K, Urgensi Hukum Dalam Tata Kehidupan Masyarakat Global
,Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palopo Jln Dr Ratulangi Palopo Sulsel,
AL-FIKR Volume16 Nomor 2 Tahun
2012, jurnal, h. 2
[12] Ibid, h.
3
[13] Op cit,
Iskandar, h. 9
[14] Mahendra
putra, Sistim Hukum Dunia, diakses pada
22:03 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari : http://mahendraputra.net/wp-content/uploads/2012/02/BAHAN-KULIAH-SISTEM-HUKUM-INDONESIA-2.pdf, h. 4
[15] Ibid,
h. 1
[16] Hazmah, Hukum
Progresif S2 Uir, diakses pada 13:36 hari
Kamis, 07 Mei 2015, dari :https://idiysorhazmah.files.wordpress.com/2010/06/hukum-progresif-s2-uir.doc
[17]
Henry Arianto, Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia Lex
Jurnalica Volume 7 Nomor2, April 2010 115, Fakultas Hukum, Universitas Esa
Unggul, Jakarta, h. 116
[18] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta :
Rajawali Pers, 2009), h. 373
[19] Op cit, Henry
Arianto, h. 118
[20] Ibid, h.
119
[21] Satjipto Raharjo, hukum Progresif : Sebuah
Sintesa Hukum Indonesia, ( Yokyakarta : Genta Publishing, 2009 ), cet ke-1,
h.2
[22] Ibid
[23] Ibid, h. 5
[24] Al. Wisnubroto,
op cit, h. 8
[25] Muhammad
Erwin, filsafat hukum refleksi kritis terhadap hukum, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2012), cet- 2, h. 156
[26] Turiman, Memahami
Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma "Thawaf"
(Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi /Grounded
Theory Meng-Indonesia), makalah disajikan pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro Semarang, 2010, h.18
[27] Op cit, Satjipto
Raharjo, h. 5
[28] Ibid, h.
6
[29] Hwian
Cristianto, Penafsiran Hukum Prograsif dalam Perkara Pidana, Mimbar Hukum,
vol 23, No 3, Oktober, 2011, h. 479
[30] Turiman, op cit, h. 19