Powered By Blogger

jam

_

assalammualaikum

semoga bermanfaat

Senin, 01 Juni 2015

Eksistensi Teori Positifisme Menyonsong Globalisasi Indonesia

Eksistensi Teori Positifisme Menyonsong Globalisasi Indonesia[1]
BAB I
Pendahuluan
A.  Latar Belakang
Indonesia adalah Negara Hukum, istilah negara hukum yang dipergunakan, dapat dianalogikan dengan padanan yang dipergunakan dalam bahasa asing pada negara eropa kontinental atau negara penganut sistem civil law yaitu dengan istilah rechstaat. Pada negara anglo saxon atau penganut paham comon law disitilahkan dengan rule of law. [2]Negara Hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.[3]
Dasar yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945 (amandemen ketiga), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Konsep negara hukum mengarah pada tujuan terciptanya kehidupan demokratis, dan terlindungi hak azasi manusia, serta kesejahteraan yang berkeadilan. Bukti lain yang menjadi dasar yuridis  bagi keberadaan negara hokum Indonesia dalam arti material, yaitu pada: Bab XIV Pasal 33 dan Pasal 34 UUD Negara RI 1945, bahwa negara turut aktif dan bertanggungjawab atas  perekonomian negara dan kesejahteraan rakyat.[4]
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana,  berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan  penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.[5] Namun sebahagian besar dalam hukup positif Indonesia hukum yang ditinggalkan oleh belanda (dengan sistem hukum civil law ) lebih mendominasi dari yang lain.
Perubahan masyarakat adalah sebuah fenomena alamiah seiring dengan perputaran waktu, desebabkan kehidupan manusia yang secara teratur terus bergerak menuju kesempurnaan. Tatanilai dan norma dengan sendirinya hadir seiring dengan keberadaan manusia itu sendiri ada yangt dirumuskan dengan kesepakatan, ada yng dipaksakan dengan kekuasaan, dan adapula yang diajarkan oleh agama yang lebih luas, universal, abadi.[6]
Indonesia berdasarkan asas konkordansi menganut dan memberlakukan hukum yang ditinggal kan negara jajahannya civil law dimana mengutamakan asas legalitas sebagai standarisasi ataupun pedoman dalam menjalankan kehidupan bernegara, sehingga hukum yang berlaku ( hukum positif di Indonesia ) didefenisikan sebagai hukum yang tertulis dalam lembaran resmi negara yang berisikan aturan-aturan perintah dan atau larangan sebagai pedoman bagi masyarakatnya. Dalam hal ini intervensi politik dan kekuasaan sangat mendominasi tanpa merujuk kepada hak dan keinginan rakyat sebagai objek hukum dan tujuan hukum dalam mensejahterkannya. Untuk itu penulis ingin memberi judul tulisan ini dengan “Eksistensi Teori Positifisme Menyonsong Globalisasi Indonesia”
B.  Masalah
Secara umum penulis ingin membahas tentang satu pertanyaan yaitu Masih relevan kah penerapan teori ini dalam masyarakat yang kontempratif?
Yang dirumuskan sebagai berikut :
1.      Seperti apa Globalisasi yang terjadi di Indonesia?
2.      Adakah Teori hukum yang menanggapi Teori Hukum Positifisme ?
3.      Bagaimana Eksistensi Teori Positifistik pada Abad 20?




BAB II
Pembahasan
A.  Globalisasi
Perubahan masyarakat adalah sebuah fenomena alamiah seiring dengan perputaran waktu, desebabkan kehidupan manusia yang secara teratur terus bergerak menuju kesempurnaan. Tatanilai dan norma dengan sendirinya hadir seiring dengan keberadaan manusia itu sendiri ada yangt dirumuskan dengan kesepakatan, ada yng dipaksakan dengan kekuasaan, dan adapula yang diajarkan oleh agama yang lebih luas, universal, abadi.[7]
Cukup banyak masalah/tantangan yang di hadapai bangsa indonesia saat ini dalam upaya melakukan pembangunan nasional (BANGNAS). Hususnya dalam pembangunan hukum nasional (BANGKUM-NAS), minimal dapat diidentifikasi tiga masalah besar yaitu :
1.      Masalah peningkatan kualitas penegakan hukum in crocreto (masalah (“law enfocement”).
2.      Masalah pembangunan/ pembaharuan SHN (Sistem Hukum Nasional); dan
3.      Masalah perkembangan globalisasi yang multiu komplek, masalah internasionalisasi hukum, globalisasi/transnasionalisasi kejahatan, dan masalah hitech/ cyber crime yang terus berkembang.
Ketiga masalah itu dapat dibedakan tapi sulit dipisahlepaskan karena ada saling keterkaitan erat.[8] Dalam hal ini globalisasi menjadi permasalahan yang menjadi komplek sebab globalisasi tidak bisa di bendung dengan apapun yang bisa kita lakukan hanyalah memperbaiki dan memperbaharui hukum untuk mengikat dan menata globalisasi tersebut.
Perubahan tatanan dunia saat ini ditandai oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan komunikasi dan informasi antara masyarakat internasional menjadi sangat mudah, dan hukum internasional saat ini bercirikan hukum yang harmonis atau setidak-tidaknya hukum transnasional. Harmonisasi hukum disini diartikan bahwa hukum internasional dipengaruhi hukum nasional dan hukum nasional juga dipengaruhi hukum internasional. Dalam proses harmonisasi hukum, dimana hukum internasional mempengaruhi hukum nasional, berarti negara nasional harus membuat aturan-aturan nasional yang mendorong realisasi kesepakatan guna mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh dalam bidang perdagangan internasional, ketentuan perdagangan internasional dalam rangka World Trade Organization (WTO) telah mendorong masing-masing negara membuat aturan nasional sebagai tindak lanjut penerapan ketentuan tersebut dalam suasana nasional.[9]
Perkembangan IPTEK yang sangat pesat pasca era “pencerahan” di dunia sains dan seni secara nyata juga berpengaruh terhadap perkembangan (perubahan) di bidang sosial, politik, ekonomi dan juga hukum. Di bidang sosial misalnya terjadi perubahan dari tipe masyarakat agraris menuju pada masyarakat industri yang bersifat liberal. Di bidang politik tampak pada terbentuknya negara modern dengan platform konstitusional dan demokrasinya. Di bidang ekonomi muncul sistem perekonomian terbuka yang membuka pasar bebas dan cenderung bersifat kapitalistik.
Tak pelak lagi perubahan yang terjadi pada masyarakat modern tersebut juga diikuti dengan perubahan pada tatanan hukumnya, yakni muncul dan berkembangannya tatanan hukum modern atau lebih dikenal dengan sebutan hukum sistem hukum positif. Pada awalnya sistem hukum positif dipandang bisa memberikan harapan untuk mengatur berbagai persoalan pada masyarakat modern sehingga (diprediksikan) bisa mencapai ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Namun demikian, pada kenyataannya dan dalam perkembangannya, sifat hukum positif yang netral dan liberal, justru menjadikan hukum modern semakin “terasing” dari realitas-realitas yang terus berkembang semakin pesat.[10]
Dalam bidang hukum, globalisasi ditandai dengan hilangnya batas-Batas kenegaraan dan tidak ada lagi negara yang mengklain bahwa negara tersebut menganut satu sistem hukum secara absolut. Sudah terjadi percampuran dan penetrasi satu sistem hukum ke sistem hukum lainnya. Di antara keluarga hukum, baik sistem Anglo Saxson, Kontinental, Sosialis maupun sistem hukum Timur Tengah dan Timur Jauh telah saling mengadobsi dan terjadi percampuran hukum. Akibat globalisasi, maka saat ini masyarakat Indonesia khususnya berada dalam situasi perubahan dari segala aspek kehidupan, baik dimensi penggunaan teknologi, struktur pemerintahan, politik sosial budaya maupun dalam cara - cara produksi yang kemudian l ebih mengedepankan konsep efisiensi, terjadi pergeseran dari konsep padat karya ke arah konsep padat modal sebagai konsekuensi dari perkembangan industrialisasi. Kesemuanya ini perlu adanya pengaturan dengan cerdas dan cermat agar masyarakat dapat hidup teratur, tentram dan aman dalam menjalankan segala aktivitasnya.[11]
Globalisasi tidak dapat dipungkiri bahwa, disamping mendatangkan pengaruh atau dampak positif (manfaat), tetapi juga mendatangkan pengaruh atau dampak nehatif (mudharat) dengan arti merugikan. Manusia tidak mungkin lari dari arus globalisasi, walaupun takut akan terkena mudarat yang ditimbulkannya. Sikap yang harus dimiliki oleh umat manusia adalah meraih sebanyak mungkin manfaat dari globalisasi dan dalam waktu yang bersamaan mampu menghindari segala kemungkinan mudarat.
Dalam diri manusia ada dua kemungkinan untuk menghadapi arus globalisasi yaitu: prtama,  memiliki kemampuan dan sisi kekuatan serta keterampilan untuk memanfaatkan sisi positif globalisasi. Kedua, terdapat titik lemah yang menyebabkan manusia tidak mampu menghadapi dampak negatif tersebut, sehingga globalisasi menjadi sumber malapetaka. Tindakan yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan kemampuan yang ada untuk meraih sebanyak mungkin kesempatan dan peluang yang terbuka untuk memperoleh unsur positif yang ada pada globalisasi itu. Di samping itu manusia harus berusaha menghilangkan titik lemah yang ada pada dirinya untuk meminimalisir sekecil mungkin dampak negatif globalisasi.[12]
Sehubungan dengan globalisasi hukum tersebut, perlu dilakukan pengembangan hukum (rechtsbeofening) secara terintegrasi dan berkelanjutan, sesuai dengan tatanan hukum nasional(sistem hukum Indonesia) berdasarkan nilai yang terkandung dalam substansi Pancasila dan UUD 1945.Pembangunan hukum adalah suatu pekerjaan yang sama tuanya dengan pekerjaan pembangunan negara dan bangsa.[13]

B.  Teori hukum yang menanggapi Teori Hukum Positifisme
Sebelum masuk ke teori hukum penulis ingin memaparkan dua sistem hukum yang berhubungan dengan teori hukum positifisme yaitu :
1)      Anglo Saxon
Common Law, adalah sistem hukum yang dianut oleh suku-suku Anglika dan Saksa yang mendiami sebagian besar Inggris sehingga disebut juga sistem Anglo-Saxon. Negara-negara bekas jajahan Inggris menganut sistem Common Law. Sistem Common Law sangat berkembang di Inggris terutama melalui pengadilan kerajaan yang dibentuk semasa Raja William dan pengganti-penggantinya berkuasa. Di wilayah jajahan Inggris, pengadilan kerajaan sangat kuat yang membawahi pengadilan-pengadilan lokal dan hanya sedikit menangani masalah-masalah kaum ningrat sedangkan di lain pihak pengadilan rakyat yang lama tidak lagi digunakan. Hukum yang dikembangkan oleh pengadilan kerajaan secara cepat menjadi suatu hukum yang umum (common) bagi semua orang di seantero negeri. Itulah sebabnya sistem hukum Inggris disebut sistem Common Law.
Inggris tidak mengenal suatu konstitusi tertulis, praktik ketatanegaraan Inggris didasarkan atas Convention(praktik ketatanegaraan yang dijalankan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan). Sistem Common Law mempunyai 3 karakteristik, yaitu: (1) yurisprudensi dipandang sebagai sumber hukum yang terutama, (2) dianutnya doktrin stare decisis, dan (3) adanya adversary system dalam proses peradilan.
Adapun sumber hukum dalam sistem Common Law hanya yurisprudensi yang di Inggris disebut judge made law atau di Amerika Serikat disebut case law dan perundang-undangan ( statute law ). Di Inggris, sebelum dituangkan ke dalam Common Law, hukum yang berlaku esensial merupakan hukum kebiasan. Akan tetapi, hukum Inggris bukanlah hukum kebiasaan. Hal itu disebabkan proses pembentukan Common Law melalui judge made law berdasarkan atas nalar (Reason ).[14]

2)      Eropa Continental
Civil law adalah sisitem hukum yang benyak dianut oleh negara negara eropa kontinental yang didasarkan pada hukum romawi.negara-negara bekas jajahan negara-negara eropa kontinental juga menganut sistem civil law.
Sisitem memiliki 3 karakteristik, yaitu: (1) adanya kodifikasi; (2) hakim tidak terkikat kepada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber huukum yang terutama; (3) sistem peradilan bersifat inkuisitorial, yaitu hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara, hakim aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Hakim dalam civil law berusaha mendapatkan gambaran lengkap daari peristiwa yang dihadapainya sejak awal. Bentuk sumber hukum dalam arti formal berupa perundang-undangan, kebiasaan, dan yurisprudensi. Dimana peraturan perundangng-undangan menjadi rujukan yang pertama, dan menempatkan konstitusi tertulis pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan yangn kemudian diikuti dengan undang-undang dan beberapa peraturan dibawahnya. [15]
Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang. Keadilan Bukan tugas rutin mengetuk palu digedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.
Sehingga keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim sebagai mata pencaharian didalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi PNS atau polisi bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari tumpukan file dimeja penegak hukum yang harus diselesaikan . Isu umum  yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan yang diukur dengan nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum. UUD (ujung-ujung duit), pasal karet, 86 dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan dihayati sebagai pekerjaan mencari uang didalam institusi pengadilan.[16]
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa sistem civil law menjadikan undang-undang yang tertulis menjadi sumber hukum yang terutama sehingga hukum dalam hal ini bisa didefenisikan sebagai tata aturan tertulis dalam lembaran negara menjadi pedoman bagi rakyatnya dalam hidup bernegara. Dalam hal ini dapat kita ketahui asas legalitas menjadi pokok utama, mengutamakan asas legalitas sebagai standarisasi ataupun pedoman dalam menjalankan kehidupan bernegara, Dalam hal ini intervensi politik dan kekuasaan sangat mendominasi tanpa merujuk kepada hak dan keinginan rakyat sebagai objek hukum dan tujuan hukum dalam mensejahterkannya. Sebagai konsekwensi dari asas legalitas adalah hukum menjadi mati, kaku, statis, tidak mampu menjawab tantangan zaman ataupun tidak bisa mengkover perkembangan dan perubahan zaman. Dan ini lah yang menurut penulis awal dari teori positifistime dimana lebih mendahulukan logika serta memisahkan hukum dengan nilai, etika dan norma.
a.    Teori Responsif
Nonet dan Selznick, dalam bukunya berjudul Law and Society in Transition, Toward Responsive Law disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sistem pemerintahan sebuah negara dengan hukum yang dianutnya. (Philippe Nonet, 2001) Dalam sistem pemerintahan yang otoriter, hukum menjadi subordinasi dari politik. Artinya, hukum mengikuti politik. Dengan kata lain, hukum digunakan hanya sekadar menunjang politik penguasa. Sebaliknya dalam sistem pemerintahan yang demokratis, hukum terpisah secara diametral dari politik. Artinya, hukum bukan menjadi bagian dari politik, akan tetapi hukum menjadi acuan berpolitik dari sebuah bangsa.[17]
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasarkan periode sistem politik) antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang dilahirkannya berkarakter responsive, sebaliknya ketika konfigurasi politik tampil secara otoriter, hukum-hukum yang dilahirkannya berkarakter ortodoks.[18]
Konsep Hukum Responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum, dan kewenangan menafsirkan hukum. Untuk selanjutnya pengertian secara konseptual dirumuskan sebagai berikut:
a.    Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka ruang bagi partisipasi masyarakat untuk terlibat secara maksimal dalam menentukan kebijakan negara. Konfigurasi politik demikian menempatkan pemerintah lebih berperan sebagai organisasi yang harus melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis. Oleh karena itu badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara. Pers terlibat dalam menjalankan fungsinya dengan bebas tanpa ancaman pembreidelan atau tindakan kriminalisasi lainnya.
b.    Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi politik yang menempatkan pemerintah pada posisi yang sangat dominan dengan sifat yang intervensionis dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara, sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat untuk justifikasi (rubber stamp) atas kehendak pemerintah, sedangkan pers tidak memiliki kebebasan dan senantiasa berada di bawah kontrol pemerintah dalam bayang-banyang pembreidelan.
c.    Produk hukum responsif atau otonom adalah karakter produk hukum yang mencerminkan pemenuhan atas aspirasi masyarakat, baik individu maupun berbagai kelompok sosial, sehingga secara relatif lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Proses normatifikasinya mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat.[19]
Philippe Nonet and Philip Selznick, menjabarkan bahwa ada tiga klasifikasi dasar dari hukum yang ada di masyarakat, sebagai berikut: 1. Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif); 2. Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom); dan 3. Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). (Philipe Nonet, 2001)
 Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah: a. Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; b. pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.[20]
b.    Teori Progresif
Sosok “Hukum Progresif” sangat lekat dengan pencetusnya yakni Profesor Satjipto Rahardjo. Hal demikian tidak berlebihan karena pada kenyataannya Prof. Tjip ini tidak sekedar sebagai penggagas awal tetapi sekaligus juga “pejuang” dan “pengembang” hukum progresif. Oleh sebab itu apa yang tertulis pada bagian ini tidak lebih dari kilas balik dari gagasan-gagasan beliau.
Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui intitusi-institusi kenegaraan. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status quo, serta tidak menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan sebagai suatu institusi yang bermoral.[21]
 Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Secara lebih spesifik hukum progresif antara lain bisa disebut sebagai “hukum yang pro rakyat” dan “hukum yang pro keadilan”.[22]
Gagasan hukum progresif muncul sebagai reaksi keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia yang sedemikian rupa sehingga muncul pendapat dari pengamat internasional hingga masyarakat awam bahwa sistem hukum Indonesia masih jauh dari harapan dan memerlukan pembenahan secara serius. Gagasan Hukum Progresif muncul sebagai reaksi atas “kegagalan” hukum Indonesia yang didominasi doktrin positivism dalam menanggulangi kasus-kasus korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia.
Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif adalah: “Hukum adalah untuk Manusia”, bukan sebaliknya manusia yang dipaksa masuk dalam skema hukum. Bahkan hukum dibuat bukan untuk dirinya sendiri (hukum untuk hukum).[23] Jadi manusialah yang merupakan penentu dan dipahami dalam hal ini manusia pada dasarnya adalah baik. Prinsip tersebut ingin mengeser landasan teori dari faktor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya hukum bukan lah merupakan sesuatu yang mutlak dan final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process, law in the making) yakni menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteran atau hukum yang peduli terhadap rakyat.[24]
C.  Eksistensi Teori Positifistik pada Abad 20
Bagi kaum positivisme, tak ada hukum selai hukum positif, yaitu hukum yang didasarkan pada otoritas yang berdaulat. Bagi kaum positivisme, hukum positif berbeda jika dibandingkan dengan asas-asas lain yang didasarkan pada moralitas, religi, kebiasaan masyarakat. Aliran positivisme ini sangat mengagungkan hukum yang tertulis, sehingga aliran ini beranggapan bahwa tidak ada norma norma hukum diluar hukum positif, semua persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis.
Menurut W. Friedmann, secara umum, tesis-tesis pokok dari aliran hukum positif ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah
2.      Hanya fakta yang dapat menjadi objek pengetahuan
3.      Metode filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu
4.      Tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu yang menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi landasan bagi organisasi sosial
5.      Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas pengalaman (empiris verifikatif)
6.      Bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam
7.      Berusaha memperoleh sesuatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu-ilmu alam.[25]
Von Savigny yang menolak untuk mengagung- agungkan akal seseorang. Hukum, baginya tidak dibuat tapi tumbuh dan ditemukan dalam masyarakat. Menurut Von Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau kebinasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Karena itu, Savigny mengeluarkan pendapatnya yang amat terkenal bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh bersama masyarakat.
Pendapat Savigny amat bertolak belakang dengan pandangan positivisme, sebab mereka berpendapat bahwa dalam membangun hukum maka studi terhadap sejarah atau bangsa mutlak diperlukan. Pendapat tersebut oleh Puchta dibenarkan dan dikembangkan dengan mengajarkan bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang bersangkutan. Teori hukum lain yang lahir dari proses dialetika antara tesis positivisme hukum dan antitesis aliran sejarah, yaitu sociological juris-prudence yang berpendapat bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Teori ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup.
Tokoh aliran ini terkenal di antaranya adalah Eugen Ehrlich yang berpendapat bahwa hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tokoh lain yaitu Roscoe Pound yang mengeluarkan teori hukum adalah alat untuk merekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Roscoe Pound juga mengajurkan supaya ilmu sosial didayagunakan untuk kemajuan dan pengembangan ilmu hukum. Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada efektivitas hukum, yang umumnya diabaikan pada studi hukum tradisional yang lebih menekankan pada struktur dan konsistensi rasional dari sistem hukum. Dengan memperhatian perihal efektivitas hukum, maka perhatian studi hukum menjadi melebar dan melampaui kajian tradisional yang hanya menekankan pada masalah legalitas dan legitimasi saja.[26]
Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melaikan sangat tergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. manusialah yang merupakan penentu. Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melaikan untuk yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.[27]
Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirirnya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasikan kedalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakekat “ hukum yang selalu dalam proses menjadi” (law as a process, law indemaking). Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri tetapi untuk manusia.[28]  
Hukum ada disebabkan karena adanya masyarakat yang hidup di suatu tempat tertentu dan pada waktu tertentu serta melangsungkan kehidupan dengan saling berinteraksi secara kontiniu.
Hukum pada dasarnya merupakan jaminan negara atas hak-hak rakyatnya atau dengan kata lain hukum itu sebagai pengejewantahan keinginan rakyat untuk hidup sejahtera, teratur dan seimbang. Peraturan-peraturan dalam bentuk lembaran resmi negara merupakan kristalisasi keinginan rakyat yang dirumuskan melalui wakilnya yang mereka pilih secara demokrasi untuk menentukan standarisasi nilai dalam kehidupan bernegara. Penafsiran menjadi jembatan penting dalam penerapan ketentuan hukum yang tepat sehingga terbentuklah penegakan hukum yang baik. Perkembangan manusia dan interaksinya dalam memenuhi kebutuhan pada akhirnya menciptakan berbagai macam kejahatan dan pelanggaran yang ternyata tidak semuanya diatur dalam ketentuan yang berlaku.[29]
Membicarakan efektivitas hukum hanya dapat dilakukan dengan pendekataan sosiologis, yaitu mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya. Hukum tidak dilihaat sebagai institusi yang steril, melainkan senantiasa diuji kehadirannya dan karya-karyanya dari hasil dan akibat yang ditimbulkannya dalam kehidupan masyarakat luas. Bersamaan dengan itu, berkembang juga aliran realisme hukum. Menurut aliran ini, hukum itu adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial.
Ciri-ciri ajaran realisme sebagaimana dikemukakan oleh Karl. N. Liewellyn adalah sebagai berikut: pertama, tidak ada mahzab realis. Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang hukum, kedua, realisme adalah konsep hukum yang harus diuji tujuan dan akibat-akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat dari pada hukum; ketiga, realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan hukum yang seharusnya untuk tujuan-tujuan studi: keempat, realisme tidak percaya pada ketentuan dan konsepsi hukum sepanjang menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan dan orang, dan kelima realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingatkan akibatnya. Pospositivis dapat dipahami sebagai mode pemikiran atau dapat juga merupakan tahapan dalam lintasan sejarah. Pospositivis secara umum dapat dikatakan sebagai gugatan terhadap positivis yang bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal yang telah mencapai status hegemonis di dunia. Kalau positivis melahirkan modernisme, maka post positivisme akan melahirkan pikiran post modernisme.
Era pospositivisme sering dipahami sebagai gejala berkembangnya pemikiran yang memberontak pada tatanan positivisme dengan indikasi bersifat anti rasionalisme. Dengan demikian, berarti telah peluang dan tempat berkembangnya pemikiran non rasional. Inilah yang oleh Jacques Derrida disebut sebagai dekontruksi, yakni pembongkaran cara berpikir yang logis dan rasional. Dekonstruksi membongkar unsurunsur kekuasaan yang muncul dalam kesadaran. Dekontruksi dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran yang dianggap dominan dan benar, karena yang dianggap benar selama ini, ternyata tidak membahagiakan manusia. Dekontruksi telah membongkar pospositivisme yang selama ini dalam bidang hukum dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat modern.
Konsepsi kebenaran hukum merupakan nilai yang teramat penting menunjukkan kecenderungan yang relatif dan kabur. Nilai kebenaran dipahami dengan menggunakan pandangan yang berbeda dan mengarah pada suatu pemahaman bahwa kebenaran itu ukurannya menurut persepsi pembuat hukum. Pembuat hukum didasarkan atas kemauan pihak penguasa yang ditopang kelompok politik mayoritas dengan dituangkan dalam bentuk undang-undang. Padahal, kehendak dan pandangan politik kelompok mayoritas belum tentu mencerminkan kebenaran. Dalam bidang hukum publik, khususnya hukum ketatanegaraan, demokrasi dengan sistem perwakilan dianggap sebagai sistem yang terbaik dalam negara modern. namun dalam perkembangannya sudah mulai dipertanyakan. Mereka menganggap bahwa representasi amat penting bagi modernisasi, organisasi, struktur politik dan filsafat yang mendasarinya.
Akan tetapi, representasi adalah asing dan berlawanan dengan apa yang dipandang bernilai menurut pola post modernisme. Dalam alam pospositivisme, perspektif spiritual dengan segala aspeknya seperti keagamaan, etika, dan moral diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan peradaban modern. Karena itu, hukum modern dalam perkembangannya telah hilang unsur yang esensial yang berupa nilai transedental. Hal ini terjadi sebagai akibat cara berpikir yang didasari dari pandangan keduniaan yang diurus oleh kaisar dan keagamaan yang diserahkan pada tokoh agama (pendeta, rahib dan ulama). Cara berpikir seperti itu muncul bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Romawi dan berdirinya negara-negara bangsa di Eropa melalui perjanjian West Phalia tahun 1648 M yang dianggap sebagai awal kebangkitan Eropa, yang memunculkan etika protestan sebagai kekuatan yang mempengaruhi kapitalis Barat.[30]


BAB III
Kesimpulan
Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Von Savigny yang menolak untuk mengagung- agungkan akal seseorang. Hukum, baginya tidak dibuat tapi tumbuh dan ditemukan dalam masyarakat. Menurut Von Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau kebinasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Karena itu, Savigny mengeluarkan pendapatnya yang amat terkenal bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh bersama masyarakat.
Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melaikan sangat tergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. manusialah yang merupakan penentu. Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melaikan untuk yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirirnya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaannya dapat diverifikasikan kedalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakekat “ hukum yang selalu dalam proses menjadi” (law as a process, law indemaking). Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri tetapi untuk manusia
Hukum ada disebabkan karena adanya masyarakat yang hidup di suatu tempat tertentu dan pada waktu tertentu serta melangsungkan kehidupan dengan saling berinteraksi secara kontiniu. Hukum pada dasarnya merupakan jaminan negara atas hak-hak rakyatnya atau dengan kata lain hukum itu sebagai pengejewantahan keinginan rakyat untuk hidup sejahtera, teratur dan seimbang. Peraturan-peraturan dalam bentuk lembaran resmi negara merupakan kristalisasi keinginan rakyat yang dirumuskan melalui wakilnya yang mereka pilih secara demokrasi untuk menentukan standarisasi nilai dalam kehidupan bernegara. Penafsiran menjadi jembatan penting dalam penerapan ketentuan hukum yang tepat sehingga terbentuklah penegakan hukum yang baik. Perkembangan manusia dan interaksinya dalam memenuhi kebutuhan pada akhirnya menciptakan berbagai macam kejahatan dan pelanggaran yang ternyata tidak semuanya diatur dalam ketentuan yang berlaku.
Daftar Pustaka
Al. Wisnubroto, Materi Sekolah Hukum Progresif Angkatan I, Kerjasama Laboratorium Hukum FH UAJY dengan PSHP (Paguyuban Sinau Hukum Progresif), KMMH (Keluarga Mahasiswa Magister Hukum) UGM dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) UMY, Yogyakarta, 18-19 November 2014
Asep Jaelani, Indonesia sebagai Negara Hukum, diakses pada 15:46 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari https://www.academia.edu/8838989/Indonesia_Sebagai_Negara_Hukum_INDONESIA_SEBAGAI_NEGARA_HUKUM
Hamzah K, Urgensi Hukum Dalam Tata Kehidupan Masyarakat Global ,Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palopo Jln Dr Ratulangi Palopo Sulsel, AL-FIKR Volume16 Nomor 2 Tahun 2012, jurnal
Hazmah, Hukum Progresif S2 Uir, diakses pada 13:36 hari Kamis, 07 Mei 2015, dari :https://idiysorhazmah.files.wordpress.com/2010/06/hukum-progresif-s2-uir.doc
Henry Arianto, Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia Lex Jurnalica Volume 7 Nomor2, April 2010 115, Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul, Jakarta
Hwian Cristianto, Penafsiran Hukum Prograsif dalam Perkara Pidana, Mimbar Hukum, vol 23, No 3, Oktober, 2011
Iskandar,  Hukum dalam Era Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Ekonomi Dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup(Kajian Pengembangan Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD1945), Artikel Kementerian Pendidikan Nasional Universitas Bengkulu Fakultas Hukum, 2011
IDRUS MASHUD NASRULLAH, Sejarah Sistem Hkukm di Indonesia, diakses pada 16:25 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari  https://www.academia.edu/8459153/Sejarah_Sistem_Hukum_Indonesia_Pada_Pra_Kemerdekaan_dan_Masa_Kemerdekaan
Junaidi Lubis, Islam Dinamis, (Jakarta : Dian Rakyat, 2010), cet I
Mahendra putra, Sistim Hukum Dunia, diakses pada 22:03 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari : http://mahendraputra.net/wp-content/uploads/2012/02/BAHAN-KULIAH-SISTEM-HUKUM-INDONESIA-2.pdf
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, 2009
Muhammad Erwin, filsafat hukum refleksi kritis terhadap hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), cet- 2
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2013 ), cet I
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia), ( Semarang : Penerbit Pustaka Magister, 2012), cet 1
Roberto M. Unger, teori hukum kritis (posisi hukum dalam masyarakat modern), Bandung : Nusa Media, 2011, cet- 5
Satjipto Raharjo, hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, ( Yokyakarta : Genta Publishing, 2009 ), cet ke-1
Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma "Thawaf" (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi /Grounded Theory Meng-Indonesia), makalah disajikan pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2010
Wikipedia, Negara Hukum, diakses pada 15:51 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari  http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_hukum



[1] Makalah ini disajikan untuk matakuliah teori hukum di kelas B pascasarjana (magister hukum) di universitas islam riau tahun 2015 oleh Dian Kurniawan. S,Sy
[2] Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2013 ), cet I, h. 23
[3] Wikipedia, Negara Hukum, diakses pada 15:51 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari  http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_hukum
[4] Asep Jaelani, Indonesia sebagai Negara Hukum, diakses pada 15:46 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari https://www.academia.edu/8838989/Indonesia_Sebagai_Negara_Hukum_INDONESIA_SEBAGAI_NEGARA_HUKUM
[5] IDRUS MASHUD NASRULLAH, Sejarah Sistem Hkukm di Indonesia, diakses pada 16:25 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari  https://www.academia.edu/8459153/Sejarah_Sistem_Hukum_Indonesia_Pada_Pra_Kemerdekaan_dan_Masa_Kemerdekaan
[6] Junaidi Lubis, Islam Dinamis, (Jakarta : Dian Rakyat, 2010), cet I, h. 1
[7] Junaidi Lubis, loc cit
[8] Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia), ( Semarang : Penerbit Pustaka Magister, 2012), cet 1, h. 2
[9] Iskandar,  Hukum dalam Era Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Ekonomi Dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup(Kajian Pengembangan Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UUD1945), Artikel Kementerian Pendidikan Nasional Universitas Bengkulu Fakultas Hukum, 2011, h. 7
[10] Al. Wisnubroto, Materi Sekolah Hukum Progresif Angkatan I, Kerjasama Laboratorium Hukum FH UAJY dengan PSHP (Paguyuban Sinau Hukum Progresif), KMMH (Keluarga Mahasiswa Magister Hukum) UGM dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) UMY, Yogyakarta, 18-19 November 2014, h. 2
[11]Hamzah K, Urgensi Hukum Dalam Tata Kehidupan Masyarakat Global ,Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palopo Jln Dr Ratulangi Palopo Sulsel, AL-FIKR Volume16 Nomor 2 Tahun 2012, jurnal, h. 2
[12] Ibid, h. 3
[13] Op cit, Iskandar, h. 9
[14] Mahendra putra, Sistim Hukum Dunia, diakses pada 22:03 hari Rabu, 06 Mei 2015, dari : http://mahendraputra.net/wp-content/uploads/2012/02/BAHAN-KULIAH-SISTEM-HUKUM-INDONESIA-2.pdf, h. 4
[15] Ibid, h. 1
[16] Hazmah, Hukum Progresif S2 Uir, diakses pada 13:36 hari Kamis, 07 Mei 2015, dari :https://idiysorhazmah.files.wordpress.com/2010/06/hukum-progresif-s2-uir.doc
[17] Henry Arianto, Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia Lex Jurnalica Volume 7 Nomor2, April 2010 115, Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul, Jakarta, h. 116
[18] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), h. 373
[19] Op cit, Henry Arianto, h. 118
[20] Ibid, h. 119
[21]  Satjipto Raharjo, hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, ( Yokyakarta : Genta Publishing, 2009 ), cet ke-1, h.2
[22] Ibid
[23]  Ibid, h. 5
[24] Al. Wisnubroto, op cit, h. 8
[25] Muhammad Erwin, filsafat hukum refleksi kritis terhadap hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), cet- 2, h. 156
[26] Turiman, Memahami Hukum Progresif Prof Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma "Thawaf" (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum Yang Membumi /Grounded Theory Meng-Indonesia), makalah disajikan pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2010, h.18
[27] Op cit, Satjipto Raharjo, h. 5
[28] Ibid, h. 6
[29] Hwian Cristianto, Penafsiran Hukum Prograsif dalam Perkara Pidana, Mimbar Hukum, vol 23, No 3, Oktober, 2011, h. 479
[30] Turiman, op cit, h. 19