BAB
II
PEMBAHASAN
A. Qaidah Fiqih fi Al-jinayah
a. Kaidah Umum
لا
جزيمة ولا عقوبة بلا نص
Tidak ada jarimah (tindak pidana)
dan tidak ada hukuman tanpa nash (aturan)
Dalam sejarah hukum islam, tidak
pernah suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana dan tidak pernah dijatuhi
hukuman sebelum perbuatan tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana dan diberi
sangsinya baik dalam alquran maupun hadis.
Semakna dengan kaidah diatas adalah
لا
حكم لافعال العقلاء قبل ورود النص
Tidak ada hukuman bagi orang yang
berakal sebelum datangnya nash.
2) Tidak berlaku surut
Kaidah tidak
berlaku surut merupakan konsekwensi
dari kaidah pertama yaitu legalitas yang berarti bahwa undang-undang berlaku
hanya pada perbuatan yang dilakukan setelah undang-undang itu berlaku dan untuk
perbuatan sebelumnya tidak bisa berlaku. Pentingnya asas ini karena ia
melindungi keamanan individu dan mencegahnya dari penyalahgunaan kekuasaan dari
pemegang otoriter. Hal ini
sesuai dengan apa yang ditutur kan oleh alquran dalam surat annisa’ ayat 22
yang artinya dan jangan lah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampau.
3) Praduga tidak bersalah
Hal
ini juga merupakan konsekwensi dari asas legalitas tadi yaitu praduga tidak
bersalah yang menurut asas ini setiap orang tidak dianggap bersalah untuk suatu
perbuatan yang jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa
ada keraguan yang beralasan muncul, seseorang tertuduk harus dibebaskan.
Hal ini sesuai dengan sabda nabi yang artinya “hindari bagi muslim hukuman hudud kapan saja
kamu dapat dan bila kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam
salah lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum.”
4) Tidak sahnya hukum karena keraguan
Berkaitan
erat dengan asas diatas ( praduga tak bersalah) batalnya hukuman dalam hal
adanya keraguan, dalam hadis diatas “ hindari hudud dalam keadaan ragu lebih
baik salah membebaskan dari pada salah dalam menghukum”
5) Kesamaan di hadapan hukum
Pada
masa jahiliyah tidak ada kesamaan diantara manusia, tidak ada kesamaan antara
tuan dan budak, antara pemimpin dengan yang dipimpin, sikaya dengan yang
miskin, pria dan wanita. Dengan datangnya islam maka hapuslah semua perbedaaan
antara ras, warna, bahasa dll.
Syariat
memberikan tekanan yang besar pada prinsip equaliiti before the law Rasul
SAW bersabda : wahai manusia kalian menyembah tuhan yang sam, kalian
menpuanyai bapak yang sama, bangsa arab tidak lebih mulia dari banngasa persia
dan merah tidak lebih mulia dari hitam, kecuali dalam ketaqwaan.
b. Kaidah Khusus tentang Jarimah (Tindak Pidana)
a) Jarimah Qishas
القصاص
كالحدود
Jarimah qishash sama dengan jarimah
hudud.
Dijelaskan bahwa kesamaannya
terletak pada keharusan untuk berhati-hati dalam pemberian sanksi. Pada jarimah
qishash pun, hukuman gugur jika terdapat syubhat (kesamaran). Oleh
karena itu, keharusan untuk menghindari hukuman hudud, berlaku juga pada jarimah
qishash. Kemudian perbedaan jarimah hudud dengan jarimah
qishash terletak pada tujuh hal, yaitu:
a)
Pada jarimah qishash, hakim boleh
memutuskan hukuman berdasarkan pengetahuannya, sedangkan pada jarimah hudud
tidak boleh.
b)
Pada jarimah qishash, hak menuntut
qishash bisa diwariskan, sedangkan pada jarimah hudud tidak.
c)
Pada jarimah qishash, korban atau
wali korban dapat memaafkan sehingga hukuman dapat gugur secara mutlak atau
berpindah kepada hukum penggantinya, sedangkan pada jarimah hudud tidak ada
pemaafan.
d)
Pada jarimah qishash, tidak ada
kadaluarsa dalam kesaksian, sedangkan pada jarimah hudud ada kadaluarsa dalam
kesaksian kecuali pada jarimah qadzaf.
e)
Pada jarimah qishash, pembuktian
dengan isyarat dan tulisan dapat diterima, sedangkan pada jarimah hudud tidak.
f)
Pada jarimah qishash, dibolehkan ada
pembelaan (al syafa‟at), sedangkan pada jarimah hudud tidak ada.
g)
Pada jarimah qishash, harus ada
tuntutan, sedangkan pada jarimah hudud tidak perlu kecuali pada jarimah qadzaf.
Selanjutnya Kaidah kedua tentang
keharusan adanya kafaah:
Qishash gugur karena ketiadaan kafaah
(kesetaraan) dalam hal kemerdekaan dan agama.
Kaidah ketiga tentang keharusan
adanya kesamaan (al musawah) dan keserupaan (al mumatsalah) dalam
jinayah terhadap selain jiwa:
ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ
ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﻤﺴﺎﻭﺓ ﻭﺍﻟﻤﻤﺎﺛﻠﺔ
Qishash gugur karena ketiadaan
kesamaan dan keserupaan.
Kaidah di atas mengandung arti
bahwa qishash tidak dapat dilaksanakan jika tidak ada kesamaan
dan keserupaan antara pelaku dengan korbannya. Kesamaan yang dimaksud adalah
kesamaan dalam kesehatan dan kesempurnaan (kemulusan). Misalnya, tangan yang
lumpuh tidak sama dengan tangan yang sehat; tangan yang berjari lengkap tidak
sama dengan tangan yang tidak berjari atau tidak lengkap; mata yang melihat
tidak sama dengan mata yang buta; dan seterusnya. Adapun keserupaan yang
dimaksud adalah tangan kanan dengan tangan kanan; kaki kiri dengan kaki kiri;
mata kanan dengan mata kanan; telinga kiri dengan telinga kiri; dan seterusnya.
Sebagai contoh kasus, jika ada kesamaan dan keserupaan: seseorang yang tidak
memiliki telinga kiri memotong telinga kiri orang lain, pada kasus ini qishash
tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada keserupaan, sehingga sanksi ini
berpindah kepada diyat.
Kaidah keempat tentang gugurnya
qishash karena ada kerelaan/izin korban: Pada dasarnya para fuqaha sepakat
bahwa adanya kerelaan korban untuk dibunuh tidak membolehkan seseorang
melakukan pembunuhan, seperti kasus euthanasia. Tetapi mereka berbeda dalam
posisi kerelaan tersebut. Menurut Hanafiyah:
ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ
ﺑﺮﺿﺎ ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ
Qishash (hukum asal) gugur karena
ada kerelaan korban.
Gugurnya qishash disebabkan oleh
adanya kerelaan atau izin korban yang dapat dipersamakan dengan pemaafan. Oleh
karena itu, hukuman berpindah kepada diyat. Selain itu, kerelaan itu menjadi
syubhat yang dapat menggugurkan hudud. Menurut pendapat Malikiyah yang rajih
dan sebagian Syafi‟iyah:
ﻻ ﻳﺴﻘﻄ
ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﺮﺿﺎ ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ
Qishash
tidak gugur karena ada kerelaan korban.
Kerelaan korban tidak dapat
dipersamakan dengan pemaafan karena kerelaan itu ada sebelum terjadi jarimah
pembunuhan, sedangkan pemaafan ada setelah terjadi jarimah. Oleh karena itu,
pembunuhan tersebut tetap merupakan pembunuhan sengaja yang harus dihukum
dengan qishash. Pendapat Malikiyah yang marjuh (sahnun) dan sebagian
Syafi‟iyah: Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik dari
hukuman asli (qishash) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu
lebih utama dari pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi korban.
Kaidah kelima tentang kaifiyah
eksekusi qishash: Pendapat Hanafiyah:
لا قصاص إلا
بالسيف
Tidak ada qishash kecuali dengan
pedang.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
dengan cara apapun suatu pembunuhan dilakukan, pelaksanaan qishashnya harus
dengan menggunakan pedang. Pendapat Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah:
ﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﺑﺸﻲﺀ
ﻗﺘﻞ ﺑﻤﺜﻠﻪ
Barang siapa yang membunuh dengan
sesuatu (cara/alat), maka ia diqishash dengan cara yang serupa.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
eksekusi qishash dilaksanakan sesuai dengan cara pelaku melakukan pembunuhan.
Misalnya, seseorang melakukan pembunuhan dengan cara mencekik, maka iapun
diqishash dengan cara dicekik pula. Atau seseorang melakukan pembunuhan dengan
cara membakar, maka ia pun diqishash dengan cara dibakar pula. Selain itu,
Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk mengqishash
seorang Yahudi dengan cara yang sama (Yahudi itu telah membunuh jariyahnya
dengan cara meremukan kepalanya diantara dua batu). Namun demikian, keharusan
dengan cara yang sama ini dikecualikan, jika pembunuhan yang dilakukan
menggunakan cara yang haram. Misalnya, seseorang melakukan sodomi terhadap
seorang anak yang menyebabkan kematian, atau seseorang melakukan pembunuhan
dengan menggunakan khamr.
Kaidah keenam tentang gugurnya
qishash karena korban hilang jaminan perlindungan:
ﺍﻹﻫﺪﺍﺭ ﻫﻮ
ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ
Ada kebolehan (melakukan sesuatu)
terhadap orang yang telah hilang jaminan perlindungan.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
seseorang boleh melakukan sesuatu terhadap seseorang yang telah hilang hak-hak
perlindungannya, baik tubuhnya, jiwanya, maupun hartanya. Adapun yang dimaksud
dengan hilangnya jaminan perlindungan adalah orang-orang yang telah melakukan
perbuatan jarimah yang harus dikenai sanksi hudud atau qishash. Misalnya, orang
yang telah melakukan jarimah zina, pencurian, perampokan, pemberontakan,
riddah, penganiayaan, dan pembunuhan. Perlakuan sesuatu yang boleh dilakukan
bergantung kepada jenis hukuman yang harus diterima oleh korban. Misalnya,
seseorang boleh membunuh korban yang telah melakukan zina (zina muhshan),
melakukan pembunuhan, dan jarimah lainnya, yang sanksinya dibunuh. Ada
perbedaan sifat hilangnya jaminan perlindungan diantara orang yang telah
melakukan jarimah hudud dengan jarimah qishash. Pada jarimah hudud bersifat
mutlak sedangkan pada jarimah qishash bersifat relatif. Pada jarimah qishash,
hilangnya jaminan perlindungan bergantung kepada pemaafan wali korban. Oleh
karena itu, kepada selain wali korban, orang yang telah membunuh tidak hilang
jaminan perlindungannya.
b) Jarimah Hudud
ادرءوا
الحدود بشبهات
Hindari
hukuman had karena ada syubhat
Atau
dengan ungkapan lain:
الحدووتسقط
(تدراء) بالشبهات
Sanksi
had gugur karena adanya syubhat.
1) Zina
1.
homoseks (al-liwath):
ﺍﻟﻠﻮﺍﻃ
ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Homoseks itu seperti zina.
Kaidah ini dipegang oleh Malikiyah,
Syafi‟iyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat
dalam memberikan hukuman terhadap pelaku homoseks. Syafi‟iyah berpendapat bahwa
hukumannya sama persis dengan had zina, yaitu didera bagi yang ghair muhshan
dan rajam bagi yang muhshan. Sementara Malikiyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah
berpendapat bahwa hukuman bagi homoseks itu adalah rajam baik pelakunya muhshan
maupun ghair muhshan. Berbeda dengan pendapat Jumhur Fuqaha di
atas, Hanafiyah berpendapat bahwa:
ﺍﻟﻠﻮﺍﻃ ﻟﻴﺲ
ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Homoseks tidak sama dengan zina.
Mereka beralasan bahwa: 1) Perbedaan
nama mengakibatkan perbedaan hukum. 2) Para sahabat berbeda pendapat dalam
memberikan hukuman terhadap pelaku homoseks. Ini menunjukkan homoseks ini
termasuk wilayah ijtihadi. 3) Zina dapat merusak nasab sedangkan homoseks
tidak. 4) Wath‟i melalui qubul merupakan sesuatu yang secara naluriah menjadi
kecenderungan semua orang terutama bagi yang diwath‟i nya sedangkan melalui
dubur tidak. 5) Sebutan al fahisyat terhadap jarimah homoseks tidak menunjukkan
kesamaan hukum dengan zina, karena selain homoseks, banyak perbuatan dosa besar
yang termasuk al fahisyat.
2.
Kaidah kedua yaitu tentang lesbian (al-musahaqah),
Para fuqaha sepakat bahwa lesbian tidak sama dengan zina. Mereka menyatakan:
ﺍﻟﻤﺴﺎﺣﻘﺔ ﻟﻴﺲ
ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Jarimah lesbian tidak sama dengan
jarimah zina.
3.
Selanjutnya yaitu kaidah ketiga
tentang menyetubuhi binatang:
ﻻﺣﺪ ﻋﻟﻰ ﻣﻦ
ﻭﻃﺀ ﺍﻟﺒﻬﻴﻤﺔ
Tidak ada had tentang orang yang
menyetubuhi binatang.
4.
Kaidah keempat tentang laki-laki
yang menyetubuhi mayat perempuan: Pendapat jumhur:
ﻭﺟﻮﺏ ﺍﻟﺤﺪ
ﻋﻟﻰ ﻣﻦ ﻭﻃﺀ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻤﻴﺘﺔ
Tidak ada had terhadap laki-laki
yang menyetubuhi mayat perempuan.
Dengan alasan karena persetubuhan
itu bukan merupakan kecenderungan (keinginan) dari keumuman manusia. Orang yang
melakukan persetubuhan dengan mayat cukup dikenai sanksi ta‟zir. Berbeda dengan
jumhur, Malikiyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa: “Had wajib
ditegakkan terhadap laki-laki yang menyetubuhi mayat perempuan”. Mereka
beralasan bahwa persetubuhan tersebut kedudukannya sama dengan persetubuhan
terhadap wanita yang hidup. Hal ini dikarenakan kebutuhan syahwat dapat
terpenuhi dengan menyetubuhi mayat perempuan sebagaimana menyetubuhi perempuan
yang hidup.
5.
Kaidah kelima tentang perempuan yang
menyetubuhi mayat laki-laki:
ﻻﻳﺤﺪ ﻣﻦ
ﺍﺩﺧﻠﺖ ﺫﻛﺮ ﻣﻴﺖ ﻓﻲ ﻓﺮﺟﻬﺎ
Tidak ada had bagi perempuan yang
memasukkan kelamin laki-laki yang sudah meninggal ke dalam farjinya.
Menurut Malikiyah, hal ini
didasarkan bahwa persetubuhan itu tidak mendatangkan kenikmatan.
6.
Kaidah keenam tentang perempuan
dewasa yang bersetubuh dengan anak laki-laki (yang belum dewasa):
ﻻﺣﺪ ﻋﻟﻰ
ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻁﺎﻭﻋﺖ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺠﻨﻮﻥ
Tidak ada had bagi perempuan yang
bersetubuh dengan anak laki-laki atau orang gila.
7.
Kaidah ketujuh tentang laki-laki
dewasa yang bersetubuh dengan anak perempuan yang masih kecil (belum dewasa):
Dikenakan had bagi laki-laki yang menyetubuhi perempuan yang belum dewasa yang
memungkinkan untuk disetubuhi”.
8.
Kaidah kedelapan tentang suami yang
menyetubuhi istri melalui duburnya:
ﻻﻳﺤﺪ ﻣﻦ ﻭﻁﺀ
ﺯﻭﺟﺘﻪ ﻓﻲ ﺩﺑﺮﻫﺎ ﻭﻟﻜﻦ ﻳﺆﺩﺏ
“Tidak ada had bagi suami yang
menyetubuhi istrinya melalui duburnya, melainkan ta‟zir”.
a) Qazdaf
(menuduh orang berzina)
ﻣﻦ ﺭﻣﻰ
ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ﺑﻮﺍﻗﻌﺔ ﺃﻭ ﺻﻔﺔ ﻣﺤﺮﻣﺔ ﻣﺎ, ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺜﺒﺖ ﺻﺤﺘﻪ ﻣﺎ ﺭﻣﺎﻩ ﺑﻪ ﻓﺈﻥ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ
ﺇﺛﺒﺎﺗﻪ ﺃﻭ ﺇﻣﺘﻨﻊ ﻭﺟﺒﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ
Barang siapa menuduh seseorang
dengan suatu kejadian atau keadaan yang diharamkan, maka wajib baginya untuk
membuktikan kebenaran tuduhannya. Apabila ia tidak dapat membuktikannya maka ia
wajib dihukum.
Kaidah di atas menjelaskan bahwa
orang yang menuduh seseorang dengan tuduhan telah melakukan suatu tindakan
kejahatan atau sesuatu yang diharamkan maka ia wajib membuktikan kebenaran
tuduhan tersebut. Misalnya, seseorang menuduh orang lain telah berbuat zina
atau telah mencuri, maka orang tersebut (penuduh) wajib membuktikan kebenaran
ucapannya. Penuduh harus dikenai hukuman jika ia tidak dapat membuktikan
kebenaran ucapannya. Sebaliknya, orang yang dituduh harus dikenai hukuman jika
penuduh dapat membuktikan kebenaran tuduhannya.
Selain itu, ada kaidah pokok yang
menyatakan bahwa:
ﺍﻷﺻﻞ ﺑﺮﺍﺀﺓ
ﺍﻟﺬﻣﺔ
Pada asalnya seseorang itu terbebas
dari sesuatu beban.
Kaidah di atas menunjukkan bahwa
seseorang itu pada asalnya tidak bersalah sehingga ketika ada tuduhan seseorang
yang menyatakan bahwa ia telah bersalah maka penuduh harus membuktikan
kebenaran tuduhannya. Si tertuduh memiliki hak untuk membela diri dengan
menyatakan bahwa ia tidak bersalah atau melakukan kejahatan yang dituduhkan
kepadanya.
Kaidah kedua tentang mencaci:
ﻣﻦ ﺳﺒﺐ
ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ﺃﻭ ﺷﺘﻤﻪ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺍﻟﺤﻖ ﻓﻲ ﺇﺛﺒﺎﺕ ﺻﺤﺔ ﻣﺎ ﻗﺎﻝ
Barang siapa mengejek atau mencaci
seseorang, maka wajib baginya hukuman tanpa harus membuktikan kebenaran
ucapannya.
Kaidah di atas mengandung arti bahwa
mengejek atau mencaci maki seseorang, sejak awal, sudah termasuk perbuatan
jarimah. Ia tidak perlu membuktikan kebenaran ucapannya tetapi harus diberikan
sanksi agar terpelihara kehormatan diri seseorang. Misalnya, seseorang menghina
keadaan fisik atau sifat orang lain dengan hinaan seperti: “Hai hitam!”, “Hai
hidung pesek!”, “Hai orang bodoh!”, dan sebagainya. Kata-kata tersebut tidak
perlu dibuktikan kebenarannya. Sebab, perbuatan tersebut sudah termasuk
perbuatan maksiat, meskipun apa yang dikatakan itu benar keadaannya. Berbeda
dengan menuduh seseorang dengan tuduhan telah berbuat jarimah. Pada awalnya,
perbuatan tersebut (menuduh) bukan merupakan perbuatan jarimah. Sebab, bisa
jadi ia sebagai saksi untuk mengungkapkan suatu peristiwa yang telah terjadi.
Kaidah ketiga tentang menuduh
perbuatan yang wajib dikenai had zina:
ﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﻮﺟﺐ
ﺣﺪ ﺍﻟﺯﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻓﺎﻋﻠﻪ ﻳﻮﺟﺐ ﺣﺪ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺎﺫﻑ ﺑﻪ
Setiap yang dihukum dengan had zina
bagi pelakunya, maka wajib juga dihukum dengan had qadzaf bagi penuduhnya.
Demikian juga dalam hal qadzaf,
kualifikasi jarimah qadzaf pun bergantung pada kualifikasi jarimah zina, sebab
jarimah qadzaf ini berkenaan dengan tuduhan zina. Seseorang telah dapat
dikualifikasikan sebagai penuduh zina jika ia menuduh seseorang telah melakukan
perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan zina dan ia tidak dapat
membuktikan tuduhannya. Misalnya, sebagian Hanabilah menganggap bahwa
menyetubuhi binatang itu termasuk perbuatan zina, maka orang yang menuduh
seseorang dengan tuduhan telah bersetubuh dengan hewan harus dikenai sanksi
qadzaf jika ia tidak dapat membuktikan tuduhannya. Sementara Malikiyah,
Hanafiyah, sebagian Syafi‟iyah dan Hanabilah menganggap bahwa menyetubuhi hewan
itu bukan perbuatan zina, tetapi tetap harus dikenai sanksi ta‟zir karena
merupakan perbuatan maksiat. Orang yang menuduh perbuatan tersebut pun tidak
bisa dikenai had qadzaf, melainkan ta‟zir, jika ia tidak dapat membuktikan
kebenaran tuduhannya.
Demikian juga dalam hal menuduh
seseorang telah melakukan jarimah homoseks. Jumhur berpendapat bahwa menuduh
seseorang telah melakukan jarimah homoseks harus dikenai had qadzaf karena
homoseks termasuk zina. Sedangkan Hanafiyah menganggap bahwa homoseks itu bukan
zina, maka orang yang menuduh perbuatan tersebut pun tidak dapat dikenai had
qadzaf , melainkan ta‟zir. Hukuman itu diberikan jika penuduh tidak dapat
membuktikan kebenaran tuduhannya.
Kaidah keempat tentang syarat
tuduhan zina:
ﻳﺸﺘﺮﻃ ﻓﻲ
ﺍﻟﻘﺬﻑ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﻘﺬﻭﻑ ﻣﻌﻠﻮﻣﺎ ﻭﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﻣﻂﻠﻘﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺮﻃ ﻭﺍﻹﺿﺎﻓﺔ ﺇﻟﻰ ﻭﻗﺖ
ﻣﻌﻴﻦ
Disyaratkan dalam tuduhan zina (yang
dikenai had) adalah orang yang dituduh itu diketahui dan tuduhan terbebas dari
syarat dan kaitan dengan waktu yang ditentukan.
Kaidah ini menunjukkan bahwa
seseorang dianggap telah melakukan jarimah qadzaf, jika tuduhannya itu
dituduhkan kepada seseorang tertentu (diketahui). Misalnya, kamu, dia (dengan
menyebutkan namanya), ayahmu, ibumu, anakmu (dengan menyebutkan nama jika
anaknya lebih dari seorang) dan sebagainya. Adapun kata-kata yang tidak jelas
dituduhkan kepada siapa, misalnya: “Diantaramu, ada salah seorang yang telah
berzina” atau “Salah satu yang berada di kelas itu telah melakukan zina”.
Kata-kata tersebut belum dianggap sebagai tuduhan zina. Selain itu, tuduhan itu
tidak boleh digantungkan dengan waktu atau keadaan tertentu. Misalnya, “Kamu
telah berzina jika saya lulus ujian” atau “Kamu telah berzina jika saya telah
sampai ke rumah”. Perkataan seperti itu belum dianggap sebagai tuduhan zina.
Kaidah kelima tentang syarat orang
yang dituduh:
ﻳﺸﺘﺮﻃ ﻓﻲ
ﺍﻟﻤﻘﺬﻭﻑ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺤﺼﻨﺎ ﺭﺟﻼ ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﺍﻣﺮﺃﺓ
Disyaratkan orang yang dituduh itu
harus muhshan (orang yang memelihara diri dari perbuatan zina) baik laki-laki
atau perempuan.
Kaidah ini menjelaskan bahwa
seseorang dianggap telah melakukan jarimah qadzaf jika tuduhan itu dituduhkan
kepada muhshan atau muhshanat. Adapun arti muhshan dalam jarimah qadzaf adalah
laki-laki atau perempuan yang biasa menjaga diri (iffah) dari
perzinhaan, baligh, berakal, merdeka, dan muslim. Dengan demikian, menuduh zina
terhadap orang yang jelas-jelas pelacur, tidak termasuk jarimah qadzaf.
2) Khamar (minuman keras)
ﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺧﻤﺮ
ﻭﻛﻞ ﺧﻤﺮ ﺣﺮﺍﻡ
Setiap yang memabukkan adalah khamr
dan setiap khamr adalah haram.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
setiap minuman yang memabukkan kedudukannya sama seperti khamr yang dikemukakan
dalam al Quran. Barang siapa yang meminumnya, sedikit atau banyak, akan dikenai
sanksi dera sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah SAW. Berbeda dengan
pendapat jumhur, Abu Hanifah mengatakan bahwa:
ﺣﺮﻣﺔ ﺍﻟﺨﻤﺮﺓ
ﻟﻌﻴﻨﻬﺎ ﻭﺍﻟﻤﺴﻜﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﺮﺍﺏ
Khamr haram karena dzatnya,
sedangkan minuman (selain khamr) karena mabuknya.
Kaidah tersebut dipegang oleh Abu
Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, khamr adalah perasan anggur
yang difermentasikan sehingga menimbulkan gelembung-gelembung (berbuih) sampai
berbusa. Adapun dari bahan-bahan lainnya tidak dinamakan khamr. Menurutnya,
berbeda nama berarti berbeda hukumnya. Keharaman khamr karena dzatnya. Oleh
karena itu, minum sedikit atau banyak sudah termasuk perbuatan haram (jarimah).
Sedangkan minuman lain yang dibuat dari selain anggur, keharamannya karena mabuknya.
Misalnya, seseorang minum minuman “keras” yang bukan berasal dari perasan
anggur, selama belum mabuk, halal hukumnya. Tetapi, jika ia mabuk, maka pada
tegukan yang terakhir itulah ia telah melakukan perbuatan yang haram atau
jarimah minum minuman “keras”.
Kaidah kedua tentang kadar minuman
yang memabukkan:
ﻻﻋﺒﺮﺓ ﺑﻘﻮﺓ
ﺍﻹﺴﻜﺎﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﺏ ﻓﻤﺎ ﺃﺳﻜﺮ ﻛﺜﻴﺮﻩ ﻓﻘﻠﻴﻠﻪ ﺣﺮﺍﻡ
Daya mabuk suatu minuman (kadar
alkohol) bukanlah ukuran (keharaman), minuman yang dalam keadaan banyak dapat
memabukkan maka dalam keadaan sedikitpun telah haram.
Maksudnya, keharaman minuman keras itu
tidak diukur oleh banyaknya (kadar) minuman yang dapat memabukkan peminumnya.
Misalnya, seseorang baru mabuk jika telah minum tiga gelas. Menurut jumhur,
pada tegukan pertama pun sudah haram apabila minuman itu memabukkan, walaupun
ia belum mabuk.
3) Syariq (pencurian)
ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ
ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ ﻋﺸﺮﺓ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺃﻭ ﻣﻘﺪﺍﺭﻫﺎ ﺧﻔﻴﺔ ﻋﻤﻦ ﻫﻮ ﻣﺘﺼﺪ ﻟﻠﺤﻔﻈ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﺘﺴﺎﺭﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻣﻦ
ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺘﻤﻮﻝ ﻟﻠﻐﻴﺮ ﻣﻦ ﺣﺮﺯ ﺑﻼ ﺷﺒﻬﺔ
Pencurian adalah mengambil harta
yang dilakukan oleh orang yang berakal (tidak gila) dan telah dewasa;
sekurang-kurangnya sepuluh dirham; yang dilakukan dengan cara diam-diam; harta
tersebut tersimpan di tempat yang terjaga (layak), tidak cepat rusak dan milik
orang lain dengan tidak ada syubhat.
Kaidah kedua tentang harta yang
dirusak:
ﻛﻞ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﻬﻠﻚ
ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺍﻟﺤﺎﺩﺙ ﻓﻬﻮ ﻣﺘﻠﻒ ﻻ ﻣﺴﺮﻭﻕ
Setiap (harta) yang habis (lenyap)
pada waktu pencurian maka termasuk perusakan bukan pencurian.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
suatu perbuatan dianggap pencurian apabila harta yang dicuri itu tidak dirusak
di tempat penyimpanannya, baik dengan cara dimakan, diminum, atau disobek.
Pengambilan harta dengan cara dirusak seperti ditelan, disobek, atau dipecahkan
merupakan perbuatan perusakan. Misalnya, seorang pencuri memakan hidangan yang
tersedia di meja makan, perbuatan itu merupakan perusakan bukan pencurian. Akan
tetapi, perbuatan itu sudah merupakan pencurian jika pencuri itu membawa keluar
makanan tersebut dari hiriznya dan telah mencapai nishab kemudian
memakannya. Para Fuqaha sepakat bahwa perusakan itu terhadap harta yang menjadi
rusak karena ditelan. Sedangkan harta yang tidak rusak, maka mereka berbeda
pendapat. Pendapat tersebut adalah:
1)
Perbuatan tersebut merupakan
perusakan bukan pencurian.
2)
Perbuatan tersebut merupakan
pencurian.
3)
Perbuatan tersebut merupakan
perusakan jika harta yang ditelan itu dapat dikeluarkan. Sebaliknya perbuatan
tersebut merupakan pencurian jika harta yang ditelan itu tidak dapat
dikeluarkan.
Kaidah ketiga tentang gugurnya hiriz:
ﻳﺒﻂﻞ ﺍﻟﺤﺮﺯ
ﺑﻔﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﻨﻘﺐ
Hiriz gugur
(hilang) karena pintu telah terbuka atau adanya lubang.
Kaidah ini dipegang oleh al Syafi‟i,
Ahmad, dan Syi‟ah Zaydiyah. Kaidah ini mengandung arti bahwa seseorang yang
mengambil harta di suatu tempat dalam keadaan terbuka pintunya atau melalui
suatu lubang, tidak termasuk pencurian yang harus dikenai had melainkan ta‟zir.
Mereka beranggapan bahwa pengambilan harta tersebut bukan pada tempat
penyimpanan yang layak. Sedangkan Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa:
“Hiriz gugur (hilang) karena pintu telah terbuka atau adanya lubang”. Malik dan
Abu Hanifah berpendapat bahwa, meskipun pintu atau jendela suatu tempat itu
terbuka atau dindingnya berlubang, pengambilan harta di dalamnya merupakan
pencurian yang harus dikenai had.
Kaidah keempat tentang harta yang
tidak berharga:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻓﻲ
ﺍﻟﺸﻲﺀ ﺍﻟﺘﺎﻓﻪ
Tidak ada potong tangan pada
(pencurian) sesuatu yang remeh.
Kaidah ini menjelaskan bahwa
pencurian yang dapat dikenai had adalah pencurian terhadap harta yang berharga,
paling tidak bagi pemiliknya. Menurut Mustafa Ahmad Al Zarqa, harta (yang
berharga) adalah sesuatu yang disenangi oleh tabi‟at manusia dan mungkin
disimpan sampai waktu yang diperlukan.
Kaidah kelima tentang harta yang
diharamkan dan alat-alat maksiat:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻓﻲ
ﺳﺮﻗﺔ ﻣﺤﺮﻡ ﻭﺁﻵﺕ ﺍﻟﻠﻬﻮﻱ
Tidak ada potong tangan terhadap
pencurian barang-barang yang diharamkan dan alat-alat maksiat.
Kaidah ini didasarkan atas adanya
syubhat bahwa di satu sisi pengambilan barang orang lain itu diharamkan, tetapi
di sisi lain ada perintah untuk memberantas kemaksiatan, yaitu al amr bil
ma‟ruf al nahyi ‘an al munkar. Selain itu, barang-barang tersebut termasuk
harta yang tidak berharga karena harus dimusnahkan. Barang-barang yang
diharamkan tersebut diantaranya adalah babi, khamr, patung, dan bangkai.
Sedangkan alat-alat maksiat diantaranya adalah al thanbur (semacam mandolin
atau kecapi) dan al mizmar (semacam terompet atau seruling).
Pengambilan benda-benda tersebut tidak akan dikenai had meskipun telah mencapai
nishab pencurian.
Kaidah keenam tentang nishab
pencurian:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻗﺒﻞ
ﺍﻟﻨﺼﺎﺏ
Tidak ada potong tangan sebelum
nishab.
Jumhur berbeda pendapat tentang
batasan nishab dalam pencurian. Abu Hanifah berpendapat bahwa batasan nishabnya
adalah 1 dinar atau 10 dirham. Menurutnya, harga perisai (pada masa Abu
Hanifah) adalah 10 dirham. Sedangkan Malik dan Syafi‟i berpendapat bahwa
batasan nishabnya adalah seperempat dinar atau tiga dirham. Dan mereka berbeda
pendapat tentang standar pokok yang dijadikan batasan nishab. Menurut Malik,
standar pokok nishab adalah seperempat dinar untuk emas dan tiga dirham untuk
perak. Sedangkan menurut Syafi‟i standarnya adalah seperempat dinar emas,
sehingga harga dirham harus disesuaikan dengan harga dinar, apabila harga
dirham fluktuatif.
Kaidah ketujuh tentang ayah yang
mencuri harta anak:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻋﻠﻰ
ﺍﻷﺻﻮﻝ ﺇﺫﺍ ﺳﺮﻗﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﺮﻭﻉ
Tidak ada potong tangan terhadap ayah (dan terus ke
atas) yang mencuri harta anaknya (dan seterusnya ke bawah).
Kaidah ini didasarkan atas kesamaran
dalam pemilikan harta. Jumhur berpendapat bahwa pada harta anak itu terdapat
harta ayah, sehingga pengambilan harta anak itu bukan merupakan pencurian yang
dikenai had.
4) Hirabah (perampokan)
ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ ﻫﻮ
ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﻐﺎﻟﺒﺔ
Perampokan adalah pengambilan harta
yang dilakukan secara terang-terangan.
Kaidah ini membedakan antara
perampokan dengan pencurian. Abdul Qadir Awdah mengistilahkan hirabah dengan sariqah
kubra (pencurian besar), sedangkan pengambilan harta yang dilakukan
dengan cara diam-diam disebut dengan sariqah sughra (perampokan
kecil). Besar dan kecil di sini tidak dimaksudkan untuk membedakan besar
kecilnya harta yang diambil, tetapi membedakan cara pengambilannya bahwa
pengambilan harta ini harus menjadi niat para pelaku sehingga dapat
dikualifikasikan sebagai jarimah hirabah.
Kaidah kedua tentang tempat perampokan:
ﺃﻥ ﺗﻘﻊ ﺟﻨﺎﻳﺔ
ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﺔ ﻓﻲ ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺮ
Perampokan dilakukan di luar kota.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
pengambilan harta secara terang-terangan tersebut harus dilakukan di luar kota,
seperti di jalanan padang pasir. Sementara jalanan di dalam kota ramai dilalui
orang sehingga mudah meminta pertolongan. Selain itu, ada pihak berwenang yang
menjaga keamanan. Oleh karena itu, perampokan di dalam kota tidak murni
memerangi Allah sehingga tidak dapat dikenai had hirabah. Pendapat
Jumhur (Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Zhahiriyah): “Perampokan bisa dilakukan di
luar kota atau di dalam”. Adapun penjelasan dari Satria Effendi, bahwa yang
menjadi pertimbangan penting dalam merumuskan kualifikasi jarimah hirabah
adalah adanya tindakan kekerasan di suatu tempat yang jauh dari tempat meminta
pertolongan. Tindakan ini melahirkan ketakutan yang bisa terjadi di mana saja,
termasuk di rumah. Oleh karena itu, tempat perampokan tidak dibatasi di jalan
tetapi dapat terjadi di mana saja. Bahkan akhir-akhir ini, perampokan bersenjata
di rumah-rumah lebih menakutkan dibanding dengan di jalan-jalan.
Kaidah ketiga tentang keharusan
menggunakan senjata:
ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ
ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﻴﻦ ﺳﻼﺡ
Orang-orang yang merampok itu harus
menggunakan senjata.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
suatu tindakan pengambilan harta secara paksa dikualifikasikan sebagai jarimah
hirabah jika para pelakunya menggunakan senjata.
5) Pemberontakan
ﺍﻹﻣﺘﻨﺎﻉ ﻋﻦ
ﺍﻟﻂﺎﻋﺔ ﻓﻲ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻟﻴﺲ ﺑﻐﻴﺎ
Menolak taat (perintah imam) berbuat
maksiat bukan merupakan jarimah bughat.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
orang yang tidak mematuhi perintah Imam berbuat maksiat tidak dapat
dikategorikan sebagai pemberontak. Sebab ketundukan atau ketaatan rakyat kepada
pemimpinnya tidak bersifat mutlak, tetapi terbatas pada hal-hal yang bukan
maksiat.
Kaidah kedua tentang keharusan
adanya pengerahan kekuatan:
ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻰ
ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﻘﻮﺓ ﻟﻴﺲ ﺑﻐﻴﺎ
Menentang imam tanpa disertai
pengerahan kekuatan bukan merupakan jarimah bughat.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
sikap menentang Imam atau tidak tunduk terhadap perintahnya tanpa disertai
dengan tindakan perlawanan atau pengerahan kekuatan belum dapat dikategorikan
sebagai jarimah pemberontakan. Misalnya, seperti sikap Ali bin Abi Thalib yang
tidak memba’at Abu Bakar selama beberapa bulan; Sa’d bin Ubadah yang tidak
pernah memba’at Abu Bakar sampai mati; Abdullah bin Umar dan Zubair yang tidak
memba’at Yazid bin Mu‟awiyah.
ﻛﻞ ﻣﻦ ﺍﻣﺘﻨﻊ
ﻋﻦ ﺇﺗﻴﺎﻥ ﻓﻌﻞ ﻳﻮﺟﺒﻪ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻣﻊ ﺍﺳﺘﺤﻼﻝ ﻋﺪﻡ ﺇﺗﻴﺎﻧﻪ ﻓﻬﻮ ﺭﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
Setiap orang yang menolak melakukan
perbuatan yang diwajibkan Islam kepadanya disertai dengan keyakinan halal
meninggalkannya maka dia telah keluar dari Islam.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
orang yang tidak menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh syariat
Islam dengan alasan bahwa perbuatan itu bukan wajib, maka ia dapat
dikualifikasikan sebagai orang yang telah keluar dari Islam atau telah berbuat
jarimah riddah. Misalnya, seseorang tidak mau melaksanakan shalat wajib dengan
alasan bahwa shalat tersebut tidak wajib. Tetapi orang yang tidak melaksanakan
shalat wajib karena malas dikualifikasikan telah fasiq atau ’ashy (pelaku
maksiat) dan termasuk jarimah ta’zir.
Kaidah kedua tentang melakukan
perbuatan yang diharamkan:
ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺗﻰ
ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ ﻣﻊ ﺍﺳﺘﺤﻼﻝ ﺇﺗﻴﺎﻧﻬﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
Setiap keyakinan yang berlawanan
dengan (aqidah) Islam menunjukkan telah keluar dari Islam.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
orang yang melanggar larangan-larangan syariat Islam disertai dengan keyakinan
bahwa hal tersebut tidak dilarang, maka ia telah keluar dari Islam. Misalnya,
seorang berzina dengan keyakinan bahwa zina itu tidak haram, maka ia telah
keluar dari Islam. Apabila ia melakukannya karena melanggar keharaman disertai
keyakinan bahwa perbuatan tersebut dilarang, ia tidak keluar dari Islam melainkan
telah berbuat maksiat atau melakukan jarimah zina.
Kaidah ketiga tentang keyakinan yang
keluar dari Islam:
ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺧﺮﻭﺟﺎ
ﻋﻦ ﺍﻹﺴﻼﻡ ﻛﻞ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﻣﻨﺎﻑ ﻟﻺﺳﻼﻡ
Setiap keyakinan yang berlawanan
dengan (aqidah) Islam menunjukkan telah keluar dari Islam.
Di antara contoh-contoh keyakinan
yang bertentangan dengan Islam adalah keyakinan bahwa al Quran itu bukan dari
Allah melainkan kata-kata Muhammad; Muhammad adalah pendusta; ada lagi nabi
terakhir setelah kenabian Muhammad; dan Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Akan
tetapi keyakinan-keyakinan tersebut belum dapat dikualifikasikan jarimahriddah yang
dikenai had jika belum dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Sebab Allah
memaafkan ummat-Nya dari apa yang dibisikkan hatinya selama belum diungkapkan
atau dikerjakan.
c) Jarimah Ta’zir
Dalam studi fiqh jinayah, selain
adanya hudud dan qishas maka dikenal pula istilah Ta’zir, yaitu
hukuman yang diputuskan oleh hakim terhadap satu kejahatan yang tidak
disebutkan hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Beberapa kaidah fiqh tentang hal ini adalah :
Kaidah pertama tentang kualifikasi
jarimah ta‟zir:
كل معصية لا
حد فيها ولا كفارة فهو التعزير
Setiap perbuatan maksiat yang tidak
dikenai sanksi had atau kaffarat adalah jarimah ta’zir.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
setiap perbuatan maksiat yang tidak dapat dikenai sanksi hudud atau kaffarah
dikualifikasikan sebagai jarimah ta’zir. Para fuqaha sepakat bahwa yang
dimaksud dengan perbuatan maksiat adalah meninggalkan kewajiban dan melakukan
hal-hal yang dilarang. Tidak melaksanakan sholat wajib; tidak menunaikan zakat;
atau mengkhianati adalah perbuatan maksiat dengan cara meninggalkan kewajiban.
Sedangkan mengurangi timbangan; berdusta; atau berkhulwat adalah perbuatan
maksiat dengan cara melakukan hal-hal yang dilarang. Seluruh perbuatan tersebut
dapat dikenai sanksi ta’zir.
- Percobaan
Melakukan Jarimah
أن الشروع في
الجريمة لا يعاقب عليه بقصاص ولا حد وانما يعاقب عليه بالتعزير أيا كان نوع
الجريمة
Percobaan melakukan jarimah, apapun
jarimahnya, tidak bisa dikenai hukuman qishash atau hudud melainkan ta’zir.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
percobaan melakukan jarimah hudud atau qisash tidak dapat dikategorikan telah
melakuakn jarimah tersebut secara sempurna sehingga tidak bisa dikenai had atau
qisash, melainkan tazir.
Hukuman itupun diberikan jika di antara percobaan tersebut telah dapat
dikategorikan perbuatan maksiat, sesuai dengan kaidah berikut:
تعاقب علي
الشروع في كل جريمة اذا كون الفعل غير التام معصية
Percobaan melakukan jarimah akan
mendapat hukuman, jika perbuatan percobaan itu merupakan perbuatan maksiat.
Kaidah ketiga tentang kebolehan
memberikan hukuman kepada pelaku percobaan pada jarimah ta‟zir:
تعاقب علي
الشروع في كل جريمة اذا كون الفعل غير التام معصية
Jarimah yang seselai berbeda
sanksinya dengan jarimah yang belum selesai kecuali pada jarimah-jarimah
ta’zir.
Kaidah ini mengandung arti bahwa
hukuman bagi pelaku percobaan melakukan jarimah hudud atau qisash tidak sama
dengan hukuman bagi pelaku tersebut yang telah selesai dengan sempurna.
Sedangkan pada jarimah ta’zir, boleh memberikan hukuman bagi pelaku percobaan.
Sebab, pemberian sanksi ta’zir menjadi hak imam sesuai dengan tuntutan
kemaslahatan.
Kaidah keempat tentang pengurungan
maksud berbuat jarimah:
اذا عدل
الجاني عن اتمام الجريمة لأي سبب غير التوبة فهو مسءول عن الفعل كلما اعتبر الفعل
المعصية
Apabila pelaku jarimah tidak
menyelesaikan perbuatan jarimahnya karena alasan-alasan selain taubat, maka dia
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya selama perbuatan tersebut merupakan
perbuatan maksiat.
Kaidah ini merupakan kelanjutan dari
kaidah di atas yang mengandung arti bahwa pengurungan diri dari perbuatan
jarimah dapat menggugurkan hukuman dengan syarat dilakukan karena kesadaran
diri atau taubat, bukan karena pengaruh dari luar seperti tertangkap basah.
- Gugurnya hukuman
Jarimah yang dilakukan pun harus
berkenaan dengan hak Allah atau jama’ah. Kaidah ini dipegang oleh sebagian
Syafi‟iyah dan Hanabilah. Mereka menyatakan:
التوبة تسقط
العقوبة مما يتعلق بحق الله
Taubat dapat menggugurkan hukuman
pada jarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah.
Berbeda dengan Malik, Abu Hanifah,
sebagian Syafi‟iyah dan Hanabilah lainnya menyatakan bahwa:
ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻻﺗﺴﻘﻄ
ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺟﺮﻳﻤﺔ ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ
Taubat tidak dapat menggugurkan
hukuman kecuali pada jarimah hirabah (perampokan).
B. Qaidah Fiqih fi
As-siyasah
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“Kebijakan
seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemashlahatan”.
Kaidah ini
menegaskan bahwa seorang pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan
rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keinginan keluarganya atau
kelompoknya. Misalnya, setiap kebijakan yang maslahat dan manfaat bagi rakyat
maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan
dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan
mafsadah dan memadaratkan rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi,
seperti membuat irigasi untuk petani, membuka lapangan kerja yang padat karya,
melindungi hutan lindung, menjaga lingkungan, mengangkat pegawai-pegawai yang
amanah dan professional, dan lain sebagainya.
الخيانة لا تتجزا
“Perbuatan
khianat itu tidak terbagi-bagi”.
Apabila seseorang tidak melaksanakan atau khianat
terhadap salah satu amanah yang dibebankan kepadanya, maka dia harus dipecat
dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.
ان الامام ان يجطئ في العفو خير من ان يجطئ في العقوبة
“Seorang pemimpin itu, salah
dalam member maaf lebih baik daripada salah dalam menghukum”.
Kaidah ini menegaskan bahwa kehati-hatian dalam
mengambil keputusan sangatlah penting. Jangan sampai akibat dari keputusan
pemimpin mengakibatkan kemadaratan kepada rakyat dan bawahannya. Apabila
seorang pemimpin masih ragu karena belum ada bukti yang meyakinkan antara
memberi maaf atau menjatuhkan hukuman, maka yang terbaik adalah member maaf.
Tetapi apabila sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya maka seorang pemimpin
harus berani dan tegas mengambil keputusan sesuai dengan kaidah:
يقدم في كل ولاية من هو اقدم على القيام بحقوقها ومصالها
“Didahulukan dalam setiap kekuasaan, orang
yang lebih berani menegakkan hak atau kebenaran dan kemaslahatan”.
Ibnu Taimiyah menyimpulkan dengan:
اختيار الاامثل فالامثال
“Memilih yang representative dan lebih
representatif lagi”.
الولاية الجاصة اقوى من
الولاية العامة
“Kekuasaan yang khusus lebih
kuat (kedudukannya) daripada kekuasaan yang umum”. Maksud dari kaidah ini
adalah bahwa lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya daripada
lembaga yang umum. Contohnya: camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya
daripada Gubernur, wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya daripada
lembaga peradilan agama.
لا يقبل في دار
الاسلام العذر بجهل الاحكام
“Tidak diterima di negeri Muslim, pernyataan tidak
tahu hukum”. Yang dimaksud tidak tahu hukum di sini adalah hukum yang
bersifat umum karena masyarakat semestinya mengetahuinya, seperti hukum menaati
ulil amri adalah wajib, zakat itu wajib, dan lain sebagainya.
الاصل في العلاقة
السلم
“Hukum asal dalam hubungan antarnegara adalah
perdamaian”.
Perang bersifat temporer dan dilakukan ketika satu-satunya
penyelesaian adalah perang. Perang itu dalam keadaan darurat sehingga harus
memenuhi persyaratan darurat. Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakan
untuk kembali kepada perdamaian baik dengan cara penghentian sementara,
perjanjian atau dengan melalui lembaga arbitrase.
كل مبيع لم يصح
في دار الاسلام لم يصح في دار الحرب
“Setiap barang yang tidak sah dijualbelikan di
negeri Islam maka tidak sah pula dilakukan di negeri harbi”. Kaidah ini
dipegang oleh mazhab Maliki dan Syafi‟i, yang berarti bahwa di manapun berada
barang-barang yang haram tetap haram hukumnya. Jadi seorang Muslim yang pergi
ke luar negeri, tetap haram baginya makan daging babi, minum minuman yang
memabukkan, melakukan riba, dan sebagainya. Selain itu, ia tetap harus shalat, puasa,
memegang amanah, dan lain sebagainya. Dan ini berkaitan dengan teori
Nasionalitas.
العقد يرعى مع
الكافر كما يرعى مع المسلم
“Setiap perjanjian dengan orang nonmuslim harus
dihormati seperti dihormatinya perjanjian sesama muslim”. Kaidah ini
berlaku dalam akad, perjanjian atau transaksi antara individu muslim dan
nonmuslim dan antara negeri muslim dan nonmuslim secara bilateral atau
unilateral.
الجباية بالحماية
“Pungutan harus disertai dengan perlindungan”.
Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari rakyat, baik
berupa zakat, fae, rikaz, ma‟dun, kharaj (pajak tanah bagi non muslim), wajib disertai dengan
perlindungan dari pemerintah kepada warga yang sudah mengeluarkan apa yang
sudah dipungut tadi. Yang dimaksud dengan perlindungan di sini adalah rakyat
harus dilindungi hartanya, darahnya, dan kehormatannya, termasuk di dalam
kondisi menciptakan kondisi keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha,
bekerja dalam lapangan kerja yang halal, serta membangun sarana dan prasarana
untuk kesejahteraan rakyatnya.
الخروج من الخلاف
مستحب
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”.
Dalam kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat
ini penting dalam memberikan alternative pemecahan masalah. Tetapi, kembali
kepada kesepakatan itu disenangi, setelah terjadi perbedaan pendapat tadi agar
kehidupan masyarakat menjadi tenang kembali.
ما لا يدرك كله
لا يترك كله
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya,
jangan ditinggalkan seluruhnya”. Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu
keputusan yang baik sudah diambil tetapi dalam pelaksanaannya banyak hambatan,
maka tidak berarti harus ditinggalkan seluruhnya. Akan tetapi, apa yang dapat
dilaksanakan itulah yang dikerjakan sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang
ada.
لهم ما لنا
وعليهم ما علينا
“Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada
kita dan terhadap mereka dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap
kita”. Kaidah di atas menegaskan adanya persamaan hak dan kewajiban
diantara sesama warga negara yang dilandasi oleh moral ukhuwah wathaniyah,
meskipun mereka berbeda warna kulit, bahasa, dan budaya, serta kekayaannya.
Ulama menggunakan kaidah di atas dalam konteks hubungan antar warga negara
muslim dan zimi (kafir zimi). Mereka berkedudukan sama di hadapan
penguasa dan hukum.
BAB
III
PENUTUP
Dalam hukum
pidana islam (jinayah) memiliki ketentuan-ketentuan kaidah umum yaitu :
1. Legalitas
لا
جزيمة ولا عقوبة بلا نص
Tidak ada jarimah (tindak pidana)
dan tidak ada hukuman tanpa nash (aturan)
Dalam sejarah hukum islam, tidak
pernah suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana dan tidak pernah dijatuhi
hukuman sebelum perbuatan tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana dan diberi
sangsinya baik dalam alquran maupun hadis.
Semakna dengan kaidah diatas adalah
لا
حكم لافعال العقلاء قبل ورود النص
Tidak ada hukuman bagi orang yang
berakal sebelum datangnya nash.
2. Tidak berlaku surut
Kaidah tidak
berlaku surut merupakan konsekwensi
dari kaidah pertama yaitu legalitas yang berarti bahwa undang-undang berlaku
hanya pada perbuatan yang dilakukan setelah undang-undang itu berlaku dan untuk
perbuatan sebelumnya tidak bisa berlaku. Pentingnya asas ini karena ia
melindungi keamanan individu dan mencegahnya dari penyalahgunaan kekuasaan dari
pemegang otoriter. Hal ini sesuai dengan apa yang ditutur kan oleh alquran
dalam surat annisa’ ayat 22 yang artinya dan jangan lah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah
lampau.
3. Praduga tidak bersalah
Hal
ini juga merupakan konsekwensi dari asas legalitas tadi yaitu praduga tidak
bersalah yang menurut asas ini setiap orang tidak dianggap bersalah untuk suatu
perbuatan yang jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa
ada keraguan yang beralasan muncul, seseorang tertuduk harus dibebaskan. Hal
ini sesuai dengan sabda nabi yang artinya “hindari bagi muslim hukuman hudud kapan saja
kamu dapat dan bila kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam
salah lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum.”
4. Tidak sahnya hukum karena keraguan
Berkaitan
erat dengan asas diatas ( praduga tak bersalah) batalnya hukuman dalam hal
adanya keraguan, dalam hadis diatas “ hindari hudud dalam keadaan ragu lebih
baik salah membebaskan dari pada salah dalam menghukum”
5. Kesamaan di hadapan hukum
Pada
masa jahiliyah tidak ada kesamaan diantara manusia, tidak ada kesamaan antara
tuan dan budak, antara pemimpin dengan yang dipimpin, sikaya dengan yang
miskin, pria dan wanita. Dengan datangnya islam maka hapuslah semua perbedaaan
antara ras, warna, bahasa dll.
Syariat
memberikan tekanan yang besar pada prinsip equaliiti before the law Rasul
SAW bersabda : wahai manusia kalian menyembah tuhan yang sam, kalian
menpuanyai bapak yang sama, bangsa arab tidak lebih mulia dari banngasa persia
dan merah tidak lebih mulia dari hitam, kecuali dalam ketaqwaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
mudjib, 2001, kaidah-kaidah ilmu fiqih, Jakarta : kalam mulia
Muhammad
jawad mughniyah, 2011, fiqih lima mazhab,cet 27 terjemahan, jakarta :
Lentera