Powered By Blogger

jam

_

assalammualaikum

semoga bermanfaat

Kamis, 30 November 2017

Pandangan Fiqih Jinayah tentang Pidana Mati Bagi Pelaku TIPIKOR Berdasarkan UU Pemberantasan TIPIKOR
Secara kasat mata, pada awalnya penulis memiliki kesimpulan awal ( hipotesa ), bahwa pemberlakuan dan penetapan Undang-undang tentang pidana mati bagi pelaku tipikor bertentangan dan melanggar hak asasi manusia, sebab kehidupan adalah hak asasi manusia yang dianugrahkan oleh tuhan yang menciptakannya sehingga tidak boleh diganggu gugat oleh yang lainnya. Segala bentuk usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia  harus untuk menjaga kelansungan hidup manusia. Dalam hukum islam, maqashid syariah (tujuan pensyariatan) adalah untuk mendapatkan dan menjaga kemaslahatan manusia itu sendiri baik itu yang berhubungan dengan politik, pidana, perdata, dan muamalah.
a.      Metode Penemuan Hukum Bayani 
Berdasarkan metode penemuan hukum bayani penulis menyimpulkan bahwa dalam jarimah ini (tindak pidana korupsi) tidak tergolong kepada jarimah qishas maupun jarimah hudud sebab tidak terdapat satuan ketetapan yang baku yang mengatur secara rinci ( tidak terdapat ketetaapan materil dan formil sehingga sanksinya pun tidak jelas) terlebih lagi ketetapan untuk jarimah ini hanya ditemukan berupa himbauan untuk menghindari dan tidak melakukannya serta saksinya yang bersifat moril, sehingga jarimah ini termasuk kepada jarimah ta’zir dimana ketetapan dan sanksinya diserahkan kepada pemmpin atau hakim di suatu daerah.
                        Ta’zir[1] memang bukan termasuk dalam kategori hukuman hudud. Namun bukan berarti tidak boleh lebih keras dari hudud, bahkan sangat dimungkinkan diantara sekian banyak jenis dan bentuk ta’zir berupa hukuman mati.[2]Dalam Undang-undang No 31 tahun 1999 jo Undang-undang No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat tiga unsur pemindanaan atau hukuman yaitu 1) hukuman mati, 2) hukuman penjara 3) hukuman ganti rugi.
                        Berdasarkan paparan tersebut menurut hemat penulis tentang pemindanaan ( hukuman atau sanksi ) bagi pelaku tindak pidana korupsi yang termaktub dalam UU tersebut diatas melalui metode penemuan hukum bayani pidana mati sudah pantas dan sewajarnya ada karena tidak bertentangan dengan metodologi penemuan hukum ini ( tergolong kepada jarimah ta’zir karena tidak terdapat ketetapan baku yang mengaturnya secara khusus ) hanya saja dibutuhkan keberanian para penegak hukum untuk menerapkannya, walau pun ada sebahagian ulama yang berpendapat bahwa ta’zir hanya bersifat moralitas namun penulis berpendapat untuk membendung kejahatan yang disebabkan oleh perubahan sosial maka diperlukan juga usaha dan hukum yang lahir dari perubahan itu sendiri yang bersifat dinamis dan disinilah islam itu sebagai rahmatan lilalamin tidak terikat oleh jarak batas bahkan ruang.
b.      Metode Penemuan Hukum Ta’lili
Melangkah dari ada atau tidaknya ‘ilat sebagai perwujudan hukum, maka penulis ingin bertitik tolak dari relevansi jarimah ini (tipikor) dengan jarimah yang ada dalam fiqih jinayah yang juga telah penulis jelaskan terlebih dahulu pada bab sebelumnya, secara sederhana yaitu ghulul dengan ‘ilat penggelapan , risywah dengan ‘ilat gratifikasi, alsuht dengan ‘ilat Suap/sogok, hirobah dengan ‘ilat Merampas harta, sariq dengan ‘ilat Mengambil yang bukan hak secara sembunyi, ghasab dengan ‘ilat Memakan harta secara batil, khasr/bahks dengan ‘ilat curang,
Dari relevansi jarimah tersebut ada yang tergolong kepada jarimah ta’zir dan ada yang tergolong kepada jarimah hudud namun dari semua jarimah tersebut hanya satu yang memberikan sanksi pidana mati bagi pelakunya yaitu hirobah.
Berdasarkan jarimah tersebut untuk dua jarimah ( hirobah dan syariq ) ketika di qiaskan ke tindak pidana korupsi maka menurut hemat penulis, ‘ilat hukumnya terdapat kelemahan sebab untuk hirobah yang ‘ilat hukumnya “merampas harta” maka kita akan meninggalkan atau menafikan nusur-unsur dari jarimah hirobah itu sendiri dimana dalam jarimah hirobah terdiri dari unsur paksaan, memakai senjata qawaid fiqhiyah berbunyi :                                          ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﻴﻦ ﺳﻼﺡ
Artinya : Orang-orang yang merampok itu harus menggunakan senjata.[3]
Dan dilakukan di tempat terbuka atau terang-terangan,[4] qawaid fiqhiyah berbunyi                       ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ ﻫﻮ ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﻐﺎﻟﺒﺔ   
Artinya : Perampokan adalah pengambilan harta yang dilakukan secara terang-terangan.[5]
Sedangkan dalam kasus tindak pidana korupsi tidak ditemukan unsur-unsur seperti itu. Jarimah sariq yang ‘ilatnya adalah “mengambil harta atau hak orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi”  qawaid fiqhiya berbunyi :
ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ ﻋﺸﺮﺓ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺃﻭ ﻣﻘﺪﺍﺭﻫﺎ ﺧﻔﻴﺔ ﻋﻤﻦ ﻫﻮ ﻣﺘﺼﺪ ﻟﻠﺤﻔﻈ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﺘﺴﺎﺭﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺘﻤﻮﻝ ﻟﻠﻐﻴﺮ ﻣﻦ ﺣﺮﺯ ﺑﻼ ﺷﺒﻬﺔ
Artinya:  Pencurian adalah mengambil harta yang dilakukan oleh orang yang berakal (tidak gila) dan telah dewasa; sekurang-kurangnya sepuluh dirham; yang dilakukan dengan cara diam-diam; harta tersebut tersimpan di tempat yang terjaga (layak), tidak cepat rusak dan milik orang lain dengan tidak ada syubhat.[6]
Sedangkan dalam hal tindak pidana korupsi yang diambil adalah harta negara[7], sehingga konsekuensinya adalah para pelaku tindak pidana korupsi tidak sepenuhnya mengambil harta yang bukan haknya sebab pelaku yang notabenenya sebagai warga negara juga memiliki hak didalam harta tersebut.
Untuk dua jenis jarimah tersebut keduanya masuk kedalam jarimah hudud, apakah tindak pidana korupsi bisa disamakan atau di analogikan dengan tindak pidana pencurian atau bahkan permpokan? Dalam hal ini Andi Hamzah, dengan mengutip pendapat M. Cherif Bassiouni, ahli pidana internasional berkebangsaan Mesir, berpendapat bahwa tindak pidana korupsi tidak bisa disamakan atau dianalogikan dengan pencurian atau perampokan. Sebab kedua jenis tindak pidana ini masuk dalam wilayah jarimah hudud yang ketentuannya sudah baku dan tegas disebutkan dalam al Quran. Oleh sebab itu, sanksi tindak pidana korupsi tidak sama dengan sanksi tindak pidana pencurian yang berupa potong tangan dan berbeda dengan sanksi tindak pidana perampokan berupa hukuman mati.
Terlepas dari kedua jarimah tersebut yang memiliki relevansi dan bisa ditelusuri melalui metode ta’lili ini adalah ghulul, risywah, alsuht, ghasab dan khasr/bakhs. Penulis telah menjelaskan secara rinci dalam bab sebelumnya, dan dari semua jarimah tersebut (kecuali hirobah dan sariq) hanya berlaku sanksi moril sebab tidak ada ketetapan secara pasti dan rinci mengenai ketetapan materil formil dan ‘uqubahnya, maka jarimah ini tergolong kepada jarimah ta’zir dimana ketetapan dan sanksinya berada pada kebijakan pemimpin atau hakim disetiap daerah dan boleh jadi ketetapan di setiap daerah akan berdeda-beda tergantung pengamatan dan analisa hakim yang terkait. 
Menurut M. Cherif Bassiouni sanksi tindak pidana korupsi sebaiknya masuk kedalam wilayah jarimah ta’zir yang terbuka untuk dianalogikan. Namun demikian, sekalipun sanksi tindak pidana korupsi hanya masuk kedalam wilayah jarimah ta’zir, bukan berarti dalam bentuk sanksi yang ringan sebab bentuk danjenis hukuman ta’zir meliputi berbagai macam, termasuk dalam bentuk penjara seumur hidup bahkan bisa berupa pidana mati.[8]
c.       Metode Penemuan Hukum Istishlahi
untuk mengsingkronkan metode penemuan hukum ini dengan masalah yang penulis angkat dalam tulisan ini, penulis memulainya dengan defenisi korupsi secara singkat.
            Korupsi dalam undang-undang adalah “tindak pidana yang bermaksud untuk memperkaya diri sendiri dan atau memperkaya orang lain dan atau memperkaya koorporasi dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”. Berdasarkan defenisi tersebut dapat diformulasikan kerusakan yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi ini yaitu “kerugian perekonomian negara” yang pada akhirnya berimbas kepada kesejahteraan negara secara umum dan terrampasnya hak-hak yang semestinya didapatkan oleh rakyat / warga negaranya.
            Selanjutnya mengenai objek penelitian ini adalah pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi, dan disingkronkan dengan metode penemuan hukum ini ( istislahi ) yang berlatarbelakang kepada mengkaji tentang manfaat dan kerusakan bagi manusia, maka dalam hal ini terlebih dahulu penulis mencoba untuk menformulasikan kerusakan yang terkandung dalam pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi yang menyatakan :
Pasal 2 : “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”
Dalam penjelasannya disebutkan “ Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter”. [9]
Penjelasan ini dirubah dengan Undang undang No 20 Tahun 2001 yang berbunyi “ Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan akibat krisis dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi.[10]
Unsur-unsurnya adalah :
1)      Tindak pidana korupsi tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
a)      Penaggulangan keadaan bahaya
b)      Bencana alam nasional
c)      Penanggulangan akiat kerusuhan sosial yang meluas
d)     Penanggulangan krisis ekonomi dan moneter
2)      Pengulangan tindak pidana korupsi.
Singkronisasi unsur-unsur tersebut dengan maslahat dharuriyah adalah penaggulangan keadaan bahaya ( perang ), Bisa dikategorikan kedalam lima maslahat dharuriyah , selanjutnya bencana alam Nasional bisa di hubungkan kedalam hifzunnafs dan hifzulmal, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas bisa di hubungkan kedalam hifzunnafs dan hifzulmalpenanggulangan krisis ekonomi dan moneter bisa di hubungkan kedalam hifzulmal, pengulangan tindak pidana korupsi bisa di hubungkan kedalam hifzulmal.
Tindak pidana korupsi ini merupakan sesuatu yamg akan mendatangkan kemudharotan bagi rakyatnya apalagi dalam keadaan tertentu yang telah dicantumkan dalam UU tentang pemberantasan korupsi tersebut. Untuk itu harus ada usaha preventif untuk membentengi calon pelaku agar tidak melakukan tindak pidana tersebut dan tentang ini dikenal dengan istilah “Saddu Adz-Dzari’ah”
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).[11]
 Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut.
Berdasarkan catatan Amnesty Internasional, sampai dengan tahun 2002 tercatat 111 negara telah menentang penerapan hukuman mati, melebihi 84 negara yang masih mempertahankannya. Ini mencerminkan bahwa hukuman mati sudah dianggap tidak manusiawi dan relevan dalam perkembangan hukum global.[12]
Dalam banyak perdebatan kontemporer, isu hukuman bukan saja tekait dengan argumentasi hukum, namun juga dipengaruhi oleh konteks hukum internasional, pandangan filosofis yang berkembang dan perubahan sosial yang terjadi. Sehingga perbincangan tentang pemberlakuan hukuman mati di suatu negara paling tidak akan memperbincangkan tiga aspek yang saling terkait, yaitu 1). Konstitusi atau Undang-undang tertinggi yang dianut suatu negara dan bentuk pemerintahan yang dianutnya; 2). Dinamika Sosial, politik dan hukum internasional yang mempengaruhi corak berpikir dan hubungan-hubungan sosial di masyarakat; dan 3). Relevansi nilai-nilai lama dalam perkembangan zaman yang jauh sudah lebih maju.
Artinya, perdebatan ini bukan saja pertarungan antara keyakinan, cara pandang dan pengalaman seseorang, namun juga relevansinya dengan konteks dimana hukuman mati tersebut akan diberlakukan.
Dalam konteks Hukum Nasional kita, perdebatan ini tetap relevan dan memperkaya khazanah pandangan hukum kita. Namun yang harus diperhatikan adalah, bahwa kepastian hukum menjadi penting, dalam artian hukum yang konsisten dengan Konstitusi, Perundang-undangan yang berlaku dan tuntutan masyarakat. Karenanya, diharapkan bahwa perdebatan ini akan berakhir pada suatu rumusan hukum yang sesuai dengan konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia kedepan.[13]
Melirik dari aliran-aliran hukum maka akan dapat ditarik intisari
1.      Hukuman mati apabila dibandingkan dengan aliran positfisme, maka hukuman mati tidak bertentangan dengan aliran positifisme khususnya di Indonesia. Sebab dalam konstitusi Indonesia yaitu Kitab Undang- Undang Hukum Pidana ( KUHP ) pasal 10 bahwa hukuman mati menjadi hukuman pokok.
2.      Hukuman   mati apabila dibandingkan dengan aliran hukum alam/ hukum tuhan/ hukum islam tidak bertentangan dapat dibuktikan bahwa didalam hukum Islam pun terdapat hukuman mati namun hanya untuk kasus pidana pembunuhan atau pencederaan seseorang tanpa alasan yang benar, yaitu dengan hukuman qishash. Namun untuk Indonesia tidak menggunakan aliran hukum alam sebab Indonesia bukanlah negara islam.
3.      Hukuman mati apabila dibandingkan dengan aliran utilitarisme kurang mendukung. Sebab dalam aliran ini yang diutamakan adalah kebaikan yang menimbulkan kebahagian. Dalam hukuman mati justru menibulkan kesusahan bahkan penderitaan.
Sedangkan aliran yang tepat digunakan di Indonesia jelas adalah aliran positifisme karena negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan mendasarkan  konsep negara hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.


[1] Berkaitan dengan macam-macam ta’zir, tampaknya tidak ada kesepakatan antara satu penulis denganpenulis lain, sebab sifat sanksi hukum jenis ta’zir sanngant relatif, temporal, dan kondisional. Boleh jadi sebuah hukuman dipandang sebagai sangsi hukum disuatu tempat tetapi ditempat lain justru dianggap sebagai suatu bentuk penghormatan, Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam (penerapan syariat islam dalam konteks modernitas), (Bandung : Asy-Syamilah, 2001), cet ke-2, h.146
[2]M. Nurul Irfan, op.cit, h. 128
[3] Imam Muhyiddin al-Nawawi, Majmu’ Sarih Muhazzab, ( Libanon : Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2011 ), edisi 2, juz 27, h. 466
[4] M. Nurul Irfan,op.cit,,  h.123
[5] Abdul Qadir ‘Auroh, Tasri’u al-Jinayah Islamiyah, ( Beirut : Darul Kitab Arabi, t.t ), Juz 2, h, 638
[6] Hal ini sama dengan defenisi yang diberikan Imam Hanafi namun Beliau mengatakan mukallaf bukan dengan istilah baligh berakal. Imam Muhyiddin al-Nawawi, op cit, h. 318.
[7] Berdasarkan defenisi tindak pidana korupsi dalam UU pemberantasan tipikor
[8] M. Nurul Irfan, op.cit,,  h.127
[9] Ermansjah Djaja, op cit, h. 40  
[10] Ibid, h. 41  
[11]Abdul Mudjib, al-Qowa’idul Fiqhiyah,  (Jakarta : Kalam Mulia,  2001 ), cet. ke-2,  h. 39
[13] Ibid 

Senin, 10 Agustus 2015

qawaidul fiqhiyah


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Qaidah Fiqih fi Al-jinayah
a.      Kaidah Umum
1)   Legalitas[1]
لا جزيمة ولا عقوبة بلا نص
            Tidak ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman tanpa nash (aturan)
            Dalam sejarah hukum islam, tidak pernah suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana dan tidak pernah dijatuhi hukuman sebelum perbuatan tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana dan diberi sangsinya baik dalam alquran maupun hadis.[2]
            Semakna dengan kaidah diatas adalah
لا حكم لافعال العقلاء قبل ورود النص
            Tidak ada hukuman bagi orang yang berakal sebelum datangnya nash.[3]
2)   Tidak berlaku surut
Kaidah tidak berlaku surut  merupakan konsekwensi dari kaidah pertama yaitu legalitas yang berarti bahwa undang-undang berlaku hanya pada perbuatan yang dilakukan setelah undang-undang itu berlaku dan untuk perbuatan sebelumnya tidak bisa berlaku. Pentingnya asas ini karena ia melindungi keamanan individu dan mencegahnya dari penyalahgunaan kekuasaan dari pemegang otoriter.[4] Hal ini sesuai dengan apa yang ditutur kan oleh alquran dalam surat annisa’ ayat 22 yang artinya dan jangan lah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampau.
3)   Praduga tidak bersalah
Hal ini juga merupakan konsekwensi dari asas legalitas tadi yaitu praduga tidak bersalah yang menurut asas ini setiap orang tidak dianggap bersalah untuk suatu perbuatan yang jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan yang beralasan muncul, seseorang tertuduk harus dibebaskan.[5] Hal ini sesuai dengan sabda nabi yang artinya  “hindari bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum.”
4)   Tidak sahnya hukum karena keraguan
Berkaitan erat dengan asas diatas ( praduga tak bersalah) batalnya hukuman dalam hal adanya keraguan, dalam hadis diatas “ hindari hudud dalam keadaan ragu lebih baik salah membebaskan dari pada salah dalam menghukum”
5)   Kesamaan di hadapan hukum
Pada masa jahiliyah tidak ada kesamaan diantara manusia, tidak ada kesamaan antara tuan dan budak, antara pemimpin dengan yang dipimpin, sikaya dengan yang miskin, pria dan wanita. Dengan datangnya islam maka hapuslah semua perbedaaan antara ras, warna, bahasa dll.
Syariat memberikan tekanan yang besar pada prinsip equaliiti before the law Rasul SAW bersabda : wahai manusia kalian menyembah tuhan yang sam, kalian menpuanyai bapak yang sama, bangsa arab tidak lebih mulia dari banngasa persia dan merah tidak lebih mulia dari hitam, kecuali dalam ketaqwaan.[6]
b.      Kaidah Khusus tentang Jarimah (Tindak Pidana)
a)    Jarimah Qishas
القصاص كالحدود
Jarimah qishash sama dengan jarimah hudud.
Dijelaskan bahwa kesamaannya terletak pada keharusan untuk berhati-hati dalam pemberian sanksi. Pada jarimah qishash pun, hukuman gugur jika terdapat syubhat (kesamaran). Oleh karena itu, keharusan untuk menghindari hukuman hudud, berlaku juga pada jarimah qishash. Kemudian perbedaan jarimah hudud dengan jarimah qishash terletak pada tujuh hal, yaitu:
a)      Pada jarimah qishash, hakim boleh memutuskan hukuman berdasarkan pengetahuannya, sedangkan pada jarimah hudud tidak boleh.
b)      Pada jarimah qishash, hak menuntut qishash bisa diwariskan, sedangkan pada jarimah hudud tidak.
c)      Pada jarimah qishash, korban atau wali korban dapat memaafkan sehingga hukuman dapat gugur secara mutlak atau berpindah kepada hukum penggantinya, sedangkan pada jarimah hudud tidak ada pemaafan.
d)     Pada jarimah qishash, tidak ada kadaluarsa dalam kesaksian, sedangkan pada jarimah hudud ada kadaluarsa dalam kesaksian kecuali pada jarimah qadzaf.
e)      Pada jarimah qishash, pembuktian dengan isyarat dan tulisan dapat diterima, sedangkan pada jarimah hudud tidak.
f)       Pada jarimah qishash, dibolehkan ada pembelaan (al syafa‟at), sedangkan pada jarimah hudud tidak ada.
g)      Pada jarimah qishash, harus ada tuntutan, sedangkan pada jarimah hudud tidak perlu kecuali pada jarimah qadzaf.
Selanjutnya Kaidah kedua tentang keharusan adanya kafaah:

Qishash gugur karena ketiadaan kafaah (kesetaraan) dalam hal kemerdekaan dan agama.
Kaidah ketiga tentang keharusan adanya kesamaan (al musawah) dan keserupaan (al mumatsalah) dalam jinayah terhadap selain jiwa:
ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﻤﺴﺎﻭﺓ ﻭﺍﻟﻤﻤﺎﺛﻠﺔ
Qishash gugur karena ketiadaan kesamaan dan keserupaan.
Kaidah di atas mengandung arti bahwa qishash tidak dapat dilaksanakan jika tidak ada kesamaan dan keserupaan antara pelaku dengan korbannya. Kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan dalam kesehatan dan kesempurnaan (kemulusan). Misalnya, tangan yang lumpuh tidak sama dengan tangan yang sehat; tangan yang berjari lengkap tidak sama dengan tangan yang tidak berjari atau tidak lengkap; mata yang melihat tidak sama dengan mata yang buta; dan seterusnya. Adapun keserupaan yang dimaksud adalah tangan kanan dengan tangan kanan; kaki kiri dengan kaki kiri; mata kanan dengan mata kanan; telinga kiri dengan telinga kiri; dan seterusnya. Sebagai contoh kasus, jika ada kesamaan dan keserupaan: seseorang yang tidak memiliki telinga kiri memotong telinga kiri orang lain, pada kasus ini qishash tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada keserupaan, sehingga sanksi ini berpindah kepada diyat.
Kaidah keempat tentang gugurnya qishash karena ada kerelaan/izin korban: Pada dasarnya para fuqaha sepakat bahwa adanya kerelaan korban untuk dibunuh tidak membolehkan seseorang melakukan pembunuhan, seperti kasus euthanasia. Tetapi mereka berbeda dalam posisi kerelaan tersebut. Menurut Hanafiyah:
ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﺮﺿﺎ ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ
Qishash (hukum asal) gugur karena ada kerelaan korban.
Gugurnya qishash disebabkan oleh adanya kerelaan atau izin korban yang dapat dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman berpindah kepada diyat. Selain itu, kerelaan itu menjadi syubhat yang dapat menggugurkan hudud. Menurut pendapat Malikiyah yang rajih dan sebagian Syafi‟iyah:
ﻻ ﻳﺴﻘﻄ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺑﺮﺿﺎ ﺍﻟﻤﺠﻨﻲ ﻋﻠﻴﻪ
Qishash tidak gugur karena ada kerelaan korban.
Kerelaan korban tidak dapat dipersamakan dengan pemaafan karena kerelaan itu ada sebelum terjadi jarimah pembunuhan, sedangkan pemaafan ada setelah terjadi jarimah. Oleh karena itu, pembunuhan tersebut tetap merupakan pembunuhan sengaja yang harus dihukum dengan qishash. Pendapat Malikiyah yang marjuh (sahnun) dan sebagian Syafi‟iyah: Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik dari hukuman asli (qishash) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu lebih utama dari pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi korban.
Kaidah kelima tentang kaifiyah eksekusi qishash: Pendapat Hanafiyah:
لا قصاص إلا بالسيف
Tidak ada qishash kecuali dengan pedang.
Kaidah ini mengandung arti bahwa dengan cara apapun suatu pembunuhan dilakukan, pelaksanaan qishashnya harus dengan menggunakan pedang. Pendapat Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah:
ﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﺑﺸﻲﺀ ﻗﺘﻞ ﺑﻤﺜﻠﻪ
Barang siapa yang membunuh dengan sesuatu (cara/alat), maka ia diqishash dengan cara yang serupa.
Kaidah ini mengandung arti bahwa eksekusi qishash dilaksanakan sesuai dengan cara pelaku melakukan pembunuhan. Misalnya, seseorang melakukan pembunuhan dengan cara mencekik, maka iapun diqishash dengan cara dicekik pula. Atau seseorang melakukan pembunuhan dengan cara membakar, maka ia pun diqishash dengan cara dibakar pula. Selain itu, Rasulullah SAW pernah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk mengqishash seorang Yahudi dengan cara yang sama (Yahudi itu telah membunuh jariyahnya dengan cara meremukan kepalanya diantara dua batu). Namun demikian, keharusan dengan cara yang sama ini dikecualikan, jika pembunuhan yang dilakukan menggunakan cara yang haram. Misalnya, seseorang melakukan sodomi terhadap seorang anak yang menyebabkan kematian, atau seseorang melakukan pembunuhan dengan menggunakan khamr.
Kaidah keenam tentang gugurnya qishash karena korban hilang jaminan perlindungan:
ﺍﻹﻫﺪﺍﺭ ﻫﻮ ﺍﻹﺑﺎﺣﺔ
Ada kebolehan (melakukan sesuatu) terhadap orang yang telah hilang jaminan perlindungan.
Kaidah ini mengandung arti bahwa seseorang boleh melakukan sesuatu terhadap seseorang yang telah hilang hak-hak perlindungannya, baik tubuhnya, jiwanya, maupun hartanya. Adapun yang dimaksud dengan hilangnya jaminan perlindungan adalah orang-orang yang telah melakukan perbuatan jarimah yang harus dikenai sanksi hudud atau qishash. Misalnya, orang yang telah melakukan jarimah zina, pencurian, perampokan, pemberontakan, riddah, penganiayaan, dan pembunuhan. Perlakuan sesuatu yang boleh dilakukan bergantung kepada jenis hukuman yang harus diterima oleh korban. Misalnya, seseorang boleh membunuh korban yang telah melakukan zina (zina muhshan), melakukan pembunuhan, dan jarimah lainnya, yang sanksinya dibunuh. Ada perbedaan sifat hilangnya jaminan perlindungan diantara orang yang telah melakukan jarimah hudud dengan jarimah qishash. Pada jarimah hudud bersifat mutlak sedangkan pada jarimah qishash bersifat relatif. Pada jarimah qishash, hilangnya jaminan perlindungan bergantung kepada pemaafan wali korban. Oleh karena itu, kepada selain wali korban, orang yang telah membunuh tidak hilang jaminan perlindungannya.
b)    Jarimah Hudud
ادرءوا الحدود بشبهات
            Hindari hukuman had karena ada syubhat
            Atau dengan ungkapan lain:
الحدووتسقط (تدراء) بالشبهات
            Sanksi had gugur karena adanya syubhat.[7]
1)      Zina
1.      homoseks (al-liwath):
ﺍﻟﻠﻮﺍﻃ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Homoseks itu seperti zina.
Kaidah ini dipegang oleh Malikiyah, Syafi‟iyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam memberikan hukuman terhadap pelaku homoseks. Syafi‟iyah berpendapat bahwa hukumannya sama persis dengan had zina, yaitu didera bagi yang ghair muhshan dan rajam bagi yang muhshan. Sementara Malikiyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah berpendapat bahwa hukuman bagi homoseks itu adalah rajam baik pelakunya muhshan maupun ghair muhshan. Berbeda dengan pendapat Jumhur Fuqaha di atas, Hanafiyah berpendapat bahwa:
ﺍﻟﻠﻮﺍﻃ ﻟﻴﺲ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Homoseks tidak sama dengan zina.  
Mereka beralasan bahwa: 1) Perbedaan nama mengakibatkan perbedaan hukum. 2) Para sahabat berbeda pendapat dalam memberikan hukuman terhadap pelaku homoseks. Ini menunjukkan homoseks ini termasuk wilayah ijtihadi. 3) Zina dapat merusak nasab sedangkan homoseks tidak. 4) Wath‟i melalui qubul merupakan sesuatu yang secara naluriah menjadi kecenderungan semua orang terutama bagi yang diwath‟i nya sedangkan melalui dubur tidak. 5) Sebutan al fahisyat terhadap jarimah homoseks tidak menunjukkan kesamaan hukum dengan zina, karena selain homoseks, banyak perbuatan dosa besar yang termasuk al fahisyat.
2.      Kaidah kedua yaitu tentang lesbian (al-musahaqah), Para fuqaha sepakat bahwa lesbian tidak sama dengan zina. Mereka menyatakan:
ﺍﻟﻤﺴﺎﺣﻘﺔ ﻟﻴﺲ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ
Jarimah lesbian tidak sama dengan jarimah zina.
3.      Selanjutnya yaitu kaidah ketiga tentang menyetubuhi binatang:
ﻻﺣﺪ ﻋﻟﻰ ﻣﻦ ﻭﻃﺀ ﺍﻟﺒﻬﻴﻤﺔ
Tidak ada had tentang orang yang menyetubuhi binatang.
4.      Kaidah keempat tentang laki-laki yang menyetubuhi mayat perempuan: Pendapat jumhur:
ﻭﺟﻮﺏ ﺍﻟﺤﺪ ﻋﻟﻰ ﻣﻦ ﻭﻃﺀ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﻤﻴﺘﺔ
Tidak ada had terhadap laki-laki yang menyetubuhi mayat perempuan.
Dengan alasan karena persetubuhan itu bukan merupakan kecenderungan (keinginan) dari keumuman manusia. Orang yang melakukan persetubuhan dengan mayat cukup dikenai sanksi ta‟zir. Berbeda dengan jumhur, Malikiyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa: “Had wajib ditegakkan terhadap laki-laki yang menyetubuhi mayat perempuan”. Mereka beralasan bahwa persetubuhan tersebut kedudukannya sama dengan persetubuhan terhadap wanita yang hidup. Hal ini dikarenakan kebutuhan syahwat dapat terpenuhi dengan menyetubuhi mayat perempuan sebagaimana menyetubuhi perempuan yang hidup.
5.      Kaidah kelima tentang perempuan yang menyetubuhi mayat laki-laki:
ﻻﻳﺤﺪ ﻣﻦ ﺍﺩﺧﻠﺖ ﺫﻛﺮ ﻣﻴﺖ ﻓﻲ ﻓﺮﺟﻬﺎ
Tidak ada had bagi perempuan yang memasukkan kelamin laki-laki yang sudah meninggal ke dalam farjinya.
Menurut Malikiyah, hal ini didasarkan bahwa persetubuhan itu tidak mendatangkan kenikmatan.
6.      Kaidah keenam tentang perempuan dewasa yang bersetubuh dengan anak laki-laki (yang belum dewasa):
ﻻﺣﺪ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻁﺎﻭﻋﺖ ﺍﻟﺼﺒﻲ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺠﻨﻮﻥ
Tidak ada had bagi perempuan yang bersetubuh dengan anak laki-laki atau orang gila.
7.      Kaidah ketujuh tentang laki-laki dewasa yang bersetubuh dengan anak perempuan yang masih kecil (belum dewasa): Dikenakan had bagi laki-laki yang menyetubuhi perempuan yang belum dewasa yang memungkinkan untuk disetubuhi”.
8.      Kaidah kedelapan tentang suami yang menyetubuhi istri melalui duburnya:
ﻻﻳﺤﺪ ﻣﻦ ﻭﻁﺀ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﻓﻲ ﺩﺑﺮﻫﺎ ﻭﻟﻜﻦ ﻳﺆﺩﺏ
Tidak ada had bagi suami yang menyetubuhi istrinya melalui duburnya, melainkan ta‟zir”.
a)   Qazdaf (menuduh orang berzina)
ﻣﻦ ﺭﻣﻰ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ﺑﻮﺍﻗﻌﺔ ﺃﻭ ﺻﻔﺔ ﻣﺤﺮﻣﺔ ﻣﺎ, ﻭﺟﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺜﺒﺖ ﺻﺤﺘﻪ ﻣﺎ ﺭﻣﺎﻩ ﺑﻪ ﻓﺈﻥ ﻋﺠﺰ ﻋﻦ ﺇﺛﺒﺎﺗﻪ ﺃﻭ ﺇﻣﺘﻨﻊ ﻭﺟﺒﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ
Barang siapa menuduh seseorang dengan suatu kejadian atau keadaan yang diharamkan, maka wajib baginya untuk membuktikan kebenaran tuduhannya. Apabila ia tidak dapat membuktikannya maka ia wajib dihukum.
Kaidah di atas menjelaskan bahwa orang yang menuduh seseorang dengan tuduhan telah melakukan suatu tindakan kejahatan atau sesuatu yang diharamkan maka ia wajib membuktikan kebenaran tuduhan tersebut. Misalnya, seseorang menuduh orang lain telah berbuat zina atau telah mencuri, maka orang tersebut (penuduh) wajib membuktikan kebenaran ucapannya. Penuduh harus dikenai hukuman jika ia tidak dapat membuktikan kebenaran ucapannya. Sebaliknya, orang yang dituduh harus dikenai hukuman jika penuduh dapat membuktikan kebenaran tuduhannya.
Selain itu, ada kaidah pokok yang menyatakan bahwa:
ﺍﻷﺻﻞ ﺑﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﺬﻣﺔ
Pada asalnya seseorang itu terbebas dari sesuatu beban.
Kaidah di atas menunjukkan bahwa seseorang itu pada asalnya tidak bersalah sehingga ketika ada tuduhan seseorang yang menyatakan bahwa ia telah bersalah maka penuduh harus membuktikan kebenaran tuduhannya. Si tertuduh memiliki hak untuk membela diri dengan menyatakan bahwa ia tidak bersalah atau melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya.[8]
Kaidah kedua tentang mencaci:
ﻣﻦ ﺳﺒﺐ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ﺃﻭ ﺷﺘﻤﻪ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺍﻟﺤﻖ ﻓﻲ ﺇﺛﺒﺎﺕ ﺻﺤﺔ ﻣﺎ ﻗﺎﻝ
Barang siapa mengejek atau mencaci seseorang, maka wajib baginya hukuman tanpa harus membuktikan kebenaran ucapannya.
Kaidah di atas mengandung arti bahwa mengejek atau mencaci maki seseorang, sejak awal, sudah termasuk perbuatan jarimah. Ia tidak perlu membuktikan kebenaran ucapannya tetapi harus diberikan sanksi agar terpelihara kehormatan diri seseorang. Misalnya, seseorang menghina keadaan fisik atau sifat orang lain dengan hinaan seperti: “Hai hitam!”, “Hai hidung pesek!”, “Hai orang bodoh!”, dan sebagainya. Kata-kata tersebut tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Sebab, perbuatan tersebut sudah termasuk perbuatan maksiat, meskipun apa yang dikatakan itu benar keadaannya. Berbeda dengan menuduh seseorang dengan tuduhan telah berbuat jarimah. Pada awalnya, perbuatan tersebut (menuduh) bukan merupakan perbuatan jarimah. Sebab, bisa jadi ia sebagai saksi untuk mengungkapkan suatu peristiwa yang telah terjadi.
Kaidah ketiga tentang menuduh perbuatan yang wajib dikenai had zina:
ﻛﻞ ﻣﺎ ﻳﻮﺟﺐ ﺣﺪ ﺍﻟﺯﻧﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻓﺎﻋﻠﻪ ﻳﻮﺟﺐ ﺣﺪ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺎﺫﻑ ﺑﻪ
Setiap yang dihukum dengan had zina bagi pelakunya, maka wajib juga dihukum dengan had qadzaf bagi penuduhnya.
Demikian juga dalam hal qadzaf, kualifikasi jarimah qadzaf pun bergantung pada kualifikasi jarimah zina, sebab jarimah qadzaf ini berkenaan dengan tuduhan zina. Seseorang telah dapat dikualifikasikan sebagai penuduh zina jika ia menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan zina dan ia tidak dapat membuktikan tuduhannya. Misalnya, sebagian Hanabilah menganggap bahwa menyetubuhi binatang itu termasuk perbuatan zina, maka orang yang menuduh seseorang dengan tuduhan telah bersetubuh dengan hewan harus dikenai sanksi qadzaf jika ia tidak dapat membuktikan tuduhannya. Sementara Malikiyah, Hanafiyah, sebagian Syafi‟iyah dan Hanabilah menganggap bahwa menyetubuhi hewan itu bukan perbuatan zina, tetapi tetap harus dikenai sanksi ta‟zir karena merupakan perbuatan maksiat. Orang yang menuduh perbuatan tersebut pun tidak bisa dikenai had qadzaf, melainkan ta‟zir, jika ia tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya.
Demikian juga dalam hal menuduh seseorang telah melakukan jarimah homoseks. Jumhur berpendapat bahwa menuduh seseorang telah melakukan jarimah homoseks harus dikenai had qadzaf karena homoseks termasuk zina. Sedangkan Hanafiyah menganggap bahwa homoseks itu bukan zina, maka orang yang menuduh perbuatan tersebut pun tidak dapat dikenai had qadzaf , melainkan ta‟zir. Hukuman itu diberikan jika penuduh tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya.
Kaidah keempat tentang syarat tuduhan zina:
ﻳﺸﺘﺮﻃ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﻘﺬﻭﻑ ﻣﻌﻠﻮﻣﺎ ﻭﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻘﺬﻑ ﻣﻂﻠﻘﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﺮﻃ ﻭﺍﻹﺿﺎﻓﺔ ﺇﻟﻰ ﻭﻗﺖ ﻣﻌﻴﻦ
Disyaratkan dalam tuduhan zina (yang dikenai had) adalah orang yang dituduh itu diketahui dan tuduhan terbebas dari syarat dan kaitan dengan waktu yang ditentukan.
Kaidah ini menunjukkan bahwa seseorang dianggap telah melakukan jarimah qadzaf, jika tuduhannya itu dituduhkan kepada seseorang tertentu (diketahui). Misalnya, kamu, dia (dengan menyebutkan namanya), ayahmu, ibumu, anakmu (dengan menyebutkan nama jika anaknya lebih dari seorang) dan sebagainya. Adapun kata-kata yang tidak jelas dituduhkan kepada siapa, misalnya: “Diantaramu, ada salah seorang yang telah berzina” atau “Salah satu yang berada di kelas itu telah melakukan zina”. Kata-kata tersebut belum dianggap sebagai tuduhan zina. Selain itu, tuduhan itu tidak boleh digantungkan dengan waktu atau keadaan tertentu. Misalnya, “Kamu telah berzina jika saya lulus ujian” atau “Kamu telah berzina jika saya telah sampai ke rumah”. Perkataan seperti itu belum dianggap sebagai tuduhan zina.
Kaidah kelima tentang syarat orang yang dituduh:
ﻳﺸﺘﺮﻃ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺬﻭﻑ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺤﺼﻨﺎ ﺭﺟﻼ ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﺍﻣﺮﺃﺓ
Disyaratkan orang yang dituduh itu harus muhshan (orang yang memelihara diri dari perbuatan zina) baik laki-laki atau perempuan.
Kaidah ini menjelaskan bahwa seseorang dianggap telah melakukan jarimah qadzaf jika tuduhan itu dituduhkan kepada muhshan atau muhshanat. Adapun arti muhshan dalam jarimah qadzaf adalah laki-laki atau perempuan yang biasa menjaga diri (iffah) dari perzinhaan, baligh, berakal, merdeka, dan muslim. Dengan demikian, menuduh zina terhadap orang yang jelas-jelas pelacur, tidak termasuk jarimah qadzaf.
2)      Khamar (minuman keras)
ﻛﻞ ﻣﺴﻜﺮ ﺧﻤﺮ ﻭﻛﻞ ﺧﻤﺮ ﺣﺮﺍﻡ
Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram.
Kaidah ini mengandung arti bahwa setiap minuman yang memabukkan kedudukannya sama seperti khamr yang dikemukakan dalam al Quran. Barang siapa yang meminumnya, sedikit atau banyak, akan dikenai sanksi dera sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah SAW. Berbeda dengan pendapat jumhur, Abu Hanifah mengatakan bahwa:
ﺣﺮﻣﺔ ﺍﻟﺨﻤﺮﺓ ﻟﻌﻴﻨﻬﺎ ﻭﺍﻟﻤﺴﻜﺮ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﺮﺍﺏ
Khamr haram karena dzatnya, sedangkan minuman (selain khamr) karena mabuknya.
Kaidah tersebut dipegang oleh Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, khamr adalah perasan anggur yang difermentasikan sehingga menimbulkan gelembung-gelembung (berbuih) sampai berbusa. Adapun dari bahan-bahan lainnya tidak dinamakan khamr. Menurutnya, berbeda nama berarti berbeda hukumnya. Keharaman khamr karena dzatnya. Oleh karena itu, minum sedikit atau banyak sudah termasuk perbuatan haram (jarimah). Sedangkan minuman lain yang dibuat dari selain anggur, keharamannya karena mabuknya. Misalnya, seseorang minum minuman “keras” yang bukan berasal dari perasan anggur, selama belum mabuk, halal hukumnya. Tetapi, jika ia mabuk, maka pada tegukan yang terakhir itulah ia telah melakukan perbuatan yang haram atau jarimah minum minuman “keras”.
Kaidah kedua tentang kadar minuman yang memabukkan:
ﻻﻋﺒﺮﺓ ﺑﻘﻮﺓ ﺍﻹﺴﻜﺎﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺸﺮﻭﺏ ﻓﻤﺎ ﺃﺳﻜﺮ ﻛﺜﻴﺮﻩ ﻓﻘﻠﻴﻠﻪ ﺣﺮﺍﻡ
Daya mabuk suatu minuman (kadar alkohol) bukanlah ukuran (keharaman), minuman yang dalam keadaan banyak dapat memabukkan maka dalam keadaan sedikitpun telah haram.
Maksudnya, keharaman minuman keras itu tidak diukur oleh banyaknya (kadar) minuman yang dapat memabukkan peminumnya. Misalnya, seseorang baru mabuk jika telah minum tiga gelas. Menurut jumhur, pada tegukan pertama pun sudah haram apabila minuman itu memabukkan, walaupun ia belum mabuk.
3)      Syariq (pencurian)
ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻟﺒﺎﻟﻎ ﻋﺸﺮﺓ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺃﻭ ﻣﻘﺪﺍﺭﻫﺎ ﺧﻔﻴﺔ ﻋﻤﻦ ﻫﻮ ﻣﺘﺼﺪ ﻟﻠﺤﻔﻈ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﺘﺴﺎﺭﻉ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻔﺴﺎﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺍﻟﻤﺘﻤﻮﻝ ﻟﻠﻐﻴﺮ ﻣﻦ ﺣﺮﺯ ﺑﻼ ﺷﺒﻬﺔ
Pencurian adalah mengambil harta yang dilakukan oleh orang yang berakal (tidak gila) dan telah dewasa; sekurang-kurangnya sepuluh dirham; yang dilakukan dengan cara diam-diam; harta tersebut tersimpan di tempat yang terjaga (layak), tidak cepat rusak dan milik orang lain dengan tidak ada syubhat.
Kaidah kedua tentang harta yang dirusak:
ﻛﻞ ﻣﺎ ﺍﺳﺘﻬﻠﻚ ﻓﻲ ﻣﺤﻞ ﺍﻟﺤﺎﺩﺙ ﻓﻬﻮ ﻣﺘﻠﻒ ﻻ ﻣﺴﺮﻭﻕ
Setiap (harta) yang habis (lenyap) pada waktu pencurian maka termasuk perusakan bukan pencurian.
Kaidah ini mengandung arti bahwa suatu perbuatan dianggap pencurian apabila harta yang dicuri itu tidak dirusak di tempat penyimpanannya, baik dengan cara dimakan, diminum, atau disobek. Pengambilan harta dengan cara dirusak seperti ditelan, disobek, atau dipecahkan merupakan perbuatan perusakan. Misalnya, seorang pencuri memakan hidangan yang tersedia di meja makan, perbuatan itu merupakan perusakan bukan pencurian. Akan tetapi, perbuatan itu sudah merupakan pencurian jika pencuri itu membawa keluar makanan tersebut dari hiriznya dan telah mencapai nishab kemudian memakannya. Para Fuqaha sepakat bahwa perusakan itu terhadap harta yang menjadi rusak karena ditelan. Sedangkan harta yang tidak rusak, maka mereka berbeda pendapat. Pendapat tersebut adalah:
1)      Perbuatan tersebut merupakan perusakan bukan pencurian.
2)      Perbuatan tersebut merupakan pencurian.
3)      Perbuatan tersebut merupakan perusakan jika harta yang ditelan itu dapat dikeluarkan. Sebaliknya perbuatan tersebut merupakan pencurian jika harta yang ditelan itu tidak dapat dikeluarkan.
Kaidah ketiga tentang gugurnya hiriz:
ﻳﺒﻂﻞ ﺍﻟﺤﺮﺯ ﺑﻔﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺏ ﻭﺍﻟﻨﻘﺐ
Hiriz gugur (hilang) karena pintu telah terbuka atau adanya lubang.
Kaidah ini dipegang oleh al Syafi‟i, Ahmad, dan Syi‟ah Zaydiyah. Kaidah ini mengandung arti bahwa seseorang yang mengambil harta di suatu tempat dalam keadaan terbuka pintunya atau melalui suatu lubang, tidak termasuk pencurian yang harus dikenai had melainkan ta‟zir. Mereka beranggapan bahwa pengambilan harta tersebut bukan pada tempat penyimpanan yang layak. Sedangkan Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa: “Hiriz gugur (hilang) karena pintu telah terbuka atau adanya lubang”. Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa, meskipun pintu atau jendela suatu tempat itu terbuka atau dindingnya berlubang, pengambilan harta di dalamnya merupakan pencurian yang harus dikenai had.
Kaidah keempat tentang harta yang tidak berharga:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﺍﻟﺘﺎﻓﻪ
Tidak ada potong tangan pada (pencurian) sesuatu yang remeh.
Kaidah ini menjelaskan bahwa pencurian yang dapat dikenai had adalah pencurian terhadap harta yang berharga, paling tidak bagi pemiliknya. Menurut Mustafa Ahmad Al Zarqa, harta (yang berharga) adalah sesuatu yang disenangi oleh tabi‟at manusia dan mungkin disimpan sampai waktu yang diperlukan.
Kaidah kelima tentang harta yang diharamkan dan alat-alat maksiat:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻓﻲ ﺳﺮﻗﺔ ﻣﺤﺮﻡ ﻭﺁﻵﺕ ﺍﻟﻠﻬﻮﻱ
Tidak ada potong tangan terhadap pencurian barang-barang yang diharamkan dan alat-alat maksiat.
Kaidah ini didasarkan atas adanya syubhat bahwa di satu sisi pengambilan barang orang lain itu diharamkan, tetapi di sisi lain ada perintah untuk memberantas kemaksiatan, yaitu al amr bil ma‟ruf al nahyi ‘an al munkar. Selain itu, barang-barang tersebut termasuk harta yang tidak berharga karena harus dimusnahkan. Barang-barang yang diharamkan tersebut diantaranya adalah babi, khamr, patung, dan bangkai. Sedangkan alat-alat maksiat diantaranya adalah al thanbur (semacam mandolin atau kecapi) dan al mizmar (semacam terompet atau seruling). Pengambilan benda-benda tersebut tidak akan dikenai had meskipun telah mencapai nishab pencurian.
Kaidah keenam tentang nishab pencurian:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻨﺼﺎﺏ
Tidak ada potong tangan sebelum nishab.
Jumhur berbeda pendapat tentang batasan nishab dalam pencurian. Abu Hanifah berpendapat bahwa batasan nishabnya adalah 1 dinar atau 10 dirham. Menurutnya, harga perisai (pada masa Abu Hanifah) adalah 10 dirham. Sedangkan Malik dan Syafi‟i berpendapat bahwa batasan nishabnya adalah seperempat dinar atau tiga dirham. Dan mereka berbeda pendapat tentang standar pokok yang dijadikan batasan nishab. Menurut Malik, standar pokok nishab adalah seperempat dinar untuk emas dan tiga dirham untuk perak. Sedangkan menurut Syafi‟i standarnya adalah seperempat dinar emas, sehingga harga dirham harus disesuaikan dengan harga dinar, apabila harga dirham fluktuatif.
Kaidah ketujuh tentang ayah yang mencuri harta anak:
ﻻ ﻗﻂﻊ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺻﻮﻝ ﺇﺫﺍ ﺳﺮﻗﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﺮﻭﻉ
Tidak ada potong tangan terhadap ayah (dan terus ke atas) yang mencuri harta anaknya (dan seterusnya ke bawah).
Kaidah ini didasarkan atas kesamaran dalam pemilikan harta. Jumhur berpendapat bahwa pada harta anak itu terdapat harta ayah, sehingga pengambilan harta anak itu bukan merupakan pencurian yang dikenai had.
4)      Hirabah (perampokan)
ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ ﻫﻮ ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻤﻐﺎﻟﺒﺔ
Perampokan adalah pengambilan harta yang dilakukan secara terang-terangan.
Kaidah ini membedakan antara perampokan dengan pencurian. Abdul Qadir Awdah mengistilahkan hirabah dengan sariqah kubra (pencurian besar), sedangkan pengambilan harta yang dilakukan dengan cara diam-diam disebut dengan sariqah sughra (perampokan kecil). Besar dan kecil di sini tidak dimaksudkan untuk membedakan besar kecilnya harta yang diambil, tetapi membedakan cara pengambilannya bahwa pengambilan harta ini harus menjadi niat para pelaku sehingga dapat dikualifikasikan sebagai jarimah hirabah.
Kaidah kedua tentang tempat perampokan:
ﺃﻥ ﺗﻘﻊ ﺟﻨﺎﻳﺔ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﺔ ﻓﻲ ﺧﺎﺭﺝ ﺍﻟﻤﺼﺮ
Perampokan dilakukan di luar kota.
Kaidah ini mengandung arti bahwa pengambilan harta secara terang-terangan tersebut harus dilakukan di luar kota, seperti di jalanan padang pasir. Sementara jalanan di dalam kota ramai dilalui orang sehingga mudah meminta pertolongan. Selain itu, ada pihak berwenang yang menjaga keamanan. Oleh karena itu, perampokan di dalam kota tidak murni memerangi Allah sehingga tidak dapat dikenai had hirabah. Pendapat Jumhur (Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Zhahiriyah): “Perampokan bisa dilakukan di luar kota atau di dalam”. Adapun penjelasan dari Satria Effendi, bahwa yang menjadi pertimbangan penting dalam merumuskan kualifikasi jarimah hirabah adalah adanya tindakan kekerasan di suatu tempat yang jauh dari tempat meminta pertolongan. Tindakan ini melahirkan ketakutan yang bisa terjadi di mana saja, termasuk di rumah. Oleh karena itu, tempat perampokan tidak dibatasi di jalan tetapi dapat terjadi di mana saja. Bahkan akhir-akhir ini, perampokan bersenjata di rumah-rumah lebih menakutkan dibanding dengan di jalan-jalan.
Kaidah ketiga tentang keharusan menggunakan senjata:
ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﺤﺎﺭﺑﻴﻦ ﺳﻼﺡ
Orang-orang yang merampok itu harus menggunakan senjata.
Kaidah ini mengandung arti bahwa suatu tindakan pengambilan harta secara paksa dikualifikasikan sebagai jarimah hirabah jika para pelakunya menggunakan senjata.
5)      Pemberontakan
ﺍﻹﻣﺘﻨﺎﻉ ﻋﻦ ﺍﻟﻂﺎﻋﺔ ﻓﻲ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻟﻴﺲ ﺑﻐﻴﺎ
Menolak taat (perintah imam) berbuat maksiat bukan merupakan jarimah bughat.
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang tidak mematuhi perintah Imam berbuat maksiat tidak dapat dikategorikan sebagai pemberontak. Sebab ketundukan atau ketaatan rakyat kepada pemimpinnya tidak bersifat mutlak, tetapi terbatas pada hal-hal yang bukan maksiat.
Kaidah kedua tentang keharusan adanya pengerahan kekuatan:
ﺍﻟﺨﺮﻭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺑﻌﺪﻡ ﺍﻟﻘﻮﺓ ﻟﻴﺲ ﺑﻐﻴﺎ
Menentang imam tanpa disertai pengerahan kekuatan bukan merupakan jarimah bughat.
Kaidah ini mengandung arti bahwa sikap menentang Imam atau tidak tunduk terhadap perintahnya tanpa disertai dengan tindakan perlawanan atau pengerahan kekuatan belum dapat dikategorikan sebagai jarimah pemberontakan. Misalnya, seperti sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak memba’at Abu Bakar selama beberapa bulan; Sa’d bin Ubadah yang tidak pernah memba’at Abu Bakar sampai mati; Abdullah bin Umar dan Zubair yang tidak memba’at Yazid bin Mu‟awiyah.
6)      Riddah[9]
ﻛﻞ ﻣﻦ ﺍﻣﺘﻨﻊ ﻋﻦ ﺇﺗﻴﺎﻥ ﻓﻌﻞ ﻳﻮﺟﺒﻪ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻣﻊ ﺍﺳﺘﺤﻼﻝ ﻋﺪﻡ ﺇﺗﻴﺎﻧﻪ ﻓﻬﻮ ﺭﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
Setiap orang yang menolak melakukan perbuatan yang diwajibkan Islam kepadanya disertai dengan keyakinan halal meninggalkannya maka dia telah keluar dari Islam.
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang tidak menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh syariat Islam dengan alasan bahwa perbuatan itu bukan wajib, maka ia dapat dikualifikasikan sebagai orang yang telah keluar dari Islam atau telah berbuat jarimah riddah. Misalnya, seseorang tidak mau melaksanakan shalat wajib dengan alasan bahwa shalat tersebut tidak wajib. Tetapi orang yang tidak melaksanakan shalat wajib karena malas dikualifikasikan telah fasiq atau ’ashy (pelaku maksiat) dan termasuk jarimah ta’zir.
Kaidah kedua tentang melakukan perbuatan yang diharamkan:
ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺗﻰ ﺍﻟﻤﺤﺮﻣﺎﺕ ﻣﻊ ﺍﺳﺘﺤﻼﻝ ﺇﺗﻴﺎﻧﻬﺎ ﻓﻬﻮ ﺭﺍﺟﻊ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ
Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukkan telah keluar dari Islam.
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang melanggar larangan-larangan syariat Islam disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang, maka ia telah keluar dari Islam. Misalnya, seorang berzina dengan keyakinan bahwa zina itu tidak haram, maka ia telah keluar dari Islam. Apabila ia melakukannya karena melanggar keharaman disertai keyakinan bahwa perbuatan tersebut dilarang, ia tidak keluar dari Islam melainkan telah berbuat maksiat atau melakukan jarimah zina.
Kaidah ketiga tentang keyakinan yang keluar dari Islam:
ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺧﺮﻭﺟﺎ ﻋﻦ ﺍﻹﺴﻼﻡ ﻛﻞ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﻣﻨﺎﻑ ﻟﻺﺳﻼﻡ
Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukkan telah keluar dari Islam.
Di antara contoh-contoh keyakinan yang bertentangan dengan Islam adalah keyakinan bahwa al Quran itu bukan dari Allah melainkan kata-kata Muhammad; Muhammad adalah pendusta; ada lagi nabi terakhir setelah kenabian Muhammad; dan Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Akan tetapi keyakinan-keyakinan tersebut belum dapat dikualifikasikan jarimahriddah yang dikenai had jika belum dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Sebab Allah memaafkan ummat-Nya dari apa yang dibisikkan hatinya selama belum diungkapkan atau dikerjakan.
c)     Jarimah Ta’zir
Dalam studi fiqh jinayah, selain adanya hudud dan qishas maka dikenal pula istilah Ta’zir, yaitu hukuman yang diputuskan oleh hakim terhadap satu kejahatan yang tidak disebutkan hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.[10] Beberapa kaidah fiqh tentang hal ini adalah :
Kaidah pertama tentang kualifikasi jarimah ta‟zir:
كل معصية لا حد فيها ولا كفارة فهو التعزير
Setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenai sanksi had atau kaffarat adalah jarimah ta’zir. 
Kaidah ini mengandung arti bahwa setiap perbuatan maksiat yang tidak dapat dikenai sanksi hudud atau kaffarah dikualifikasikan sebagai jarimah ta’zir. Para fuqaha sepakat bahwa yang dimaksud dengan perbuatan maksiat adalah meninggalkan kewajiban dan melakukan hal-hal yang dilarang. Tidak melaksanakan sholat wajib; tidak menunaikan zakat; atau mengkhianati adalah perbuatan maksiat dengan cara meninggalkan kewajiban. Sedangkan mengurangi timbangan; berdusta; atau berkhulwat adalah perbuatan maksiat dengan cara melakukan hal-hal yang dilarang. Seluruh perbuatan tersebut dapat dikenai sanksi ta’zir.
  1. Percobaan Melakukan Jarimah
أن الشروع في الجريمة لا يعاقب عليه بقصاص ولا حد وانما يعاقب عليه بالتعزير أيا كان نوع الجريمة
Percobaan melakukan jarimah, apapun jarimahnya, tidak bisa dikenai hukuman qishash atau hudud melainkan ta’zir.
Kaidah ini mengandung arti bahwa percobaan melakukan jarimah hudud atau qisash tidak dapat dikategorikan telah melakuakn jarimah tersebut secara sempurna sehingga tidak bisa dikenai had atau qisash, melainkan tazir.[11] Hukuman itupun diberikan jika di antara percobaan tersebut telah dapat dikategorikan perbuatan maksiat, sesuai dengan kaidah berikut:
تعاقب علي الشروع في كل جريمة اذا كون الفعل غير التام معصية
Percobaan melakukan jarimah akan mendapat hukuman, jika perbuatan percobaan itu merupakan perbuatan maksiat.
Kaidah ketiga tentang kebolehan memberikan hukuman kepada pelaku percobaan pada jarimah ta‟zir:
تعاقب علي الشروع في كل جريمة اذا كون الفعل غير التام معصية
Jarimah yang seselai berbeda sanksinya dengan jarimah yang belum selesai kecuali pada jarimah-jarimah ta’zir.
Kaidah ini mengandung arti bahwa hukuman bagi pelaku percobaan melakukan jarimah hudud atau qisash tidak sama dengan hukuman bagi pelaku tersebut yang telah selesai dengan sempurna. Sedangkan pada jarimah ta’zir, boleh memberikan hukuman bagi pelaku percobaan. Sebab, pemberian sanksi ta’zir menjadi hak imam sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.
Kaidah keempat tentang pengurungan maksud berbuat jarimah:
اذا عدل الجاني عن اتمام الجريمة لأي سبب غير التوبة فهو مسءول عن الفعل كلما اعتبر الفعل المعصية
Apabila pelaku jarimah tidak menyelesaikan perbuatan jarimahnya karena alasan-alasan selain taubat, maka dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya selama perbuatan tersebut merupakan perbuatan maksiat.
Kaidah ini merupakan kelanjutan dari kaidah di atas yang mengandung arti bahwa pengurungan diri dari perbuatan jarimah dapat menggugurkan hukuman dengan syarat dilakukan karena kesadaran diri atau taubat, bukan karena pengaruh dari luar seperti tertangkap basah.
  1. Gugurnya hukuman
Jarimah yang dilakukan pun harus berkenaan dengan hak Allah atau jama’ah. Kaidah ini dipegang oleh sebagian Syafi‟iyah dan Hanabilah. Mereka menyatakan:
التوبة تسقط العقوبة مما يتعلق بحق الله
Taubat dapat menggugurkan hukuman pada jarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah.
Berbeda dengan Malik, Abu Hanifah, sebagian Syafi‟iyah dan Hanabilah lainnya menyatakan bahwa:
ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻻﺗﺴﻘﻄ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺟﺮﻳﻤﺔ ﺍﻟﺤﺮﺍﺑﺔ
Taubat tidak dapat menggugurkan hukuman kecuali pada jarimah hirabah (perampokan).
B.     Qaidah Fiqih fi  As-siyasah
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemashlahatan”.
 Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keinginan keluarganya atau kelompoknya. Misalnya, setiap kebijakan yang maslahat dan manfaat bagi rakyat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memadaratkan rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi, seperti membuat irigasi untuk petani, membuka lapangan kerja yang padat karya, melindungi hutan lindung, menjaga lingkungan, mengangkat pegawai-pegawai yang amanah dan professional, dan lain sebagainya.
الخيانة لا تتجزا
Perbuatan khianat itu tidak terbagi-bagi”.
Apabila seseorang tidak melaksanakan atau khianat terhadap salah satu amanah yang dibebankan kepadanya, maka dia harus dipecat dari keseluruhan amanah yang dibebankan kepadanya.
ان الامام ان يجطئ في العفو خير من ان يجطئ في العقوبة
Seorang pemimpin itu, salah dalam member maaf lebih baik daripada salah dalam menghukum”.
Kaidah ini menegaskan bahwa kehati-hatian dalam mengambil keputusan sangatlah penting. Jangan sampai akibat dari keputusan pemimpin mengakibatkan kemadaratan kepada rakyat dan bawahannya. Apabila seorang pemimpin masih ragu karena belum ada bukti yang meyakinkan antara memberi maaf atau menjatuhkan hukuman, maka yang terbaik adalah member maaf. Tetapi apabila sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya maka seorang pemimpin harus berani dan tegas mengambil keputusan sesuai dengan kaidah:
يقدم في كل ولاية من هو اقدم على القيام بحقوقها ومصالها
 Didahulukan dalam setiap kekuasaan, orang yang lebih berani menegakkan hak atau kebenaran dan kemaslahatan”.
Ibnu Taimiyah menyimpulkan dengan:
اختيار الاامثل فالامثال
 Memilih yang representative dan lebih representatif lagi”.[12]
الولاية الجاصة اقوى من  الولاية العامة
Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) daripada kekuasaan yang umum”. Maksud dari kaidah ini adalah bahwa lembaga-lembaga yang khusus lebih kuat kekuasaannya daripada lembaga yang umum. Contohnya: camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada Gubernur, wali nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya daripada lembaga peradilan agama.
لا يقبل في دار الاسلام العذر بجهل الاحكام
Tidak diterima di negeri Muslim, pernyataan tidak tahu hukum”. Yang dimaksud tidak tahu hukum di sini adalah hukum yang bersifat umum karena masyarakat semestinya mengetahuinya, seperti hukum menaati ulil amri adalah wajib, zakat itu wajib, dan lain sebagainya.
الاصل في العلاقة السلم
Hukum asal dalam hubungan antarnegara adalah perdamaian”.
Perang bersifat temporer dan dilakukan ketika satu-satunya penyelesaian adalah perang. Perang itu dalam keadaan darurat sehingga harus memenuhi persyaratan darurat. Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakan untuk kembali kepada perdamaian baik dengan cara penghentian sementara, perjanjian atau dengan melalui lembaga arbitrase.[13]
كل مبيع لم يصح في دار الاسلام لم يصح في دار الحرب
Setiap barang yang tidak sah dijualbelikan di negeri Islam maka tidak sah pula dilakukan di negeri harbi”. Kaidah ini dipegang oleh mazhab Maliki dan Syafi‟i, yang berarti bahwa di manapun berada barang-barang yang haram tetap haram hukumnya. Jadi seorang Muslim yang pergi ke luar negeri, tetap haram baginya makan daging babi, minum minuman yang memabukkan, melakukan riba, dan sebagainya. Selain itu, ia tetap harus shalat, puasa, memegang amanah, dan lain sebagainya. Dan ini berkaitan dengan teori Nasionalitas.
العقد يرعى مع الكافر كما يرعى مع المسلم
Setiap perjanjian dengan orang nonmuslim harus dihormati seperti dihormatinya perjanjian sesama muslim”. Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian atau transaksi antara individu muslim dan nonmuslim dan antara negeri muslim dan nonmuslim secara bilateral atau unilateral.[14]
الجباية بالحماية
Pungutan harus disertai dengan perlindungan”. Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari rakyat, baik berupa zakat, fae, rikaz, ma‟dun, kharaj (pajak tanah bagi non muslim), wajib disertai dengan perlindungan dari pemerintah kepada warga yang sudah mengeluarkan apa yang sudah dipungut tadi. Yang dimaksud dengan perlindungan di sini adalah rakyat harus dilindungi hartanya, darahnya, dan kehormatannya, termasuk di dalam kondisi menciptakan kondisi keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja dalam lapangan kerja yang halal, serta membangun sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyatnya.
الخروج من الخلاف مستحب
Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”. Dalam kehidupan bersama sering terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini penting dalam memberikan alternative pemecahan masalah. Tetapi, kembali kepada kesepakatan itu disenangi, setelah terjadi perbedaan pendapat tadi agar kehidupan masyarakat menjadi tenang kembali.
ما لا يدرك كله لا يترك كله
Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”. Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu keputusan yang baik sudah diambil tetapi dalam pelaksanaannya banyak hambatan, maka tidak berarti harus ditinggalkan seluruhnya. Akan tetapi, apa yang dapat dilaksanakan itulah yang dikerjakan sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang ada.
لهم ما لنا وعليهم ما علينا
Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada kita dan terhadap mereka dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap kita”. Kaidah di atas menegaskan adanya persamaan hak dan kewajiban diantara sesama warga negara yang dilandasi oleh moral ukhuwah wathaniyah, meskipun mereka berbeda warna kulit, bahasa, dan budaya, serta kekayaannya. Ulama menggunakan kaidah di atas dalam konteks hubungan antar warga negara muslim dan zimi (kafir zimi). Mereka berkedudukan sama di hadapan penguasa dan hukum.[15]



BAB III
PENUTUP
            Dalam hukum pidana islam (jinayah) memiliki ketentuan-ketentuan kaidah umum yaitu :
1.      Legalitas
لا جزيمة ولا عقوبة بلا نص
            Tidak ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman tanpa nash (aturan)
            Dalam sejarah hukum islam, tidak pernah suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana dan tidak pernah dijatuhi hukuman sebelum perbuatan tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana dan diberi sangsinya baik dalam alquran maupun hadis.
            Semakna dengan kaidah diatas adalah
لا حكم لافعال العقلاء قبل ورود النص
            Tidak ada hukuman bagi orang yang berakal sebelum datangnya nash.
2.      Tidak berlaku surut
Kaidah tidak berlaku surut  merupakan konsekwensi dari kaidah pertama yaitu legalitas yang berarti bahwa undang-undang berlaku hanya pada perbuatan yang dilakukan setelah undang-undang itu berlaku dan untuk perbuatan sebelumnya tidak bisa berlaku. Pentingnya asas ini karena ia melindungi keamanan individu dan mencegahnya dari penyalahgunaan kekuasaan dari pemegang otoriter. Hal ini sesuai dengan apa yang ditutur kan oleh alquran dalam surat annisa’ ayat 22 yang artinya dan jangan lah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampau.
3.      Praduga tidak bersalah
Hal ini juga merupakan konsekwensi dari asas legalitas tadi yaitu praduga tidak bersalah yang menurut asas ini setiap orang tidak dianggap bersalah untuk suatu perbuatan yang jahat kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan yang beralasan muncul, seseorang tertuduk harus dibebaskan. Hal ini sesuai dengan sabda nabi yang artinya  “hindari bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum.”
4.      Tidak sahnya hukum karena keraguan
Berkaitan erat dengan asas diatas ( praduga tak bersalah) batalnya hukuman dalam hal adanya keraguan, dalam hadis diatas “ hindari hudud dalam keadaan ragu lebih baik salah membebaskan dari pada salah dalam menghukum”
5.      Kesamaan di hadapan hukum
Pada masa jahiliyah tidak ada kesamaan diantara manusia, tidak ada kesamaan antara tuan dan budak, antara pemimpin dengan yang dipimpin, sikaya dengan yang miskin, pria dan wanita. Dengan datangnya islam maka hapuslah semua perbedaaan antara ras, warna, bahasa dll.
Syariat memberikan tekanan yang besar pada prinsip equaliiti before the law Rasul SAW bersabda : wahai manusia kalian menyembah tuhan yang sam, kalian menpuanyai bapak yang sama, bangsa arab tidak lebih mulia dari banngasa persia dan merah tidak lebih mulia dari hitam, kecuali dalam ketaqwaan.


DAFTAR PUSTAKA

Topo Santoso, SH, MH, 2001, menggagas hukum pidana islam (penerapan syariat islam
dalam konteks modernitas),cet II, Bandung : asy-syamilah
Prof. H Djazuli, 2010, kaidah kaidah fikih, Jakarta : Kencana
Abdul mudjib, 2001, kaidah-kaidah ilmu fiqih, Jakarta : kalam mulia
Muhammad jawad mughniyah, 2011, fiqih lima mazhab,cet 27 terjemahan, jakarta : Lentera



[1] Dalam hukum convensional indonesia dikenal dengan istilah nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenal,  dan dalam al-quran alisra’ 17 : 15 yang artinya dan kami tidak mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul, dan juga dalam ayat-ayat lain seperti alkahfi 18 : 58, al-anam 6 : 19, albaqarah 2 : 286
[2] Topo santoso menambah kaidahnya dengan “hukum asal sesuatu itu adalah boleh sampai ada petunjuk yang melarangnya hal ini sesuai dengan dalil dalam ushul fiqih al istishab, Topo Santoso, SH, MH, menggagas hukum pidana islam (penerapan syariat islam dalam konteks modernitas),cet II, (Bandung : asy-syamilah, 2001), h.114
[3] Prof. H Djazuli, kaidah kaidah fikih, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 138
[4] Topo Santoso, SH, MH, menggagas hukum pidana islam (penerapan syariat islam dalam konteks modernitas),cet II, (Bandung : asy-syamilah, 2001), h.117
[5] Ibid 120
[6] Ibid 123
[7] Ada tiga macam syubhat yang dapat menggugurkan sanksi had, pertama syubhat yanng berhubungan dengan pelaku yang disebabkan oleh salah sangkaan sipelaku, seperti mangambail harta ornag lain yang dikiranya hartanya. Kedua syubhat karena perbedaan pendapat ulama. Ketiga syubhat pada tempat, Prof. H Djazuli, kaidah kaidah fikih, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 140
[8] Kaidah ini merupakan cabang dari kaidah asasi  yang kedua   اليقين لا يزال بالشك
[9] Topo Santoso, mengatakan dalam bukunya dengan istilah murtad, Topo Santoso, SH, MH, menggagas hukum pidana islam (penerapan syariat islam dalam konteks modernitas),cet II, (Bandung : asy-syamilah, 2001), h.143
[10] Jarimah ta’zir terbagi tiga
1.       Jarimah hudud atau qishas yang subhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pencurian, pencurian dikalangan keluarga dll
2.       Jarimah yang ditentukan oleh alquran dan hadis namun tidak ditentukan oleh nash tentang sanksinya
3.       Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh pemimpin untuk kemaslahatan umat, Topo Santoso, SH, MH, menggagas hukum pidana islam (penerapan syariat islam dalam konteks modernitas),cet II, (Bandung : asy-syamilah, 2001), h.146
[11] Tidak akan dipidana orang yang dengan suka rela mengurungkan pelaksanaan kejahatan yang telah di mulainya, Topo Santoso, SH, MH, menggagas hukum pidana islam (penerapan syariat islam dalam konteks modernitas),cet II, (Bandung : asy-syamilah, 2001), h. 149
[12] Prof. H Djazuli, kaidah kaidah fikih, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 149
[13] Ibid 151
[14] Ibid 152
[15] Ibid 153